".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday, 11 November 2020

Gastronomi & Pariwisata di Indonesia

 I. GASTRONOMI & KULINER

Pertama-tama, kita harus memahami apa yang dimaksud dengan Gastronomi dan Kuliner.
1. Kuliner adalah The Art Of Good Cooking yang dilakukan produsen, yakni pemasak di dapur (yakni para chef profesional & pemasak otodidak).
2. Gastronomi adalah  The Art Of Good Eating yang dilakukan konsumen, yakni food connoisseur di meja makan (yakni para pecinta, penikmat & pemerhati makanan)

II. KULINER
Pengertian Kuliner adalah seni persiapan, hasil olahan dan penyajian masakan, berupa lauk-pauk, panganan maupun minuman yang dilakukan produsen (pemasak), yang pelakunya kerap disebut sebagai artis kuliner (atau seniman kuliner).

Proses Kuliner disusun sesuai tahapan seni keahlian sebagai berikut :
1. Resep  (susunan resepi masakan)
2. Bahan baku (memilih bahan baku masakan)
3. Persiapan memasak di dapur
4. Teknik dan proses memasak
5. Estetika (keseimbangan yang prima terhadap mutu makanan)
6. Presentasi dan penyajian makanan

Ke 6 (enam) tahapan seni keahlian ini disebut sebagai teknik dan proses memasak, yang setelah dilalui kesemuanya akan memasuki ke tahap mencicipi atau menikmati makanan yang dilakukan para konsumen.

III. GASTRONOMI
Untuk memahami Gastronomi, kita harus bisa membedakan Gastronomi Barat dan Gastronomi Indonesia, termasuk Asia.

Pada umumnya Gastronomi bicara makanan dari sisi pengetahuan (Food Knowledge). Ini yang menjadi koridor gastronomi barat. Pelaku dari Gastronomi disebut sebagai seorang Gastronom.

Proses Pengetahuan Makanan (Food Knowledge) dibahas dalam 3 (tiga) elemen, yakni:
1. Food Story yaitu mengenai sejarah dan budaya (termasuk metoda memasak & lanskap geografis)
2. Food Assessment yakni memberi penilaian (peringkat) terhadap makanan & non makanan yang fokusnya pada hidangan makanan yang berkualitas prima dengan cakupan sebagai berikut :
a. Makanan : Menu, Gaya & Jenis, Cita-Rasa, Rasa, Flavoring, Aroma, Sensasi, Tekstur, Estetika, Presentasi, Creativity & Food Pairing.
b. Non Makanan : Pemasak (Chef Profesional & Otodidak), Tipe Restoran, Tema, Hospitality, Dekorasi, Musik, Popularity & Kebersihan.
c. Penataan : Table Setting & Food Plating.
3. The Art Of Good Eating adalah aturan, etiket dan sopan santun tata cara makan yang baik, yang biasanya disebut sebagai Table Manner.

Sedangkan Gastronomi Indonesia, atau umumnya di Asia, di dalam Food Story-nya ada cerita atau kisah dibelakangnya; termasuk filosofinya, karena di sebagian makanan Indonesia ada ritual yang bersifat tangible dan intangible.

IV. PERBEDAAN GASTRONOMI & KULINER
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan Kuliner tidak punya 3 (tiga) elemen Gastronomi di atas, walaupun tidak bisa dipungkiri para pemasak juga melakukan penilaian (Food Assesment), namun sebagian dari komponen assessment mereka tidak sama dengan komponen penilaian Gastronomi.

Disitu letak perbedaan antara Kuliner dan Gastronomi, walaupun tidak bisa dinafikan produsen selaku Kuliner kerap melakukan tindakan Food Story, Food Assesement & The Art Of Good Eating. Kalau produsen masuk ke ranah ini maka mereka disebut sebagai Chef Gastrosophers.

