PENDAHULUAN
Kata GastroDiplomasi baru dikenal di Indonesia di tahun 2012-an, meskipun sejak negeri ini berdiri, kegiatan atau aktivitas diplomasi melalui makanan kerap dilakukan, terutama oleh Kementerian Luar Negeri dengan perwakilan Indonesia di luar negeri dan Kementerian lainnya, termasuk Kepala Negara (Presiden).
Jika bicara GastroDiplomasi, maka tercakup di dalamnya juga GastroWisata. Bagaimanapun harus dipahami GastroDiplomasi dan GastroWisata terkait satu sama lain karena keduanya adalah kegiatan diplomasi suatu Negara atau Bangsa dalam menyentuh hati masyarakat dunia melalui Makanan Nasional (National Cuisine) datang (berwisata) ke negaranya.
Maksud Makanan Nasional (National Cuisine) adalah yang dimiliki suatu suatu Negara atau Bangsa yang dipopulerkan oleh media massa sebagai bagian penting dari identitas suatu bangsa, di mana blender raksasa bernama globalisasi memperkenalkan eksistensinya kepada dunia.
Sebagai aset Soft Power bangsa, peluang GastroDiplomasi Indonesia cukup besar, cuma belum digarap dari hulu sampai hilir, sehingga agak sukar bicara atau dikenal di panggung dunia.
Indonesia punya seni masakan (atau kuliner) yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil yang belum diangkat secara serius dan ini merupakan harta terpendam, terutama di sisi bumbu dan rempah.
Selain itu GastroDiplomasi Indonesia belum punya format signature dish yang dapat diterima semua pihak di dalam negeri, sehingga saat ini masing-masing jalan sendiri dengan apa yang terlihat di depan mata.
Signature dish adalah makanan yang unik dan tidak ada duanya, baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi yang menjadi andalan dan mempunyai sentuhan emosional maupun aktual yang kuat.
Handicap ini akibat Pemerintah belum meletakkan GastroDiplomasi (termasuk Gastronomi, dan GastroWisata) secara terstruktur ke dalam kerangka kerja Pemerintah, walaupun kosa kata itu kerap dibicarakan para pejabat di negeri ini tetapi programnya belum nyata.
Hal ini akibat belum adanya “aturan atau payung hukum” yang mengatur tentang kebijakan makanan di negeri ini, termasuk kaitannya dengan GastroDiplomasi (termasuk Gastronomi, dan GastroWisata).
Selain itu hampir segenap masyarakat, Kementerian dan Lembaga Pemerintah, baik di pusat dan daerah, masih menganggap makanan sebatas resep kuliner dengan penampilan ahli masak (chef profesional & pemasak otodidak), nama-nama restoran maupun icip-icip.
Padahal kalau bicara mengenai GastroDiplomasi selain bicara mengenai keanekaragaman kuliner, di dalamnya ada cerita mengenai sejarah, budaya dan tradisinya.
Sekalipun masih banyak tantangan yang dihadapi untuk memajukan GastroDiplomasi, upaya yang lebih terstruktur tengah diupayakan oleh Pemerintah melalui berbagai program yang ada.
Pastinya, GastroDiplomasi sudah diakui secara bersama sebagai identitas, prestise dan karakter suatu Negara atau Bangsa yang membuatnya dirinya berbeda dan istimewa dibandingkan negara lain.
STRATEGI GLOBAL KULINER INDONESIA
Sejak tahun 2004, berbagai naratif (pikiran, ide dan gagasan) telah diangkat sebagai strategi global kuliner Indonesia, tetapi tidak menggema dan membumi sama sekali, apalagi mendunia secara permanen, walaupun ada diketahui beberapa nama (seperti rendang, sate atau nasi goreng) beredar di berbagai media dunia, tapi gencarnya nama kuliner itu di dunia dipromosikan oleh media internasional (seperti CNN).
30 (Tiga Puluh) Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI), 76 (Tujuh Puluh Enam) Soto Diplomasi dan 5 (lima) Kuliner Khas Indonesia adalah contoh strategi global naratif tersebut, namun usianya di media tidak long lasting dan durability-nya sebatas masa jabatan pejabat yang berkuasa saat itu.
Setelah pejabat itu diganti naratif itu kemudian menjadi sekedar catatan sejarah yang terlupakan, walaupun beberapa kali diupayakan diangkat kembali ke permukaan tetapi nyatanya tidak kuat bertengger di panggung media secara nasional apalagi global.
