Saat berkeliaran di sekitar kota-kota di Indonesia, kesan pertama seseorang diwarnai begitu banyaknya tempat makanan di negeri ini. Mulai dari restoran, warung makan, jajanan jalanan, kaki lima hingga toko souvenir.
Menarik dan tanpa disadari apa yang dilihat itu semua adalah gambaran nasionalisme makanan Indonesia, meskipun tidak dihiraukan tentang keaslian makanan itu, apakah dari Jawa, Padang, Betawi dan lain sebagainya, kesemua melambangkan nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme ? Ya ...
Nasionalisme ini kurang banyak diperhatikan hubungannya dengan makanan. Malah ada yang mengatakan sumbu antara makanan dan nasionalisme telah terabaikan selama ini.
Makanan sangat penting untuk kehidupan dan karena itu penting dalam banyak cara. Secara harfiah makanan menopang kehidupan. Makanan dijiwai dengan makna. Sangat simbolis dan emotif dan karena itu sangat politis.
Fitur makanan sangat menonjol dalam dunia politik, apalagi dalam menentukan identitas suatu masyarakat.
Makanan adalah bagian dari warisan budaya yang di dalamnya ada kekuasaan, nilai, hak dan kewajiban.
Artinya ada unsur politik dengan nama identitas yang itu dinamakan nasionalisme.
Coba anda selusuri jalan-jalan atau pasar tradisional dan modern di seluruh negeri ini yang menjual makanan. Pada setiap kemasan makanan diberi label atau dipasarkan sesuai dengan nama negara tertentu.
Makanan yang kita konsumsi atau yang diiklankan selalu mempunyai label nama negara tertentu.
Ini menunjukkan identitas nasional suatu negara di citrakan dalam kemasan label makanan.
Tanpa disadari, kita semakin menjadi bagian dari rantai global identitas nasional dari negara-negara tertentu.
Pencitraan branding nasional dan pelabelan makanan ditemukan di mana-mana untuk menyampaikan image bangsa tersebut.
Contoh, Starbucks menyoroti tempat asal kopi dan teh mereka dari Kenya, Guatemala, Ethiopia. Termasuk cara budaya minum yang mereka pelajari di Amerika, Italia, Perancis dan sebagainya. Kesemua itu bertujuan untuk menyampaikan gagasan mengenai selera, nilai, dan kualitas yang akan meningkatkan nilai dan daya tarik konsumen terhadap Starbucks.
Praktik pelabelan makanan berdasarkan asal-usul nasional juga merupakan kebijakan banyak pemerintahan di dunia.
Tujuannya untuk promosi dan melindungi produk makanan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa mereka.
Di Uni Eropa (UE), kerangka geografis yang terpadu telah disiapkan untuk memastikan bahwa hanya barang makanan yang berasal atau diproduksi di wilayah tertentu dapat dipasarkan di negara tsb.
Misalnya, cuka balsamic hanya bisa diproduksi di Emile Romagna (Italia), kentang Jersey Royal di pulau Jersey (Inggris), keju feta di Yunani, dan spettekaka di Swedia.
Langkah serupa digunakan di Meksiko, di mana tequila hanya bisa diproduksi dari tanaman agave biru dari daerah tertentu.
Namun memahami hubungan antara makanan dan nasionalisme tidak hanya terbatas pada pelabelan atau promosi produk nasional.
Makanan & presentasi penyajiannya, termasuk proses memasaknya, sudah menjadi elemen penting dalam kehidupan politik maupun identitas nasional.
Negara-negara barat menggali secara mendalam pentingnya makanan dan dampaknya terhadap politik domestik dan global, serta hubungan dialektika antara makanan dengan nasionalisme.
Pada umumnya manusia tidak makan berbagai makanan secara acak untuk memuaskan dirinya.
Apa dan bagaimana manusia makan, atau apa yang tidak manusia makan adalah indikasi tentang siapa diri manusia itu sebagai suatu bangsa.
Gastronom Prancis Jean Anthelme Brillat-Savarin memperjelas hal itu dengan ucapan: Katakan padaku apa yang Anda makan, dan saya akan memberitahu siapa Anda
Bahkan antropolog Claude Lévi-Strauss dan teoretikus sastra dan sosial Belanda Barthes mengatakan: kebiasaan makan, perilaku, diet dan selera tertentu mencerminkan struktur maupun budaya negara-negara tertentu
Contoh makanan Thai dikenal sekarang sebagai masakan paling populer di dunia. Cerita makanan Thailand adalah representasi dari pencampuran identitas nasional, kebijakan pangan, dan usaha bagaimana sebuah negara membangun dan menggunakan makanan sebagai alat dalam budaya diplomasi serta sebagai cara mengubah rangsatanya (rebranding) gambaran dirinya di luar negeri. Teknik ini sering disebut sebagai gastrodiplomacy.
Gagasan Thailand menggunakan makanan untuk mengubah image negaranya dilatarbelakangi oleh citra negeri gajah itu yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata seks.
KeterlibatanThailand dimulai tahun 2002 dengan diluncurkannya program Global Thai. Melalui program itu pemerintah Thailand berusaha menggunakan makanan sebagai alat politik untuk mempromosi Thailand sebagai negara yang menarik dan eksotis. Keberhasilan kampanye gastrodiplomacy Thailand belum dapat terkalahkan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir sejumlah negara lain mencoba meniru seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, dan Peru.
Dengan demikian bisa dikatakan makanan adalah politik, terlepas dari sifatnya yang sekedar dianggap sebatas memuaskan ambang batas perut. Makanan mengandung tempat yang penting dalam bagaimana kita melihat identitas nasionalisme di diri kita sendiri.
Bagi banyak orang, makanan mewakili keterikatan dirinya sebagai suatu bangsa terhadap tanah, sejarah, dan budaya.
Oleh karena itu bisa dikatakan makanan menjadi milik suatu bangsa, baik untuk mereka yang memasaknya dan untuk mereka yang memakannya. Makanan adalah identitas diri mereka sendiri. Dan ini adalah Nasionalisme
Tabek