".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday, 20 September 2020

Perjalanan Sebuah Kreatifitas

 


Tanpa disadari sudah sepuluh tahun berjalan .. 
Kalau mau di bilang relatif muda usianya ..

Ketika awal dimulai, saya tidak mengerti Gastronomi, dan saya tidak berencana perjalanan hidup di Gastronomi .. 
Masalahnya bukan itu ..

Yang menjadi masalah, saya tidak memiliki sumber daya manusia yang passion terhadap Gastronomi, apalagi tulus membangunnya .. 
Peluang yang terbaca adalah para pesaing memiliki intolerance habits yang berlebihan meremehkan orang lain ..
Mereka pikir, bisa membangun Gastronomi dengan popularitas, kekuasaan dan duit .. disini terlihat keangkuhan mereka ..

Proses awal membangun, terasa cukup berat ..
Mental dan ego manusianya tidak terstruktur dalam suatu kepentingan bersama ..
Konflik kepentingan kerap terjadi, sikut menyikut dan adu domba sering terdengar .. karena tujuannya hanya pamrih dan mencari panggung pribadi ..

Passion terhadap Gastronomi hanya sebatas ucapan di bibir, bukan tertanam di bathin .. 
Tak paham apapun mereka itu tentang Gastronomi ..

Perpisahan-pun tak terhindarkan .. Terjadi tiga kali dalam kurun waktu sepuluh tahun ..
Yang ketiga kali bukan hanya perpisahan saja tapi anggota pun diambil, malah aset organisasi pun dibawa kabur ..
Bisa dikatakan yang ikut pindah hanya korban dari segelintir emosi manusia ...

Di tahun kesepuluh dimulai lagi lembaran baru, lingkungan baru dan teman-teman baru ..
Rasa kekeluargaan dan passion mulai dibangun kembali ..
Passion mulai tampak dalam kepribadian masing-masing. Mungkin ini jalannya ..

Membangun passion memang membutuhkan waktu .. 
Gastronomi adalah proses kreatifitas menaman passion dan spirit of learning ..

Kreatifitas diperlukan untuk mengobarkan sifat eksploratif, sehingga rasa penasaran dan keberanian mengambil resiko bisa tercipta ..
Jangan takut salah, apalagi kalah !! .. 
Banyak lah bertanya !! ..
Berani buat salah, apalagi menerima kalah !! ..
Jangan khawatir dianggap bodoh !! ..

Peran saya hanya sebatas fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya ..
Mari tanamkan passion .. Passion adalah anugerah Tuhan ..
Sebagai pemandu, saya hanya bertanggung-jawab untuk mengarahkan, menemukan dan mendukungnya ..

Jika kita tidak mengerti Gastronomi, mulai hargai !! ..
Buat rencana terpadu !! ..
Ingat, rencana yang baik hanya diperhitungkan jika kita bisa jalankan ..

Namun apapun itu, adalah suatu kesenangan terbesar dalam hidup dapat melakukan apa yang orang lain mengatakan kita tidak bisa lakukan, dan tanpa disadari hal itu sudah berjalan sepuluh tahun ..

Mari kita bangun kebersamaan dan solidaritas Gastronomi ..
Gastronomi adalah kita .. Gastronomi adalah anda .. Gastronomi adalah keluarga ..

Salam Gastronomi ..
Cibus Habet Fabula - Food has Its Tale - Makanan Punya Kisah ..

Tabek ..
Betha Ketaren (Indra) ..
Co-Chairman Founders

Wednesday, 16 September 2020

Wisata Gastronomi di Thailand

 Kampanye pariwisata gastronomi dimulai sejak tahun 1990-an oleh Tourism Authority of Thailand (TAT). Pada tahun 1994, pemerintah Thailand meluncurkan kampanye pemasaran pariwisata yang sukses, “Amazing Thailand”, yang juga menyoroti masakan Thailand. Namun, kampanye pemasaran ini tidak secara sistematis mempromosikan keahlian memasak Thailand, tetapi hanya mempromosikannya sebagai salah satu dari banyak elemen atraksi pariwisata tak berwujud (intangible tourism attractions) Thailand.


