Salam Gastronomi
Saya mencoba untuk memberikan sedikit pencerahan sesuai topik yang disampaikan untuk kita memahami apa yang dimaksud dengan paradiplomasi
I. HUBUNGAN INTERNASIONAL
Dalam pandangan tradisional, konsep diplomasi merujuk pada hubungan antar negara berdaulat (Pemerintah Pusat) dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang dilakukan dalam ranah formal kenegaraan.
Namun, konsep diplomasi terus mengalami perkembangan hingga menyebabkan pergeseran makna. Sejak tahun 1960an, pada awal perang dingin, nilai dasar diplomasi bergeser dari sifat formal kenegaraan menuju konsep yang lebih luas yang kerap disebut sebagai diplomasi modern.
Sejak pasca 1960-an, diplomasi tidak lagi merujuk pada aktivitas hubungan internasional yang dilakukan oleh negara saja (Pemerintah Pusat), melalui perwakilan diplomatnya. Diplomasi juga dapat dilakukan oleh aktor non negara.
Diplomasi modern menempatkan para pelaku diplomasi non negara pada posisi penting dalam hubungan internasional. Mereka turut diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan internasional. Bahkan mereka pun kerap menjadi rekan negara (Pemerintah Pusat) dalam berdiplomasi karena dapat mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negeri suatu negara.
Negara (Pemerintah Pusat) mempertinggi hak dan peran non negara dalam melakukan diplomasi dengan memperluas aspek pembahasan diplomasi diluar yang tradisional. Termasuk tujuan dari diplomasi itu sendiri juga berkembang menyesuaikan kepentingan yang ada.
Aktor non negara itu adalah pelaku sub-nasional, yakni pemerintah lokal, atau pemerintah daerah atau pemerintah regional; serta pelaku bisnis (badan usaha) maupun kelompok kepentingan yang tergabung dalam organisasi, atau lembaga, atau institusi, atau perkumpulan (seperti lingkungan, politik, kesehatan, budaya, kuliner, wanita, pendidikan, ketenagakerjaan maupun lainnya); atau warga negara secara invidual.
Perkembangan diplomasi modern ini tentu memberikan dampak yang luas dalam khasanah ilmu hubungan internasional. Kajian-kajian mengenainya juga terus berkembang. Diplomasi modern memunculkan adanya multitrack diplomasi, total diplomasi, hingga paradiplomasi. Disini konsep diplomasi modern diasumsikan negara membagikan tugas pokok diplomasinya.
Miguel Santos Neves, dalam sebuah jurnal terkait paradiplomasi mengungkapkan bahwa globalisasi mendorong pergeseran dari macro-regionalism menjadi bentuk micro-region atau yang disebutnya sebagai paradiplomasi.
Sekedar mengingatkan kembali, globalisasi mendorong diplomasi total yang artinya memberikan peluang seluas-luasnya bagi berbagai elemen masyarakat dan pemerintahan untuk melakukan hubungan internasional. Di dalam perwujudan diplomasi total inilah aktor daerah mengambil peran dalam melakukan diplomasinya sendiri.
Perlu diketahui, globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan, produk, pemikiran, dan aspek kebudayaan.
Globalisasi terjadi akibat kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan Internet, yang semakin mendorong interdependensi manusia dalam aktivitas ekonomi, budaya dan lingkungan alam.
Istilah globalisasi itu sendiri digunakan sejak pertengahan tahun 1980-an dan lebih sering lagi sejak pertengahan tahun 1990-an. Proses globalisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis serta tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial-budaya, maupun lingkungan alam.
Rujukan Neves di atas, bisa dikatakan bahwa peran diplomasi oleh negara (Pemerintah Pusat) kini mulai diambil alih oleh pemerintah daerah dan para aktor lokal daerah lainnya yang saling bekerjasama dengan daerah lain dalam ranah hubungan internasional di berbagai sektor.
II. PARADIPLOMASI
Paradiplomasi mengacu pada sebuah kegiatan hubungan internasional yang dilakukan oleh aktor daerah dengan tujuan untuk mempromosikan kepentingan mereka sendiri. Paradiplomasi adalah kelanjutan dari globalisasi dimana aktor daerah semakin banyak berperan dalam hubungan internasional seiring dengan kemajuan globalisasi itu sendiri.
Paradiplomasi itu sendiri diperkenalkan oleh Soldatos Panayotis, dan kemudian dikembangkan oleh Ivo Duchachek. Paradiplomasi dapat disebut sebagai Diplomasi Multilapis, Diplomasi Sub-nasional, dan Diplomasi Intermestik. Dari beberapa istilah tersebut, istilah Diplomasi Intermestik paling sering digunakan karena konsepnya yang mudah dipahami.
Secara sederhana dan yang mudah dipahami, paradiplomasi adalah menyelesaikan masalah internasional dengan cara domestik atau menggabungkan masalah internasional dengan masalah domestik.