Selain itu, bagi sebagian besar masyarakat di daerah, nama-nama kuliner yang ditampilkan di panggung dunia selalu berkisar yang itu-itu saja dan belum bisa diterima mewakili produk keaslian masakan mereka.
Meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan kuliner daerah setempat.
Bagi masyarakat daerah, makanan mereka adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa.
Mesti disadari, tampilan nama kuliner dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain nama kuliner mereka diikutkan dalam tampilan tersebut, apalagi kalau selama ini nama kulinernya sering yang itu-itu saja ditampilkan.
Negara-negara tetangga sudah mampu melakukan strategi global kuliner mereka sehingga menjadi identitas diri kuliner negara bersangkutan.
Bisa dikatakan identitas strategi global kuliner negara tetangga sudah puluhan tahun beredar di dunia dengan tetap satu nama. Seperti Thailand dengan Tom Yam, Malaysia dengan Nasi Lemak atau Korea Selatan dengan Kimchi.
Identitas kuliner negeri tetangga ini sudah menjadi legenda dan trend dunia, malah bisa menjadi lahan bisnis ekspor yang menghasilkan devisa yang cukup besar. Katakan saja Kimchi Korea Selatan bisa menghasilkan nilai ekspor USD 144,5 juta pada tahun 2020 bagi negeri tersebut.
Sedangkan Thailand dengan legenda brand "Thai Is The World Kitchen" melalui kerjasama kemitraan Pemerintah dengan pihak swasta telah membangun 18 ribu lebih restorannya di luar negeri memberi pemasukan devisa bagi negeri Gajah Putih itu sebesar USD 12 Miliar pada tahun 2019.
INDONESIA SPICE UP THE WORLD
Strategi global kuliner yang paling terkini adalah "Indonesia Spice Up The World" (ISUTW) yang dilansir pada tahun 2021.
Narasi branding ISUTW sepertinya lebih cocok menggambarkan identitas kuliner Indonesia yang kaya dan beragam akan rupa seni dapur masakan.
Apalagi ISUTW tidak menyebut nama-nama makanan (kuliner) seperti 30 (Tiga Puluh) Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI), 76 (Tujuh Puluh Enam) Soto Diplomasi dan 5 (lima) Kuliner Khas Indonesia.
Narasi "Indonesia Spice Up The World" mirip dengan brand "Thai Is The World Kitchen" yang diperkirakan dapat long lasting, durable dan menghasilkan devisa; serta dapat mengakomodir segenap seni masakan dapur masyarakat daerah yang ada di Indonesia.
Dengan racikan bumbu dan rempah diperkirakan ISUTW dapat menjadi identitas brand strategi global kuliner Indonesia karena hampir semua makanan negeri ini kaya akan racikan bumbu dan rempahnya.
KAPASITAS DIASPORA INDONESIA DALAM GASTRODIPLOMASI
Seperti dikatakan sebelumnya, kapasitas masyarakat Diaspora Indonesia sebaiknya tidak hanya di GastroDiplomasi tetapi juga di GastroWisata, karena apapun yang dilakukan masyarakat Diaspora terhadap GastroDiplomasi merupakan prakarsa dalam mendukung pariwisata Indonesia.
Apalagi makanan (atau kuliner) telah menjadi mondial secara global dan cenderung memiliki "bahasa" yang sama dalam menyentuh hati masyarakat dunia datang ke negaranya sebagai tujuan liburan.
Disini bisa dikatakan masyarakat Diaspora merupakan lensa GastroDiplomasi & GastroWisata Indonesia di luar negeri yang menjaga hubungan global Indonesia dengan masyarakat dunia melalui makanan atau kuliner.
Warna dan wajah makanan Indonesia di panggung dunia sebenarnya ada di tangan masyarakat diaspora.
Melalui makanan atau kuliner, masyarakat Diaspora memberi pembelajaran dan pengalaman kepada masyarakat dunia tentang sejarah dan budaya makanan Indonesia serta penggunaan produk lokal (seperti bumbu dan rempah), resep tradisional maupun cara proses pembuatannya.
POSISI DIASPORA INDONESIA DALAM GASTRODIPLOMASI
Seperti diketahui, 2 (dua) Presiden Indonesia telah 3 (tiga) kali mencetuskan Political Will Makanan (Kuliner) sebagai strategi global identitas masakan bangsa, namun belum banyak yang paham mengenai arahan kedua Presiden tersebut.