Inisiatif promosi resmi pertama yang secara eksplisit untuk gastronomi Thailand dimulai sekitar tahun 2003 dengan kampanye ambisius Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatrastartedan bernama "Thai Kitchen of the World" (Dapur Thailand untuk Dunia).  

Kampanye ini mempromosikan makanan Thailand sebagai masakan dunia terkemuka yang dilakukan berdasarkan prinsip ekonomi kreatif di bawah konsep "Thailand Food Forward" (Departemen Hubungan Masyarakat Pemerintah, 2009).

Tujuan pemerintah Thailand terhadap prakarsa "Thai Kitchen of the World" adalah :
1. Menjadikan produk makanan Thailand sebagai ekspor utama Thailand, dengan memprioritaskan "keselamatan, kesehatan, dan sanitasi".

2. Mendorong ekspor bahan mentah (pertanian) dan bahan (bumbu) untuk memasak resep Thailand.

3. Mendorong restoran Thailand di luar negeri bertindak sebagai pusat informasi turis serta pasar untuk kampanye "Satu Tambon (distrik) Satu Produk".

4. Meningkatkan jumlah restoran Thailand di luar negeri untuk mempromosikan "cita rasa Thailand yang sebenarnya" dengan standar internasional.

Kampanye semacam itu merupakan katalisator yang efektif untuk gastrodiplomacy. Penggunaan masakan nasional dan regional untuk mendorong publik global mengembangkan asosiasi positif dengan citra dan budaya suatu bangsa.

Di bawah kampanye pariwisata "Discover Thainess", yang diluncurkan pada tahun 2015, "Amazing Thai Taste" dipromosikan pada tahun 2016, menggambarkan masakan Thailand sebagai salah satu dari tujuh atribut unik "Thainess".

Pada 2017, CNN menobatkan Thailand sebagai tujuan jajanan kaki lima (street food) terbaik dunia dan Michelin Guide mulai menerbitkan buku edisi Bangkok pada tahun yang sama, juga memberikan satu bintang kepada seorang penjaja makanan jalanan tradisional Thailand.

Dalam Rencana Pembangunan Pariwisata Nasional Kedua (2017-2021), pemerintah Thailand lebih fokus pada promosi makanan daerah dan masakan Thailand sebagai elemen identitas budaya dan selanjutnya mendorong pelestarian keaslian lokal sebagai produk pariwisata. Pendekatan ini dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pariwisata berbasis komunitas, yang telah dipromosikan oleh pemerintah Thailand selama dekade terakhir.

Wisatawan bisa belajar tentang keunikan masakan dari berbagai daerah di tanah air. Wisata gastronomi telah menjadi aspek penting Thailand dalam memasarkan lokasi destinasi, dan daerah-daerah setempat telah mempromosikan masakan daerah mereka melalui pariwisata berbasis komunitas, festival makanan, dan jalur kuliner.

Organisasi publik “Daerah Tertunjuk untuk Administrasi Pariwisata Berkelanjutan” atau "Designated Areas for Sustainable Tourism Administration" (DASTA) telah mengintegrasikan pariwisata gastronomi ke dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di wilayah sasaran negara.

Karena makanan Thailand telah menjadi masakan global, maka publik dunia cenderung berhubungan dalam keseharian mereka dengan tradisi kuliner Thailand. Melihat masakan Thailand sebagai "pendongeng budaya Thailand" (storyteller of Thai culture), pemerintah Thailand secara maksimal memantau dan mempromosikan kualitas makanan dan layanan dalam ekspor makanan Thailand. Pada tahun 2017 menyatakan kampanye Thai Kitchen of the World berhasil membangun dan menegakkan standar serta meningkatkan kesadaran dunia tentang makanan Thailand seiring juga popularitas masakan nasional itu sendiri tumbuh di luar negeri.

Pemerintah Thailand juga mengakui pentingnya mendukung konteks makanan yang unik dan berkesan seperti homestay, kelas memasak, dan aktivitas pengalaman seperti memancing dan mengumpulkan daun teh sebagai latar yang didokumentasikan dan diedarkan dalam kata-kata dan gambar melalui saluran media sosial.

