".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Monday, 30 September 2019

GastroDiplomasi Sebagai Instrumen Persuasi Kelapa Sawit Indonesia


Industri kelapa sawit, terutama di negara-negara ASEAN, sebagai negara produsen besar, saat ini menghadapi banyak tekanan besar.

Industri kelapa sawit dirusak di Eropa dengan banyak lobi dan kampanye yang meminta konsumen untuk berhenti membeli produk dengan minyak makan sawit.

Ini menjadi tekanan global sejak tahun 1980 hingga hari ini, tanpa tanda-tanda penyelesaian yang baik.

Bisa dikatakan kampanye negatif industri minyak sawit ini dianggap semata persaingan dari produsen minyak nabati lainnya atau bahkan dari negara-negara maju.

Kampanye negatif terhadap industri minyak sawit itu sendiri semakin tidak adil, tidak bertoleransi dan pelanggaran prinsip pasar bebas dan kemandirian konsumen.

Alasan klasik yang beresiko untuk mendukung pertanian monokultural (sawit) agak kurang dapat diterima oleh mayapada bangsa Indonesia (termasuk negara-negara produsen lainnya).

Apapun deskripsi narasi artistiknya, termasuk efek jangka panjang memberi pengaruh terhadap habitat dan ekosistem tidak membuktikan fakta yang sebenarnya.

Narasi sugestif masyarakat Eropa agar bangsa Asia mendukung resusitasi banyak varietas tanaman dan hewan pun tidak menjadi ukuran melarang penggunaan minyak makan sawit.

Untuk diketahui pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Pertanaman padi, jagung, atau gandum sejak dulu bersifat monokultur karena memudahkan perawatan.

Dalam setahun, misalnya, satu lahan sawah ditanami hanya padi, tanpa variasi apa pun. Akibatnya hama atau penyakit dapat bersintas dan menyerang tanaman pada periode penanaman berikutnya.

Cara budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke-20 di dunia serta menjadi penciri pertanian intensif dan pertanian industrial di negara-negara dunia, termasuk Indonesia maupun negara-negara Asia.

Pertanian pada masa kini biasanya menerapkan monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam berikutnya untuk memutus siklus hidup (daur ulang) sekaligus menjaga kesehatan tanah.

Masyarakat Uni Eropa yang mengadopsi Draft Delegated Act (DDA) untuk mengurangi dan pada akhirnya melarang penggunaan biofuel dengan bahan baku kelapa sawit menjadi pukulan berat untuk industri sawit.

Kriteria yang dipergunakan dalam DDA yang focus pada periode 2008-2015 telah menempatkan sawit menjadi satu-satunya komoditas minyak nabati sebagai penyebab pengrusakan hutan (deforestasi).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu, 7 Mei 2019 menyampaikan bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara pemilik hutan hujan tropis yang mendapat apresiasi Internasional atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi.

Jika dibandingkan negara-negara pemilik hutan hujan tropis lain di dunia seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia angka laju deforestasi Indonesia jauh lebih rendah, hal ini berdasarkan data presentase perubahan dari tahun 2017 ke tahun 2018.

Narasi yang dikembangkan oleh Uni Eropa dengan mengabaikan nilai ekonomis dan apresiasi atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan sebagai bentuk kampanye negatif untuk memperlemah industri sawit Indonesia.

Oleh karena itu Indonesia harus mengembangkan narasi yang setara tanpa harus mengikuti genderang yang ditabuh oleh Uni Eropa. Narasi tersebut haruslah narasi yang dapat diterima oleh banyak pihak baik di dalam maupun luar negeri serta berlaku untuk semua jenis sumber minyak nabati. United Nations Sustainable Development Goals yang lebih dikenal dengan UN SDGs adalah platform yang lebih tepat untuk dipergunakan.

 Industri sawit memahami bahwa Uni Eropa mengadopsi DDA sebagai kelanjutan dari komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris yang lebih menekankan pada pengurangan emisi gas rumah kaca.

Sementara pendekatan yang dilakukan Indonesia adalah untuk mendukung pencapaian UN SDG 2030. Meskipun pada dasarnya baik Indonesia maupun Uni Eropa juga mendukung Perjanjian Paris maupun UN SDG’s.

Untuk itu dipandang perlu menyusun platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia melalui narasi Gastro-Diplomacy yang berjalan seiring dengan platform UN SDGs.

Gastro-Diplomacy adalah kependekan dari Gastronomi Diplomasi yang dalam pemahaman lain disebut sebagai Diplomasi Melalui Makanan.

Gastro-Diplomacy merupakan cabang lain dari Diplomasi (atau Diplomasi Publik), di mana soft power digunakan sebagai alat perang.

Pada hakekatnya, Gastronomi Diplomasi adalah tindakan memenangkan hati dan pikiran melalui perut yang menggunakan makanan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan harapan meningkatkan interaksi dan kerjasama.

Makanan (boga) digunakan untuk menunjukkan wibawa, prestise & image suatu negara di mata dunia, yang nota bene bernuansa dapat menaikkan brand power equity negara yang bersangkutan.

Makanan dimanfaatkan menjadi lambang identitas nasional, yang mana representasi ini bertujuan untuk mencapai nilai-nilai ekonomi melalui pengakuan global.

Dalam keseharian dunia bisnis, makanan (boga) kerap dipakai sebagai bagian dari entertainment karena merupakan strategi atau taktik dari lobi dan negosiasi yang dilakukan untuk menghasilkan target usaha dagang.

Gastro-Diplomacy terkait dengan pengenalan & pertukaran budaya boga dalam ruang lingkup tidak resmi kepada masyarakat kebanyakan. Dikenal dengan istilah grass-root cuisine yang merupakan praktik kontak langsung (people to people contact) pada level masyarakat umum (publik).

Bentuk aksinya dilakukan melalui makanan jajanan jalanan (street food), rumah makan, restoran, maupun acara festival makanan (boga & upaboga) serta kunjungan pariwisata.

Usulan platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia adalah melalui narasi Gastro-Diplomacy dengan cara intrusi atau penerobosan langsung melakukan sosialisasi & promosi minyak makan sawit ke pangsa pasar di dunia dan atau di negara-negara pesaing.

Gastro-Diplomacy dapat menjadi inovasi di luar kotak (out of the box) dari instrumen yang selama ini digunakan Indonesia menghadapi black campaign palm oil dari kalangan tertentu di negara-negara Uni Eropa.

Metode out of the box dapat menciptakan pemikiran yang tidak biasa dan mengandung inovasi sehingga mereka dapat keluar dari kotak dengan melihat ke dalam lebih baik.

Dengan berpikir di luar kotak, lebih mudah untuk melihat tantangan, melihat solusi yang berbeda dan melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda.

Menggunakan metode out of the box memang tidak mudah, dalam arti bisa keluar dari cara konvensional dan melihat semuanya dari perspektif yang berbeda akan mampu menghasilkan inovasi dan solusi yang tepat.

Gastro-Diplomacy adalah bentuk diplomasi positif; yang dengan manfaat dan kemampuannya dapat memberi pemahaman "di luar kotak” bahwa minyak sawit sebagai minyak nabati terbukti tidak berbahaya (karsinogenik).

Contoh Gastro-Diplomacy dengan memilih lokasi prime area & strategis di negara-negara Uni Eropa untuk mempromosikan penggunaan minyak makan sawit dalam hidangan makanan.

Umpamanya membuka loket atau kios makanan Nusantara di airport - airport negara bersangkutan dengan daya tarik kopi & teh Indonesia namun menyajikan masakan makanan yang menggunakan minyak makan sawit.

Dengan hadir langsung di negara bersangkutan, apalagi di lokasi prime area & strategis,  seperti di airport setempat dimana manusia dari seluruh dunia berseliweran, akan lebih terasa dan lebih mengena brand power Indonesia, khususnya dalam mengatasi masalah black campaign palm oil.

Contoh Gastro-Diplomacy lainnya adalah hadir dalam acara-acara festival makakan (boga) & gastronomi kelas dunia antara di negara-negara Uni Eropa & Amerika, di mana Indonesia berpartisipasi sebagai pembicara dan melakukan atraksi demo masakan menggunakan minyak makan sawit.

Festival seperti di Madrid Fusion (Spain), Gastro Festival (Spain), San Sebastian Gastronomika (Spain), Internationale Tourismus-Börse (Germany), Les Etoiles de Mougins (France), Fête de la Gastronomie (France), Gastronomie Jaarbeurs (Netherlands), World Expo Milano (Italia), Salon de Gourmets (Spain), Expogast (Luxembourg), Bocuse d'Or or the Concours mondial de la cuisine (France), and The International Exhibition of Culinary Art or Internationale Kochkunst Ausstellung (Germany).

Contoh Gastro-Diplomacy berikutnya adalah dengan hadir langsung (directly present) di pasar dunia khususnya di negara-negara Uni Eropa yang selama ini kalangan tertentu melakukan black campaign terhadap sawit Indonesia.