Penggunaan paradiplomasi di suatu negara dapat menimbulkan dua efek, yakni mendukung atau melemahkan. Paradiplomasi yang dilakukan aktor daerah terkadang bisa semakin menguatkan dan melengkapi diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, namun bisa juga menimbulkan konflik apabila bertentangan dengan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Paradiplomasi yang baik seharusnya memiliki sifat yang saling melengkapi dan menguatkan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga kepentingan nasional dan kepentingan daerah dapat tercapai dengan baik.
Di Indonesia, landasan hukum terkait paradiplomasi adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimana disebutkan pelaku hubungan internasional meliputi pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara
Sejak memasuki era desentralisasi, Pemerintah Daerah (termasuk DPRD) memiliki kewenangan melakukan kerjasama luar negeri, kecuali terkait 6 (enam) hal, yakni Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Agama, Moneter dan Fiskal.
Politik Luar Negeri yang tidak dapat dilaksanakan adalah berkaitan dalam urusan mengangkat pejabat diplomatik, menunjuk warga daerah untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri. sehingga hubungan luar negeri yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (termasuk DPRD) tidak bertentangan dengan UU tersebut.
III. PARADIPLOMASI INSTRUMEN GASTRODIPLOMASI INDONESIA
Jika bicara Gastronomy (Upaboga) atau GastroDiplomacy (Gastronomy Diplomacy) atau GastroTourism (Gastronomy Wisata), intinya adalah bicara soal makanan dan minuman yang dalam bahasa keseharian disebut sebagai kuliner atau boga.
Selama ini makanan dan minuman (boga) Indonesia yang kerap ditampilkan selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi.
Umpamanya pengalaman memperlihatkan hanya nama makanan dan minuman tertentu menjadi andalan di semua lokasi destinasi wisata, walaupun dibingkai sebagai "local dan original" kuliner negeri ini.
Padahal nama-nama makanan dan minuman itu belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian kuliner mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai boga pendatang yang bukan menjadi andalan.
Contohnya gado-gado, nasi goreng, nasi liwet, nasi kuning, gudeg, soto, sate, rawon, rendang, lumpia, bakso, tahu telur, asinan, serabi, klapentaart, bir pletok, es dawet dan sebagainya, termasuk makanan ritual nasi tumpeng.
Seni dapur (resepi) makanan dan minuman daerah lain banyak yang tidak pernah diangkat, seperti arsik, terites, kuta-kuta, cimpang tuang, lomok-lomok, na tinombur, dali ni horbo, pakasam, palubasa, mie gomak, gulai banak, gulai paku, gajebo, brenebon, hucap, gohu ikan, cabuk rambak, lentog tanjung, barongko, pallu butung, galamai, samba lingkung, kagape, sinonggi, madumongso, kasuran, keciput dan lain sebagainya.
Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur makanan dan minuman yang ada di negeri ini.
Wisatawan sekarang mengharapkan semua makanan dan minuman di destinasi wisata adalah "local, native, indigenous dan authentic" yang berbeda dan jarang memiliki kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan negara-negara tetangga.
Perlu diketahui, Indonesia sebagai sebuah negara, memiliki kekayaan makanan dan minuman yang sangat banyak dimana sampai sekarang belum terdata dengan baik. Makanan dan minuman Indonesia seperti harta terpendam yang tidak diketahui berapa banyak jumlahnya.
Tercatat baru ada 5,000 seni masakan dapur yang ditulis oleh almarhum ibu Suryatini N. Ganie dalam bukunya "Mahakarya Kuliner 5,000 Resep Makanan dan Minuman di Indonesia"
Padalah negeri ini yang memiliki 1335 suku & sub-suku di berbagai daerah, dengan 5 (lima) etnis pendatang, sejatinya memiliki puluhan ribu seni masakan dapur.
Jika masing-masing suku, sub-suku dan etnis pendatang punya 40 aneka masakan dan minuman (dari yang ringan sampai berat), maka diperkirakan ada 53,400 lebih seni resepi makanan dan minuman di negeri ini.
Katakan ada yang mempunyai kemiripan dan kesamaan resep, maka dengan dibagi 3 (tiga) saja hasilnya akan berkisar 17,800. Pertanyaan kemana semua catatan seni resepi makanan dan minuman itu ?
Terlepas dari penjumlahan makanan dan minuman (boga) yang belum ada data statistiknya, yang menjadi ukuran pembicaraan kita sampai hari ini, siapa yang pegang kendali terhadap makanan dan minuman (boga) di negeri ini? Atau siapa yang lebih memahami dan mengetahui dimana harta kekayaan terpendam itu ?
Jawabannya hanya masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah yang punya otoritas dan kepemilikan terhadap makanan dan minuman (boga) tersebut.
Bukan Negara (Pemerintah Pusat) tetapi masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah yang lebih paham dan mengetahui harta kekayaan terpendam itu. Baik mengenai nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya.
Segala aset kekayaan boga, pelaku boga (konsumen & produsen) maupun penyelenggaraannya ada di daerah; yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal, badan dan dinas di daerah terkait. Apalagi di era desentralisasi, kuasa itu semakin kuat.