Otoritas Pariwisata Thailand juga bekerja sama dalam produksi program televisi seperti FoodWork dan Caravan Samranjai untuk mempromosikan budaya memasak Thailand. Inisiatif semacam itu dianggap berkontribusi pada munculnya kelas memasak dan pengalaman kuliner lainnya sehingga menjadi salah satu kegiatan pariwisata yang paling populer di Thailand. Pengalaman ini, pada gilirannya, meningkatkan kesadaran akan nilai pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang melestarikan dan menghargai jalur makanan lokal.

Misalnya, di destinasi wisata top di Thailand, seperti Chiang Mai, kelas memasak menjadi kegiatan pariwisata yang paling populer. Sekolah memasak dipandang sebagai alat yang penting, tidak hanya untuk menyebarkan apresiasi terhadap makanan Thailand, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran akan aspek budaya dan tradisi Thailand lainnya di kalangan wisatawan internasional.

Di bawah Rencana Pengembangan Pariwisata Nasional 2017 -2021 (National Tourism Development Plan), pemerintah Thailand terus mengembangkan pariwisata gastronomi sebagai komponen dari pendekatan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) di banyak tujuan lokasi destinasi di Thailand, dengan cara memberikan dukungan kepada masyarakat lokal setempat dan perusahaan terkait pariwisata (Departemen Pariwisata 2017 ).

Praktik terbaik di Gastrodiplomacy Thailand
Melalui kampanye "Dapur Thailand untuk Dunia", bisa dikatakan, sejak tahun 2000-an, negara ini telah mempraktikkan gastrodiplomasi melalui strategi pemasaran pariwisata yang sukses. Ini secara signifikan telah meningkatkan daya saing masakan Thailand di seluruh dunia, memperluas pengaruh budaya Thailand, dan mempromosikan ekspor pertanian.

Bisa dikatakan, Thailand telah membangun branding negaranya melalui gastrodiplomacy yang memperluas soft power negara melalui diplomasi budaya. Akibatnya, banyak restoran Thailand dibuka di luar negeri dan menjadi promotor identitas nasional Thailand di luar negeri. Makanan Thailand saat ini menempati peringkat ke-4 masakan etnis paling populer dan jenis makanan favorit ke-6 secara keseluruhan.

Otoritas pariwisata Thailand telah memanfaatkan situs web pariwisatanya untuk lebih memudahkan wisatawan dalam mengakses rekomendasi cepat tentang restoran dengan berbagai kategori pencarian seperti gaya hidup, masakan, tujuan, harga, standar pariwisata, dan kata kunci lainnya.

"Kampanye Thailand Global" merupakan contoh kuat tentang fakta bagaimana otoritas Kementerian yang berbeda di negara itu dapat bekerja sama satu sama lain untuk menciptakan citra pariwisata nasional yang unik terkait dengan makanan, mode, kesehatan, dan budaya.

Ini adalah upaya bersama Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Tenaga Kerja untuk memasarkan masakan Thailand melalui inisiatif promosi budaya dengan membedakan destinasi dari yang lain.

Pemerintah Thailand juga memberikan akreditasi kepada Restoran Thailand di luar negeri dalam memantau dan menjaga keaslian maupun kualitas seni masakan yang disajikan sehubungan dengan kriteria yang ditentukan. Selain itu restoran-restoran ini juga menerima dana dan pinjaman dari Pemerintah Thailand untuk operasional mereka (Lipscomb, 2019). Dengan demikian, pemerintah Thailand dapat mengontrol peran pembangunan citra restoran Thailand di luar negeri.

Selain itu, terdapat pula program pelatihan kuliner profesional pemerintah untuk membuat koki Thailand memenuhi syarat bekerja di luar negeri. Pemerintah mengeluarkan "Visa Kerja Koki Thailand" bagi mereka yang bekerja di luar negeri di negara-negara seperti Selandia Baru. 

