Industri kelapa sawit, terutama di negara-negara ASEAN, sebagai negara produsen besar, saat ini menghadapi banyak tekanan besar.
Industri kelapa sawit dirusak di Eropa dengan banyak lobi dan kampanye yang meminta konsumen untuk berhenti membeli produk dengan minyak makan sawit.
Ini menjadi tekanan global sejak tahun 1980 hingga hari ini, tanpa tanda-tanda penyelesaian yang baik.
Bisa dikatakan kampanye negatif industri minyak sawit ini dianggap semata persaingan dari produsen minyak nabati lainnya atau bahkan dari negara-negara maju.
Kampanye negatif terhadap industri minyak sawit itu sendiri semakin tidak adil, tidak bertoleransi dan pelanggaran prinsip pasar bebas dan kemandirian konsumen.
Alasan klasik yang beresiko untuk mendukung pertanian monokultural (sawit) agak kurang dapat diterima oleh mayapada bangsa Indonesia (termasuk negara-negara produsen lainnya).
Apapun deskripsi narasi artistiknya, termasuk efek jangka panjang memberi pengaruh terhadap habitat dan ekosistem tidak membuktikan fakta yang sebenarnya.
Narasi sugestif masyarakat Eropa agar bangsa Asia mendukung resusitasi banyak varietas tanaman dan hewan pun tidak menjadi ukuran melarang penggunaan minyak makan sawit.
Untuk diketahui pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Pertanaman padi, jagung, atau gandum sejak dulu bersifat monokultur karena memudahkan perawatan.
Dalam setahun, misalnya, satu lahan sawah ditanami hanya padi, tanpa variasi apa pun. Akibatnya hama atau penyakit dapat bersintas dan menyerang tanaman pada periode penanaman berikutnya.
Cara budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke-20 di dunia serta menjadi penciri pertanian intensif dan pertanian industrial di negara-negara dunia, termasuk Indonesia maupun negara-negara Asia.
Pertanian pada masa kini biasanya menerapkan monokultur spasial tetapi lahan ditanami oleh tanaman lain untuk musim tanam berikutnya untuk memutus siklus hidup (daur ulang) sekaligus menjaga kesehatan tanah.
Masyarakat Uni Eropa yang mengadopsi Draft Delegated Act (DDA) untuk mengurangi dan pada akhirnya melarang penggunaan biofuel dengan bahan baku kelapa sawit menjadi pukulan berat untuk industri sawit.
Kriteria yang dipergunakan dalam DDA yang focus pada periode 2008-2015 telah menempatkan sawit menjadi satu-satunya komoditas minyak nabati sebagai penyebab pengrusakan hutan (deforestasi).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Rabu, 7 Mei 2019 menyampaikan bahwa Indonesia menjadi satu-satunya negara pemilik hutan hujan tropis yang mendapat apresiasi Internasional atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi.
Jika dibandingkan negara-negara pemilik hutan hujan tropis lain di dunia seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia angka laju deforestasi Indonesia jauh lebih rendah, hal ini berdasarkan data presentase perubahan dari tahun 2017 ke tahun 2018.
Narasi yang dikembangkan oleh Uni Eropa dengan mengabaikan nilai ekonomis dan apresiasi atas keberhasilannya menjaga hutan dari deforestasi adalah upaya yang dengan sengaja dilakukan sebagai bentuk kampanye negatif untuk memperlemah industri sawit Indonesia.
Oleh karena itu Indonesia harus mengembangkan narasi yang setara tanpa harus mengikuti genderang yang ditabuh oleh Uni Eropa. Narasi tersebut haruslah narasi yang dapat diterima oleh banyak pihak baik di dalam maupun luar negeri serta berlaku untuk semua jenis sumber minyak nabati. United Nations Sustainable Development Goals yang lebih dikenal dengan UN SDGs adalah platform yang lebih tepat untuk dipergunakan.
Industri sawit memahami bahwa Uni Eropa mengadopsi DDA sebagai kelanjutan dari komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris yang lebih menekankan pada pengurangan emisi gas rumah kaca.
Sementara pendekatan yang dilakukan Indonesia adalah untuk mendukung pencapaian UN SDG 2030. Meskipun pada dasarnya baik Indonesia maupun Uni Eropa juga mendukung Perjanjian Paris maupun UN SDG’s.
Untuk itu dipandang perlu menyusun platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia melalui narasi Gastro-Diplomacy yang berjalan seiring dengan platform UN SDGs.
Gastro-Diplomacy adalah kependekan dari Gastronomi Diplomasi yang dalam pemahaman lain disebut sebagai Diplomasi Melalui Makanan.
Gastro-Diplomacy merupakan cabang lain dari Diplomasi (atau Diplomasi Publik), di mana soft power digunakan sebagai alat perang.
