".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday 22 July 2015

MENDAFTARKAN HAK CIPTA MASAKAN TRADISIONAL

Topik ini sempat dibahas beberapa waktu lalu mengenai soal asal makanan tradisional pusaka leluhur tidak pernah didaftarkan atau dibuatkan trademark sebagai sebuah produk industri . Berbicara masalah hak cipta tentang pusaka kuliner, saya memang tidak tahu aturan atau regulasi (produk hukum undang-undang dan peraturan Pemerintah) dalam mendaftarkan sebuah masakan khas tradisional suatu daerah atau suku di Nusantara sebagai sebuah produk industri. Timbul berbagai pertanyaan dalam pikiran apa sebenarnya yang perlu kita daftarkan atau lindungi hak ciptanya :

1. Apakah nama sebuah masakan tradisional, atau
2. Apakah bumbu, bahan dan cara memasaknya, atau
3. Apakah merek dagangnya; dan
4. Apakah nilai intangible (makna dibelakang-nya) bisa di daftarkan

Sebagai contoh sebuah masakan pusaka tradisional ranah minang yang sangat populer yaitu Rendang.
Rendang mana yang kita mau daftarkan sebagai sebuah produk industri. Rendang Bukittinggi kah, Rendang Tanah Datar kah, Rendang  50 Kota, Rendang Solok atau Rendang Pariaman atau rendang lain sebagainya. Rendang ini juga banyak variasi, lagak, ragam dan gayanya. Ada yang rendang daging tok, mulai warna hitam yang sangat kental sampai warna kecoklatan, ada yang dicampur (rancah) mulai dari potongan ubi kayu yang rapuh kelapa mudo, nangka sampai kacang-kacangan. Sekali lagi pertanyaan saya rendang yang mana ingin didaftarkan.

Sebagai ilustrasi saya ingat sebuah kesuksesan seseorang diawal tahun 70-an membuat atau menciptakan Es Teler. Intinya Es Teler ini seperti es campur kebanyakan tapi lebih khas dan wajib ada buah atau daging kelapa muda, alpukat dan potongan nangka masak lalu diberi santan dan susu itu yang dia ciptakan. Ketika menu ini laku keras dan banyak ditiru orang, maka si pencipta bukannya mematen Es Telernya tapi mendaftarkan merek dagangnya yang kita kenal dengan ES TELER 77.  Itu artinya jika ada pemalsuan merek dagangnya (Es Teler 77), maka secara hukum tentu akan dituntutnya. Tetapi ketika kompetitornya menjual Es Teler dengan merek bukan Es Teler 77, tentu dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Begitu juga saya rasa makanan dan minuman dari luar seperti sebuah ayam goreng yang menglobal, bukan ayam goreng dengan segala bumbu rahasianya itu yang didaftarkan hak ciptanya atau didaftarkan, tapi merek dagangnya. Ketika banyak yang serupa diciptakan orang ayam goreng tersebut bahkan dijual di kaki lima, tentu tidak ada masalah karena dari segi rasa tentu sangat berbeda sekali tapi jika sebuah restoran ayam goreng yang sama memakai namanya yang telah didaftarkan ini, tentu bisa dituntut secara hukum.

Dari hal diatas menurut saya dalam masalah masakan ini hak cipta atau paten tersebut lebih kepada merek dagang, semisal rumah makan bermerek SEDERHANA, maka merek dagang SEDERHANA itu yang didaftarkan, bukan segala jenis makanan yang dijualnya.

Lalu kalau misalnya negara tetangga kita mengklaim rendang tersebut adalah masakan pusaka mereka, bagi saya itu silahkan saja, sebab yang namanya rendang itu banyak sekali. Orang Aceh punya rendang, orang Melayu punya rendang, tapi tunggu dulu dari segi cita rasa yang tinggi orang akan mengakui kalau rendang suku Minangkabau yang paling enak dan lezat, bukan rendang orang Melayu yang dilidah saya rasanya “agak aneh”, lebih kuat rasa rempah-rempahnya dan pedasnya tidak menggigit.