Praktik gastrodiplomasi Thailand telah menginspirasi negara-negara lain menggunakan masakan Nasionalnya sebagai strategi pencitraan branding negara mereka di luar negeri. Pemerintah Thailand terus secara gencar mempromosikan masakan nasional dengan program mulai dari melibatkan para Duta Besar Thailand di luar negeri hingga promosi pasar malam Thailand dan makanan jalanan (street food) serta upaya kolaborasi lainnya dengan entitas sektor swasta seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), serta memaksimalkan penyelenggaraan acara makan bersama dalam menampilkan seni masakan Thailand di Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal atau Konsulat di negara akreditasi. Acara makanan dan budaya yang diselenggarakan secara umum sepanjang tahun (Kementerian Luar Negeri Kerajaan Thailand, 2018). Upaya saat ini berfokus pada wilayah AS dan Eropa serta negara-negara non-barat.

Terjemahan bebas dari tulisan : Wantanee Suntikul, The Hong Kong Polytechnic University

Tuesday, 15 September 2020

Lauk Pauk Ritual Persembahan Masyarakat Hindu-Bali

 Dalam keseharian, makanan kerap diterima begitu saja sebagai suatu hal yang biasa. Padahal, dalam suatu kebudayaan makanan sering digunakan sebagai simbol yang bisa jadi memiliki makna sangat luas.


Contohnya di dalam budaya Hindu-Bali yang penuh dengan simbol, hadirnya makanan tertentu dalam suatu ritual nggak bisa sembarangan. Setiap makanan memiliki makna dan fungsinya sendiri. Tentu saja, dalam hal ini seringkali bentuk, rasa, dan warna mempengaruhi makna makanan tersebut.

Dalam setiap ritual Hindu-Bali, makanan sebagai sajen selalu dilibatkan. Boleh dikata tidak ada makanan tanpa ritual, dan tak ada ritual tanpa makanan persembahan. Masyarakat Hindu-Bali percaya, semua yang ada di alam adalah milik Tuhan, untuk Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dalam konteks itu, makanan harus hadir sebagai persembahan sebelum dinikmati manusia. Tanpa persembahan, manusia dianggap mencuri milik Tuhan.

Ritual persembahan pun menjadi bagian dari napas kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu-Bali. Setiap hari, setiap keluarga menyisihkan makanan yang disantap hari itu untuk saiban atau sajian yang lebih sederhana. Isinya minimal nasi, bawang goreng, dan garam. Saiban dipersembahkan untuk mencuci dosa-dosa yang dilakukan setiap hari pula. Saiban diletakkan di tempat dosa-dosa dilakukan, yakni pintu, talenan di dapur, tempat beras, dan sumur.

Banyak sekali simbol yang bermain dalam makanan persembahan. Karena itu, makanan sesungguhnya adalah teks. Itik persembahan, misalnya, tidak lagi dipandang semata sebagai itik, tetapi simbol sifat kebijaksanaan yang dimiliki itik. Penyu melambangkan alas bumi karena bisa hidup di darat dan di laut. Ayam melambangkan kedinamisan, anjing melambangkan kesetiaan, babi melambangkan kemalasan.

Pembunuhan hewan-hewan untuk upacara juga bukan semata pembunuhan, melainkan ruwat atau penyucian. Kalau hewan itu ditujukan untuk dewa atas, dia menjadi persembahan. Lungsuran persembahan kepada dewa menjadi makanan penuh berkah yang bisa dimakan manusia. Jika ditujukan untuk dunia bawah, dia menjadi hewan kurban yang memberikan kekuatan pada alam semesta. Dengan cara itu, keharmonisan hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan sesama manusia terjaga.

Dalam konsep Hindu-Bali, tidak ada kekejaman dalam pembunuhan hewan persembahan. Yang ada justru konsep kasih sayang. Roh-roh hewan yang mati itu diruwat, disucikan, dan ditingkatkan derajatnya agar bereinkarnasi menjadi manusia dalam kehidupan berikutnya.

Berdasarkan konsep itulah, apa pun yang ada di alam bisa dijadikan sarana persembahan atau kurban. Hewan seperti macan juga digunakan untuk ritual. Namun, lazimnya hewan persembahan atau kurban adalah hewan yang bisa dimakan manusia.

