".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 6 March 2016

Merajut Kebhinekaan Melalui Gastronomi


Penghormatan pada kebhinekaan di dalam masyarakat Indonesia yang pluralis adalah salah satu fondasi utama tatanan negara bangsa. Namun perjalanan bangsa mencatat bahwa fondasi ini terus-menerus digoyah. Konflik yang ada mewariskan kecurigaan antar kelompok yang melukai rasa kebersamaan di dalam masyarakat.

Kita semua menyaksikan berbagai luka kebangsaan akibat sikap intoleransi yang tidak lepas dari kehadiran kebijakan diskriminatif yang mengadopsi simbol-simbol kelompok dan pemaknaan tunggal atas moralitas. Semua ini menyebabkan kelompok-kelompok dalam masyarakat Indonesia tersudut hingga tidak dapat menikmati hak-hak konstitusionalnya secara utuh.

Ini menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa "kehilangan orientasi kebangsaan .. tersesat di tengah jalan yang tadinya diperkirakan mampu merajut kebersamaan .. tidak kesampaian cita-cita untuk membentuk semangat kebangsaan dan menjunjung martabat Indonesia.

Saat ini kebhinekaan bangsa masih belum dianggap nyata sebagai sebuah rahmat. Kehidupan multikulturalisme belum menjadi sebuah ideologi, masih dipahami sebagai hanya sebuah realita sosial.

Padahal kebhinekaan bangsa Indonesia tercatat dalam dokumen Sumpah Pemuda yang merupakan fakta sejarah dalam proses nation-building negara. Keberagaman budaya dari berbagai etnis suku & sub-suku serta bangsa pendatang yang bersatu dikukuhkan sebagai simbol kebangsaan Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Inilah sejatinya identitas Indonesia, dengan pluralisme-nya. Identitas yang seharusnya menjadi ”nation-branding” negara ini.

Tetapi, apakah kebhinekaan bangsa yang bermuatan konsep, budaya, nilai-nilai tradisi ini masih diminati, menjadi inspirasi, dan dimanfaatkan sebagai sumber keunggulan kreatifitas untuk pencitraan negeri ini ?
Apakah pemahamannya sudah "melonggar" dan tidak mendalam tertanam dalam jiwa raga generasi muda ?
Apakah proses merajut kebhinekaan dan budaya meng-Indonesiakan bangsa ini semakin tipis ruang geraknya ?

Pertanyaan-pertanyaan ini kerap dijawab secara ambigu yang tidak mempunyai keseragaman terhadap tafsirannya dan bermakna lebih dari satu alias berganda.

Pastinya saat ini elite penguasa gagal menangkap tuntutan masyarakat yang masih ingin pembinaan itu dilakukan. Semenjak tahun 1998, terlalu banyak karnaval politik dan kontestasi kekuasaan maupun praktek demokrasi yang tidak ter-arah telah memberi signal kepada masyarakat bahwa platform kebangsaan semakin tidak jelas penanganannya.

Oleh karena itu pertanyaan berikutnya : Apa strategi kebudayaan yang diterapkan selama ini di Indonesia ?
Instrumen apa yang cocok untuk membangun identitas kebhinekaan negara-bangsa Indonesia ?

Semasa saya kecil, selalunya diberi peranti bendera merah putih dengan nyanyian lagu Indonesia Raya yang membahana. Penanaman ritus idelogi Pancasila dan UUD 45 tertanam sejak mulai memasuki SD sampai Mahasiswa. Malah setelah bekerjapun ada penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila atau Eka Prasetya). Belum lagi lagu-lagu semangat kebangsaan lainnya yang kerap dikumandangkan dalam perhelatan kenegaraan.

Berjalan dengan waktu usai reformasi, terlihat masyarakat jalan sendiri-sendiri dengan gaya dan aksi mereka untuk menggugah kembali rasa "nation and character building" tanpa tuntunan elite penguasa. Revolusi mental belum bisa menyentuh bathin rakyat secara keseluruhan, malah masih banyak diperdebatkan kemaslahatan-nya, termasuk penyelenggaraan program bela negara.

Di awal mula negeri ini dibangun, referensi kearifan lokal merupakan elemen penting untuk membangun identitas kebangsaan yang menjadi simbol dan legitimasi persatuan sekaligus nation-branding” kebhinekaan tunggal ika-an.

Sayangnya tendensi kebijakan penguasa dimasa lalu terhadap kearifan lokal disimplifikasikan dan dibirokratisasikan. Kebijakan ini terpicu oleh kekuasaan dan dinamika keberagaman internal yang tidak memihak kepada kompleksitas warisan tradisi budaya dan menghilangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa sangat bermanfaat bagi masa depan kebudayaan masyarakat bersangkutan, atau bahkan lebih radikal : membunuhnya.

Salah satu produk kebijakan masa lalu yang disederhanakan atau dibirokratisasikan adalah dekontekstualisasi kegiatan seni dari akar budaya yang membuatnya ada. Contoh dalam seni pengolahan makanan adalah penyelenggaraan festival kuliner dalam bentuk lomba yang dilakukan secara nasional dan diikuti seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan ini adalah manifestasi keinginan untuk mewujudkan angan-angan akan adanya entitas ”kebudayaan masakan Indonesia” yang tak nyata dan di luar eksistensi dasar dari kebinekaan budaya itu.

Perbedaan konsep dan nilai- nilai estetika dari kebudayaan-kebudayaan yang berbeda, oleh sifat-sifat alaminya, tidak mungkin diperlombakan melalui pendekatan penilaian yang seragam, apalagi untuk tujuan hierarkis dengan cara menetapkan siapa yang lebih bagus dari lainnya.

Pendekatan ini, selain menimbulkan sakit hati dan kepongahan karena ekspresi kebudayaan yang demikian dianggungkan pemangkunya dikalahkan atau dimenangkan, juga mengakibatkan tercerabutnya konteks konseptual yang melatari proses kreatifitas baik dalam ranah gagasan maupun dalam implementasi kontekstual, yaitu kehadiran seni memasak dalam kegiatan-kegiatan sosiokultural.

Padahal, setiap kegiatan seni memasak yang terdapat di tengah- tengah masyarakat adat / tradisional, misalnya, akan selalu berhubungan dengan berbagai alasan kontekstual yang justru menjadi elemen paling penting bagi ketahanan hidup tradisi itu. Ketika elemen-elemen tersebut didekontekstualisasikan, atau dihilangkan konteks kegiatannya, maka kegiatan itu tidak lagi bermakna, dan kehilangan kekuatannya.

Kasus kebijakan lain yang juga mengundang kritik adalah penghilangan nama pemilik kebudayaan bersangkutan. Atribusi dan hak-hak moral terhadap karya kolektif yang seharusnya melekat pada suatu kebudayaan digantikan dengan nama propinsi. Tradisi masakan suku Karo, misalnya, diganti dengan ”budaya masakan Sumatera Utara”. Tradisi masakan suku Dayak Iban ditukar dengan ”budaya masakan Kalimantan Barat”. Seni kuliner suku Tionghoa Indonesia, disebut sebagai ”budaya masakan Jawa tengah dan Jakarta" dan seterusnya.

Dalam buku-buku pendidikan dasar, pemuatan gambar-gambar seni masakan tradisional suku, sub-suku dan etnik pendatang sering kali jarang menyebutkan identitas masyarakat adat yang menjadi sumbernya, kecuali nama propinsi. Pendekatan penyederhanaan dan homogenisasi sosiokultural di tengah-tengah fakta kebhinekaan yang sangat kompleks ini berdampak kepada hilangnya karya-karya dan pengetahuan tradisional, dan bahkan para pemangku kebudayaan yang nyata-nyata masih eksis pun secara administratif ”terhilangkan”, atau mungkin juga ”dihilangkan”.

Saya menawarkan gastronomi sebagai salah satu instrumen strategi kebudayaan. Melalui gastronomi kita bisa merajut kebhinekaan tunggal ika-an bangsa asal tanpa mengsimplifikasikan dan membirokratisasikan kearifan lokal tersebut. Saatnya elite penguasa memakai instrumen gastronomi sebagai fondasi untuk menggugah kembali rasa identitas masyarakat Indonesia yang pluralis ini. Melalui makanan kita bisa akur walaupun perbedaan ada diantara kita.

Gastronomi dapat dijadikan tools ideologi kebhinekaan bangsa. Gastronomi adalah ajaran tentang asas dan gaya hidup yang membentuk wawasan kebangsaan, ideologi, kerukunan dan kesatuan bangsa dalam seni memasak.

Gastronomi bicara soal kearifan lokal yang menutur alur sejarah dan daya cipta budaya masyarakat. Inspirasi dan kreatifitasnya menyangkut falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Kebudayaan Indonesia ada karena keberagaman tradisi masyarakat adat Nusantara, termasuk didalamnya kreasi seni masakan yang tercermin dalam gastronomi. Kalau bukan kita yang menggali kekayaan masakan, menghargai keberagamaan kearifan lokal masing-masing, lalu siapa lagi yang akan menjaganya ?

"Hiduplah tanahku, hiduplah negeri, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, untuk Indonesia Raya." Inilah syair lagu sekaligus doa bangsa kita. Hiduplah tanahku dengan membangun badannya. Hiduplah negeriku dengan membangun jiwanya.

Menghidupkan Nusantara hanya bisa dilakukan dengan membangun jiwa serta membangun badannya dengan mencangkul tanah airnya. Kebangkitan kearifan lokal terjadi karena bertemunya jiwa dan raga, pikiran dan perut, esensi dan eksistensi, visi dan aksi, serta ideologi sebagai sumber energi rakyat Indonesia. Kembalikan kearifan lokal sebagai inspirasi anak negeri di Bumi Pertiwi.

Tabek