Hadir langsung dalam arti buka kantor perwakilan di beberapa negara bersangkutan, khususnya Eropa Barat, untuk melakukan lobby tingkat atas dengan assign perusahaan atau tokoh lobbyist terbaik dunia, intelijen gathering & action, menggunakan influencer dan endorser, kampanye penggunaan minyak makan sawit dengan menyelenggarakan berbagai acara festival makanan Nusantara ke kalangan masyarakat bawah, aksi tindakan media dan lain sebagainya yang pada intinya adalah melakukan communication strategy yang lebih nyata dengan menggunakan perangkat gastronomi sebagai instrumen diplomasi.

Perangkat Gastro-Diplomacy yang digunakan adalah :

1.   Gastronomi Konvensional (Popular) diperuntukkan bagi masyarakat kalangan bawah (atau kebanyakan) dengan jenis makanan (boga) grass root cuisine.

Bentuk aksinya dilakukan melalui makanan jajanan jalanan (street food), rumah makan, restoran, maupun acara festival makanan serta kunjungan pariwisata.

2.   Gastronomy Luxury diperuntukkan bagi masyarakat kalangan atas (high end) dengan jenis makanan (boga) serupa dengan Culinary-Diplomacy (high level cuisine), namun jenisnya hanya berupa Adiboga (fine dine)  tanpa Andrawina (official banquet)

Bentuk aksinya dilakukan melalui perjamuan atau perhelatan makan Adiboga

3.   Culinary Diplomacy terkait dengan pengenalan & pertukaran budaya boga dalam ruang lingkup resmi di meja perundingan oleh kalangan elit politik Pemerintahan (atau melalui perwakilan negara) dengan counterpartnya di luar negeri. Dikenal dengan istilah perjamuan makan Adrawina Adiboga.

Andrawina (official banquet) Adiboga (fine dine) adalah seni memasak tingkat tinggi (high level cuisine).

Culinary-Diplomacy terkait dengan aktifitas lobi, negosiasi & upacara diplomatik kenegaraan (state diplomatic ceremonial).

Contoh terakhir Gastro-Diplomacy adalah melibatkan influencer dan endorser terkenal melakukan soft counter terhadap black campaign palm oil yang dengan sengaja dilakukan negara-negara barat sebagai bentuk kampanye negative untuk memperlemah industri sawit Indonesia.

Pesan influencer dan endorser kepada masyarakat global adalah untuk membangun citra minyak sawit, yang tidak mengandung kolesterol dan zat negatif lainnya, seperti asam lemak jenuh & lemak trans. Selain memberi suara kepada masyarakat dunia bahwa mereka bebas untuk makan apa pun yang mereka inginkan, termasuk minyak makan berbasis sawit.

Pemberdayaan minyak makan sawit melalui Gastro-Diplomacy dapat memberi pengertian bahwa sawit adalah sumber utama minyak nabati masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Melalui Gastro-Diplomacy para influencer dan endorser dapat memberi pencerahan bahwa industri minyak sawit menjadi lokomotif penghasil devisa terbesar perekonomian negara serta penyerapan tenaga kerja, khususnya dalam industri makanan & minuman Indonesia.

Kontribusi perkebunan minyak sawit dengan pola kemitraan telah membawa petani Indonesia keluar dari kantong kemiskinan dan keterbelakangan menjadi masyarakat kelas menengah serta menjadi tulang punggung roda pembangunan perekonomian daerah.

Industri minyak sawit adalah paradigma ketahanan pangan Indonesia mengingat merupakan komoditas strategis nasional penting yang berdaya saing & berkelanjutan, khususnya bagi kesejahteraan petani kecil (smallholders), dan pencapaian SDG’s, khususnya kepada negara-negara konsumen.

Kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia yang nilai ekspor produknya menyumbang devisa kepada negara sebesar USD 22,97 Milyar atau setara dengan Rupiah 300 Trilyun pada tahun 2017 (atau 12,3% dari total ekspor tahun 2016).

Rekor itu mengkukuhkan sawit sebagai industri penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia, jauh melampaui ekspor migas & ekspor lima komoditas perkebunan utama Indonesia lainnya yakni seperti karet, kakao, kopi, tebu & teh.

Negara Malaysia sudah melakukan itu dengan melibatkan orang-orang ternama (artis atau olah ragawan dan lain sebagainya) sebagai influencer dan endorser, termasuk Perdana Menteri Mahathir sendiri bicara secara viral di berbagai prime media dunia.

Sebagai kata penutup, Indonesia harus mempertimbangkan penggunaan Gastro-Diplomacy sebagai instrument baru dalam menghadapi isyu-isyu kelapa sawit, khususnya di negara-negara dari kompetisi perdagangan tersebut.

Artinya dalam Gastro-Diplomacy berbagai seni dapur masakan dan hidangan Nusantara Indonesia yang menggunakan minyak makan sawit ditampilkan.

Jakarta, 1 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association













                         











Sunday, 22 September 2019

EXPO MILAN 2015: Dialog GastroDiplomasi Melalui Makanan


Expo 2015 adalah World Expo yang pernah diselenggarakan oleh pemerintah kota Milan, Italia.  Acara enam bulan ini dibuka pada tanggal 1 Mei dan ditutup pada tanggal 31 Oktober tahun 2015 dengan tema "Feeding the Planet, Energy for Life" (Memberi Makan Planet, Energi untuk Kehidupan).

Expo 2015 menampilkan pameran yang dipresentasikan oleh 145 negara dan mampu menarik 20 juta pengunjung, sekitar sepertiganya dari luar Italia. World Expo, juga dikenal sebagai "pameran dunia", adalah panggung besar di mana negara-negara berkumpul bersama untuk memamerkan inovasi teknologi dan budaya nasional kepada masyarakat luas.

Milan menyelenggarakan eksposisi ini untuk kedua kalinya; yang pertama adalah Milan International 1906. Perjalanannya dapat ditelusuri kembali ke tahun 1851, ketika London menjadi tuan rumah “Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations” (Pameran Besar Karya Industri Semua Bangsa).

Shanghai pun pernah menjadi tuan rumah Expo terakhir pada tahun 2010, yang terbesar dalam sejarah Expo dalam hal partisipasi peserta (190 negara) dan kehadiran pengunjung (73 juta). Tahun 2015 adalah kedua kalinya Milan menjadi tuan rumah pertemuan semacam itu; yang terakhir adalah Milan International Great Expo of Work pada tahun 1906. Memang Ekspo Milan menawarkan pengingat yang jelas kepada dunia tentang mengapa lembaga bersejarah ini masih penting hingga abad ke-21.

World Expo adalah kegiatan banyak hal. Dari forum dialog, acara festival makanan, demo memasak, seni tarian, seni busana, seni musik, dan paviliun pameran, dengan beragam pemain maupun atraksinya. Partisipasi atau keikutsertaan mulai dari pengelola pemerintah kota dan kabupaten, organisasi transnasional sampai ke perusahaan bisnis maupun entitas non-pemerintah. Di Expo 2015  identitas negara dan paviliun tetap menjadi fitur utama dan partisipasi masyarakat merupakan misi inti.

Oleh karena itu, World Expo adalah platform untuk diplomasi publik melalui instrumen GastroDiplomasi. Di sini secara luas didefinisikan sebagai keterlibatan negara dengan publik asing untuk komunikasi yang lebih baik dan hubungan yang diinginkan. Acara ini memfasilitasi transfer dan transformasi budaya, karena negara-negara membawa budaya mereka ke dalam kontak langsung dengan publik asing. Aspek Expo ini sangat menyentuh mengingat kebanyakan dihadiri pengunjung kelas menengah global yang semakin mobile.

Seperti acara-mega lainnya, World Expo membantu memberi sorotan kepada tuan rumah. Selain prestise yang terkait dengan menjadi tuan rumah,  acara ini juga memberikan peluang bagi negara-negara peserta untuk memproyeksikan citra dan identitas mereka kepada audiens internasional yang lebih luas melalui paviliun nasional. Bagi sebagian besar negara peserta, World Expo tetap menjadi ajang promosi tunggal terbesar dari suatu negara di luar perbatasannya sendiri.

Expo ini juga merupakan momen komunal global yang unik. Berbeda dengan Olimpiade atau Piala Dunia FIFA, Expo bukanlah "acara media". Pemandangan ini harus dirasakan dan dialami langsung saat "berada di sana", apalagi sebagai pejalan kaki di taman dan dengan terbenam di dalam ruang paviliun peserta.

Ini mewujudkan bentuk unsur komunikasi manusia melalui gerakan fisik. Ketika kita semakin hidup di dunia digital, kehadiran fisik dan pengalaman multi-indera tampaknya mendapatkan mata uang baru.

Apalagi Expo tidak hanya untuk dialami, tetapi juga untuk diingat. Karena World Expo adalah kejadian sosial temporal yang terkonsentrasi, dimana acara besar ini memukau perhatian dan daya tarik pengunjung. Sementara dengan pengalaman langsung hadir di Expo, kesan seseorang itu bisa tahan lama.