Kondisi ekologi tampaknya memberi pengaruh pada isi sajen. Di kawasan pesisir, seperti Negara dan Gilimanuk, hewan laut seperti kepiting, udang, dan ikan masuk dalam sajen. Di Denpasar Selatan, di dalam sajen ada penyu yang diolah sebagai lawar, sate, dan lainnya. Di daerah pedalaman, seperti Dauh Tukad, Tenganan, Karangasem, sajen berisi itik, babi, kerbau atau anjing.

Kategori mana hewan untuk persembahan ke dewa dan dunia bawah tidak selalu sama. Di beberapa daerah, itik hanya digunakan untuk persembahan ke dewa, sedangkan babi untuk butha kala penguasa dunia bawah. Di Daud Tukad, itik digunakan sekaligus untuk dewa dan butha, sedangkan babi untuk dewa. Untuk dewa itik diguling, untuk dunia bawah itik dibakar.

Sejarah perjalanan suatu desa juga memengaruhi pilihan atas hewan persembahan. Masyarakat yang tinggal di Banjar Dadia Puri, Desa Bunutin, Kabupaten Bangli, misalnya, tidak mempersembahkan babi. Sebab, mereka menganggap dirinya keturunan Pangeran Mas Wilis dari Blambangan, Jawa Timur, yang memiliki saudara kembar bernama Pangeran Mas Sepuh. Ketika datang ke Bali bersama Pangeran Mas Wilis abad ke-16, Pangeran Mas Sepuh diperkirakan telah beragama Islam.

Simbol toleransi beragama juga terlihat dari pelinggih (bangunan suci persemayaman dewa) berbentuk langgar di Pura Dalem Jawa, Bunutin.

Begitulah, sajen yang beraneka merupakan cerminan masyarakat Bali yang heterogen. Setiap daerah di pulau ini mendapat sentuhan pengaruh Hindu-Jawa dengan kadar yang berbeda-beda. Maka terbentuklah ruang sosial yang heterogen pula. Adat menjadi suatu realitas yang bisa disebut religius karena didirikan oleh para leluhur.

Dalam konteks makanan, kategori-kategori juga diciptakan berdasarkan pengetahuan pembuatnya, lantas dipraktikkan, disimbolisasi, dan diulang-ulang. Itulah yang membuat makanan dan hewan persembahan berbeda di setiap daerah. Perlakuan terhadap makanan, variasi, simbol, filosofi, dan stratanya juga berbeda. Meski begitu, tetap ada benang merah dalam makanan Bali, yakni nasi, daging, sayur, dan sambal.

Benang merah lain yang mengikat makanan Bali adalah bumbu. Boleh dikata, apa pun masakan Bali, mulai lawar, babi guling, sate lilit hingga ayam / bebek betutu, geneplah bumbunya. Itulah bumbu dasar yang memberi cita rasa khas pada semua masakan Bali. Di dalamnya ada 15 jenis bumbu yang digunakan, termasuk salam, serai, kemiri, dan jeruk limau. Jika bumbu dasar itu ditambah dengan basa wewangen (bumbu rempah) yang terdiri dari lada, pala, jintan, ketumbar, kayu manis, terciptalah basa gede atau bumbu besar yang total terdiri atas 29 jenis bumbu, termasuk kemenyan.

Secara teologis bumbu mencerminkan berbagai sifat manusia. Ketika sifat-sifat itu dipadukan dengan baik, terciptalah rasa yang seimbang. Bumbu juga mencerminkan pertemuan antara laut dan gunung (segara-giri), pesisir dan pedalaman.

Hubungan laut-gunung adalah konsep yang cukup tua di Bali. Temuan wadah kubur (sarkofagus) di Gilimanuk yang dihuni manusia Bali zaman prasejarah mempertegas adanya kontak antara daerah pesisir dan pedalaman. Sebab, bahan sarkofagus berupa batu padas tidak ada di pesisir Gilimanuk, tetapi di pedalaman.