Political Will pertama pada tahun 1960 yang diucapkan oleh Presiden Sukarno yang kemudian terwujud dengan terbitnya buku Mustika Rasa pada tahun 1967.
Political Will kedua pada tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas (Ratas) tanggal 27 September 2016 dan tanggal 3 Februari 2017 yang bicara mengenai Kekuatan Citra (brand power) Indonesia dengan memberikan arahan dan keputusan politik mengenai 4 (empat) pilar diplomasi, yakni Diplomasi Kebudayaan, Diplomasi Olahraga, Diplomasi Film & Diplomasi Makanan.
Political Will ketiga pada tahun 2021 oleh Presiden Joko Widodo saat meluncurkan program “Indonesia Spice Up The World"
Untuk itu kapasitas masyarakat Diaspora sebagai benteng dan pembawa pesan terdepan budaya bangsa Indonesia kepada dunia, sangat penting untuk mengaplikasikan secara nyata ketiga Political Will Makanan (Kuliner) tersebut.
Seperti diketahui, melalui pemetaan sederhana yang dilakukan Kementerian Luar Negeri, saat ini ada 1,177 restoran Indonesia di 48 negara yang terdiri dari 697 di Asia Pasifik dan Afrika serta 489 di Amerika dan Eropa.
Kehadiran 1,177 restoran Indonesia itu sangat menjadi perhatian Pemerintah atas bagaimana orang asing memandang budaya Indonesia mengingat restoran adalah contoh luar biasa dari identitas kekuatan makanan dalam menjembatani diplomasi kebudayaan.
Disini terlihat posisi atau kedudukan masyarakat diaspora Indonesia sebagai pengelola dan pemilik restoran berhasil memperlihatkan citra nasional bangsa yang positif melalui GastroDiplomasi dan GastroWisata.
Kenangan menikmati makanan di restoran itu memotivasi keinginan pengunjung restoran berkunjung ke Indonesia untuk mendapatkan pengalaman dan belajar lebih jauh mengenai makanan Indonesia yang unik, berkesan dan belum pernah dinikmati sebelumnya dengan membawa keluarga maupun handai taulannya.
PERAN DIASPORA INDONESIA DALAM GASTRODIPLOMASI
Salah satu peran GastroDiplomasi atau GastroWisata dari masyarakat Diaspora dapat dilakukan melalui narasi "Indonesia Spice Up The World"
ISUTW dapat dijadikan sebagai strategi global kuliner masyarakat Diaspora, namun pastinya harus bisa memberi peluang bisnis seluas mungkin, membuka lapangan kerja, menyumbangkan devisa bagi negara, serta melahirkan entrepreneurship mindset (khususnya bagi kalangan muda yakni Generasi Mileneal dan Generasi Z)
Adapun keterlibatan Diaspora Indonesia dalam "Indonesia Spice Up The World" dapat berupa sebagai berikut:
1. INVESTOR
Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan mengikutsertakan masyarakat Diaspora Indonesia sebagai kandidat investor 4,000 restoran.
Perlu diiingat dengan jumlah lebih kurang 7,2 juta orang anggota, masyarakat Diaspora Indonesia punya pengalaman dan potensi financing capability sebagai investor.
Apalagi sebagian besar pemilik dan pengelola (investor) dari 1,177 restoran yang ada adalah masyarakat Diaspora Indonesia.
Potensi pengalaman dan financing capability masyarakat Diaspora tersebut bisa menjadi modal kolaborasi (kemitraan) dengan pengelola restoran di Indonesia lainnya untuk mendirikan 4,000 restoran nanti secara global.
2. HUB
Indonesia Global Network bersama Pemerintah Pusat perlu menentukan satu lokasi di luar negeri sebagai pusat gerakan sosialisasi dan komunikasi ISUTW
Disarankan Belanda menjadi HUB (jaringan) dari pusat gerakan tersebut.
Potensi 400 restoran dan toko makanan Indonesia di Belanda mempunyai kapasitas akan pengalaman yang bisa diandalkan untuk turut membantu menghadirkan rencana 4,000 restoran Indonesia secara global.
3. PILOT PROJECT
Kota New York dapat dipertimbangkan menjadi pilot project sebagai referensi uji pendahuluan, selain memang ada 100 – 150 restoran Indonesia di Amerika Serikat yang dapat dijadikan acuan lebih lanjut.
