Acara makan bersama - itu judulnya - yang bisa bikin hati ceria. Sebetulnya hanya menu sederhana. Nasi liwet yang masaknya langsung dicampur dengan ikan teri dan jengkol dimakan dengan sambal terasi dan lalapan daun singkong plus kerupuk kulit. Penyajiannya pun hanya di atas selembar daun pisang. Cara makannya bareng-bareng pula.
Ini sebenarnya sebuah aktivitas rutin manusia dalam kehidupan makan sehari-hari. Tak ada yang aneh. Tapi karena merupakan rutinitas sehari-hari, kegiatan makan seperti itu sering terlupakan. Padahal dalam momen tertentu bisa sangat bermakna.
Acara makan bersama, misalnya, berawal dari sebuah ide dadakan. Tanpa disadari ide itu menghadirkan sebuah kebersamaan yang situasi itu bisa memperkecil kesenjangan dan perbedaan yang semua itu seringkali menimbulkan perpecahan. Perpecahan antar perorangan, antar kelompok atau antar golongan atau bahkan antar masyarakat yang sering terjadi di negeri ini.
Kebersamaan itu penting, karena melalui kebersamaan ada hal-hal yang lebih besar bisa diciptakan. Apa itu ? "Kedamaian" .. situasi yang didambakan oleh setiap orang. Halaah .. acara makan nasi liwet dengan lalapan dan teri-jengkol kok larinya ke kedamaian segala. Jauh amat. Dibilang hubungan mereka jauh, nggak juga. Ibaratnya bertetangga, masih satu RW.
Bisa bercerita seperti itu, karena acara makan bareng benar-benar memberi suasana kebersamaan. Dari momen itu, kita suka lupa bahwa “anggota” yang duduk bersebelahan terdiri dari berbagai suku dengan status sosial berbeda. Tidak ada yang pernah menyinggung latar belakang masing-masing. Padahal ada segelintir Profesor, ada beberapa Doktor, Politisi, Aktifis dengan tak terhitung Sarjana strata 1. Ada juga pegawai negeri, staf kantor sampai tukang parkir, pemilik warung kopi, satpam, penjual serabi serta penjaga tempat kos. Sementara latar belakang suku mereka ada yang orang Karo, orang Aceh, orang Sunda, orang Jawa, orang Padang apalagi orang Bali.
Latar belakang seperti itu yang biasanya menimbulkan pengkotakan-kotakan dalam masyarakat jadi sirna seketika.
'Modernisasi' berhasil menjauhkan megibung, ngariung, ngamayor - tradisi kerukunan nusantara dari masyarakatnya.
Aroma daun pisang, celotehan bahkan berbagi lauk ketika terhampar - memberi nutrisi bathin dan menyempurnakan nutrisi makanan yang terhidang.
Saat itu yang ada hanya satu perasaan dan pikiran. Semua yang duduk hanya ingin merasakan nikmatnya makanan dengan kebahagiaan bersama. Artinya, cinta bisa semakin tumbuh atau semakin berkembang karena hidangan yang disajikan bermakna “bumbu” kasih sayang.
Untuk itu bisa dikatakan ".. di balik kebersamaan ada cerita kedamaian .." (".. est fabulam post pacem simultatem..")