Artikel ini tulisan I Made Asdhiana atas wawancaranya dengan :
- Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, Rohaniwan Hindu
- I Ketut Donder, Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
- Putu Ardana, Kelian Adat Desa Dauh Tukad
- Ida Oka Nurjaya, Kelian Pura Dalem Jawa
- I Wayan Geriya, Guru Besar Antropologi Universitas Udayana

Monday, 14 September 2020

Sejarah & Filosofi Rendang

 Rendang merupakan menu utama bagi masyarakat Minang yang dipengaruhi cita rasa masakan India. Dahulu kala rendang disajikan sebagai menu utama bagi para bangsawan. Akan tetapi, saat ini rendang sangat digemari oleh masyarakat minang khususnya dan bahkan oleh seluruh lapisan masyarakat serta para wisatawan asing.


Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau, karena memiliki nilai filosofi tersendiri bagi masyarakat Sumatera Barat, yakni melambangkan keutuhan masyarakat dalam musyawarah dan mufakat dengan merujuk kepada 4 (empat) bahan pokok yang digunakan dalam membuatnya, yakni :

1. Dagiang (daging); sebagai bahan baku utama dalam membuat rendang yang merupakan lambang dari ninik mamak (para pemimpin suku adat) yang ada di Minangkabau.
2. Karambia (kelapa); sebagai bahan pendukung yang merupakan lambang cadiak pandai (kaum intelektual).
3. Lado (cabe); sebagai lambang alim ulama yang pedas yaitu tegas untuk mengajarkan syariat agama.
4. Pemasak (bumbu); sebagai pelengkap yang merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minang.


Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan dalam setiap perhelatan istimewa, seperti berbagai upacara adat atau perhelatan keagamaan, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.

Rendang berasal dari daerah pegunungan, tepatnya daerah Pariangan, Padang, Sumatera Barat. Dari sanalah rendang mulai merambah ke daerah-daerah di luar Sumatera bahkan ke seluruh dunia.

Seni memasak Rendang ini berkembang juga ke kawasan serantau lainnya diseluruh Sumatera hingga sampai ke negeri seberang di Negeri Sembilan (Malaysia) yang banyak dihuni perantau asal Minangkabau. Karena itulah rendang dikenal luas di Semenanjung Melayu karena sebagian besar penduduk Malaysia yang berbudaya Melayu berasal dari Sumatera.

Kelebihan rendang selain terkenal sebagai makanan yang tahan lama juga bercita rasa pedas, namun ketika sudah sampai di lidah, rasa pedasnya akan hilang. Masakan ini mampu bertahan sampai 3 (tiga) bulan tanpa dipanaskan kembali, tanpa berubah rasa dan aroma. Semakin lama disimpan maka akan semakin enak rasanya.


Pada awalnya rendang dibuat karena masyarakat Minang membutuhkan makanan untuk dibawa-bawa lebih dari 2 bulan. Seperti diketahui, masyarakat Minang gemar merantau, termasuk untuk bekal naik haji, apalagi perjalanan menuju Mekkah zaman dahulu bisa berbulan-bulan menggunakan kapal laut. Makanya diawetkan dengan cara dikeringkan. Rendang, bila dimasak dengan benar sampai kering, bisa tahan 1-3 bulan di udara terbuka.

Rendang dimasak selama kurang lebih 8 (delapan) jam agar bumbu meresap sempurna, dan diperoleh cita rasa yang khas dan nikmat. Untuk memasak rendang harus menggunakan santan dari buah kelapa yang tua karena lebih banyak lemaknya agar rasanya lebih gurih. Bila menggunakan santan instan rasanya kurang begitu lezat.

Memasak rendang tidak bisa sembarangan. Jika memasak dengan api kecil maka hanya akan menghasilkan kari daging. Bila dimasak terus akan menjadi kalio daging yang agak berminyak dan bila dimasak lebih lama lagi baru akan menghasilkan rendang.

Wisata Teh: Lebih dari sekedar Secangkir Teh


Dengan industri pariwisata bekerja melawan segala rintangan mengangkat kepalanya lagi di tengah pandemi, praktisi pariwisata dunia memperkirakan pariwisata teh akan menjadi daya tarik besar di masa mendatang. Indonesia harus memanfaatkan peluang ini karena memiliki potensi besar memanfaatkan pariwisata teh dalam menarik wisatawan manca negara.

Apakah wisata teh itu?

