Kita sudah sering mendengar lontaran publik tentang upaya apa yang dapat dilakukan untuk promosi kuliner Indonesia. Mengapa pemerintah hanya sibuk menerima proses perijinan dibukanya restauran asing di Indonesia? Bagaimana dengan restauran Indonesia di luar negeri? Apa upaya Pemerintah dalam memotivasi agar restauran Indonesia dapat banyak didirikan di luar negeri ? Contoh dibukanya restauran2 luar negeri di Indonesia sudah memberikan keinginan kepada masyarakat Indonesia untuk berlibur ke negara-negara tersebut. Ini adalah langkah promosi yang berdampak lebih dahsyat daripada iklan TV, koran, atau billboard.
Tetapi apapun situasi yang terjadi, saya melihat kunci suksesnya kuliner Indonesia (di dalam negeri maupun di luar negeri) adalah marketing seperti yang dilakukan perusahaan swasta McD, Subway, Domino Pizza atau negara Thailand. Saat ini untuk kuliner Indonesia sepertinya belum ada perusahaan swasta yang berani melakukan terobosan seperti McD atau Subway jadi masalahnya kembali ke Pemerintah lagi yang artinya Pemerintah harus punya dasar hukum yakni UU tentang Makanan sebagai fondasi memasarkan kuliner Indonesia seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand yang setiap tahun untuk promosinya (di dalam dan luar negeri) saja punya budget USD 180 juta yang bisa terlihat dari jumlah restoran mereka di luar negeri yang puluhan di tahun 2002 telah berkembang biak hampir mendekati 18ribuan di tahun 2013.
Namun mengingat suasana anggaran Negara di Kabinet Kerja Pemerintah sekarang, kita juga tidak bisa mendorong kuat posisi pembiayaan itu menyamai Pemerintah Thailand, apalagi jika UU tentang Makanan belum dimiliki Pemerintah sebagai dasar fondasi hukumnya. Jika UU itu ada dan andaikata ada, isyu kedua adalah pembiayaannya bagaimana ? Apa model dengan pinjaman dari luar negeri (G to G) melalui APBN ? Pemerintah harus punya alokasi biaya untuk bergerak seperti yang dilakukan Pemerintah Thailand. Caranya walaupun UU tentang Makanan itu belum bisa dibuat, adalah dengan meminta kepada DPR untuk mengalokasi pos anggaran sebagai dana jaminan (dan bukan untuk digunakan operasional).
Maksudnya dengan anggaran itu Pemerintah jadikan dana tersebut hanya sebagai jaminan (kolateral) kepada Bank-Bank BUMN di dalam negeri yang memberikan biaya kredit bagi pengembangan bisnis kuliner di Indonesia dan dan diluar negeri. Biasanya dana jaminan itu hanya 30% yg diperlukan Bank terhadap kredit yang diajukan pihak pengguna. Artinya Bank-Bank BUMN membiaya 70% dimana bunga & pokok pengembaliannya dibayar oleh pengguna (swasta). Apalagi dana 30% jika pandai-pandai di monitizing di pasar uang bisa mendapat kelipatan 3 atau 4 kali dari nilai sebenarnya.
Kredit ini baik antara lain utk buka restoran di dalam negeri dan luar negeri serta utk kepentingan promosinya melalui assignment perusahaan marketing yang baik dan terkenal di dunia internasional. Dengan cara itu Pemerintah bisa menggalakkan kuliner Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri. Selain itu, Pemerintah juga assign perusahaan asuransi untuk mengcover losses bila terjadi default payment oleh pengguna (swasta) dengan menunjuk perusahaan asuransi terkenal di dalam negeri yang resikonya dilapisi dengan sistem reasuransi dengan perusahaan asuransi di luar negeri. Terakhir, jika diperlukan, pola pinjaman ini juga dicover penugasannya oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan PT Sarana Multi Infrastruktur sebagai lapisan kedua dan ketiga setelah perusahaan asuransi. Sudah tentu kepada LPS dan PT Sarana Multi Infrastruktur diberi tugas khusus dan tambahan di dalam misi dan tugasnya untuk terlibat dalam proyek ini.
Dengan pola pinjaman Bank BUMN melalui dana kolateral Pemerintah, kita akan membuka kebiasaan baru untuk mencari pinjaman dari dalam negeri yang dicover oleh perusahaan asuransi dan LPS serta PT Sarana Multi Infrastruktur dibanding kebiasaan lama melakukan pinjaman dari luar negeri dengan sistem G to G. Pola pinjaman ini juga akan memperkuat tatanan moneter rupiah Indonesia mengingat pinjaman dilakukan di dalam negeri sehingga daya saing nilai kurs rupiah di pasar dunia akan bisa diperkuat, apalagi melihat melimpahnya dana rupiah yang ada.
Satu-satunya tugas ini bisa dilakukan penyelenggaraannya oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).