Menurut saya lagi bukan mendaftarkan hak cipta masakan tradisi kita yang penting, ada yang lebih penting lagi yaitu mencoba mendata serta menginventaris semua kuliner pusaka kita mulai dari bumbu, bahan dan rempahnya sampai cara membuatnya. Lalu tradisinya jika masakan ini disangkut pautkan dengan adat dan budaya, apalagi bahan-bahan atau bumbu-bumbu dalam bentuk tumbuh -tumbuhan apalagi yang langka keberadaannya di hutan atau parak-parak dinagari ranah minang perlu didata, dijaga dan dilestarikan keberadaannya, dicatat nama daerah setempat lalu diklasifikasi menurut kaidah-kaidah ilmu botani (botanical name, taksonomi  dan morfologi tumbuhan tersebut dan lain sebagainya) untuk didaftarkan hak ciptanya.

Generasi selanjutnya akan tahu apa yang dikatakan Rendang, Gulai Kepala Ikan ala Piaman, Aneka Pangek, Dendeng Batokok, Rendang Belut serta makanan, jajanan dan minuman khas lainnya yang sekira memang hanya suku Minangkabau yang memiliki. Tugas kitalah mempopulerkan seni kuliner pusaka para lelhur kita kepada suku bangsa di dunia ini.

Masalah masakan adalah masalah seni dan rahasia dapur yang boleh dikatakan sangat sulit untuk ditiru tapi kalau sekedar nama tentu mudah ditiru dan diklaim, tapi masalah rasa belum tentu bahkan agak mustahil. Jika negara tetangga kita mengklaim rendang sebagai pusaka kuliner mereka, namun saya yakin berbicara rendang semua orang akan tahu itu adalah milik suku Minangkabau. Ini adalah masalah cita rasa yang tidak pernah berbohong yang enak akan selalu dibilang enak dan suku lain tahu bahwa salah satu masakan atau pusaka kuliner yang lamak itu dipunyai oleh suku Minangkabau secara de facto telah diakui masyarakat banyak.  Perlu jugakah kita secara de jure mendaftarkannya ?

Taruhlah kita harus daftarkan hak cipta itu seperti dari ketiga butir pertanyaan di atas - umpamanya mendaftarkan masakan rendang - maka akan bisa timbul pertanyaan :
1. Masakan rendang mana yang mau didaftarkan ?
2. Dari daerah mana ?
3. Siapa pemegang lisensinya ?
4. Kalau sudah didaftarkan, siapa saja yang boleh menggunakannya ?
5. Lagi pula apa manfaatnya ? ... dst dst.

Secara umum (sejauh yang saya ketahui), hak patent - hak merek - dan hak-hak lainnya termasuk dalam rezim hak atas kekayaan intelektual biasa disingkat HAKI atau yang benar sesungguhnya disebut HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). HKI adalah hal yang diberikan oleh negara kepada seseorang / beberapa orang dan atau badan hukum atas temuannya untuk tenggang waktu tertentu. Temuan itu bisa dalam bentuk merek - ciptaan - paten dan-lain-lain. Masing-masing ada UU-nya sendiri. Kalau merek itu ada 2 (dua) macam : Barang dan Jasa, ada pengelompokannya, misalnya kelas 1 mencakup / melindungi apa-apa aja. Kalau hak cipta lain lagi, kalau patent juga ada tatacara dan persyaratan sendiri untuk pendaftarannya, dan seterusnya.

Pada garis besarnya secara global internasional, Hak Kekayaan Intelektual / HKI (IPR- Intellectual Property Rights) yang diatur sebagai TRIPS (Trade Related Intellectual Property Rights) dalam Marakesh Final Act WTO - World Trade Organization yang sudah diratifikasi dan masing-masingnya sudah diberlakukan di Indonesia dengan UU di tahun 2000an. Saat ini HKI di indonesia ada 7 (tujuh) atau 8 (delapan) macam yakni tentang : Merek Dagang & Jasa, Paten, Hak Cipta (Copy Rights), Desain Industri (sirkuit tata letak ),  Rahasia Dagang (Trade Secrets ) dan Indikasi Geografis (Geographical Indication / GI).

Terhadap semua jenis HKI tersebut, secara salah kaprah oleh masyarakat umum kita seringkali sampai dengan sekarang dipakai kata "dipatenkan". Padahal, secara yuridis, masing-masing jenis HKI tersebut memberikan hak perlindungan  ekslusif kepada Pemohon / Pemegang / Pemilik-nya dari Negara untuk hal-hal / obyek HKI  yang berlainan sesuai nama khususnya.

