Tradisi "Megibung" di Desa Ulakan Kabupaten Karangasem Bali masih dilakukan. Satu kelompok "gibungan" biasanya terdiri dari 5-6 orang yang dipisah antara pria dan wanita.
Tradisi ini dilakukan saat pagi hari terutama saat upacara "yadnya" baik "upacara manusa yadnya" maupun "dewa yadnya". Makanan yang nantinya diolah, tidak hanya untuk keperluan manusianya, tapi juga untuk persembahan kepada Sang Pencipta.
Persiapan ini dimulai saat subuh sekitar jam 3 pagi dimana para pria wajib "ngayah" atau "tedun" dengan membawa golok untuk memasak makanan berupa lawar kelapa, lawar belimbing, jukut ares, timbungan, sate pusut, sate pontang, urutan serta sate oles. Beberapa olahan makanan yang dibuat juga berbahan daging ayam, yang diistilahkan "tan keni".
Sedangkan yang wanita saat pagi hari membawakan "patus" atau kewajiban berupa 2 kg nasi. Ketika saatnya tiba, sekitar pukul 7 pagi, para wanita diutamakan untuk makan terlebih dahulu, baru kemudian disusul oleh pihak laki laki.
Setiap satu atau dua "gibungan" dilayani oleh seorang "saye" yang bertugas menambah nasi maupun lauk sampai acara megibung berakhir. Sebelum acara "megibung" berakhir, mereka tidak boleh meninggalkan tempat untuk menghormati mereka yang masih belum selesai bersantap. Ketika "megibung" urutan makanan yang nantinya "digibung" pun diatur dari yang paling biasa sampai yang paling enak.
Biasanya diawali dengan lawar dan berakhir dengan sate pusut atau pun urutan. Saat megibung biasanya juga disuguhkan "tuak" yang dipercaya dapat menetralisir lemak, selain air putih berwadah "caratan" dari tanah liat.
Porsi makanan pun selalu dibuat lebih, biasanya tamu yang datang saat upacara tersebut mendapatkan balasan atau "wales" berupa sate dan nasi untuk dibawa pulang sebagai bentuk penghormatan atas kehadirannya. Selain itu, juga dilakukan "ngejot" atau mengirim makanan kepada pihak pihak yang telah membantu dalam membuat "gibungan" tersebut.