".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 26 August 2017

Tradisi Makan Bersama


Bertahun-tahun masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan yang dianggap sangat penting, yakni berkumpul untuk makan bersama. Suasana damai membuka kesempatan bagi semua untuk menyerap hikmat, memperkuat ikatan bathin, dan tertawa bersama mengenai kejadian hari itu sambil menikmati makanan yang sehat.

Di bawah ini akan coba diketengahkan beberapa tradisi makan bersama daerah yang hingga kini masih selalu dilakukan berbagai masyarakat di seluruh nusantara.

Babancakan Tradisi  Makan Bersama Ala Banten
Babancakan ini biasa dilakukan oleh masyarakat Pandeglang, Banten. Kadang juga dikenal sebagai Bacakan. Makanan dihidangkan di atas daun pisang dan dimakan bersama sekitar 3 orang atau lebih. Semakin banyak orang yang makan maka suasana makan bersama ini akan semakin ramai. Makan bersama bacakan ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Bisa di kebun, di tepi sungai ataupun di dalam rumah.

Sebagai teman nasi, menu yang biasa disajikan diantaranya ikan mas panggang yang diperoleh dari hasil memancing di sungai. Ditambah juga dengan sambal honje dan lalapan ataupun sayur asem. Dalam menyajikan bacakan ini dilakukan kerjasama dalam memasak maupun mendapatkan bahan yang akan di masak. Masing-masing orang akan mendapatkan tugas.

Bagawa Tradisi Makan Bersama Ala Belitung
Bagawa atau begawai adalah keunikan tradisi makan bersama dari  Kepulauan Bangka. Tetapi karena penyajiannya dengan dulang maka sering juga disebut makan Bedulang. Pada saat makan bersama ini, perempuan harus bersama perempuan dan laki-laki harus bersama laki-laki.

Persiapan juga tidak sembarangan, karena mempunyai aturan. Nasi dan lauk-pauk disajikan di dulang atau tampah. Satu tampah lauk-pauk disediakan untuk 4 orang. Jadi kalau jumlah hadirinnya besar, tetap saja harus dibagi empat sesuai dengan porsi dulang.  

Menu yang dihidangkan adalah lauk yang terdiri dari ikan bakar, misalnya sate ikan pari masak kucai, sea food, daging sapi, ayam masak ketumbar nanas, sayuran jantung pisang dan daun singkong  serta sebagai pelengkapnya adalah  sambal serai. Lalu kuenya bisa kue bingke dan kue engkak.

Pada waktu akan mulai pun ada aturannya.  Saat makan tidak menggunakan sendok dan garpu, hanya tangan. Dalam hal mencuci tangan juga ada aturannya. Orang yang paling tua menjadi yang pertama mencuci tangan di wadah atau tempat air cucian tangan, sedangkan orang yang paling muda mendapat giliran yang terakhir.

Begitu pula saat melap atau mengeringkan tangan dengan memakai kain lap, dimulai dari yang tua dan terakhir yang usianya paling muda. Kain lap yang disediakan di sini hanya satu. Jadi saat mengeringkan tangan, kain lap dilipat sedemikian rupa hingga berbentuk persegi panjang. Lalu orang  yang paling tua mengeringkan tangan di satu sisi, dilanjutkan ke orang  paling tua ke dua, setelah itu kain dibalik ke sisi yang masih bersih. Barulah orang ketiga dan selanjutnya orang ke empat. Kain lap dan mangkuk cuci tangan yang hanya satu disediakan ini mempunyai arti kebersamaan yang mendalam.

Bancakan Tradisi  Makan Bersama  Ala Sunda
Bancakan atau babacakan dikenal juga dalam masyarakat Sunda. Makanan ini diwadahi nyiru (niru), dengan tilam dan tutup daun pisang, disajikan nuntuk dimakan bersama pada selamatan atau syukuran. Dalam  bancakan, makanan disediakan oleh yang punya hajata, karena sifat dari acara tradisi makan bersama ini adalah kenduri atau selamatan dari si tuan rumah sebagai simbol rasa syukur kepada nenek moyang dan Tuhan YME sebagai pencipta dengan cara-cara membagi-bagikan makanan kepada relasi.

Macam  makanan yang dihidangkan lazimnya nasi congcor atau tumpeng beserta lauk-pauknya antara lain urab sebagai sesuatu yang khas dalam hidangan selamatan. Tidak disediakan piring, para hadirin makan dengan memakai daun pisang sebagai alasnya. Makan bancakan dimulai setelah pembacaan doa selesai, setiap orang langsung mengambil dari nyiru nasi beserta lauk-pauknya.