V. RANAH GASTRONOMI DALAM PARIWISATA
Mengingat Gastronomi adalah konsumen, maka Gastronomi tidak masuk dalam ranah Ekonomi Kreatif, karena EKRAF adalah inkubator yang melahirkan produsen (seperti designer, penyanyi, penari, pemasak, design grafis dan sebagainya).

Sebagai konsumen, Gastronomi masuk dalam ranah Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam format pariwisata, Gastronomi disebut sebagai GastroTourism (gastronomi wisata), sedangkan dalam format kebudayaan disebut sebagai GastroArts (gastronomi budaya) yang area budaya makanannya terkait kepada GastroCulinary (gastronomi kuliner) dan GastroDiplomacy (gastronomy diplomacy).

Penekanan dari Gastronomi adalah kepada kearifan lokal masyarakat setempat yang aktifitasnya sering dikaitkan dengan budaya lainnya seperti busana, musik, tarian dan lain sebagainya.

Dalam format pariwisata, pelaku GastroTourism punya motivasi melakukan perjalanan karena ingin mempelajari tentang makanan yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya.

Makanan memainkan peran penting dalam mempengaruhi pengalaman wisatawan dan niat untuk mengunjungi kembali karena wisatawan tidak hanya ingin "melihat dan mendengar", tetapi juga hendak "mencicipi rasa" makanan di tempat yang mereka kunjungi.

VI. FRASA WISATA GASTRONOMI
Saya bukan ahli pariwisata, walaupun gastronomi terkait dengan kepariwisataan, namun akan dicoba untuk menjelaskan secara umum hubungan antara gastronomi dengan pariwisata, khususnya terkait dengan frasa wisata gastronomi.

Seperti diketahui banyak definisi mengenai pariwisata, tetapi kalau diperas menjadi suatu kalimat sederhana, maka pariwisata adalah unforgettable experience (pengalaman tak terlupakan) yang dianggap unique &  memorable yang selalu terkenang karena ada unsur novel maupun authentic.

Perlu diingat, pada hakekatnya bisnis pariwisata adalah menjual pengalaman, karena pengalaman yang tersimpan di memori wisatawan akan dibawa pulang dan diceritakan kepada orang lain. Kenangan itu berkembang suatu saat untuk keinginan berkunjung kembali dengan membawa serta keluarga dan handai tolannya.

Dalam  mengekspresikan hubungan antara makanan atau gastronomi dengan pariwisata, banyak frasa digunakan, seperti "wisata kuliner", “wisata makanan” dan "wisata gastronomi" (Ignatov & Smith, 2006).

Frasa "wisata gastronomi" pertama kali digunakan oleh Dr. Long pada tahun 1998 yang mengatakan :

"Wisata gastronomi adalah tentang makanan; yang mengeksplorasi dan menemukan budaya dan sejarah melalui makanan dan kegiatan terkait makanan dalam menciptakan pengalaman yang tak terlupakan ”(Long, 2005).

Semenjak pernyataan Dr. Long, frasa wisata gastronomi (GastroTourism) banyak digunakan berbagai negara di dunia dalam mengekspresikan pariwisata mereka, karena ada elemen pengetahuan (pembelajaran) yang didapatkan wisatawan yang dibawa pulang untuk dikembangkan.

Di dunia Barat GastroTourism adalah format pemasaran wisata yang cukup laris dan banyak diminati. Adalah negara-negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Swiss, Italia, Russia, Spanyol, Belanda, Thailand, Malaysia & Vietnam kerap memakai frasa GastroTourism dalam produk pemasaran pariwisata mereka.

VII. WISATA KULINER & WISATA GASTRONOMI
Seperti dikatakan frasa wisata gastronomi (GastroTourism) baru dikenal masyarakat tahun 1998 dan peranannya dalam dunia pariwisata pun masih muda usianya.

Kita kerap mendengar slogan mengenai wisata gastronomi, tetapi praktik penggunaannya agak kurang tepat dan lebih condong menyamakan dengan wisata kuliner. Wisata kuliner  berbeda dengan wisata gastronomi.

Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan antara wisata gastronomi dan wisata kuliner, yakni :
1. Wisata Gastronomi didorong motivasi untuk  mengenal dan mempelajari sejarah & budaya makanan setempat, termasuk mengenai kisah atau cerita kearifan lokalnya, selain melihat objek wisata alam yang bersifat alami dan objek wisata yang dibuat oleh manusia.
2. Wisata Kuliner didorong sebatas mencari dan menikmati makanan saja tanpa perlu mengenal dan mempelajari sejarah, budaya, cerita atau kisahnya. Bagi wisatawan obyek wisata alam, obyek wisata buatan manusia, bukan opsi utama dari kunjungan mereka. Kerap pula non wisatawan melakukan wisata kuliner (kunjungan bisnis dan lain sebagainya) .

Contoh wisata kuliner adalah kota Bandung yang diketahui sampai saat ini Pemdanya jarang mempromosikan kota kembang itu sebagai destinasi wisatawan, namun setiap tahunnya jumlah wisatawan yang datang meningkat.

Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam makanannya (lokal & non lokal) dan kebanyakan pelawat datang untuk melakukan wisata kuliner, karena obyek wisata alamnya bisa dibilang tidak banyak. Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.

VIII. KEUNGGULAN GASTRONOMI DALAM PARIWISATA INDONESIA
Mengenai keunggulan gastronomi dalam pariwisata Indonesia, belum banyak dikaji dan dipraktekan secara mendalam, walaupun potensinya cukup tinggi.

Sedangkan keunggulan kuliner dalam pariwisata sudah cukup teruji, bahkan kuliner itu sendiri tanpa komponen wisata sudah menjadi mesin cetak uang tersendiri yang cukup signifikan bagi pendapatan kebanyakan masyarakat setempat. Kontribusi dunia makanan cukup besar sumbangannya terhadap PDB dan menjadi penyedia lapangan kerja yang cukup besar.

Meskipun kuliner dan gastronomi merupakan saudara kembar, karena sama-sama terlibat dalam urusan makanan, bisa dikatakan penerapan gastronomi dalam mesin pariwisata belum semarak seperti kuliner.  Salah satu penyebab karena banyak yang belum mengerti dan memahami cara menerapkan wisata gastronomi ke dalam konsep kepariwisataan. Sering diucapkan tapi beda teknis penerapannya.

Handicapnya karena belum ada suatu kebijakan (policy) mengenai makanan di negeri ini. Selama saya menggeluti dunia gastronomi, belum terlihat ada koridor kebijakan makanan lokal di negeri ini. Kebijakan pangan sudah kita miliki, tetapi yang satu itu, belum sama sekali.

Wajar, kalau dunia makanan belum menjadi perhatian utama Pemerintah, karena kebijakan mengenainya tidak ada dalam strategi program kerja mereka, meskipun bicaranya kerap lantang mengenainya. Saya harapkan kedepan semua pihak terkait mulai mengkaji Local Food Policy Indonesia, sehingga negeri ini punya patokan dalam menghadapi dunia makanan lokal Indonesia.

Local Food Policy dalam arti setiap daerah di Indonesia punya kebijakan makanannya masing-masing sebagai "local, native, indigenous dan authentic kuliner dan gastronomi.

Paling tidak, adanya Local Food Policy ini bisa memberi warna terhadap rencana 5 (lima) destinasi pariwisata super prioritas, yakni Borobudur, Danau Toba, Likupang, Mandalika dan Labuan Bajo. Alangkah bagusnya, terhadap 5 (lima) destinasi pariwisata super prioritas itu, Pemerintah punya program kebijakan makanan lokal, yang akan ditampilkan sebagai alat promosi dan pemasaran ke para calon wisatawan.

Selama ini makanan yang kerap ditampilkan dalam paket promosi pariwisata selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi.