Acara Expo di desain untuk lebih merayakan sesuatu yang reflektif & kooperatif, bukan sebaliknya. Kesemarakan Expo yang memberi nuansa santai menjadikan masing-masing paviliun nasional berwujud seperti ruang normatif dalam konteks kosmopolitanisme, karena melibatkan masyarakat manca negara dalam gagasan dan cita-cita negara untuk membangun kesadaran dan pemahaman kebersamaan dunia.

Area ajang Expo adalah zona kompetitif, dengan setiap negara berusaha menghadirkan yang terbaik dari dirinya kepada dunia. Tapi adalah ruang "bebas konflik", tanpa negara mana pun menyatakan superioritas nasional atau budaya. Bisa dikatakan, World Expo mewakili sebuah aktifitas berpolitik rendah (low political activity) di arena global.

Adalah tradisi di Expo bahwa setiap acara memiliki tema. Milan Expo 2015 fokus pada isu seputar makanan. Mulai dari mengeksplorasi sejarah, budaya dan teknologinya, hingga mengatasi kelaparan, nutrisi, hygenitas dan obesitas. Setiap negara peserta membagikan asal usul kultur makanan nasionalnya serta keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang mendasari.

Para pengunjung disuguhi kisah-kisah cerita nasional ini. Bagaimana mereka bersinggungan dan menyimpang dalam pengalaman subyektif tentang makanan, yang merupakan sebuah obyek biasa dalam kehidupan sehari-hari, namun begitu kuat dalam membentuk persepsi dan pemahaman tentang bangsa dan budaya dunia.

Sekarang pertanyaannya apakah  Pemerintah DKI Jakarta mampu menyelenggarakan acara seperti World Expo Milan. Paling tidak jangan bicara kelas dunia (world expo) dengan 6 (enam) bulan. Cukup setingkat nasional (national expo) dengan 1 (satu) bulan yang melibatkan peserta dari 554 pemerintah daerah Indonesia dan pengunjung seantero Nusantara yang hadir saat acaranya diselenggarakan di waktu liburan sekolah.

Kepentingannya untuk menyatukan kembali kebersamaan bangsa ini dan menghapus segala prasangka destruktif akibat ritme karnaval politik yang telah berjalan selama beberapa tahun lalu.

Semoga bermanfaat

Saturday, 21 September 2019

Mengatasi Prasangka Destruktif Melalui GastroDiplomacy


Ludwig Andreas Feuerbach, seorang filsuf, antropolog & gastrosophy Jerman dari abad ke -19 pernah menulis “Der mensch ist, was er ißt” ("A man is what he eats”). Pernyataan ini menyinggung fakta bahwa makanan yang dimakan seseorang memiliki efek pada kondisi pikiran dan kesejahteraan mereka (Marius Crous, 2012).

Relevansi pernyataan ini dalam istilah ilmiah tidak dapat diabaikan, namun ada banyak hal yang dapat dipelajari dari pernyataan itu di dalam perspektif politik, sosial dan diplomatik.

Mengingat bahwa “A man is what he eats", tidak perlu dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui Apa Pria Itu dengan memeriksa apa yang dia makan. Logika ini dirangkum oleh pengacara dan politisi Prancis abad ke-19 Jean Anthelme Brillat-Savarin ketika dia berkata, “Dis-moi ce que tu manges, je te dirai ce que tu es" ("Tell me what you eat, I'll tell you what you are").

Itu berarti kita dapat belajar tentang karakter orang, budaya orang, identitas nasional orang dengan menemukan seni dapur masakan mereka. Dalam menemukan budaya, seseorang mengembangkan pola pikir yang simpatik terhadap orang lain.

Mereka mulai berpikir tentang asal-usul makanan yang mereka hargai dan ini, seperti yang diakui Aristoteles, berfungsi untuk memperkuat ikatan dan mengurangi antagonisme (Sam Chapple-Sokol, 2013).

Untuk diketahui antagonis adalah kepribadian (perilaku) yang melawan karakter utama atau protagonis atau pertentangan antara dua paham yang saling berlawanan. Antagonis adalah nilai-nilai negatif, sedangkan protagonis adalah nilai-nilai positif.

Berbicara tentang antagonisme, Indonesia adalah contoh dari sebuah negara yang dapat dikatakan telah mengalami beberapa tingkat antagonisme sejak reformasi, dalam arti bahwa persepsinya dalam pandangan masyarakat barat terkadang kurang menguntungkan.

Fenomena antagonisme ini digambarkan oleh representasi negara Indonesia yang agak bias di media internasional alias dipandang dengan dua sisi mata yang berbeda. Representasinya di media telah berkontribusi untuk mengindoktrinasi stereotip kerusuhan, korupsi dan masyarakat dalam krisis yang mendalam.

Memang, kondisi-kondisi ini ada, namun beberapa negara - negara sahabat tidak memandang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sebagai sebuah persoalan serius. Meski tetap dianggap sebagai sebuah kekacauan, sejumlah negara melihat Indonesia masih dapat mengendalikan situasi tersebut. Mereka menyebutnya sebagai 'riot' kalau diikuti di media. Tapi, dunia internasional melihat situasi itu so far porsinya pas.

Disamping dunia barat tidak menceritakan keseluruhan cerita yang ada. Aspek positif lainnya seperti iklim demokrasi yang tumbuh dengan baik, Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan, ancaman radikalisme & terorisme dapat ditangani melalui pendekatan kultural dan keagamaan, pemberantasan korupsi yang signifikan, pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan, pemberdayaan ekonomi yang inklusif, warisan budaya yang kaya, dan kelas menengah yang tumbuh cepat.

Saya berpendapat bahwa makanan memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi ini, yang bisa menjadi modal besar bagi Indonesia di mata internasional. Apalagi kalau bisa menempatkan modal besar itu sebagai landasan dalam politik global bahwa Indonesia adalah negara Islam dan negara demokrasi terbesar di dunia.

Makanan, yakni melalui GastroDiplomacy, memiliki potensi untuk mengubah persepsi, dan menempatkan identitas negara di benak populasi negara lain, dan bagaimana negara memanfaatkannya untuk menempatkan dirinya pada peta signifikansi global.

Makanan adalah bagian sentral dari kehidupan. Dalam arti yang sangat mendasar, setiap organisme hidup untuk makanan dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Ini bahkan lebih benar bagi manusia. Makanan memberi manusia energi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup setiap hari.

Namun, bagaimana makanan dibuat sangat bervariasi karena banyaknya variasi bahan yang tersedia di dunia. Selain itu variasi lain adalah budaya. Makanan menjadi bentuk dari budaya, berarti makanan dapat juga digunakan dalam konteks diplomasi dan memang demikian adanya, karena makanan telah menjadi instrumen lobi & negosiasi diplomatik selama berabad-abad.

Sejarah mengajarkan bahwa faksi-faksi yang saling bertikai, diselesaikan melalui upacara rumit dengan menyajikan makanan, sehingga dapat memutuskan bagaimana gencatan senjata bisa dicapai dan perbedaan direkonsiliasi. Francois de Callières (1645-1717), salah satu sarjana pertama praktik diplomatik, dalam bukunya De la Manière de Négocier Avec Les Souverains, mengakui kekuatan strategis makanan dalam diplomasi :  “A good table is the best and the easiest way of keeping oneself informed [as a diplomat], … when people are a coaxed by wine they often disclose important secrets" (Geoff Berridge, 2010).

Aspek makanan sebagai alat untuk saluran protokol & instrumen diplomatik adalah GastroDiplomacy (diplomasi upaboga) & Culinary Diplomacy (diplomasi boga).

Relevansi makanan dalam hubungan diplomatik dilakukan dengan berbagai cara yang dapat dikelompokkan konsepnya dalam dua kategori berbeda, yakni Gastronomy Diplomacy atau GastroDiplomacy (diplomasi upaboga) & Culinary Diplomacy (diplomasi boga). Keduanya berinduk kepada atau merupakan turunan dari Food Diplomacy (diplomasi makanan).

Culinary Diplomacy dan GastroDiplomacy mungkin tampak memiliki kesamaan semantik, namun, Chapple-Sokol (2013) mengingatkan bahwa dua konsep ini cukup berbeda untuk menjamin kosa kata yang terpisah. Perbedaan utama antara kedua konsep ini adalah ruang lingkup di mana masing-masing terjadi, yakni pribadi vs publik (private vs public).

Chapple-Sokol (2013) menyoroti penggunaan pribadi makanan dalam diplomasi, mempertimbangkan kerja seorang diplomat walaupun utamanya didominasi tugas formal mereka memiliki beberapa tugas informal, seperti menghadiri makan malam kenegaraan dan makan siang bilateral.

Kegiatan berbagai aktifitas makanan ini merupakan bagian dari tugas seorang diplomat untuk membina hubungan internasional. Saat menghadiri makan malam dan makan siang tingkat tinggi (high-level cuisine), detail merupakan sangat penting karena menu dibuat dengan cermat untuk mencerminkan masakan nasional dari pihak-pihak yang terlibat.