Tradisi  makan bersama  ala Sunda ini bisa dikatakan sebagai modifikasi konsep dan bentuk sajen yang dilakukan para wali dalam menyiarkan ajaran Islam. Sebelum mengenal Islam, masyarakat di kepulauan Nusantara telah mengenal dinamisme. Salah satu ritual yang wajib mereka jalani adalah memberikan persembahan alias sajen kepada kekuatan tertinggi yang mereka tahu (para arwah nenek moyang ataupun lelembut).

Bajamba Tradisi Makan Bersama Ala Minang
Disebut juga makan barapak adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya pada acara-acara besar seperti pernikahan, perayaan panen raya dan lain-lain sebagi simbol kebersamaan.

Secara harafiah makan bajamba mengandung makna yang sangat dalam, dimana tradisi makan bersama dalam satu lingkaran akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial. Ini melambangkan persatuan dan kesatuan yang terjalin. Selain itu juga untuk meningkatkan semangat kebersamaan masyarakat.

Makan bajamba dilangsungkan dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan, dan umumnya diikuti oleh lebih dari puluhan hingga ribuan orang yang kemudian dibagi dalam beberapa kelompok. Suatu kelompok biasanya terdiri dari 3 sampai 7 orang yang duduk melingkar, dan di setiap kelompok telah tersedia satu dulang yang di dalamnya terdapat sejumlah piring yang ditumpuk berisikan nasi dan berbagai macam lauk.

Makan bajamba biasanya dibuka dengan berbagai kesenian Minang, kemudian diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, hingga acara berbalas pantun yang dikenal dengan nama "Pantun Pasambahan" sebagai penghormatan bagi siapapun yang hadir di sana. Kegiatan balas pantun ini dilakukan oleh pemangku adat dan ninik mamak masing-masing kaum.

Hal itu dilakukan sesuai dengan filosofi hidup masyarakat Minang, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, adab dalam makan bajamba didasarkan pada hadits.

Tradisi makan bajamba diyakini berasal dari Koto Gadang, kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan diperkirakan telah ada sejak agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7. Oleh karena itu, adab-adab yang ada dalam tradisi ini umumnya didasarkan pada ajaran Islam terutama hadits. Beberapa adab dalam tradisi ini di antaranya adalah seseorang hanya boleh mengambil apa yang ada di hadapannya setelah mendahulukan orang yang lebih tua mengambilnya.

Ketika makan, nasi diambil sesuap saja dengan tangan kanan. Setelah ditambah sedikit lauk pauk, nasi dimasukkan ke mulut dengan cara dilempar dalam jarak yang dekat. Ketika tangan kanan menyuap nasi, tangan kiri telah ada di bawahnya untuk menghindari kemungkinan tercecernya nasi. Jika ada nasi yang tercecer di tangan kiri, harus dipindahkan ke tangan kanan lalu dimasukkan ke mulut dengan cara yang sama.

Tujuan makan dengan cara tersebut agar nasi yang hendak masuk ke mulut bila tercecer tidak jatuh ke piring, sehingga yang lain tidak merasa jijik untuk memakan nasi yang ada dalam piring secara bersama-sama. Selain itu, posisi duduk juga harus tegap atau tidak membungkuk dengan cara bersimpuh (basimpuah) bagi perempuan dan bersila (baselo) bagi laki-laki. Kemudian setelah selesai, tidak ada lagi nasi yang tersisa di piring, dan makanan yang disediakan wajib dihabiskan.

Baseprah Tradisi Makan Bersama Ala Kutai
Baseprah ini adalah tradisi makan bersama yang dilakukan oleh suku adat Kutai yang meruapkan penduduk asli di Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Baseprah adalah bahasa Kutai yang artinya makan bersama dengan duduk bersila di atas tikar. Beseprah adalah tradisi yang dulu dilaksanakan oleh sultan (Sultan Kutai) yang merupakan kekayaan budaya masyarakat Kutai yang hidup di aliran Sungai Mahakam.

Dalam tradisi makan bersama ini tidak ada batasan sosial dalam masyarakat. Jadi antara rakyat dan pejabat bisa makan bersama-sama sesuai dengan makana yang mereka suka.

Makanan akan disajikan. Setiap orang akan memilih makanan yang disukainya dan duduk di depan makanan tersebut. Dulu tradisi makan Baseprah ini seringkali dilakukan oleh Sultan Kutai saat merayakan upacara Erau bersama rakyatnya. Tradisi makan Baseprah ini melambangkan semangat kebersamaan.