Salah satunya, sesuai dengan UU Paten No. 14/2001 (yang sekarang dalam proses revisi), INVENSI di bidang teknologi yang dapat dimohon (pendaftaran) patennya harus memenuhi syarat adanya "novelty (kebaruan), langkah inventif (inventive steps) dan dapat diterapkan dalam industri". Yang bisa dimohonkan Hak Patennya di bidang invensi teknologi-industri antara lain Produk dan/atau Metodenya.

Betul, yang didaftarkan dan mendapat perlindungan (sekali lagi bukan 'dipatenkan' ) adalah Hak Merek Dagang atau Merek Jasa, misalnya bagi Es Teler 77 (a/n Sukiatno) dan McD (a/n Kantor Pusatnya di USA ) adalah jenis-jenis makanan dan minuman yang disajikan dan jasa penyediaan resto makan-minumnya. Sama sekali bukan bahan-bahan,resep masakan apalagi metode masaknya.

Di sisi lain, yang dilindungi oleh Hak Cipta bagi Pemohon Pendaftaran / Pemilik- Pencipta nya dan Ahli Warisnya adalah segala sesuatu hasil tampilan "karya cipta" manusia di bidang musik dan sastra (dan derivatifnya ) yang jenis-jenisnya banyak. Saya kira di sini secara eksplisit tidak termasuk aneka jenis kuliner berikut metode memasaknya.

Namun pastinya paten misalnya adalah istilah yang digunakan dalam penemuan atau inovasi teknologi. Racikan bumbu masak mustahil dapat dipatenkan. Dibuatkan trademark sebagai sebuah produk industri mungkin, tapi dipatenkan jelas mustahil.

Secara garis besar, kuliner tradisional termasuk kedalam Kekayaan Intelektual Komunal (atau masyarakat Adat), yang Hak-nya dipegang negara, sehingga bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat. Tapi tidak boleh diklaim oleh negara lain

Barangkali kuliner tradisional asli Indonesia seperti Rendang atau Kopi Kintaman bisa dimasukkan sebagai "folklore" untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta, tentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dari Negara / Pemerintah. Atau masuk perlindungan Indikasi Geografis sebagaimana telah dimohon pendaftarannya (misalnya oleh Pemda Gianyar-Bali untuk produk Kopi Kintamani) dari pada nanti di klaim negara tetangga dan didaftarkan atas nama masyarakat Adat (Komunal).

Sebagai tambahan pernah ada cerita permintaan "Hak Waralaba" atas Rendang dari sebuah perusahaan makanan saji cepat di Indonesia. Masalahnya, siapa / institusi mana sebagai Pemilik HKI atas kuliner Rendang itu ? Sehingga, dalam hal ini, siapa Pemberi dan Penerima Waralabanya ?  Apalagi, sesuai dengan Peraturan Mendag tentang Waralaba (WL), setiap Perjanjian WL wajib didaftarkan dan mendapat Sertifikal WL dari Mendag. Untuk itu, ada salah satu syarat wajibnya, yaitu Pemberi WL harus mengajukan prospektus barang/jasa yang diwaralabakan. Nah, denger-dengar yang sekarang sudah duluan  pegang HKI atas Rendang adalah negara tetangga. Puyengkan ?

Berdasarkan pemahaman atas HKI itu, dari mana makanan tradisional pusaka harus didaftarkan ? Apakah ada "lubang" untuk dimasukkan di beberapa kategori 7 atau 8 macam yang dikemukakan tadi. Seperti contoh Coca Cola punya 3 kategori HKI. Apalagi kalau terkait butir ke-4 yang disampaikan di atas yakni untuk masalah "Intangible-nya", apakah bisa punya "lubang" masuk untuk di daftarkan ?

Namun yang pasti saya belum pernah mendengar ada suatu makanan dari suatu daerah atau etnis pendatang di bumi Indonesia ini yang didaftarkan atau lindungi hak ciptanya. Barangkali informasi sekedar saya di atas tersebut cuma sedikit berguna di tengah-tengah birokrasi yang 'ignorance' sehingga perlu dilengkapi dengan masukan atau cara-cara lain supaya Gastronomi Kuliner Indonesia, dan para Pemangku Kuliner di negeri ini sadar akan perlunya peran hukum khususnya HKI, satu dan lain hal, demi menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan persaingan global. 

Bagaimana pendapat anda tentang hal ini ?

Tabek
Indra Ketaren (Beta)