".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday 22 April 2015

Makna & Filosofi Nasi Tumpeng Sebagai Hidangan

Nasi sebagai khas makanan pokok Indonesia dikonsumsi dengan sayur-sayuran maupun lauk pauk sebagai hidangan pelengkap. Nasi juga dapat diolah menjadi makanan bentuk lain yang dapat digunakan menjadi hidangan dalam berbagai pesta upacara, yaitu dalam bentuk tumpeng.

Tumpeng adalah hidangan paripurna (penuh & lengkap) yang merupakan warisan tradisi nenek moyang yang sangat tinggi maknanya karena merupakan simbolisasi yang bersifat sakral yang lebih menunjukkan pada suatu rasa syukur kepada Tuhan YME dan sarat dengan simbol mengenai ajaran makna hidup.  

Dalam kehidupan dan kepercayaan masyarakat Jawa, tumpeng memiliki makna dalam kehidupan manusia yakni nilai historis dan spiritual. Mereka percaya bahwa dengan menyajikan tumpeng adalah hal yang ritual, yaitu untuk mensyukuri nikmat Tuhan, memohon perlindungan dan keselamatan, memperingati peristiwa-peristiwa penting serta untuk menyampaikan keinginan tertentu agar terkabul.

Banyak orang awam sampai saat ini tidak memahami makna sebenarnya dari tumpeng. Umumnya mereka hanya melihat dari segi bentuk yang disajikan untuk kebiasaan selamatan tanpa mengetahui asal muasal tradisi sejarahnya.

Kata tumpeng berasal dari Bahasa Jawa yang padanan katanya sama dengan gunung. Secara “jarwo dosok” tumpeng diartikan sebagai “Tumapaking panguripan (tumindak lempeng) tumuju Pangeran” adalah kepanjangan dari kata tumpeng yang mengartikan bahwa "Manusia itu harus hidup menuju dan dijalan Tuhan".

Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Perlu diingat bahwa walaupun mayoritas masyarakat Jawa sekarang beragama Islam, masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak dari akar-akar agama Hindu.

Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.

Bentuk kerucut merupakan gunung, yaitu tempat yang sakral dan lauk pauk sekelilingnya adalah kehidupan lingkungan sehingga sebagai kesatuan yang tumpeng dan rangkaiannya adalah simbol ekosistem.

Kerucut yang runcing melambangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang membawahi alam dengan segala isinya dibawah puncak itu (badan dan dasar kerucut). Kerucut yang kokoh terdiri dari butir-butir nasi melambangkan persatuan dan kebersamaan memohon perlindungan dan keselamatan kepada Tuhan.

Bentuk kerucut juga simbol kesempurnaan (Kasampurnan), makin keatas makin sempurna dan makin sedikit jumlah nasinya. Ini lambang bahwa makhluk yang sempurna tidak sebanyak yang biasa.

Masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib di luar diri manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka merasa perlu memelihara hubungan dengan kekuatan tersebut agar terjadi keseimbangan dengan kehidupan mereka, yaitu dengan cara selamatan.

Tumpeng inilah yang disajikan dalam acara selamatan tersebut, sehingga setiap unsur-unsur bentuk tumpeng beserta lauk pauk nya mempunyai makna-makna historis sendiri. Contohnya adalah bentuk tumpeng yang dibuat meruncing ke atas melambangkan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga yang merupakan harapan agar kehidupan kita meningkat, kemudian  aneka lauk yang ditata sekitar tumpeng melambangkan rakyat yang sejahtera. Makna lain dari penempatan tumpeng beserta lauk pauknya ini juga menyimbolkan gunung dan tanah yang subur di sekeliling gunung.

Mengenai makna dibalik bentuk tumpeng yang kerucut inipun beragam, ada yang menyebutkan bahwa merupakan cerminan kepercayaan masyarakat masa Hindu-Budha yang menganggap Gunung Mahameru sebagai tempat suci dan keramat, ada pula yang menyebutkan merupakan lambang antara hubungan manusia dengan Tuhan, kemudian melambangkan tingkat kesulitan manusia dalam mencapai kesempurnaan, yaitu makin tinggi tingkat kesempurnaan, makin sedikit orang yang mampu dan memenuhi persyaratan. Sedangkan dalam ajaran Islam, tumpeng menggambarkan ketauhidan. Bentuk tumpeng yang lancip mengarah ke atas, yaitu ke arah Tuhan.

Sebagai pengetahuan umum dalam tradisi tumpeng dan juga selamatan itu sendiri, terdapat unsur pengaruh budaya Hindu yang kuat. Selain disertai dengan ritual berdoa untuk keselamatan bersama, tradisi tumpeng juga bisa dilihat dari simbolisasi tumpeng dengan bentuk kerucutnya (trapezium) yang mengingatkan pada bentuk miniatur gunung. Gunung itu sendiri bagi penganut Hindu diberi istilah "Méru", representasi dari sistem kosmos (alam raya).