Selain itu, Beseprah melambangkan kerajaan Kutai sewaktu masih dipimpin oleh Kesultanan Kutai. Kerajaan Kutai adalah Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan ini termasuk cukup kaya karena terkenal dengan hasil pertambangannya.

Begibung, Tradisi Makan Bersama Ala Pulau Lombok
Ada tradisi menarik yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok. Begibung namanya. Begibung merupakan tradisi makan bersama yang kerap dilakukan saat dihelatnya sebuah acara di daerah Lombok, misalnya, merariq (pernikahan), sunatan, maupun acara lainnya.

Begibung dilakukan dengan menikmati sajian dalam sebuah nampan berisi nasi, lauk pauk dan air mineral secara bersama, baik oleh tiga maupun empat orang. Tidak sekadar makan bersama, dalam tradisi Begibung ini pun terkandung banyak sekali makna. Perihal berbagi kebersamaan, susah-senang, manis-pahit, semuanya dirasakan bersama. Filosofinya adalah tentang nilai kebersamaan.

Pada nampan (di Lombok biasa disebut nare) yang disajikan saat tradisi Begibung, di dalamnya berisi nasi putih, lauk pauk dan air gelas kemasan. Lauk pauk tersebut isinya tidak selalu sama antara tempat Begibung yang satu dengan yang lainnya.

Pada nampan (di Lombok biasa disebut nare) yang disajikan saat tradisi begibung, di dalamnya berisi nasi putih, lauk pauk dan air gelas kemasan. Lauk pauk tersebut isinya tidak selalu sama antara tempat begibung yang satu dengan yang lainnya. Tetapi umumnya lauk pauk yang disajikan yaitu menu-menu seperti urap, ares (sayur khas Lombok yang terbuat dari daging batang pisang yang masih muda), bebalung, telur rebus dan masih banyak lagi.

Satu nampan tersebut biasanya untuk dinikmati oleh tiga maupun empat orang. Kalau saya sih patokannya tergantung dari berapa banyak jumlah air gelas kemasan yang disediakan pada nampan. Bisa juga tergantung dari berapa potong bagian ayam ataupun berapa butir jumlah telur rebus yang disajikan. Apabila ada tiga, berarti satu nampan tersebut diperuntukkan bagi tiga orang.

Selain nasi, lauk pauk dan air gelas kemasan tadi, di dalam nampan yang digunakan untuk begibung juga disediakan kertas pembungkus nasi dan plastik kresek yang jumlahnya sama dengan berapa banyak orang yang akan menikmati sajian dalam satu nampan tersebut. Kertas dan plastik kresek yang dimaksud biasanya digunakan untuk membungkus sajian begibung yang tidak habis dimakan dan ingin dibawa pulang.

Besurong Saprah, Tradisi Makan Bersama Ala Melayu Sambas
Adat makan bersama dari Sambas ini  terdiri dari 6 jenis masakan yang disajikan dalam satu saprah. Mulai dari lauk ikan atau gulai ayam, kemudian sayuran, paceri nenas, dan makanan lainnya. Cara makan saprahan yaitu dengan duduk melantai, mengelilingi hidangan saprahan. Namun dewasa ini, penyajian ala saprahan dianggap kurang praktis dan tergantikan oleh prasmanan.


Botram Tradisi Makan Bersama ala Sunda
Masyarakat Sunda mempunyai tradisi makan bersama yang dikenal dengan sebutan botram (ngabotram) yang biasanya dilakukan di luar rumah, bisa di kebun, di tepian sungai, atau sembari pesiar yang murah meriah. Masyarakat Sunda juga biasa melakukan Botram sebelum bulan puasa. Karena acaranya bersifat yang informal, maka dalam acara  ngabotram dilarang membicarakan hal-hal serius ataupun bercerita sesuatu hal yang menyedihkan. Itu dapat merusak selera makan

Keunikan dalam kegiatan ngabotram ini, tidak ada pihak harus menyediakan makanan dan pihak lain harus menghabiskan makanan. Masing-masing orang yang hadir membawa makanan serelanya dan seadanya. Semua yang terlibat dalam dalam acara ngabotram tidak diberi ketentuan yang mengingat untuk membawa makanan khusus. Setiap yang ikut botram bisa makananya bisa dinikmati bersama

Menu lauk pauknya sederhana, tidak perlu makanan yang mewah, tidak perlu rupa-rupa perlengkapan makan, tidak ada urutan makan. Acara makan Botram berbentuk lesehan, bebas, dan tidak mengenal etika table manner, sebaliknya meleng sedikit lauk yang ada di depan kita bisa berpindah tempat dengan cepat. Menu utama Botram biasanya nasi liwet, lauknya  bervariasi, boleh ikan asin, tempe orek, ayam, oseng jengkol, petai goreng cabai dan lain-lain. Pastinya sambal dan lalapan adalah dua bagian penting yang harus ada dalam acara makan bersama botram.