Seseorang bahkan dapat membedakan suasana hubungan bilateral dari mengamati detail protokol seperti pengaturan tempat duduk. Penggunaan makanan pribadi ini dalam diplomasi dapat didefinisikan sebagai Culinary Diplomacy (diplomasi boga) yang terjadi di balik pintu tertutup dan dilakukan dengan counterpart sang diplomat.

Konsep lain adalah Gastronomy Diplomacy atau GastroDiplomacy (diplomasi upaboga), lebih berkaitan dengan bagaimana suatu pemerintah menggunakan makanan nasionalnya sebagai alat pencitraan diplomasi publik untuk mendapatkan pengakuan global melalui program penjangkauan boga (grass root cuisine) yang ditujukan untuk masyarakat kebanyakan (publik) di suatu negara.

Rockower (2014) mendefinisikannya secara ringkas GastroDiplomacy sebagai berikut: "GastroDiplomacy berupaya meningkatkan image (branding) edible nation brand melalui diplomasi budaya yang menyoroti dan mempromosikan kesadaran dan pemahaman budaya boga nasional kepada sejumlah besar publik di suatu negara."

Strategi ini bukan novel atau kiasan belaka. GastroDiplomacy terbukti sebagai solusi yang telah berhasil digunakan menjangkau publik di seluruh dunia sebagai upaya untuk mengesankan perubahan persepsi salah arah (mispersepsi) orang tentang satu negara atau bangsa.

Bisa dikatakan GastroDiplomacy sangat efektif dimanfaatkan untuk mengubah persepsi masyarakat menengah & ke bawah. Kesuksesan Thailand, Korea Selatan, Malaysia dan negara tetangga lainnya adalah cerita dari kesuksesan itu.

Selain berhasil mengubah persepsi, GastroDiplomacy juga mempengaruhi banyak orang untuk bepergian ke negara yang masakannya mereka nikmati atau mereka berpikir untuk bepergian ke suatu negara berdasarkan makanan yang telah pernah nikmati. Ini terjadi karena rasa penasaran yang merupakan kecenderungan alami manusia untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa yang pernah mereka makan, termasuk sejarah & budayanya.
Bentuk ketertarikan inilah yang dibutuhkan suatu negara, yang telah menjadi korban representasi media, dengan mengalihkan fokus masyarakat setempat ke kisah nyata yang lain yakni perdamaian, keindahan budaya & keramahtamahan masyarakat. Indonesia, misalnya, memiliki banyak keuntungan dari bentuk diplomasi budaya ini.

Indonesia harus dapat menghadapi representasi negatif terhadap negaranya di panggung global, karena penggambaran metaforis bangsa Indonesia oleh media barat telah berdampak pada tingkat ekonomi, bisnis, investasi, sosial dan bahkan lokal.

Melalui penggunaan GastroDiplomacy sebagai prakarsa branding bangsa, yang memiliki masakan sebagai elemen inti, Indonesia dapat memperbaiki citra yang agak bias selama ini, yang berbicara melalui makanan dan seni masakannya. Dengan mengadopsi inisiatif GastroDiplomacy, Indonesia memiliki banyak hal ditawarkan kepada dunia.

GastroDiplomacy adalah konsep yang memiliki implikasi nyata terhadap opini publik internasional. Ia memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi, meningkatkan pengakuan dan menarik perhatian wisatawan untuk keuntungan ekonomi.

Bentuk diplomasi budaya ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia sendiri, dengan sumber daya yang tersedia, melakukan berbagai inisiatif diplomasi publik secara bersamaan dengan Pemerintah. Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dengan Pemerintah untuk membangun persepsi positif pada sistem global dan dalam mempengaruhi publik asing bersimpati dengan negeri ini.

Pemerintah perlu secara aktif mempertimbangkan & merumuskan dalam kepentingan kebijakannya berinvestasi dalam agenda branding bangsa melalui boga sebagai elemen inti. Namun mungkin ada tantangan, karena boleh jadi rumit untuk menentukan apa yang merupakan identitas boga nasional negeri ini.

Akan tetapi pada awalnya kemajuan selalu dapat dicapai, umpamanya melalui penciptaan buku seni memasak dalam berbagai bahasa asing yang merinci seni dapur masakan Indonesia dan akan menjadi daya tarik negara & masyarakat tertentu.

Perwakilan Indonesia di luar negeri dapat menyebar luaskan buku seni masakan itu secara gratis kepada publik dan atau sentra-sentra jaringan masyarakat setempat sebagai promosi GastroDiplomasi negara Indonesia.

Dengan cara ini, Indonesia bisa menyentuh hati orang-orang di seluruh dunia melalui perut mereka.

Semoga bermanfaat
Tabek
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association

Referensi Artikel:
1. Chapple-Sokol, Sam : "Culinary Diplomacy: Breaking Bread To Win Hearts & Minds", The Hague Journal of Diplomacy 8, no. 2 (1 January 2013):
2. Geoff Berridge : "Diplomacy: Theory & Practice", 4th ed (Houndmills, Basingstoke, Hampshire; New York: Palgrave Macmillan, 2010)
3. Iver B. Neumann : "Diplomatic Sites: A Critical Enquiry, Crises In World Politics", (London: Hurst & Company, 2013)
4. Marius Crous : "Der Mensch Ist Was Er Isst (Feuerbach) -Texts On Food, The Eating Process & The Philosophy Of Recipes",  Journal of Literary Studies 28, no. 1 (1 March 2012)
5. Paul Rockower : "The State Of Gastrodiplomacy", Public Diplomacy Magazine, 2014.

Friday, 20 September 2019

Pertalian Mode & Boga

PENDAHULUAN
Industri fashion telah menjadi sangat jenuh, sehingga untuk memperkuat pemasaran mereka, merek-merek (brand) mewah mulai menawarkan pengalaman baru secara 360 derajat. Fashion tidak lagi cukup menjadi chic, elegant atau avant-garde, tetapi harus ada pesan pembelajaran lain kepada pelanggan tentang apa yang layak mereka dapatkan. Dan itu bisa didapatkan melalui makanan, di mana pergi makan dalam bagaimana kepentingan mempertahankan status gaya kehidupan.

Merek fashion dunia mulai menggunakan makanan premium (gastronomi) untuk memperkuat pesan itu secara luas dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Makanan seperti fashion. Aspiratif keduanya memberi kesadaran bagi konsumen dalam pilihan mereka dan sebagai konsekuensinya mereka didorong menjadi peduli dengan tren modis yang cenderung membeli gaya hidup dan ingin memproyeksikan citra tertentu tentang diri mereka sendiri. Dunia makanan memainkan peran besar dalam pesan ini, baik apa yang dimasak di rumah maupun di mana memilih untuk makan di luar (India, 2016)

Perancang fesyen  menyadari setiap elemen pengalaman pelanggan sangat penting dan selalu berusaha memonopoli gerakan ini untuk menjadikan merek (brand) mereka sebagai gaya hidup masyarakat. Bisa dikatakan makanan sekarang menjadi simbol status masyarakat dunia, dan ini disadari para perancang fesyen, terutama untuk kepentingan terhadap masyarakat kalangan atas.

Ini adalah langkah logis jika melihatnya dari sudut pandang bisnis. Belum lama ini, merek-merek (brand) fesyen terkenal, yang awal mula sekedar mendesain pakaian, aksesoris, kosmetik dan rias, dengan serta merta cepat menggandeng makanan, sebagai cara mendiversifikasi kekuatan pasar dan juga untuk mencapai target yang lebih luas. Cara pertumbuhan organik ini dapat memperkuat citra merek dan menunjukkan kepiawaian perusahaan sebagai konglomerat yang kuat. (Andrea Blasco, 2016).

MAKAN BERSAMA DI LUAR
Sejak 30 (tiga puluh) tahun terakhir, makan bersama di luar tetap menjadi pilihan favorit masyarakat barat. Banyak waktu dihabiskan untuk bersantai melalui makan bersama, berarti semakin banyak pengeluaran yang mereka lakukan. Pendapatan riel sektor makanan & minuman di masyarakat barat (restoran, rumah makan dan lain sebagainya) tumbuh sebesar 2,6% pada tahun 2015 mencapai £ 35,7 miliar dan setiap tahun meningkat prorata 2,5% - 3,5%.

Pada awalnya, orang makan di luar karena sesuatu keperluan pribadi. Sekarang ini bahkan lebih daripada itu. Makan di luar dianggap pula sebagai acara seremonial kebersamaan.  Pada dasarnya ada dua jenis makan di luar, yakni untuk menghibur diri sendiri dan menghibur orang lain.

Begitu pesatnya dibudidayakan makan bersama di luar menunjukkan bahwa seseorang berada di atas perkembangan kosmopolitan yang kompleks, di mana makan bersama di luar telah menjadi metafora. Namun, keterjangkauan tempat lokasi tetap menjadi pertimbangan utama, yang akan dapat membantu memandu & tumbuhnya tempat makan santai (Mintel, 2016).