4. TANTANGAN
Indonesia Global Network bersama Pemerintah Pusat perlu mengatasi soal tantangan klasik yang selama dialami para pemilik restoran Indonesia di luar negeri dalam menjalankan bisnis mereka.
Tantangan klasik itu, secara tidak langsung harus sudah bisa dijamin dengan sendirinya oleh Pemerintah untuk kepentingan menghadirkan 4,000 restoran Indonesia di luar negeri, yakni :
i. Mengenai kebutuhan pengadaan bahan baku pangan (berupa produk bumbu, rempah, pangan olahan dan buah) maupun mengenai dukungan kemudahan logistik dalam pengiriman dari Indonesia yang berjadwal rutin dengan biaya kirim terjangkau.
ii. Mengenai kebutuhan akan SDM, yakni tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef), serta tenaga manajerial yang terbiasa menangani restoran ala Indonesia.
Mengenai pengadaan bahan baku pangan dan kemudahan kemudahan logistik dalam pengiriman dari Indonesia, utamanya ada di ranah Kementerian Koperasi dan UKM maupun Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata & Ekonomi Kreatif serta Dewan Rempah Indonesia (DRI)
Bahan baku pangan yang diperlukan (produk bumbu, rempah, pangan olahan dan buah), ada di keseharian ranah kehidupan usaha pedagang kecil, mikro dan menengah (UMKM).
KemenKopUKM, Kemenparekraf / Beparekraf & DRI punya data pelaku UMKM ini, mengingat pelatihan dan pendidikan kepada mereka pernah dilakukan ketiga Kementerian & Lembaga ini.
Untuk itu perlu melibatkan kehadiran pelaku UMKM ini dengan memberi pelatihan dan pendidikan kembali kepada anak didik ketiga Kementerian & Lembaga ini tersebut.
Pelatihan ini terkait soal kebersihan (sanitasi), kesehatan, packaging (kemasan), keamanan bahan baku pangan (sertifikasi) dan lain sebagainya; untuk diterima pihak otoritas terkait di luar negeri, karena persyaratan masuk memerlukan upaya tersendiri; yakni terdaftar, tersertifikasi dan lain sebagainya sesuai aturan standar internasional yang berlaku.
Mengenai SDM tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef) dan SDM tenaga manajerial, ranah koordinasi dan pembinaannya ada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Untuk penyediaan tenaga juru masak profesional, terminalnya ada di ICA (Indonesia Chef Association), PCPI (Perkumpulan Chef Profesional Indonesia) dan ACPI (Association Culinary Professional Indonesia); karena ketersediaan tenaga Chef profesional di ketiga organisasi ini cukup banyak.
Sejauh diketahui, anggota ICA di seluruh Indonesia ada 4,631 orang, anggota PCPI ada lebih kurang 6,000 orang, sedangkan anggota ACPI ada lebih kurang 300 orang. Perlu dicatat, ICA adalah anak didik yang didirikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2007.
Untuk penyediaan tenaga manajerial, terminalnya ada di berbagai lembaga pendidikan pariwisata negeri yang pembinaannya langsung dibawah Kemenparekraf / Baparekraf, seperti Akademi Pariwisata (Akpar), Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) dan Politeknik Pariwisata (Poltekpar).
Perlu dicatat, Pemerintah harus memberi kenyamanan dan kemudahan fasilitas kepada masyarakat Diaspora ikut serta selaku investor mendirikan restoran di luar negeri.
Diharapkan dengan peran masyarakat Diaspora dalam GastroDiplomasi "Indonesia Spice Up The World" akan mempermudah rencana Pemerintah mendirikan 4,000 restoran Indonesia di luar negeri serta meningkatkan roda kehidupan usaha pelaku UMKM di dalam negeri.
Teristimewa pula melihat potensinya dapat membuka lapangan kerja dan ekonomi kreatif bagi tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef), tenaga manajerial serta pelaku UMKM di pasar luar negeri.
Melalui peran masyarakat Diaspora di atas, seyogyanya Pemerintah bisa berkontribusi besar kepada bangsa ini untuk menjadikan seni masakan gastronomi Indonesia tampil lebih nyata di panggung dunia, sejajar dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Korea Selatan, Vietnam dan Malaysia.
Demikian disampaikan dan semoga bermanfaat
Salam Gastronomi
Makanan Punya Kisah
Food Has Its Tale
Cibus Habet Fabula
Jakarta, 24 Februari 2022
Indra Ketaren