Beberapa waktu lalu saya ramai bahas soal belum tersedianya perangkat Undang-Undang Makanan di Indonesia untuk menata soal kuliner yang sedemikian laju berkembang sejak 15 tahun terakhir. Makanan merupakan satu dimensi komersial dan sosial yang sangat cepat bergerak saat ini karena bisa dibilang menjadi tulang punggung segenap rakyat mulai dari kalangan bawah sampai atas. Saya berasumsi 60%-70% sektor UKM berkisar soal kuliner yang kebanyakan diolah sepertinya oleh rakyat tanpa rambu-rambu yang jelas. Saat ini rakyat yang kehilangan pekerjaan (yang terkena PHK) akan mudah 'switch' diri mereka ke usaha kuliner karena rambah advantage dan profit-nya jelas dan singkat bisa diperoleh (malah lebih besar dari gaji saat mereka bekerja sebagai karyawan). Namun disayangkan Pemerintah belum mempunyai dasar hukum yang jelas sebagai fondasi untuk menata dunia makanan ini yang kelihatan kuliner itu berjalan bebas tanpa ada yang menjadi lalu lintas. Isyu-isyu mengenai gizi, mutu kualitas maupun lainnya seperti tidak terkontrol lagi walaupun saat ini kita punya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. UU ini tidak secara lengkap bisa mengatur dan menata lalu lintas makanan tersebut. Sekali lagi sudah waktunya kita punya UU tersebut, mengingat sekarang ini di dalam negeri banyak sekali makanan yang menggunakan bahan baku berbahaya seperti formalin, pewarna textil, pemutih, minyak oplosan, dan lain sebagainya yang banyak beredar di berbagai daerah di negeri kita.
UU pangan itu operasionalnya ada di kementrian pertanian. Memang perlu kesepakatan bersama agar masalah makanan baik olahan ataupun hasil bumi perlu pengaturan yang jelas dan dilakukan oleh 1 (satu) lembaga. BPOM terbentuk tanpa UU dan hanya berdasarkan Kepres atau PP (maap sy agak lupa). Saya telah menghimbau para wakil rakyat di DPR dan Pemerintah untuk saatnya memikirkan perihal UU Makanan yang bisa menjadi fondasi bagi Negara ini melindungi dan membiayai rakyatnya menjalankan kehidupan komersial dan sosial di sisi kuliner. UU Makanan itu bukan hanya sebatas masak memasak tapi di dalamnya ada unsur lapangan tenaga kerja (UKM), sertifikasi profesional, sertifikasi assesor atau secara singkat hajat hidup banyak orang, termasuk fondasi bagi pembiayan kredit perbankan; belum lagi soal terkait dengan registrasi hak intelektual property dan merek.
Masalahnya, saya sendiri kalau di tanya tidak tau harus di mulai dari mana. Apakah melengkapi dan menyempurnakan UU # 7 tahun 96 tentang Pangan itu atau mengakomodasi yang baru. Namun apapun, pekerjaan ini cukup besar karena menyangkut berbagai pihak otoritas kebijakan dan pemangku kuliner yang cukup banyak dan bertebaran di seluruh wilayah Indonesia.
Bisnis makanan di Indonesia sangat besar dan fantastis nilainya sehingga semua pihak sekarang ini belum mau dengan sungguh-sungguh merumuskan inisiatif tersebut dibawa ke DPR. Bisnis ini luar biasa dan pemainnya tidak setara dengan permintaan pasar sehingga antara supply dan demand tidak sinkron (lebih besar demand-nya). Wajar pihak luar masuk dan merambah dunia usaha ini dengan mudah karena mereka tau daya beli masyarakat sangat tinggi. Demand itu jangankan di kalangan menengah keatas. Di kalangan bawah saja sangat besar pasarnya dengan bisa diliat begitu banyak saat ini di hampir setiap pelosok jalan-jalan di kota-kota ada warung-warung tenda bertebaran jual makanan.
Apa kita mulai dari inisiatif perguruan tinggi dan sekolah tinggi untuk memulainya atau dari organisasi terkait atau keduanya atau lainnya lagi. Terpenting siapa yang mau mengorganisir ini ke semua pihak itu duduk bersama bicara dan merangkumkan permasalahan yang ada.
Saya sangat concern soal UU Makanan, karena pada akhirnya akan terkait ke masalah Kemandirian & Kedaulatan Pangan dan bukan kepada Ketahanan Pangan. Bangsa kita sebenarnya bisa mandiri diatas kaki sendiri jika kita pandai menatanya.
Di salah satu pemikiran saya adalah bahwa melalui UU Makanan kita bisa membedah kebangsaan Indonesia dengan merefleksikan secara hukum dan kesadaran politis bahwa soal kuliner di negeri ini selain dimiliki oleh pribumi ada aspek etnokuliner peranakan Tionghoa, India, Arab dan Belanda yang para pendatang ini merupakan satu kesatuan dari kumpulan Bangsa Indonesia.
Ingat, tahun depan Indonesia akan memasuki pasar bebas (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Saya tidak kebayang bagaimana situasi dan kondisi pasar kuliner negeri ini nantinya, termasuk dalam melindungi posisi profesionalitas para Chef dan pemasak otodidak bersaing dengan bangsa lain yang mau mencari kemaslahatan ekonomi di negeri ini yang begitu besar pangsa pasarnya. Banyak pekerjaan rumah dalam masalah kuliner ini. Jangan kita terpesona dengan keadaan sekarang sebatas begitu hebat nilai komersialnya dan kita lupa memagari diri kita sendiri. Tahun depan negeri ini sudah bisa dimasuki dengan mudah oleh bangsa asing yang juga punya kesempatan untuk bersaing dengan bangsa kita sendiri, apalagi mereka pada umumnya bisa memperlihatkan sertifikasi internasional mereka yang tak tertandingi dengan kualitas sertifikasi lokal serta dari sisi bahasa maupun pengalaman memasak mereka itu tidak kalah dengan bangsa kita sendiri.
Untuk revisi UU atau membuat UU baru itu pekerjaan besar. Perlu ada champion dan kelompok kerja inti. Tugasnya melakukan framing issue, mengumpulkan fakta/data, membangun sekutu dengan organisasi yang mempunyai visi sama, melakukan lobby secara kontinyu dan konsisten sehingga bisa diterima oleh publik bahwa isu tersebut urgent dan penting. Termasuk kerjasama dengan institusi pendidikan dan sektor pemerintah agar masuk dalam kebijakan nasional. Intinya memang di core team itu yang menjadi motor penggerak. Nah siapa disini yang mau initiate mencari & menjadi core team tersebut.
Semoga ulasan saya ini secara umum bisa memberi masukan bagi pihak terkait untuk membuka slot ke publik membahas kemungkinan Indonesia mempunyai UU tentang Makanan untuk menata dan mengatur lalu lintas kuliner di Indonesia maupun di luar negeri (seperti yg dilakukan oleh Pemerintah Thailand)
Tabek
Indra Ketaren (Beta)