Sejak awal abad kedua puluh, makan bersama di luar memungkinkan terciptanya ruang sosial yang menjadi perhatian utama para perancang fesyen & pengelola departemen store. Namun, itu bukan hal baru dan ini sudah ada sejak lama. Yang berubah adalah konsumennya, yakni dengan kehadiran Generasi Millennials, mereka yang berusia awal 20-an hingga pertengahan 30-an, dijuluki generasi "foodie", adalah "prosumers" gastronomi yang gemar akan kelezatan makanan & minuman dengan suasana dan rasa yang menyenangkan. (Pandora Sykes, 2016).

Mereka kerap disebut sebagai "degustatory" yang merupakan penanda status sosial baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Generasi Millenial haus akan kenyamanan makan lebih sering daripada Generasi X atau Baby Boomers, dengan 53% makan di luar seminggu sekali, dibandingkan dengan 43% dari populasi umum.

Degustatory atau degustation adalah gaya dan tata cara mencicipi secara seksama berbagai masakan boga tinggi (high level cuisine), apresiatif, berfokus pada sistem gustatory, sensor panca budi indriya (melihat melalui indra mata, mengecap melalui indra lidah, merasakan aroma melalui indra hidung, mendengar melalui indra telinga & merasakan melalui indra peraba), dan pastinya teman yang baik. Biasanya seni masakan boga yang tinggi terdiri dari delapan kursus atau lebih, mungkin disertai dengan sari minuman anggur yang cocok yang melengkapi setiap hidangan.

Akibatnya, makanan bersama di luar, khususnya ala gastronomi,  telah menjadi simbol status baru dan bentuk mata uang sosial, yang disimpulkan dengan indah oleh Rebecca Johnson sebagai: "Melayani pelanggan dengan makan bersama  memberi perusahaan mode cara lain untuk menunjukkan identitas & selera mereka yang sempurna, dengan menciptakan lingkungan merek (brand) yang benar-benar dikonsumsi konsumen".

Ini menciptakan peluang bagi perancang busana dunia dimana merek (brand) bisa disandingkan bersama makan bersama ala gastronomi, seperti salah satunya menjual dengan tagline "Doesn’t Prada taste delicious?"

Banyak lagi tema tagline menjual seperti antara lain (Johnson, 2016) :

“Your £2000 bag may be made in a factory miles away, but you can witness the skill of a barman mix a Prada cocktail in the high kitsch, ice cream-hued environs of Wes Anderson’s fantasy of mid-century Milanese café, Bar Luce".

"You may not be able to afford the £600 shoes at Gucci, but you can order a plate of Tuscan cured salami surrounded by people who can and feel like one of them".

"Eat a delicious lobster salad at the table of your favourite brand and you allow them to pleasure and nourish your body while you gaze at the latest bag.”

DAMPAK BOGA TERHADAP BUSANA
Ketika perancang fesyen berusaha menawarkan dimensi pengalaman & kenyamanan kepada konsumennya, yang tidak dapat direplikasi oleh pesaing lain, pilihannya adalah kepada boga premium ala gastronomi. Kenyamanan yang sangat bergaya ini semakin bermunculan mulai dari lokasi ritel yang modis, dari rantai nama besar hingga skala kecil merek independen.

Sejak tahun 1980-an, label mode mewah telah mencoba bisnis restoran dengan menampilkan keramah-tamahan perancang dalam menjual busana yang ditemani melalui boga premium ala gastronomi. Beberapa di antaranya seperti :

--- Giorgio Armani membuka restoran pertamanya pada tahun 1989. Malah sekarang membangun kafe atau hotel dengan nama portofolio merek pakaian mereka dipandang sebagai perkembangan alami yang sangat menjanjikan. Merek-merek seperti Cavalli, Bulgari dan Versace pun ikut mengoperasikan beberapa restoran & hotel ternama di dunia atas nama merek mereka.

--- Burberry adalah merek mewah dengan sensibilitas yang khas, pengakuan internasional yang kuat, dan indera merek yang berbeda. Meluncurkan pos makanan pertama pada tahun 2014 dengan sebuah kafe bernama Thomas, yang terletak di toko Regent Street. Kafe Burberry Thomas adalah perpaduan yang menunjukkan silsilah mereka melalui hubungan (relasi) merek dengan konsumen dan yang selalu menjadi suatu tujuan bagi pelanggan datang.

Dengan mengintegrasikan restoran di lokasi ritel yang ada dan membentenginya dengan bagian hadiahnya sendiri, Burberry menggunakan kafe sebagai cara menjaga pelanggan di toko lebih lama untuk memaksimalkan peluang pembelian. Kafe ini juga memiliki ruang monogram sehingga pelanggan Burberry dapat memiliki barang-barang kulit mereka yang dipersonalisasi sambil menyesap kopi, serta area hadiah.

Burberry ingin menciptakan ruang dimana pelanggan dapat menghabiskan waktu bersantai dan menikmati dunia Burberry di lingkungan yang lebih sosial (Christopher Bailey, 2016)

Bisa dikatakan motivasi perancang fesyen membuka ruang bisnis mereka dengan tampilan restoran, kafe dan bar adalah untuk menciptakan kegembiraan pada saat pelanggan mengunjungi toko mereka. Alasannya menjual produk saja tidak cukup atraktif, maka harus diciptakan sesuatu yang lebih dari pada produk dengan tujuan untuk menjaga pelanggan dan meningkatkan waktu tinggal dan memberi mereka alasan untuk kembali.

Konsumen mencari pengalaman belanja yang lebih menarik dan berkesan. Jika perancang fesyen dapat memikat mereka dengan elemen pengalaman makan bersama seperti di restoran dan kafe, dengan demikian akan meningkatkan waktu tinggal, pastinya akan meningkatkan penjualan. Jika Anda, sebagai produsen dapat membuat pelanggan menghabiskan   lebih banyak waktu dengan Anda, maka tentu saja mereka akan menghabiskan lebih banyak uang juga. (Huffington Post, 2016)

Tetapi mengapa perancang fesyen begitu ingin meningkatkan pengalaman pelanggannya di toko mereka dengan makanan? Karena pangsa pasar yang mereka masuki cukup besar. Di AS, sektor dining out terus melaporkan pertumbuhan yang kuat, dengan penjualan diperkirakan mencapai US$482 miliar pada 2014, naik dari US$395 miliar pada 2009 (Business of Fashion).

Disamping itu dunia fesyen juga menggunakan industri kreatif dalam meningkatkan permainan mereka dengan campuran baru eksplorasi erotis dan budaya makanan ala gastronomi dengan menerapkannya ke dalam strategi merek (branding). Gaya makan bersama menjadi sensual dan visceral, dipengaruhi oleh meningkatnya minat pada fenomena sensorik yang tidak biasa dan kontennya menggabungkan keahlian memasak canggih dengan fetisisme gastronomi.

Malah ada yang menggunakan metafora seksual dan deskripsi yang sangat sensoris sebagai referensi erotis untuk menggambarkan makanan yang dianggap mahal. Ini adalah deskripsi bahasa sensual, padat dan menyengat yang digunakan untuk menggambarkan tekstur makanan yang bervariasi, meskipun cenderung menekankan perasaan lembut dan kaya saat dicicipi di mulut.

Fetisisme gastronomi mencerminkan hubungan manusia dengan makanan. Ini bukan hanya pilihan bahasa, tetapi merepresentasikan makanan dalam budaya. Industriawan kreatif dan para stylist semakin merujuk pada citra sensual dan erotis makanan dengan maksud menggambar hubungan antara praktik fetisistik yang berkaitan dengan tubuh dan tindakan persiapan dan pencicipan makanan (LSN, 2016).

Semua penjelajahan fetisisme gastronomi ini memahami nilai jimat dengan melepaskan diri dari tekanan kehidupan sehari-hari, memberikan pelepasan yang kuat akan kecemasan dan kebutuhan emosional. Pilihan linguistik itu adalah alat yang ampuh dalam membentuk persepsi terhadap makanan. Fokus pada deskripsi sensual tekstur makanan & busana untuk membangkitkan konotasi dengan kesenangan fisik.

Di Korea Selatan para perancang fesyen & pengelola departemen store menggunakan Mukbang sebagai alat pemasaran dari produk mereka. Mukbang (atau meokbang) adalah sebuah siaran langsung rekaman visual daring dimana seorang pemandu acara memakan sejumlah besar makanan saat berinteraksi dengan audiensnya. Biasanya dilakukan melalui webcast internet (platform siaran seperti Afreeca, Youtube, Twitch, dll). Mukbang menjadi populer di Korea Selatan pada tahun 2010an. Makanan dari pizza sampai bakmi disantap di depan kamera untuk audiens internet.

Memanfaat Mukbang sedemikian berkembang & kerap dimanfaatkan sebagai tren iklan menarik yang inspiratif dari dunia kaya eksentrik digital. Dalam penghormatan kepada gerakan budaya, Vogue Korea menciptakan versi couture haute couture lidah-di-pipi dari siaran Mukbang di mana mereka menunjukkan, close-up sensual dari model mulut yang berpesta di hidangan goreng membangkitkan referensi erotis.