Pada hakekatnya, Gastronomi Diplomasi adalah tindakan memenangkan hati dan pikiran melalui perut yang menggunakan makanan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan harapan meningkatkan interaksi dan kerjasama.
Makanan (boga) digunakan untuk menunjukkan wibawa, prestise & image suatu negara di mata dunia, yang nota bene bernuansa dapat menaikkan brand power equity negara yang bersangkutan.
Makanan dimanfaatkan menjadi lambang identitas nasional, yang mana representasi ini bertujuan untuk mencapai nilai-nilai ekonomi melalui pengakuan global.
Dalam keseharian dunia bisnis, makanan (boga) kerap dipakai sebagai bagian dari entertainment karena merupakan strategi atau taktik dari lobi dan negosiasi yang dilakukan untuk menghasilkan target usaha dagang.
Gastro-Diplomacy terkait dengan pengenalan & pertukaran budaya boga dalam ruang lingkup tidak resmi kepada masyarakat kebanyakan. Dikenal dengan istilah grass-root cuisine yang merupakan praktik kontak langsung (people to people contact) pada level masyarakat umum (publik).
Bentuk aksinya dilakukan melalui makanan jajanan jalanan (street food), rumah makan, restoran, maupun acara festival makanan (boga & upaboga) serta kunjungan pariwisata.
Usulan platform baru kampanye (persuasi) positif sawit Indonesia adalah melalui narasi Gastro-Diplomacy dengan cara intrusi atau penerobosan langsung melakukan sosialisasi & promosi minyak makan sawit ke pangsa pasar di dunia dan atau di negara-negara pesaing.
Gastro-Diplomacy dapat menjadi inovasi di luar kotak (out of the box) dari instrumen yang selama ini digunakan Indonesia menghadapi black campaign palm oil dari kalangan tertentu di negara-negara Uni Eropa.
Metode out of the box dapat menciptakan pemikiran yang tidak biasa dan mengandung inovasi sehingga mereka dapat keluar dari kotak dengan melihat ke dalam lebih baik.
Dengan berpikir di luar kotak, lebih mudah untuk melihat tantangan, melihat solusi yang berbeda dan melihat hal-hal dengan perspektif yang berbeda.
Menggunakan metode out of the box memang tidak mudah, dalam arti bisa keluar dari cara konvensional dan melihat semuanya dari perspektif yang berbeda akan mampu menghasilkan inovasi dan solusi yang tepat.
Gastro-Diplomacy adalah bentuk diplomasi positif; yang dengan manfaat dan kemampuannya dapat memberi pemahaman "di luar kotak” bahwa minyak sawit sebagai minyak nabati terbukti tidak berbahaya (karsinogenik).
Contoh Gastro-Diplomacy dengan memilih lokasi prime area & strategis di negara-negara Uni Eropa untuk mempromosikan penggunaan minyak makan sawit dalam hidangan makanan.
Umpamanya membuka loket atau kios makanan Nusantara di airport - airport negara bersangkutan dengan daya tarik kopi & teh Indonesia namun menyajikan masakan makanan yang menggunakan minyak makan sawit.
Dengan hadir langsung di negara bersangkutan, apalagi di lokasi prime area & strategis, seperti di airport setempat dimana manusia dari seluruh dunia berseliweran, akan lebih terasa dan lebih mengena brand power Indonesia, khususnya dalam mengatasi masalah black campaign palm oil.
Contoh Gastro-Diplomacy lainnya adalah hadir dalam acara-acara festival makakan (boga) & gastronomi kelas dunia antara di negara-negara Uni Eropa & Amerika, di mana Indonesia berpartisipasi sebagai pembicara dan melakukan atraksi demo masakan menggunakan minyak makan sawit.
Festival seperti di Madrid Fusion (Spain), Gastro Festival (Spain), San Sebastian Gastronomika (Spain), Internationale Tourismus-Börse (Germany), Les Etoiles de Mougins (France), Fête de la Gastronomie (France), Gastronomie Jaarbeurs (Netherlands), World Expo Milano (Italia), Salon de Gourmets (Spain), Expogast (Luxembourg), Bocuse d'Or or the Concours mondial de la cuisine (France), and The International Exhibition of Culinary Art or Internationale Kochkunst Ausstellung (Germany).
Contoh Gastro-Diplomacy berikutnya adalah dengan hadir langsung (directly present) di pasar dunia khususnya di negara-negara Uni Eropa yang selama ini kalangan tertentu melakukan black campaign terhadap sawit Indonesia.