Pariwisata yang dilatarbelakangi oleh minat terhadap sejarah, budaya, dan tradisi yang berkaitan dengan konsumsi teh. Atraksi wisata ini terdiri dari kebun teh tempat penanaman teh, pabrik teh tempat pembuatannya, kedai teh tempat dijual atau disajikan, dan kelembagaan yang melestarikan dan menafsirkan budaya teh.

Itu lebih kurang dapat diartikan sebagai wisata teh, termasuk industri pinggiran yang dibangun di sekitar kebun teh yang berfokus pada produksi barang untuk masyarakat pecinta teh, termasuk aksesori teh, buku tentang teh, dan berbagai peralatan hadiah bertema teh.

Teh telah berkembang sebagai produk seni budaya di beberapa masyarakat, seperti di Jepang, Turki dan Inggris yang mengenang minuman favorit mereka dari tempat asalnya. Praktisi pariwisata dunia memperkirakan beragam basis wisata teh akan menarik wisatawan dunia mengunjungi negara produsen teh seperti Bangladesh, China, India, Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Turki dan Vietnam.

Wisata teh dapat diidentifikasi sebagai segmen wisata niche yang muncul dengan konsep baru yang bertanggung jawab. Bisa dikatakan sebagai bagian dari pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang berbasis alam dan ramah lingkungan.

Wisata teh Indonesia bisa dijual sebagai pasar tur destinasi dunia yang dapat memberi pelancong pengalaman yang berkesan. Pada gilirannya akan menciptakan kesempatan untuk membuat mereka datang kembali serta mempromosikan destinasi dari mulut ke mulut. Indonesia dapat mengembangkan inisiatif ini untuk lebih memposisikan dirinya sebagai tujuan wisata teh dunia.

Sebagai pengekspor teh terbesar ketujuh di dunia, Indonesia belum memanfaatkan potensi penuhnya untuk menarik segmen wisatawan teh bagi pengembangan pariwisata. Indonesia memiliki kapasitas, tetapi belum melakukan ekspansi untuk memasarkan wisata teh dengan menawarkan warisan teh dan pengalaman budaya yang unik kepada pecinta dan komunitas teh dunia.

Ini merupakan kesempatan yang akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan. Oleh karena itu, sudah waktunya Indonesia memperkenalkan keindahan pemandangan dan memperkenalkan wisata teh pasar pariwisata dunia. Pemangku kepentingan dan operator wisata Indonesia memiliki kapasitas untuk mengembangkan wisata teh dengan menciptakan tren baru yang unik untuk melayani tamu di segmen yang berbeda. Tren wisata teh antara lain seperti masakan berbahan dasar teh, produk dan layanan kesehatan, serta perawatan kosmetik atau spa pasti akan menarik wisatawan papan atas.

Selain itu masyarakat lokal akan mendapatkan manfaat dari wisata teh karena pengembangan segmen wisata teh akan menguntungkan industri dan pengusaha kecil menengah yang juga akan meningkatkan keragaman produk wisata teh. Peningkatan aksesibilitas, akomodasi, kegiatan, fasilitas dan daya tarik akan memberikan kesempatan kerja baru, meningkatkan kualitas hidup dan secara khusus memberdayakan pekerja spesialis teh yakni kaum wanita..

Perlu diingat Organisasi Pariwisata Dunia, UNWTO, memperingati Hari Pariwisata Dunia pada tanggal 27 September setiap tahun dengan tujuan menumbuhkan kesadaran yang tepat di antara komunitas global tentang pentingnya pariwisata dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi serta kontribusinya yang tak ternilai dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Untuk  Hari Pariwisata Dunia di tahun 2020, UNWTO memberi tema Pariwisata dan Pembangunan Pedesaan (walaupun belum dikonfirmasi). Tema ini dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia memperkenalkan platform kepada dunia mempromosikan Pariwisata Tea Heritage and Spice Tourism.

Platform ini diharapkan dapat menciptakan kombinasi yang tepat dari Warisan Teh dan Wisata Rempah sebagai segmen pariwisata ceruk yang dinamis yang dikombinasikan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui promosi Pariwisata Ramah Lingkungan yang berpusat pada masyarakat. Apalagi telah diketahui khasiat anti-virus ada pada teh, khususnya teh hitam, dan rempah-rempah dapat melawan Virus Corona bersama dengan kombinasi teh herbal. Indonesia memiliki semua itu .. teh dan rempah-rempahnya.