Tetapi mengapa wewenang itu kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah, terutama di pentas dunia, meskipun mereka paham betul soal itu.
Jawabannya (mudah-mudahan tidak salah) karena tidak sinkronnya atau kurang memadainya rencana strategis daerah mengangkat, mempromosikan dan melestarikan boga daerah ke dalam Platform Inward Looking dan Platform Outward Looking.
Platform Inward Looking adalah suatu strategi orientasi ke dalam dengan lebih menekankan pentingnya memperkuat kemampuan dan kemandirian boga daerah dengan memperkenalkan nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya secara Nasional.
Karena kita bicara paradiplomasi dalam kaitan dengan gastrodiplomasi maka yang akan dibahas adalah mengenai Platform Outward Looking.
Platform Outward Looking adalah suatu strategi orientasi memberdayakan sumber daya boga daerah ke manca Negara atau panggung dunia; dengan dengan memperkenalkan nama, resep, sejarah, budaya, cerita dan kisahnya.
Dirasakan Platform Inward Looking dan Platform Outward Looking daerah belum dipetakan dengan baik, malah belum banyak masyarakat atau publik mengetahuinya. Padahal untuk Platform Outward Looking masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah punya payung atau landasan hukum yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang secara gamblang disebut sebagai paradiplomasi.
Oleh karena itu, seyogyanya, Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya) mulai menyusun dan memiliki Platform Outward Looking untuk paradiplomasi GastroDiplomacy (Gastronomy Diplomacy) yang bisa mempunyai rekatan terhadap GastroTourism (Gastronomy Wisata).
Upaya memiliki Platform Outward Looking dapat meningkatan kapasitas dan kapabilitas paradiplomasi masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan GastroDiplomacy. Ikhtiar itu dapat dilakukan dengan :
1. Pembentukan regulasi yang kontributif
2. Pemberdayaan dan advokasi terhadap aktor sub nasional
3. Komunikasi dan dialog intensif antara aktor negara dan non negara
4. Kebijakan pusat dan daerah yang mampu menumbuhkan self enforcing
5. Mengurangi jarak antara kebijakan politik luar negeri Pusat dengan kebijakan paradiplomasi Daerah.
Bagaimanapun, paradiplomasi pada dasarnya adalah bentuk sinkronisasi kepentingan semua aktor hubungan internasional dalam suatu negara (Pusat dan Daerah).
Tujuannya beragam, antara lain :
1. Peningkatan pemahaman dan kesadaran aktor non negara dalam diplomasi
2. Penguatan kapasitas dan kapabilitas aktor non negara
3. Meningkatkan rasa tanggung jawab dan kepentingan bersama negara dalam keselarasan
4. Memaksimalkan proses pencapaian kepentingan daerah, hak daerah, dan potensi daerah, dalam berbagai bentuknya
Perlu diingat melalui instrumen paradiplomasi, kepentingan dan sasaran adanya Platform Outward Looking dapat memberikan kontribusi terhadap GastroDiplomacy, yakni antara lain :
1. Mengangkat budaya boga daerah sebagai wawasan kebangsaan dan cetak biru kearifan lokal masyarakat daerah.
2. Menghadirkan kepedulian dan dukungan Negara terhadap UKM boga daerah.
3. Memberdayakan keekonomian boga daerah, khususnya dalam menghadapi globalisasi persaingan pasar bebas.
4. Meluaskan segmentasi dan penetrasi pasar boga daerah secara Nasional dan internasional
5. Gerakan terpadu melibatkan orang banyak melalui boga dengan menampilkan masakan daerah menjadi bagian dari boga Indonesia dan dunia.
6. Menjadikan boga daerah sebagai benchmark makanan Indonesia secara nasional dan di mata dunia.
7. Menjadikan boga daerah sebagai patokan, lanskap & teater makanan Indonesia dan keahlian seni memasak bangsa ini.
8. Menaikkan angka brand power Indonesia yang tolak ukurnya salah satu diangkat melalui skala brand equity boga daerah
9. Membangun dan mengembangkan sistem dan jaringan entrepreneurship masyarakat boga Indonesia.
10. Memberdayakan secara maksimal wisata minat khusus Indonesia melalui boga daerah Nusantara.
Demikian disampaikan dan semoga bermanfaat.
Mohon maaf jika ada kekurangan dalam penyampaiannya.
Terima kasih
Jakarta, 1 Desember 2020
Referensi:
1. Duchacek Ivo : “The International Dimension of Subnational Self-Government”, Publius, vol. 14, no. 4 (1984): 5–31.
2. Miguel Santos Neves : "Paradiplomacy, knowledge regions and the consolidation of Soft Power", e-journal of International Relations, vol. 1, núm. 1, -, 2010, pp. 10-28 Observatório de Relações Exteriores Lisboa, Portugal
3. Soldatos Panayotis : “An Explanatory Framework for the Study of Federated States as Foreign Policy Actors”, [in:] Federalism and International Relations. The Role of Subnational Units, (ed.) Michelmann H., Soldatos P., 34–53. Oxford: Clarendon Press, 1990.