Hadir langsung dalam arti buka kantor perwakilan di beberapa negara bersangkutan, khususnya Eropa Barat, untuk melakukan lobby tingkat atas dengan assign perusahaan atau tokoh lobbyist terbaik dunia, intelijen gathering & action, menggunakan influencer dan endorser, kampanye penggunaan minyak makan sawit dengan menyelenggarakan berbagai acara festival makanan Nusantara ke kalangan masyarakat bawah, aksi tindakan media dan lain sebagainya yang pada intinya adalah melakukan communication strategy yang lebih nyata dengan menggunakan perangkat gastronomi sebagai instrumen diplomasi.
Perangkat Gastro-Diplomacy yang digunakan adalah :
1. Gastronomi Konvensional (Popular) diperuntukkan bagi masyarakat kalangan bawah (atau kebanyakan) dengan jenis makanan (boga) grass root cuisine.
Bentuk aksinya dilakukan melalui makanan jajanan jalanan (street food), rumah makan, restoran, maupun acara festival makanan serta kunjungan pariwisata.
2. Gastronomy Luxury diperuntukkan bagi masyarakat kalangan atas (high end) dengan jenis makanan (boga) serupa dengan Culinary-Diplomacy (high level cuisine), namun jenisnya hanya berupa Adiboga (fine dine) tanpa Andrawina (official banquet)
Bentuk aksinya dilakukan melalui perjamuan atau perhelatan makan Adiboga
3. Culinary Diplomacy terkait dengan pengenalan & pertukaran budaya boga dalam ruang lingkup resmi di meja perundingan oleh kalangan elit politik Pemerintahan (atau melalui perwakilan negara) dengan counterpartnya di luar negeri. Dikenal dengan istilah perjamuan makan Adrawina Adiboga.
Andrawina (official banquet) Adiboga (fine dine) adalah seni memasak tingkat tinggi (high level cuisine).
Culinary-Diplomacy terkait dengan aktifitas lobi, negosiasi & upacara diplomatik kenegaraan (state diplomatic ceremonial).
Contoh terakhir Gastro-Diplomacy adalah melibatkan influencer dan endorser terkenal melakukan soft counter terhadap black campaign palm oil yang dengan sengaja dilakukan negara-negara barat sebagai bentuk kampanye negative untuk memperlemah industri sawit Indonesia.
Pesan influencer dan endorser kepada masyarakat global adalah untuk membangun citra minyak sawit, yang tidak mengandung kolesterol dan zat negatif lainnya, seperti asam lemak jenuh & lemak trans. Selain memberi suara kepada masyarakat dunia bahwa mereka bebas untuk makan apa pun yang mereka inginkan, termasuk minyak makan berbasis sawit.
Pemberdayaan minyak makan sawit melalui Gastro-Diplomacy dapat memberi pengertian bahwa sawit adalah sumber utama minyak nabati masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Melalui Gastro-Diplomacy para influencer dan endorser dapat memberi pencerahan bahwa industri minyak sawit menjadi lokomotif penghasil devisa terbesar perekonomian negara serta penyerapan tenaga kerja, khususnya dalam industri makanan & minuman Indonesia.
Kontribusi perkebunan minyak sawit dengan pola kemitraan telah membawa petani Indonesia keluar dari kantong kemiskinan dan keterbelakangan menjadi masyarakat kelas menengah serta menjadi tulang punggung roda pembangunan perekonomian daerah.
Industri minyak sawit adalah paradigma ketahanan pangan Indonesia mengingat merupakan komoditas strategis nasional penting yang berdaya saing & berkelanjutan, khususnya bagi kesejahteraan petani kecil (smallholders), dan pencapaian SDG’s, khususnya kepada negara-negara konsumen.
Kelapa sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia yang nilai ekspor produknya menyumbang devisa kepada negara sebesar USD 22,97 Milyar atau setara dengan Rupiah 300 Trilyun pada tahun 2017 (atau 12,3% dari total ekspor tahun 2016).
Rekor itu mengkukuhkan sawit sebagai industri penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia, jauh melampaui ekspor migas & ekspor lima komoditas perkebunan utama Indonesia lainnya yakni seperti karet, kakao, kopi, tebu & teh.
Negara Malaysia sudah melakukan itu dengan melibatkan orang-orang ternama (artis atau olah ragawan dan lain sebagainya) sebagai influencer dan endorser, termasuk Perdana Menteri Mahathir sendiri bicara secara viral di berbagai prime media dunia.
Sebagai kata penutup, Indonesia harus mempertimbangkan penggunaan Gastro-Diplomacy sebagai instrument baru dalam menghadapi isyu-isyu kelapa sawit, khususnya di negara-negara dari kompetisi perdagangan tersebut.
Artinya dalam Gastro-Diplomacy berbagai seni dapur masakan dan hidangan Nusantara Indonesia yang menggunakan minyak makan sawit ditampilkan.
Jakarta, 1 Oktober 2019
Indrakarona Ketaren
Indonesian Gastronomy Association