KREATIFITAS BOGA & BUSANA
Pada hakekatnya, makanan menimbulkan banyak reaksi berbeda pada manusia. Beberapa tertarik oleh rasa, yang lain mungkin tergoda oleh aroma dan penampilan visualnya. Howard Coutts menggambarkan makan bersama di luar sebagai: "Tidak hanya tentang makan makanan, tetapi juga tentang tampilan yang rumit".

Perancang fesyen & pengelola departemen store mulai menggunakan makanan untuk menceritakan kisah, mengarang ingatan, dan membangun filosofi, seperti hubungan antara memasak, komunitas dan pengalaman.

Analisis primer eksperimental memberikan wawasan yang berguna tentang bagaimana mode sebagai inspirasi tidak berarti aturan saja. Mode atau busana lebih banyak bicara mengenai kebebasan untuk mengekspresikan kreatifitas dirinya, sesuai dengan visi seniman dan isi lemari pakaiannya.

Mungkin ini yang disadari perancang fesyen & pengelola departemen store, bahwa kejenuhan publik terhadap dunia fesyen semakin terasa dan mesti ada daya tarik (magnet) lainnya. Makanan adalah pilihan karena memiliki kemampuan untuk menarik semua panca indera manusia. Kombinasi warna, tekstur, aroma, dan selera digunakan untuk membuat makanan yang mana pemilihan dan transformasi elemen-elemen itu menjadi kreatif.

Bentuk panca indera memiliki kapasitas untuk mengekspresikan filsafat, menginspirasi banyak interpretasi, menyulap narasi dan menyinggung makna yang kompleks. Itu adalah seni yang tidak bisa digantikan oleh budaya lain manapun, dan wajar jika 2 (dua) budaya bersatu dalam simbol kemewahan, yakni boga dan busana.

Disamping itu, hubungan simetri antara busana dan boga tidak hanya semata pada acara makan bersama ala fine dine, tetapi juga ditampilkan dalam pertunjukkan di atas pentas catwalk. Contohnya Prada menyajikan es loli sebagai makanan kecil untuk pertunjukan Spring/Summer 2018 Menswear Collection, sementara Chanel terkenal menciptakan supermarket penuh dengan sajian makanan bermerek untuk koleksi Fall-Winter 2017/18 Ready-to-Wear.

Mengangkat tren ke status seni, penganan kreatif mulai memberikan wadah ukuran gigitan yang sempurna untuk mengomunikasikan pernyataan artistik melalui penggunaan warna, pola, dan bentuk (Bertie de Rougement, 2015). Sebagai contoh, Linus Morales menciptakan logo mewah untuk seri Fab Food yang terinspirasi seni pop.

Kasus lainnya adalah toko kue Ladurée yang bekerja sama dengan Marni memproduksi seri kotak edisi terbatas yang dihiasi dengan bintik-bintik polka dan applique bunga rumah mode. Rumah mode Florentine, Pucci, menghasilkan seri lemon dan mawar edisi terbatas yang dikemas dalam kotak bermotif Pucci.

Secara meyakinkan, semua merek (brand) akan selalu menginginkan produk yang mencerminkan sejarah dan warisan mereka dan akan berusaha menarik dan mengingatkan konsumen bahwa fashion dan makanan pasti akan menjadi bagian besar dari siapa diri mereka. Gaya modis bercerita tentang diri mereka, walaupun skenario ini bisa saja berubah setiap saat.

FIKSASI BUSANA DENGAN BOGA
Fiksasi adalah perasaan yang mendalam dari pribadi seseorang yang dirasakan kelima sensor panca budi indriya (melihat melalui indra mata, mengecap melalui indra lidah, merasakan aroma melalui indra hidung, mendengar melalui indra telinga & merasakan melalui indra peraba).

Dalam boga dikenal mitos "You Are What You Eat",  maka dalam busana dikenal pula "You Are What You Wear". Karena setiap orang harus makan, maka apa yang mereka makan menjadi simbol paling kuat tentang siapa dirinya.

Membedakan diri dari orang lain dengan apa yang akan dan tidak akan mereka makan adalah status sosial yang hampir sama kuatnya dengan tabu. Begitu pula juga dengan busana menjadi status sosial seseorang yang hampir sama dengan sebuah simbol.

Penggabungan makanan dan mode menghasilkan modifikasi gaya hidup. Evolusi telah memaksa fesyen meningkatkan daya saing mereka dengan mengeksplorasi komponen gaya hidup dengan menyatukan diri bersama simbol makanan. Seperti terlihat pada Hermès yang membuat sebuah kafe di toko Perancisnya.

Kolaborasi boga dan busana telah memperluas cita rasa melampaui apa yang dipakai orang dalam kehidupan mereka. Ini untuk menginspirasi seluruh bentuk & tindakan filosofis mereka terhadap masyarakat sekitarnya. Satu hal yang dapat diandalkan, terlepas dari pasang surutnya tren makanan dan mode, adalah kenikmatan yang datang dari menjalani gaya hidup yang penuh status simbol itu. Dari apa yang seseorang taruh dalam perut mereka hingga apa yang mereka letakkan di punggung mereka.

Tetapi dengan meningkatnya homogenitas mode berkat globalisasi dan masuknya ritel dengan cepat membuat gaya busana New York tidak jauh berbeda dengan London, maka makanan menjadi salah satu dari beberapa simbol status pembeda terakhir. Pada dasarnya ini adalah ekspresi pribadi dari kreatifitas.

Makanan, seperti juga mode, memiliki pemuja, tetapi dengan harga yang lebih terjangkau membuatnya lebih mudah untuk mencoba pengalaman baru dan mendefinisikan pengguna sebagai individu (Vogue, 2015). Refleksi ini juga terjadi pada busana mewah yang efeknya menjadi simbol status yang relatif terjangkau.

Walaupun sementara ini dilihat ritel fashion telah melunak, namun ritel makanan terus meningkat tajam, meskipun itu dalam masa-masa sulit. Belanja busana mewah tidak sepenuhnya hilang tetapi berubah menjadi sesuatu yang lain, dimana konsumen menganggapnya sementara ini untuk lebih menghemat biaya. Seorang konsumen menganggap lebih murah untuk memanjakan diri mereka dengan sebatang coklat gourmet daripada menghabiskan pakaian baru (Lucy Kebell, 2016)

MASA DEPAN KOEKSISTENSI BOGA & BUSANA
Meskipun saat ini hampir mustahil memprediksi koeksistensi & kelangengan antara makanan dan mode, namun ada elemen konklusif yang dapat menunjukkan perkembangan berkelanjutan dari makanan di industri fesyen. Memang secara eksklusif makanan telah mempengaruhi pasar busana, apalagi mendapatkan popularitasnya dengan menjadi lebih menarik bagi publik.

Perkawinan antara makanan dan mode selalu kembali kepada elemen fantasi dan merek (brand) bersangkutan untuk menyampaikan perasaan kemewahan yang dapat diakses dan juga diterjemahkan ke dalam produk (Graham, 2016). Perancang fesyen dan pengelola departemen store membuka pintu bagi konsumen untuk mengeksplorasi dan mengalami gaya dengan cara makan yang lain. Diperkirakan busana brand bermerek yang memasukkan makanan akan berkembang pada skala yang lebih tinggi di tahun-tahun mendatang (Rosie Jackson).

Pengaruh makanan juga diramalkan akan menjadi gaya hidup masyarakat di masa depan. Masakan dan fesyen selalu merupakan bentuk seni yang dapat mendorong hal-hal baru secara ekstrem, menumbangkan harapan kuno, menggabungkan yang akrab dengan cara yang provokatif. Mode dan makanan secara tradisional selalu berfokus kepada inovasi yang saling berkoeksistensi satu sama lain.

Belum pernah terjadi makanan dan mode bisa begitu saling dekat & bersatu mewakili lambang gaya hidup kelas atas (Graham, 2016). Adopsi makanan saat ini ke dalam ritel fesyen telah menjadi simbol kesenangan yang berlebihan dan konsumerisme, walaupun pemahaman konsumerisme itu menjadi semakin ambivalen.

Agar restoran dapat berkembang, maka brand busana bermerek harus dipertimbangkan penting dalam perjalanan emosional dan fisik masyarakat (Jane Brocket, editor makanan di The Guardian). Karena tidak lagi hanya cukup menawarkan produk busana atau layanan, fesyen merek harus membingkai penawaran mereka dalam gagasan peningkatan melalui makanan. Dengan demikian bisa dikatakan, merek (brand) fesyen telah menjadi pelopor tren di industri makanan, karena memiliki pengetahuan tentang pengalaman yang ingin mereka layani untuk konsumen mereka.

Melalui representasi makanan sebagai sumber energi dan sumber kesenangan, makanan dalam semua warna dan variasi teksturnya, dengan semua konotasi budaya dan sosialnya, telah menjadi aksesori utama untuk merek busana terkenal dan telah menjadi kendaraan untuk ekspresi identitas dan rasa. Osilasi yang menyenangkan antara seni tinggi dan rendah, kualitas dan kitsch, masakan gourmet dan makanan cepat saji adalah apa yang akan terus menyulut pesona industri fesyen dengan makanan.

