Michael Symons dalam bukunya 'Gastronomic Authenticity and Sense of Place' (1999) mengatakan bahwa : "Masakan adalah scope gastronomi yang bekerja di dalam konteks pariwisata. Kajian gastronomi (keahlian memasak) membantu masyarakat memahami tentang esensi tata boga (seni mengolah masakan) atas masalah pariwisata.
Sedangkan menurut Moulin, C., dalam bukunya berjudul "Gastronomy and Tourism" (2000) mengatakan bahwa : Gastronomi secara umum masih kurang mendapat peringkat (under-rated), kurang terwakili (under-represented) dan kurang dihargai (under-valued) dalam dunia pariwisata.
Sebagian besar pelaku bisnis perhotelan (hoteliers) dan pengusaha industri restaurant (restaurateur), termasuk para pemangku otoritas kepentingan pariwisata (pemerintah), masih mengabaikan hubungan antara gastronomi dan pariwisata. Padahal gastronomi memberi petunjuk, bimbingan, standard dan prinsip-prinsip terbaru yang diperlukan dalam menyediakan atau mempersiapkan bahan-bahan baku yang bisa diubah menjadi menu makanan di atas meja.
Lebih lanjut Moulin berpendapat di saat tata boga (seni mengolah masakan) konvensional menjadi jenuh dan kurang punya daya tarik bagi orang awam, disitu arus wisatawan akan menurun. Tatkala itu terjadi, gastronomi punya peran yang justru bisa meningkatkan kembali aliran wisata, dengan mengubah pola penampilan berbagai ragam macam masakan daerah menjadi lebih menarik.
Pariwisata identik dengan hoteliers dan restaurateur. Tanpa wisata tidak ada bisnis perhotelan dan industri restaurant. Bandul kerja pendulum antara ketiganya harus bisa seimbang untuk kepentingan meningkatkan ekonomi negara yang salah satu kepiawaian itu kepandaian dalam mengolah tata boga (seni mengolah masakan). Gastronomi adalah salah satu rupa kepandaian wisata dalam dunia hoteliers dan restaurateur.
Pendekatan konvensional yang meletakkan gastronomi sebatas kegiatan festival semata perlu diubah pemikirannya, karena gastronomi bukan sebatas perayaan saja, tapi merupakan prinsip-prinsip baru dalam penyajian seni mengolah makanan yang mempunyai nilai sejarah, budaya, geografis dalam metoda memasaknya. Apalagi merujuk seni, musik dan tarian sebagai "sumber daya wisata budaya' juga perlu diperlebar dengan memasukan gastronomi sebagai salah satu acuan narasumber parawisata.
Sekian puluh tahun berbagai pendapat bermunculan menyimpulkan gastronomi seperti subjek yang dangkal. Faktanya gastronomi tidak bisa diremehkan pentingnya dalam industri pariwisata. Minat wisata antar bangsa muncul dari keinginan untuk makan yang penyajiannya harus mempunyai kajian gastronomi.
Sudah saatnya hoteliers, restaurateur dan pemangku otoritas kepentingan pariwisata mulai meletakkan gastronomi dalam urutan pertama untuk meningkatkan daya tarik wisata, karena menu dalam hotel & restauran harus bisa menceritakan preferensi gastronomi untuk mempengaruhi lebih dalam aliran-wisata masuk ke suatu negara.
Tabek