Makan ala Botram mengajarkan kebersamaan, saling berbagi  dan kesederhanaan. Dari mulai mengumpulkan bahan, memasak dan memakannya semua dilakukan bersama. Bahkan saat proses makanpun masih diselingi senda gurau dan adegan geser menggeser bagian nasi masing-masing beserta lauk-pauknya, benar-benar sangat menyenangkan.

Megibung Tradisi Makan Bersama Ala Bali
Pada makan bersama Megibung ini dihidangkan gundukan nasi beserta lauk pauknya di atas nampan. Lauk yang biasa disajikan pada Megibung ini diantaranya adalah pepesan, daging, urutan, sate kablet, sate pusut, sate nyuh, sate asem, lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara dan sayur urap. Nasi ini dikelilingi oleh sekelompok orang yang telah selesai melaksanakan upacara adat. Satu porsi nasi ini bisa dinikmati oleh 4-7 orang.

Budaya makan Megibung ini biasan dilakukan di Karangasem Bali. Tradisi makan bersama Megibung ini berawal ketika Raja Karangasem yaitu I Gusti Aglurah Ktut Karangasem berperang menaklukkan kerajaan di Sasak (Lombok) pada tahun 1614 Caka (1692 Masehi). Saat prajuritnya beristirahat makan, maka Sang Raja mengajak mereka makan bersama yang disebut dengan Megibung.

Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura.

Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas yang tidak tertulis dan wajib dipatuhi secara ketat. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang (alas makan dari tanah liat atau kayu) yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa).

Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang.

Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan. Di beberapa tempat, selesai megibung biasanya dilanjutkan dengan acara minum tuak.

Orang yang mengikuti megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat. Harus menunggu orang atau sela lain menyelesaikan makannya. Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga. Jadi tradisi Megibung ini memang sarat dengan nilai-nilai kebersamaan.

Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi. Gundukan nasi dalam porsi besar ditaruh di atas nampan dan lauk pauk ditaruh dalam wadah khusus. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.

Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.

Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap. Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urap.

Biasanya setiap usai acara megibung selalu ada makanan sisa. Dulu, makanan sisa ini dikumpulkan oleh para fakir miskin yang berasal dari daerah-daerah tandus dan miskin di Karangasem. Sekarang hampir tidak ada lagi orang yang mau mengumpulkan makanan sisa megibung. Biasanya makanan sisa tersebut diberikan kepada tetangga untuk makanan babi.

Megibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam megibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi boga (hidangan makanan) sebagai berkah Hyang Widhi. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.

Orang-orang yang tidak terbiasa megibung atau yang fanatik dengan kasta akan susah mengikuti acara makan ini jika kebetulan diundang menghadiri upacara adat atau agama.

Tradisi megibung tidak hanya dilakukan oleh orang Karangasem dan Lombok yang beragama Hindu. Komunitas Muslim di Karangasem, seperti Kecicang, Saren Jawa dan Tohpati, biasa juga menggelar acara megibung. Tentu lauk pauknya tidak menggunakan daging babi. Megibung dalam komunitas Muslim biasanya berkaitan dengan acara pernikahan, sunatan, Lebaran, Maulud Nabi dan acara-acara bernafaskan Islam lainnya. Masyarakat Muslim juga terbiasa mengundang tetangga-tetangga Hindu-Bali untuk ikut megibung.

Ngaliwet Makan Bersama Ala Sunda
Demikian istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat Sunda yang akan mengadakan makan bersama dengan menu spesial di akhir pekan. Ngaliwet berarti memasak nasi liwet, nasi yang hanya ditanak sekali dan dicampur dengan rempah-rempah yang membuat nasi ini lebih beraroma dan enak.

Tradisi unik ini sudah dilakukan oleh masyarakat Sunda sejak dulu dan sudah turun temurun dalam rangka mempererat silaturahmi dan kekeluargaan.

