Bila kita berkunjung ke rumah orang Jawa, jangan kaget kalau di ruang makan bisa ditemukan sepeda motor, jemuran baju, dan juga tumpukan gabah. Secara umum, konsep ruang makan tidak ada di kalangan orang Jawa. Arsitektur rumah lama di Jawa tidak menyediakan tempat khusus untuk ruang makan. Ruang tamu, ruang untuk makan, dan ruang untuk keluarga bercampur.
Kultur agraris memperlihatkan makan pagi dilaksanakan di sawah atau ladang. Para petani harus sudah keluar dari rumah sebelum matahari menyengat. Akibatnya, mereka tidak bisa makan pagi di rumah. Setidaknya pengamatan Thomas Stamford Raffles dalam History of Java (1817) juga menyebutkan hal seperti itu. Bahkan pengamatan Augusta de Wit yang datang pada 1890-an dalam Java: Facts and Fancies menyebutkan, orang Jawa makan pagi di sungai setelah mandi.
Ahli kebudayaan Jawa dari Universitas Negeri Semarang, Teguh Supriyanto, mengatakan, orang Jawa memang tidak mengenal ruang makan. Kebiasaan agraris menjadikan orang Jawa tidak memerlukan ruang makan secara khusus. Makan siang pun kadang dilakukan di sawah.
Kebiasaan makan di sawah atau kebun mengakibatkan sikap tubuh saat makan di rumah pun persis seperti di sawah. Duduk dengan jegang (kaki naik), duduk bersila, sambil makan tanpa sendok mudah terlihat, bahkan hingga sekarang sekalipun.
Rumah tanpa ruang makan ini masih bisa ditemui di beberapa tempat seperti di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Arsitektur rumah tidak menyediakan ruang makan secara khusus. Bahkan, meja untuk menaruh makanan pun kadang tidak ada. Keluarga yang mau mengambil nasi ataupun sayur dan lauk mengambil langsung di dapur. Setelah itu, mereka makan di sembarang tempat.
Pergeseran mulai terjadi di keluarga-keluarga yang tinggal di kota kecamatan. Mereka sudah mulai memiliki ruang makan tetapi masih bercampur dengan dapur. Kedua ruangan ini tidak ada sekatnya. Mereka masih menaruh berbagai benda, seperti sepeda motor, jemuran pakaian, dan gabah, di ruangan itu. Keadaan ini bisa ditemukan di sebuah keluarga di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Makanan kadang tersedia di meja makan, tetapi ini pun dilakukan bila ada tamu. Bila tidak ada tamu, anggota keluarga tetap saja mengambil makanan langsung dari perapian atau dapur. Setelah itu, mereka tetap saja makan di sembarang tempat, mulai dari ruang tamu hingga dapur. Posisi badan bisa duduk di kursi, amben, dan lantai.
Bila ada tamu, kadang mereka menemani makan. Namun tidak sedikit si empunya rumah tidak menemani makan para tamu. Bagi para tamu yang terbiasa dengan kehangatan di meja makan, hal ini kadang membuat canggung. Bagaimana mungkin saat tamu makan tetapi tuan rumah malah tidak makan? Bagi orang Jawa sendiri, hal ini untuk menghormati tetamunya, tetapi belum tentu diterima oleh tamunya. Masih lumayan tuan rumah mau menemani sambil mengobrol meski dia tidak makan.
Berikutnya kita bisa menemukan rumah yang memiliki ruang makan yang tidak tergabung dengan dapur. Akan tetapi, ruang makan ini seadanya saja. Ada meja makan dan ditata layaknya ruang untuk makan. Meja hanya berfungsi untuk meletakkan makanan. Berbagai peralatan ada di meja makan, tetapi terkesan seadanya.
Ruang makan berikutnya berada di keluarga yang secara serius merancang ruang makan ketika rumahnya dibangun. Di ruang makan terdapat berbagai peralatan dan dilengkapi berbagai atribut, seperti telapak meja dan satu set alat makan. Alat makan seperti garpu sudah digunakan setiap kali makan.
Di kota besar, ruang makan kadang terbuka dan tanpa sekat dengan dapur dan ruang tamu. Mereka yang duduk di ruang tamu bisa melihat meja makan dan isinya. Perubahan ini sangat mungkin terkait dengan minimnya tanah, tetapi bisa juga karena perubahan gaya hidup. Mereka makin terbuka. Di sisi lain mereka ingin menampilkan gaya hidup terbaru. Mereka ingin menunjukkan pilihan desain ruangan dan menu makanan yang sesuai dengan gaya yang paling baru. Identitas mereka juga ingin ditunjukkan melalui penataan ruang makan.
Meski banyak orang Jawa telah memiliki ruang makan dan mengetahui tata sopan santun makan, tetap saja sikap-sikap orang agraris masih melekat. Meski mereka makan di meja makan dengan berbagai peralatan, tetap saja ada kerinduan untuk makan di tempat yang "bebas" seperti warung kaki lima. Mereka juga kadang ingin makan dengan tangan langsung alias tanpa sendok. Mereka juga mengunjungi rumah makan tradisional yang kadang tak memerlukan sikap badan yang penuh dengan sopan santun.
Masih melekatnya sifat-sifat agraris dalam hal makan dan pemahaman keberadaan ruang makan hingga sekarang sebenarnya merupakan perjalanan panjang orang Jawa dari sekadar makan untuk mengisi perut hingga mereka mengenal tata cara makan dan ruang makan.
Pengenalan itu hingga sekarang belum selesai. Sikap-sikap tubuh dalam makan masih saja menunjukkan kebiasaan makan masyarakat agraris. Tidak sedikit yang merasa ruang makan juga masih terasa asing. Ruang makan masih dianggap pelengkap sebuah rumah atau sekadar ruangan yang bermeja untuk menaruh makanan.
Pengenalan orang Jawa mengenai konsep ruang makan sangat mungkin terkait dengan keberadaan orang Belanda di Nusantara. Keluarga-keluarga Belanda mempekerjakan penduduk setempat untuk menjadi pembantu. Para pembantu inilah kemudian mengenal berbagai jenis makanan orang Belanda, tata cara makan, dan ruang makan.
Akan tetapi, pengenalan yang lebih masif terjadi sekitar abad ke-19 saat Belanda memberi kesempatan bagi penduduk untuk mulai masuk dalam sejumlah kehidupan orang Belanda, seperti menjadi pejabat dan kesempatan bersekolah. Analisa pengenalan kebudayaan Belanda ini setidaknya terdapat dalam buku Dutch Culture Overseas karya Frances Gouda. Penduduk pribumi kemudian mengenal gaya hidup orang Belanda. Pola-pola peniruan gaya hidup ini merasuk hingga soal kebutuhan ruang makan dan juga menu yang ditampilkan.
"Konsep ruang makan dan tata cara makan memang dipengaruhi oleh Belanda," kata Teguh. Sejak saat itu, orang Jawa mengenal ruang makan. Meski demikian, orang Jawa tetap tidak mudah untuk akrab dengan ruang makan. Di keluarga modern pun kadang kaki bisa diangkat ke kursi saat makan. Ruang makan masih menjadi ruangan yang asing bagi orang Jawa.
Artikel ini diambil dari tulisan Andreas Maryoto