Semasa menghadapi pandemi Covid-19, disarankan langkah promosi dan pemasaran pariwisata Indonesia hendaknya jangan tersesat di lautan kesamaan (sea of similarity), khususnya dalam penampilan kulinernya, sehingga kurang memiliki daya tarik bagi pelancong.

Umpamanya pengalaman memperlihatkan untuk kuliner hanya nama makanan tertentu menjadi andalan promosidi di semua lokasi destinasi, walaupun dibingkai sebagai "local dan original" kuliner negeri ini.

Padahal nama-nama makanan itu belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian kuliner mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai kuliner pendatang yang bukan menjadi andalan.

Contohnya gado-gado, nasi goreng, nasi liwet, nasi kuning, gudeg, soto, sate, rawon, rendang, lumpia, bakso, tahu telur, asinan, serabi, klapentaart, bir pletok, es dawet dan sebagainya, termasuk makanan ritual nasi tumpeng.

Seni dapur (resepi) makanan lain banyak yang tidak pernah diangkat, seperti arsik, terites, kuta-kuta, cimpang tuang, lomok-lomok, na tinombur, dali ni horbo, pakasam, palubasa, mie gomak, gulai banak, gulai paku, gajebo, brenebon, hucap, gohu ikan, cabuk rambak, lentog tanjung, barongko, pallu butung, galamai, samba lingkung, kagape, sinonggi, madumongso, kasuran, keciput dan lain sebagainya.

Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur masakan yang ada di negeri ini.

Perlu diketahui, wisatawan sekarang mengharapkan semua makanan di destinasi tertentu adalah "local, native, indigenous dan authentic" yang berbeda dan jarang memiliki kesamaan dengan lokasi destinasi lainnya, termasuk kemiripan dengan negara-negara tetangga.

IX. KEKUATAN GASTRONOMI & KULINER
Kuliner dan gastronomi tidak bisa jalan sendiri, mesti ada pengikatnya (atau pairingnya) untuk bisa dilihat dan didengar dunia. Selama ini, kuliner dan gastronomi di Indonesia, jalan sendiri dan terpisah satu sama lain.

Akibatnya, kuliner dan gastronomi tidak berkembang dan tidak melebar kancah gerakannya & hanya merupakan bagian pelengkap dari bagian lain, termasuk terhadap pariwisata & kepariwisataan. Dunia kuliner atau gastronomi Indonesia, seperti hidup dalam dunianya sendiri. Menjadi suatu eksklusifitas bagi dirinya masing-masing.

Sudah saatnya, kuliner dan gastronomi di Indonesia, berdiri sejajar dengan cara mengangkat dan mempertajam dirinya yang bisa diterjemahkan dalam Local Food Policy.

Jika kuliner dan gastronomi berdiri sejajar dan saling melengkapi, akan menjadi kenyataan dari apa yang diucapkan dan diinginkan negeri ini, bahwa kuliner dan gastronomi akan menjadi masterpiece keekonomian Bangsa Indonesia.

Bagaimanapun, wisatawan ingin mengetahui, pengetahuan dan pengalaman kuliner dan gastronomi apa yang mereka bisa dapatkan dari perjalanan nantinya. Pola strategi ini sudah banyak dilakukan negara-negara barat.

Kalau Indonesia punya strategi ini, maka negeri kita akan menjadi yang pertama di Asia lakukan itu, walaupun Thailand, Malaysia, Singapura & Vietnam sudah melakukan, tetapi sifatnya masih sebatas atraksi kuliner, yang belum banyak bobot gastronominya.

Semoga bermanfaat
Betha Ketaren (Indra)
Co-Founder
Indonesian Gastronomy Association (IGA)

Referensi Artikel :
1. Ignatov, E. & Smith, S.: "Segmenting Canadian Culinary Tourists", Current Issues in Tourism (2006)
2. Long, L. M.: "Presentation At The First Culinary Tourism Symposium. Lecture, George Brown College, Toronto, Ontario, March 8 (2005)