".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday 26 October 2017

Kala Identitas Jarang Ditampilkan


Makanan sudah lama menjadi alat diplomasi. Nyaris semua bangsa punya tradisi menjamu tamu dengan pesta yang menghadirkan makanan khas mereka. Hingga sekarang, tradisi menjamu tamu masih menjadi kebiasaan negara.

QUOTE
Sampai sekarang orang Indonesia masih terbawa-bawa oleh sifat rendah diri, jang masih sadja mereka pegang teguh setjara tidak sadar. Hal ini menjebabkan kemarahanku baru-baru ini. Wanita-wanita dari kabinetku selalu menjediakan djualan makanan Eropa. 'Kita mempunjai panganan enak kepunjaan kita sendiri,' kataku dengan marah. 'Mengapa tidak itu saja dihidangkan?' 'Ma'af, Pak,' kata mereka dengan penjesalan, 'Tentu bikin malu kita sadja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada makanan kita jang melarat.' Ini adalah suatu pemantulan-kembali daripada djaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah diri kami jang telah berabad-abad umurnja kembali memperlihatkan diri.

UNQUOTE

Paragraf itu adalah omelan Sukarno yang dimuat dalam buku biografinya karya Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Saat itu Sukarno sedang giat-giatnya membangun mentalitas Indonesia. Selain melarang musik ngak ngik ngok, Sukarno juga berusaha mengangkat harkat makanan Indonesia. Salah satu usaha Sukarno tampak dalam penerbitan buku Mustika Rasa (1967), buku masak pertama sekaligus satu-satunya yang dicetak oleh negara.

Tapi ternyata berpuluh tahun kemudian, usaha Sukarno masih menemui hambatan berarti. Setidaknya jika membicarakan hidangan kenegaraan jenis makanan apa yang bisa dijadikan ikon diplomasi melalui makanan.

Negara Asia lain menyadari pentingnya food diplomacy atau dikenal dengan istilah politinya Gastro-Diplomacy. Bukan saja di jenis menu makanannya tapi juga kelengkapan peranti saji dan fasiltas perangkat memasaknya berikut chef.

Pemerintah Cina dalam setiap acara kenegaraan, baik di luar negeri dan di dalam negeri, menyediakan perkakas khusus untuk masing-masing Presiden dalam kepentingan  food diplomacy. Untuk Presiden, peranti sajinya terbuat dari emas. Sedangkan untuk tingkat menteri peranti sajinya terbuat dari perak. Sedangkan untuk menu makanan (boga) sudah bsia dipastikan negara Tirai Bambu ini kaya akan itu.

Pemerintah Amerika Serikat adalah salah satu negara dengan sajian kenegaraan yang menarik, sekaligus terbuka. Masyarakatnya kebanyakan pun bisa mengetahui menu apa saja yang disajikan para juru masak White House. Jepang dan Thailand juga demikian dalam menampilkan kekayaan Gastro-Diplomacy negara masing-masing melalui makanan (boga).

Indonesia bagaimana ?  Tidak demikian dengan di Indonesia. Sudah lazim dan terbiasa semua makanan yang disajikan kepada Presiden atau tamu kenegaraan dipesan Kepala Rumah Tangga kepada hotel berbintang. Pemesanan tersebut sesuai dengan permintaan Presiden atau Kepala Rumah Tangga Istana. Jadi tidak ada istilah chef istana, apalagi fasiltas perangkat memasaknya.

Hampir sebagian negara-negara di dunia punya chef istana seperti Cristeta Comerford (chef Eksekutif Gedung Putih), Mark Flanagan (chef Buckingham Palace), Shalom Kadosh (chef Presiden Israel), Ulrich Kerz (chef Kanselir Jerman), hingga Hilton Little (chef Presiden Afrika Selatan). Presiden bisa berganti, chefnya tidak berganti kecuali meninggal dunia.

Jean Anthelme Brillat-Savarin mengatakan "Takdir suatu bangsa itu tergantung dari apa yang mereka makan" . Dengan kata lain ucapan Savarin memberi pesan "Makanan adalah identitas bangsa". Bagi Savarin makanan dan negara amat erat kaitannya.

Makanan sudah lama menjadi alat diplomasi di berbagai pemerintahan dunia. Nyaris semua bangsa punya tradisi menjamu tamu dengan pesta yang menghadirkan makanan khas mereka. Hingga sekarang, tradisi menjamu tamu masih menjadi kebiasaan negara. Apalagi keluwesan memilih menu memang menjadi salah satu karakter hidangan kenegaraan. Tapi akan sangat cilaka kalau sebuah negara nyaris tidak pernah menghidangkan menu nasionalnya untuk hidangan kenegaraan..

Oleh karena itu semua usaha Sukarno untuk mengangkat kekayaan boga Indonesia, menjadi terasa sia-sia. Aneka peralatan makan apik yang dulu disediakan oleh Soekarno pun sudah hilang tak berbekas di istana. Sekilas hal ini memang terkesan sepele. Tapi negara yang besar adalah negara yang menghargai kebudayaannya sendiri, termasuk boganya. Jamuan kenegaraan adalah wajah penting dalam dunia diplomasi. Kalau wajahnya bopeng, maka tak mengherankan negara ini akan dipandang sebelah mata.

Note: 
Cuplikan artikel Reja Hidayat & Arbi Sumandoyo