".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday 26 August 2015

Eating Out


Salah satu fenomena gaya hidup masyarakat kota adalah makan di luar rumah (eating out) yang mengakibatkan menjamurnya restoran, cafe, foodcourt, warung makan yang terdapat di pusat perbelanjaan maupun di luar pusat perbelanjaan.

Budaya makan di rumah telah bergeser dengan kebiasaan makan di luar rumah (eating out) yang dianggap sebagai gaya hidup modern dan global. Oleh karena itu, makan di luar (eating out) muncul sebagai sebuah komoditas masyarakat urban untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi mereka.

Fenomena yang terjadi pada masyarakat perkotaan, konsep eating out tidak hanya sekedar sebagai kebutuhan biologis, akan tetapi merupakan gaya hidup yang menandakan identitas dan kelas, kelompok tertentu.

Perkotaan dengan beragam pusat perbelanjaan dan tempat makan telah menjadi arena pertarungan, tidak saja bagi produsen dalam mendapatkan konsumen, akan tetapi juga bagi konsumen dalam menunjukkan status dan kelas sosialnya melalui jenis makanan dan tempat makan.

Konsumen disajikan berbagai pilihan tempat dan jenis makanan yang sesuai dengan selera sehingga tempat makan dan jenis makanan yang dipilih, menentukan kelas sosial seseorang, karena pengaruh tingkat posisi dan sejarah asal-usul (status, pekerjaan dan pendidikan).

Eating out bukan sesuatu yang berasal secara alamiah atau bakat alam seseorang, akan tetapi terbentuk karena hubungan kekuasaan, sosial dan budaya serta bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang.

Dengan kata lain, proses konsumsi yang mencerminkan gaya hidup dan selera budaya lebih pada praktek yang membantu memberikan pemahaman bagi seorang individu maupun orang lain mengenai posisi mereka dalam ruang sosial yang disebabkan adanya dominasi kelas yang kemudian ditiru kelompok masyarakat lain untuk mendapatkan pengakuan sederajat (setara).

Posisi tertentu (misalnya orang kaya), cenderung menghasilkan habitus metropolis, seperti selera, cara makan, gaya berpakaian, gerak-gerik tubuh, dan sebagainya, yang berbeda dibandingkan dengan orang miskin. Habitus melekat sejak lahir (perawatan bayi dan pola pengasuhan orang kaya berbeda dengan orang miskin), lalu berkembang seiring dengan meluasnya relasi pelaku dengan pelaku lain yang berbeda habitusnya, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan yang ditempuh, pekerjaan, lingkungan pergaulan, dan sebagainya.

Oleh karena prosesi eating out menciptakan diferensiasi sosial yang mengakibatkan berkembangnya berbagai gaya hidup. Di dalam perubahan tersebut, konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar, akan tetapi juga berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Dalam arti lain, eating out mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang dalam masyarakat, dimana yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya.

Apalagi dalam suasana eating out itu ada konstruksi diri bermuara pada persoalan eksistensi dimana kerap terlihat kebiasaan mereka memotret makanan (food capture) yang dipesan sebelum dimakan melalui gadget, lalu di unggah ke media sosial dengan alasan agar dapat terus memberikan update tentang makanan dan tetap eksis.  Pelaku eating out yang gemar “pamer” foto makanan di media sosial ingin tetap dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka. Mereka senang apabila informasi yang diunggah mendapat respon, artinya keberadaan diri mereka diakui oleh orang lain.

Disini terlihat komoditas makan di luar dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan dan sebagainya. Artinya ketika mengkonsumsi sesuatu, orang mengkomunikasikan banyak hal pada orang lain, termasuk kelompok mana mereka dan berbeda dengan orang lain. Orang ingin dibedakan dalam berbagai macam lingkungan budaya. Makan di suatu tempat tertentu menjadi penting, karena ada tanggung jawab terhadap munculnya penilaian orang lain terhadap dirinya. Keinginan untuk berbeda merupakan upaya representasi posisi sosial dalam kerangka mekanisme konstruksi penilaian.

Dengan demikian prosesi eating out dipengaruhi oleh internal forces yang terjadi melalui relasi-relasi kuasa dalam struktur masyarakat yang membentuk habitus tentang suatu makanan. Internal forces ini terkait dengan unsur ekonomi dan budaya dimana eating out digunakan untuk menandai pembedaan dengan orang lain. Komoditas makanan - sebagai obyek konsumsi - tidak lagi hanya berdasarkan pada kegunaannya, melainkan berdasarkan makna-makna yang tercipta dalam komoditas tersebut yang dibentuk lewat tingkatan kelas sosial dan mencirikan kekhasan gaya hidup (life style).

Dengan kata lain, dalam diri mereka tertanam referensi nilai-nilai ekonomi budaya yang menumbuhkan suasana gaya dan status sosial dengan cara merekonstruksi kekhasan rasa, penyajian, suasana dan tempat yang unik dalam berbagi pengalaman dengan kelompoknya guna memberi pemahaman terhadap orang lain mengenai posisi mereka dalam ruang sosial. Di balik pilihan itu tersimpan upaya membedakan diri mereka dari orang lain atau kelompok sosial. Pembedaan diri yang tidak semata-mata berbeda secara alami, melainkan merepresentasikan kelas sosial tertentu dalam hierarki kekuasaan.

Sebagai kata penutup, kolektifitas eating out ini menempatkan mereka pada posisi dominan yang membedakan dirinya dengan masyarakat lain dengan gaya dan cara menampilkan selera yang sah dan cenderung menunjukkan eksistensi di lingkungan sosialnya untuk diakui orang lain.

Tabek