Ngaliwet tidak hanya acara makan bersama tapi ada beberapa ritual didalamnya. Mulai dari patungan biaya membeli bahan makanan atau menyumbangkan jenis bahan makanan mentah untuk dimasak.

Ngaliwet menjadi tradisi orang sunda yang telah lama ada. Tidak diketahui sejak kapan tradisi ngaliwet tersebut sudah berlangsung. Ngaliwet menjadi acara istimewa karena, disajikan dengan cara yang berbeda dari memasak nasi biasa. Ngaliwet membutuhkan sebuah kastrol untuk memasak. Bentuknya panci bulat lonjong yang sering digunakan sebagai peralatan camping.

Dalam memasak nasi liwet, kita membutuhkan keahlian dan ketelitian. Diawali menggoreng irisan beberapa siung bawang merah, lalu memasukkan air dengan ukuran perbandingan beras. Bumbu tambahannya biasa digunakan beberapa daun salam, sereh, dan garam. Untuk lauknya bisa apa saja sesuai selera.

Terkadang dengan membakar ikan mas atau ayam, bisa juga yang lebih sederhana menggunakan ikan asin, lalapan, dan sambal. Ikan asin pun biasanya dimasak cukup dengan disimpan di atas nasi yang sudah hampir matang. Demikian juga dengan lalapan dan bahan untuk sambal, semua disimpan diatas nasi. Setelah nasi matang, maka, akan disiapkan beberapa lembar daun pisang sebagi pengganti piring untuk alas makan. Semua nasi dan lauk-pauknya disebar merata ke seluruh bagian daun pisang sesuai jumlah orang yang ikut serta dalam acara makan tersebut.

Masak nasi liwet ini hanya sekali, maka dari itu takaran airnya harus pas, karena jika tidak pas nasi liwet akan jadi setengah matang atau sebaliknya. Jika air terlalu banyak makan akan menjadi seperti bubur.

Ngaliwet biasanya dilaksanakan di luar rumah. Bisa di kebun, bukit gunung, atau pinggiran sawah. Tergantung letak geografis sebuah wilayahnya.

Patita Tradisi Makan Bersama Ala Maluku
Keluarga dii Maluku seringkali menggelar tradisi makan Patita. Makan bersama ala keluarga Maluku ini selain dihadiri oleh anggota keluarga juga bisa dihadiri oleh siapa saja yang datang. Semua anggota keluarga bisa mencicipi semua makanan yang dihidangkan. Makanan yang dihidangkan adalah masakan tradisional Maluku. Seperti nasi kelapa dan nasi kuning . Acara makan bersama ini seringkali digelar pada saat hari-hari tertentu yang dianggap penting.

Salah satu desa yang masih menjaga tradisi makan Patita ini adalah Desa Oma yang terletak di Pulau Haruku Kabupaten Maluku. Ada dua tradisi makan Patita Adat yang diselenggarakan di desa Oma. Pertama adalah Patita Marei yaitu para orang tua yang memberi makan anak-anak. Kedua adalah anak-anak yang memberi makan pada orang tua. Tradisi makan Patita ini digelar di atas meja makan yang panjangnya bisa mencapai 200 meter. Meja ini diberi alas kain berwarna putih yang melambangkan kesucian.

Saprahan Tradisi Makan Bersama Ala Melayu Pontianak
Saprahan merupakan tradisi makan bersama adat melayu Pontianak yang kini mulai hilang. Padahal, tradisi makan bersama ini penuh filosofi. Tradisi makan bersama ini menjunjung rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang menyatu, artinya duduk sama-sama rendah, berdiri sama-sama tinggi sebagai wujud kebersamaan, keramahtamahan, kesetiakawanan, persaudaraan serta mempererat tali silaturrahmi antar sesama masyarakat

Dalam saprahan, terkandung bagaimana bersikap sopan saat menikmati sajian atau hidangan makanan dalam sebuah acara. Bagaimana sikap duduk yang baik, di mana kaum pria duduk bersila sedangkan kaum wanita duduk berselimpuh.

Saprahan dilakukan dalam berbagai acara seperti pernikahan, khitanan dan acara syukuran lainnya. Dalam acara saprahan, semua hidangan makanan disusun secara teratur di atas kain saprah..

Peralatan dan perlengkapan dalam adat seprahan mencakup kain saprahan, piring makan, kobokan beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman. Menu utama hidangan adat seprahan diantaranya nasi putih atau kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur pacri nenas atau terong, selada, acar telur, sambal bawang. Kemudian ada pula air serbat dan kue tradisional khas Pontianak.