Secara keseluruhan dapat dikatakan fesyen telah banyak mendapat keuntungan dari menggabungkan dirinya dengan busana demi menjaga harapan pelanggannya. Pertalian hubungan boga & busana memiliki dampak besar terhadap publik, yang mampu memberi pesan dan harapan gaya hidup yang lebih luas.

Fesyen & makanan pada dasarnya adalah kebutuhan manusia yang berhasil dikemas & dimodifikasi para perancang & pengelola departemen store menjadi sebuah karakteristik dalam meningkatkan integrasi kepribadian para konsumennya.

Di sisi lain kolaborasi boga & busana secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai dua pilar utama dari gaya hidup baru yang diikuti oleh banyak orang. Restoran & kafe adalah titik kontak utama dengan orang-orang yang rindu akan pengalaman baru dan di mana mereka dapat dididik maupun keinginan modis mereka dapat terpuaskan.

Pengalaman baru ini jarang ditemui di tempat lain dimana pertalian boga & busana dapat mengubah hidup masyarakat secara mendasar. Melalui makanan, para perancang fesyen dan pengelola departemen store, memberi pengalaman kepada konsumen menuju kehidupan yang ultra-modern dengan cara yang tak terlupakan.

Meskipun sulit untuk memprediksi masa depan makanan dalam kaitannya dengan fesyen dan pengaruhnya terhadap pemasaran, namun dampak global memberi petunjuk kuat bahwa gerakan ini akan terus berkembang ke tren yang lebih makro.

Artinya untuk kedepan harus dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang gaya hidup merek mode mewah dari makanan mewah (gastronomi). Hal ini perlu dipertimbangkan karena semakin memungkinkan para perancang & produsen fesyen terhubung erat dengan konsumen setia mereka.

Acara dan pameran busana dapat diadakan di restoran atau kafe perancang & produsen fesyen dengan menghadirkan elemen-elemen dari desain gastronomi kreatif mereka. Aktifitas ini dapat menunjukkan kesadaran kepada pemilik merek (brand), bahwa keberhasilan mengintegrasikan boga & busana bermakna besar terhadap klien yang setia untuk perubahan gaya sosial kehidupan mereka.

Semoga bermanfaat
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomi Association

GastroDiplomacy : Memenangkan Hati Melalui Perut


Makanan selalu menjadi pusat perayaan di keluarga. Dalam tradisi Islam, buka puasa bersama lebih dari sekadar makan. Kebersamaan itu adalah kesempatan untuk terhubung secara bathin dengan keluarga, dengan teman, dengan kenalan maupun dengan masyarakat sekelilingnya & dengan alasan untuk makan sampai Anda kenyang & berkeringat.

Tradisi ini juga ada di ragam budaya masyarakat nasrani, hindu, budha maupun lainnya dengan kisah atau cerita rakyatnya masing-masing. Semuanya kumpul saat makan bersama. Dalam retrospeksi saya, ini adalah wujud GastroDiplomacy di ruang yang kecil alias terbatas yang menikmati sajian makanan dengan kisah sejarah dan budaya masing-masing.

Paul Rockower menggambarkan gastrodiplomacy sebagai cara untuk menggunakan "Kelezatan makanan untuk menarik selera global, dan dengan demikian membantu meningkatkan kesadaran merek (image) dan reputasi suatu bangsa."

Hidangan Indonesia yang disajikan di berbagai manca negara adalah bagian besar dari diplomasi publik alias GastroDiplomacy, karena makanan yang disajikan terkait erat dengan sejarah Bangsa ini yang kaya, beragam wilayah, beragam suku, malah beragam agama. Satu gigitan, kuat dengan bumbu dan rasa yang berbeda, memikat esensi dari semangat dan budaya Indonesia.

Makanan adalah katalisator, tidak hanya bagi keluarga untuk berkumpul bersama, tetapi berbagi makanan sering kali menciptakan lingkungan bagi mitra bisnis, rekan kerja, pemimpin masyarakat, dan pendidik untuk bertukar gagasan. Bertukar pandangan untuk tujuan yang jauh lebih besar daripada sekedar bicara nutrisi dasar.

GastroDiplomacy  adalah alat penting dalam membangun pemahaman budaya, dan pada gilirannya, meruntuhkan hambatan tradisional dengan memberikan wawasan tentang budaya yang mungkin tidak diketahui oleh seseorang. Sementara banyak orang mungkin tidak pernah dengar nama Indonesia dengan segala keceriaan masyarakatnya yang ramah tamah penuh senyuman. Pemandangan dan suara rakyat ini luar biasa bagi kita semua anak Bangsa.

Tetapi mereka yang belum mengenal langsung siapa kita dapat mencicipi budaya itu melalui sampel makanan di pasar atau restoran Indonesia di negara setempat. Dengan mengenal makanan Indonesia melalui GastroDiplomacy, akan sangat bagus menarik perhatian masyarakat setempat dimana Indonesia diwakilkan melalui satu selera setiap kali mereka mencicipi makanan yang disajikan.

Oleh karena itu, GastroDiplomacy adalah instrumen untuk membangun hubungan persahabatan dan pemahaman budaya dengan masyarakat manca-negara.

Contohnya tentang insiden kekerasan terhadap masyarakat Indonesia di Belanda beberapa puluh tahun lalu diselesaikan urusannya ke dapur yang bertujuan memecahkan hambatan budaya dan sosial, yang dipersenjatai dengan masakan Indonesia tradisional yang lezat.

Tokoh masyarakat Indonesia di Belanda berhasil menggunakan makanan sebagai bagian dari kampanye diplomasi publik yang lebih besar yang bertujuan menciptakan lingkungan untuk dialog isu-isu lintas budaya.

Ini adalah wujud GastroDiplomacy yang menggunakan makanan sebagai lintas budaya dalam menyelesaikan urusan kekerasan itu. Instrumen GastroDiplomacy digunakan dalam upaya untuk membuat masyarakat Indonesia merasa diterima di Belanda. Melalui GastroDiplomacy, dijelaskan masyarakat Indonesia adalah multi-budaya dan inisiatif mengadakan makan malam akan membantu membangun hubungan ramah dengan masyarakat lokal setempat.

GastroDiplomacy berhasil dirancang untuk mengekang permusuhan terhadap masyarakat Indonesia dengan memaparkan pada masakan Nusantara. GastroDiplomacy pun digunakan untuk mengkomunikasikan pesan kuat tentang persahabatan, pengertian dan diplomasi.

Begitulah lebih kurang pemahaman sederhana terhadap GastroDiplomacy.

Semoga bermanfaat
Tabek

Wednesday, 18 September 2019

Analisa SWOT Boga Indonesia


SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis maupun pada individu atau organisasi.

Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats).

Biasanya SWOT dibahas menggunakan tabel yang dibuat dalam kertas besar, sehingga dapat dianalisis dengan baik hubungan dari setiap aspek. Tetapi dalam tulisan ini akan dibuat berdasarkan narasi diksi sehingga akan didapatkan efek sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.

Tulisan analisa SWOT ini akan melihat  makanan (boga) Indonesia dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis maupun pada individu atau organisasi.

Prosesnya melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.

Analisa SWOT kemudian dapat digunakan sebagai pijakan untuk menerapkan instrumen Nation Branding Power, Ratio Entrepreneurship & GastroDiplomacy.

Analisis SWOT yang dilakukan diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, yakni :

·       Bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada.

·       Bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada.

·       Bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats).

·       Bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru sebagai landasan untuk menghasilkan berbagai alternatif strategi.

Tidak terlupakan akan disampaikan saran dalam mengatasinya & sasaran (target) dalam apa yang ingin dicapai.

Adapun analisis SWOT Boga Indonesia adalah sebagai berikut :

a.     Strength
Analisis terhadap unsur keunggulan dan kekuatan (strength) yang dimiliki Boga Indonesia menganalisis tentang kelebihan apa saja yang dimiliki dari segi sejarah, budaya, lokasi strategis, atau unsur kekuatan lainnya.

Dapat disampaikan beberapa faktor strenght dari Boga Indonesia adalah :
·       Aneka ragam seni dapur masakan yang dimiliki 1334 suku & sub-suku di kepulauan Nusantara, termasuk etnis pendatang.
·       Memiliki Garis Seni Boga yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote.
·       Memiliki keanekaragaman kekayaan hayati yang besar dan merupakan nomor dua di dunia (77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak / minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan)
·       Memiliki kekayaan keragaman lebih dari 1,000 jumlah spesies tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang tidak tumbuh di negara lain.
·       Bumbu Indonesia mengubah revolusi cita rasa dunia (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala & Cengkeh)
·       Rijsttafel sebagai aset kedua seni budaya makanan dunia setelah seni dapur masakan Perancis.
·       Boga Indonesia punya kisah mengenai sejarah & budaya, baik tangible & intangible.
·       Semaraknya entrepreneur Boga Indonesia (pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM) yang lahir melalui inkubator secara alam (otodidak).
·       Boga sebagai pilihan utama bisnis masyarakat menengah & bawah dalam mengatasi kesulitan ekonomi saat ini.
·       Diaspora Indonesia di luar negeri (4,6 juta orang)

b.     Weakness
Untuk mengetahui kelemahan bisa dengan melakukan perbandingan dengan pesaing seperti apa yang dimiliki boga negara lain namun tidak dimiliki Indonesia.

Dapat disampaikan beberapa faktor kelemahan dari Boga Indonesia sebagai berikut :
·       Belum ada alas (dasar) atau payung hukum mengenai boga Indonesia.
·       Kebijakan Pemerintah mengenai boga belum menyeluruh secara komprehensif.
·       Penangananan boga antara stakeholders masih bersifat lintas sektoral, belum tersentralisir & kurang sinergik satu sama lain.
·       Fasiltas pembiayaan sektor boga dari perbankan terhadap pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM) belum maksimal.
·       Belum ada kelembagaan Pemerintah yang menangani boga secara menyeluruh.
·       Belum ada suatu strategi orientasi yang menekankan pentingnya memperkuat kemampuan dan kemandirian boga daerah.
·       Kualitas Nation Branding Power, Entrepreneurship & GastroDiplomacy belum diolah (ditata) dengan baik.
·       Belum ada penghargaan Negara terhadap pengusaha boga Menengah, Mikro, Kecil & UKM) seperti pemberian penghargan Kalpataru.
·       Belum adanya road map program pembangunan sektor agrobusiness.
·       Belum terdokumentasinya data seni dapur masakan Indonesia dengan baik.
·       Belum ada Lembaga Ilmu Pengetahuan & Perguruan Tinggi yang mengkaji secara ilmiah mengenai Boga Indonesia.
·       Belum maksimal memanfaatkan jaringan diaspora Indonesia dan non-diaspora di luar negeri, baik sebagai konsumen maupun sebagai wahana promosi secara lebih luas.

c.     Opportunity
Unsur peluang (opportunity) atau kesempatan dari potensi Boga Indonesia yang akan menjadi daya tarik, mampu bertahan dan diterima oleh kebanyakan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dapat disampaikan beberapa unsur peluang dari Boga Indonesia sebagai berikut :
·       Trend globalisasi makanan cenderung beralih ke seni dapur masakan Asia Tenggara, antara lain Indonesia.
·       Eksplorasi & investigasi pemasak dunia (master chef & chef) terhadap kekayaan bumbu & rempah serta teknik memasak Boga Indonesia.
·       Wisata halal (friendly muslim tourism) yang menjadi trend baru dunia dengan semakin meningkat tajam jumlah wisatawannya.
·       Ikatan emosional berbasis sejarah (bumbu, kopi & rijsttafel).
·       Semaraknya pemangku kepentingan (otoritas) di daerah-daerah mengangkat Boga ke dalam acara-acara (festival) sebagai wujud identitas & kemaslahatan perekonomian masyarakat setempat.
·       Lahirnya organisasi & komunitas gastronomi (upaboga) di berbagai masyarakat Asia Tenggara, khususnya ASEAN, dalam menelusuri, mengangkat & melestarikan seni dapur masakan negaranya masing-masing.
·       Akses media sosial & era IT yang semakin mempermudah masyarakat dunia membuka dan mengenal seni dapur boga, pariwisata & kepariwisataan  Indonesia.

d.     Threat
Analisis terhadap unsur ancaman sangat penting karena menentukan apakah potensi boga Indonesia dapat bertahan atau tidak di masa depan atau untuk jangka pendek maupun jangka panjang serta bisa sewaktu-waktu bertambah atau berkurang.

Beberapa hal yang termasuk unsur ancaman misalnya banyaknya pesaing, ketersediaan sumber daya, jangka waktu minat konsumen, dan lain sebagainya.

Dapat disampaikan beberapa unsur ancaman bagi Boga Indonesia sebagai berikut :
·       Sudah ada kompetitor yang lebih mapan dari negara tetangga.
·       Lemahnya fasilitas infrastruktur akses, akomodasi, kesehatan, kebersihan, hospitality & keamanan serta keteraturan.
·       Belum dikelola dengan baik tata pengorganisasian bisnis boga pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM
·       Fasilitas pembiayaan perbankan di sektor boga belum maksimal menjangkau pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM.
·       Masih belum terlalu dikenalnya seni dapur masakan Indonesia di luar negeri
       
Suggestion
Solusi yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi boga Indonesia adalah sebagai berikut :
·       Merumuskan kebijakan Pemerintah mengenai boga secara komprehensif.
·       Penangananan boga antara stakeholders tersentralisir & sinergi lintas satu sama lain.
·       Mendirikan kelembagaan Pemerintah yang menanganai boga secara menyeluruh.
·       Perlu dibuat alas (dasar) atau payung hukum mengenai boga Indonesia.
·       Kembangkan kualitas Nation Branding Power, Entrepreneurship & GastroDiplomacy.
·       Susun road map program pembangunan sektor agrobusiness (by sector)
·       Mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan & Perguruan Tinggi yang mengkaji secara ilmiah mengenai Boga Indonesia.
·       Menjalin kolaborasi yang kuat dan sinergik antara Kementerian Negara & Lembaga Pemerintah terkait urusan boga dengan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia untuk memperkuat kemampuan dan kemandirian boga daerah, mengingat segala aset kekayaan boga, pelaku boga (konsumen & produsen) & penyelenggaraan boga di daerah dikelola langsung oleh badan & dinas Pemerintah Daerah terkait.
·       Mengangkat budaya boga daerah sebagai wawasan kebangsaan dan cetak biru kearifan lokal masyarakat daerah.
·       Menghadirkan kepedulian & dukungan Negara terhadap pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM boga daerah, yakni antara lain berupa program nyata untuk mendidik, melatih, membina, bimbingan dan penyuluhan.
·       Pemberian penghargaan Kepala Negara kepada pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM boga daerah.
·       Dengan jaminan Pemerintah, fasilitas pembiayaan perbankan di sektor boga harus dapat menjangkau secara maksimal pengusaha Menengah, Mikro, Kecil & UKM.
·       Memberdayakan keekonomian boga daerah, khususnya dalam menghadapi globalisasi persaingan pasar bebas.
·       Meluaskan segmentasi dan penetrasi pasar boga daerah secara Nasional dan internasional
·       Gerakan terpadu melibatkan orang banyak melalui boga dengan menampilkan masakan daerah menjadi bagian dari boga Indonesia dan dunia.
·       Menjadikan boga daerah sebagai benchmark makanan Indonesia secara nasional dan di mata dunia.
·       Menjadikan boga daerah sebagai patokan, lanskap & teater makanan Indonesia & keahlian seni memasak bangsa ini.
·       Menaikkan angka brand power Indonesia yang tolak ukurnya salah satu diangkat melalui skala brand equity boga daerah
·       Membangun dan mengembangkan sistem dan jaringan entrepreneurship masyarakat boga daerah Indonesia.
·       Memberdayakan secara maksimal wisata minat khusus Indonesia melalui boga daerah Nusantara.
·       Dokumentasi ensiklopedia data seni dapur masakan Indonesia.
·       Memanfaatkan jaringan diaspora Indonesia dan non-diaspora di luar negeri, baik sebagai konsumen maupun sebagai wahana promosi secara lebih luas.
·       Membangun jiwa entrepreneurship melalui program pengembangan kapasitas jasa boga serta dukungan pemberian kredit modal usaha (usaha bidang restoran di luar negeri).
·       Melakukan kolaborasi boga dengan restoran Asia yang lebih maju seperti restoran China, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand.

Objective (Target)
Sasaran (target) dalam apa yang ingin dicapai, sebagai berikut :
·       Menaikkan angka brand power pariwisata Indonesia (5,2%) yang masih ketinggalan dibanding dengan negara-negara tetangga seperti Thailand (9,4%) dan Singapura (8,6%) atau rata-rata brand power pariwisata dunia yang berkisar di angka 7,7%.
·       Menaikkan ratio entrepreneurship Indonesia (0,18%) yang masih ketinggalan dibanding dengan negara-negara tetangga Malaysia (5%) dan Singapura (7%) atau rata-rata ratio entrepreneurship dunia yang berkisar di angka 2%. Ratio entrepreneurship akan turut mendorong brand power perdagangan Indonesia (6,4%) yang kalah bersaing dengan Singapura (10%). 
·       Kewiraswastaan dalam arti penghasilan pasif yang menikmati wirausahanya sebagai pemilik atau partner usaha berupa residual income, atau laba residu atau laba bersih (royalti, bunga saham, profit, dll).
·       Pangsa pasar 25% kalangan kelas menengah keatas Indonesia yang tercatat saat ini 70 juta jiwa dari total penduduk 260 juta jiwa. Dari 25% itu sasaran termasuk  generasi milenial yang berusia antara 15 – 34 tahun yang saat ini berjumlah 34,45% dari total populasi Indonesia.
Semoga bermanfaat

Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association