Maka tidak mengherankan jika pengaruh Hindu tersebut masih terjaga, bahkan hingga masa-masa kemudian telah menyatu sebagai bagian dari tradisi lokal di kalangan pemeluk keagamaan apapun di Indonesia.

Pada masa kerajaan Hindu-Budha berkuasa di Indonesia, konsep "Méru" ini dapat dilihat dari penempatan keraton (tempat tinggal raja) yang terletak di sekitar rangkaian pegunungan. Misalnya, Keraton Suradipati Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (berakhir eksistensinya pada tahun 1579 AD karena invasi kerajaan Islam Banten) terletak di sekitar tiga rangkaian pegunungan, yaitu Gunung Salak, Pangrango, dan Gedé (di wilayah Bogor sekarang).

Jika dikaitkan dengan bagian kemuncak tumpeng, maka hal itu melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Adapun aneka sayur dan lauk-pauk yang ditata di bagian bawah tumpeng melambangkan kehidupan (tumbuhan, hewan, dan manusia). Dalam kepercayaan Hindu-Jawa, alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia.

Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang, urap , dan sayur kangkung; Alam fauna diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi, dan babi ; adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng itu sendiri.

Maka jika memaknai bentuk tumpeng, terkandung harapan bagi yang mengadakan sebuah seremoni, yaitu kehidupan bisa semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Misalnya bayi yang baru lahir diharapkan menjadi anak yang pintar dan sukses di masa depan; atau seseorang yang meninggal dapat menikmati kehidupan yang lebih baik di alam kematian.

Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: "mangan ora mangan waton kumpul" (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara. Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang berada, meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.

Dengan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tumpeng adalah "media komunikasi spiritual" masyarakat Jawa yang dijalin terhadap Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang

Perlu diingat dengan seksama cara menyantap tumpeng tidak dipotong melintang dan daun pisangnya tidak dilepas sama sekali. 


Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno (yang jarang diketahui banyak orang saat ini), nasi tumpeng di KERUK sisi sampingnya dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas. 

Kalau puncak pucuk kerucut dipotong & daun pisang dilepas, artinya simbol rumah suci terlepas dari ikatan bathin yang mau dijalin terhadap Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan. 

Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Sebagaimana adat selamatan masyarakat Jawa kuno.

Sebelum di keruk oleh orang pertama, yang bersangkutan dalam hati berdoa dan minta "sesuatu untuk dikabulkan". Kemudian setelah selesai permintaan itu, mulai mengeruk tumpeng dari sisi sampingnya. 

Kerukan pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap "penting atau dituakan" sebagai penghormatan. Dia mungkin menjadi pemimpin kelompok, orang tertua, atau orang yang dicintai.

Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. 

Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang

Usai itu, tumpeng boleh disantap bersama-sama sebagai perlambang membagi rezeki dengan tetap cara mengeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak atau daun pisangnya. 

Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu akan jatuh segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang itu. Ini pertanda jawaban, bahwa doa selamatan dan permintaan dikabulkan atau diberkahi oleh YME.

Ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang yang masih ada nasi tumpeng tersebut. Kemudian wadah anyaman itu diletakan di tempat yang dianggap keramat sebagai sesajian kepada Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Selain di masyarakat Jawa, tumpeng juga ternyata dibuat oleh masyarakat Sunda, Madura dan Bali sebagai sajian untuk upacara adat, seperti jenis tumpeng tolak bala, robyong, tasyakuran, pungkur dan golong.

Hanya Bali yang masih terasa pengaruh Hindu yang dominan; sedangkan Pulau Jawa lebih menunjukkan keunikan, karena meski adanya pengaruh Islam, namun yang terjadi adalah akulturasi antara unsur Hindu-Islam-dan budaya lokal (syncretism).

Selain itu, bukan hanya di lingkungan masyarakat pribumi; pada masa kolonial orang-orang Belanda dan keturunan (Indo) juga bahkan kerap melakukan tradisi selamatan dengan menyajikan tumpeng dan nasi kuning ketika sedang memperingati ulang tahun anak-anaknya, peresmian rumah yang baru dibangun, dan perpisahan seorang pejabat pemerintah yang dipindah tugas ke daerah lain.

Pada jaman globalisasi ini, makna tumpeng yang paling mendekati adalah bermakna kebersamaan yang terbukti bahwa dengan menyajikan tumpeng disertai pula dengan makan bersama untuk memohon keselamatan. Walaupun penyajian tumpeng berbentuk kerucut, warna dari tumpeng pun memiliki makna yang berbeda. 

Tumpeng yang disajikan dengan nasi putih atau tumpeng putih melambangkan kesucian, sedangkan tumpeng yang disajikan nasi kuning atau tumpeng kuning melambangkan masa keemasan, yaitu diharapkan rezeki akan melimpah dan masa depan nya cemerlang.

Sumber dan referensi:
- Wikipedia
- Ganie, Suryatini N. 2003. Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep. Jakarta: Gaya Favorit.
- Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.
- Herayati, Yetti et.al. 1984-1985. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Sunda di Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan