".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday, 16 June 2021

Kebutuhan SDM Juru Masak Profesional

 Minggu lalu saya dikirim dua artikel oleh Duta Besar Indonesia untuk Swiss mengenai perkembangan restoran Indonesia di negeri Land of Milk and Honey tersebut. Dari kedua artikel, dapat disimpulkan tantangan yang dialami pemilik restoran Indonesia di Swiss dalam menjalankan bisnis kuliner; utamanya adalah mengenai kebutuhan dukungan logistik. Seperti kemudahan pengiriman dan pengadaan bahan baku pangan (bumbu-bumbu, rempah dan santan) dari Indonesia yang berjadwal rutin dengan biaya kirim terjangkau. Tantangan berikutnya, yaitu kebutuhan akan SDM, yakni tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef), serta tenaga manajerial yang terbiasa menangani restoran ala Indonesia.


Saya berpendapat, kedua tantangan itu pro rata lazim dialami semua pemilik restoran Indonesia di luar negeri, namun saya tertarik untuk memberi masukan terhadap tantangan kedua, yakni mengenai kebutuhan akan SDM, terutamanya tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef), karena secara khusus Prof. Muliaman Darmansyah Hadad menanyakan kepada saya bagaimana mengatasi perihal tersebut.

Anjuran saya kepada bapak Duta Besar, soal tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef) itu sebaiknya disampaikan keperluannya kepada Presiden ICA (Indonesia Chef Association), & ACPI (Association Culinary Professional Indonesia), karena ketersediaan tenaga Chef di kedua organisasi ini cukup banyak, malah bisa juga untuk penyediaan tenaga manajerial yang terbiasa menangani restoran ala Indonesia.

Sejauh yang saya ketahui anggota ICA di seluruh Indonesia ada lebih kurang 4,600 orang, sedangkan anggota ACPI ada lebih kurang 300 orang. Apalagi perlu dicatat ICA adalah anak didik yang didirikan Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif pada tahun 2007.

Oleh karena itu, jika ada tantangan soal SDM akan selesai dengan sendirinya, namun peruntukannya bukan hanya untuk restoran-restoran Indonesia di Swiss. SDM ini harus mencakup ke seluruh pelosok dunia atau sejauh ada restoran Indonesia di luar negeri. Para Duta Besar Indonesia harus bisa menjembatani dan menjawab tantangan pemilik restoran Indonesia itu dengan ICA dan ACPI.

Selain itu juga ada pemikiran mengenai penyediaan tenaga masak profesional (Chef) bagi para calon Duta Besar Indonesia yang akan ditempatkan di pos perwakilan luar negeri. Dianjurkan saran ini perlu dipertimbangkan dengan seksama yang mana diolah oleh Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif dan Kementerian Luar Negeri berkolaborasi dengan ICA dan ACPI. Pelatihan protokoler dan diplomasi sebagai Chef Duta Besar dapat dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri. Sedangkan pelatihan ekonomi kreatif kuliner dilakukan oleh Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif.

Sebaiknya KBRI Bern menginisiasi pembicaraan bersama dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif, ICA dan ACPI untuk nantinya diusulkan menjadi standard prosedur operasi  (SPO) mengenai kebutuhan akan SDM tenaga juru masak profesional Indonesia (Chef) dan tenaga manajerial restoran Indonesia di luar negeri. Saran ini diajukan melihat potensinya dapat membuka lapangan kerja dan ekonomi kreatif bagi anggota ICA dan ACPI di luar negeri.

Jika Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif dan Kementerian Luar Negeri mempunyai SPO ini akan mempermudah jalan bagi masyarakat diaspora di luar negeri mendirikan restoran Indonesia karena ketersediaan akan tenaga kerja profesional sudah dijamin dengan sendirinya oleh Pemerintah.

Demikian disampaikan.
Semoga bermanfaat
Betha Ketaren (Indra)