Semoga demikian adanya

Tabek
Betha Ketaren (Indra)

Sunday, 13 September 2020

Terites - Makanan Khas Karo

 Salah satunya makanan khas suku Karo adalah “Terites”, sejenis makanan yang bahan dasarnya secara kasar adalah makanan yang telah berada dalam usus lembu. Terites atau sebagian masyarakat lain lebih mengenalnya dengan sebutan "Pagit-Pagit" merupakan salah satu makanan yang menurut suku lain adalah hal yang aneh dan mungkin menjijikkan.


Secara singkat deskripsi biologis yang dimaksud dengan terites adalah sebagai berikut:
Sapi atau lembu adalah sejenis mamalia yang memamah biak yang mana mengunyah makanan sebanyak dua kali sebelum menjadi kotoran sebenarnya (feces).

Makanan yang telah dikunyah pertama oleh lembu masuk ke reticulum lembu. Ketika lembu nantinya istirahat maka makanan yang dari reticulum tersebut dikunyah kembali oleh lembu di mulutnya kemudian dimasukkan ke perut ke dua yang disebut rumen.

Dalam rumen inilah berbagai enzim pencernaan lembu bercampur dengan makanannya jadi sari makanan, nutrisi, enzim pencernaan masih banyak disini karena disini hanya pencampuran.

Sedangkan penyerapan ada di usus ketiga (usus halus) dan kotoran aslinya ada di usus nomor empat.

Terites sendiri diambil dari usus kedua jadi secara biologis memungkinkan banyak terdapat nutrisi, enzim disana, bukan kotoran yang sebenarnya seperti yang diperbincangkan banyak orang selama ini.

Namun ada juga masyarakat Karo yang membuat terites tidak hanya dari lembu saja tapi dari kambing dan kerbau juga. Ketiga makhluk tersebut memang sama dalam proses pencernaannya. Tapi yang paling sering dibuat menjadi tersites adalah dari lembu atau sapi. Orang luar banyak menyebut terites ini dengan sebutan soto Karo karena memang mirip dengan soto. Tapi sedikit berbeda dengan rasa dan aroma.

Terites ini didominasi oleh aroma sari dari usus lembu tersebut.

Bahan terites  diambil dari lambung kedua sapi (atau lembu dalam sebutan masyarakat Karo). Dalam istilah biologinya dikenal dengan istilah rumen namun dalam orang Karo disebut tuka si peduaken (usus nomor dua).

Terites adalah makanan yang dimasak dengan beragam bumbu secara suku Karo. Seperti asal katanya, yakni pagit berarti pahit, rasanya memang agak sedikit cenderung ke pahit karena bahannya sari rumput dari usus lembu dan juga bumbu lain yang umumnya terasa pahit juga.

Terites ini memiliki bahan dasar sari (perasan air) dari usus lembu tersebut, bungke yang banyak (rimbang), sere, daun ubi, asam yang banyak, jahe, cingkam (kulit kayu hutan yang rasanya juga pahit) dan bulung-bulung kerangen (sejenis daun-daun kayu hutan yang banyak ragamnya tapi memang untuk dikonsumsi).

Terites sendiri dimasak minimal selama tiga jam dalam api kadang dimasak sampai enam jam. Terites ini juga dicampur dengan babat, kikil dan daging dari lembu tersebut ketika dimasak.

Beragam makna makan terites juga ada dalam masyarakat Karo. Makna tersebut ada yang berupa mitos dan ada juga yang berupa fakta.

Bagi masyarakat Karo, makna dari makanan terites tersebut antara lain secara garis besarnya dapat mengobati berbagai macam penyakit (persepsi masyarakat, bukan medis); antara lain: penyakit maag, masuk angin dan meningkatkan nafsu makan.

Makna budaya yaitu bagaimana terites dapat menggambarkan budaya atau tradisi ritual tetap berjalan yang didasarakan atas kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi dan sebagai makna ritual budaya.