".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 12 June 2021

Pusat Kajian Gastronomi Indonesia

Jika membaca peta makanan Indonesia, diketahui kepulauan Nusantara kita ini sangat kaya akan seni dapur masakan. Dengan populasi sebesar 270 juta lebih yang terdiri dari 1334 suku dan sub suku, termasuk etnis pendatang, Indonesia punya kekuatan puluhan ribu seni dapur masakan. Kekuatan seni dapur itu belum terdata dengan baik sampai sekarang.


Indonesia juga memiliki wilayah garis seni boga (makanan) yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote; yang masing-masing mempunyai rasa dan aroma yang berbeda satu sama lain.

Belum lagi jika bicara mengenai kekayaan sumber hayati bumi yang merupakan nomor dua di dunia dengan 77 jenis karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan bumbu-bumbuan. Negeri ini memiliki kekayaan keragaman lebih dari 1,000 jumlah spesies tanaman sayuran, buah, 110 jenis rempah-rempah dan flora nomor dua di dunia yang tidak tumbuh di negara lain.

Makanan Indonesia punya kisah mengenai sejarah dan budaya, baik tangible dan intangible. Selain itu, Indonesia punya sumbangan tersendiri kepada dunia mengenai seni dapur makanannya. Rijsttafel adalah bukti sebagai aset kedua budaya seni dapur makanan dunia setelah masakan Prancis. Rempah Indonesia (Kayu Manis, Lada, Pala, Bunga Pala dan Cengkeh) pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.

Makanan Indonesia bukan sekedar icip-icip atau semata-mata maknyus atau hanya acara masak memasak. Di benua barat, makanan dijabarkan mereka sebagai simbol, benchmark dan image kekuatan diplomasi negaranya.

Terhadap semua itu, apakah Indonesia sudah mempunyai suatu lembaga kajian gastronomi (makanan) untuk mengkaji, mempelajari dan meneliti mengenai nasib masa depan makanan dan pangan negeri ini. Lembaga ini bisa menjadi strategi dasar kebijakan dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik nasional dan kebangsaan. Menjadi alat dan cara pandang maupun sikap bangsa Indonesia dalam gastronomi atau makanan, termasuk instrumen kebijakan dan strategi Negara.

Seperti diketahui, sampai saat ini lembaga kajian gastronomi (makanan) Indonesia belum terbentuk. Tanpa ada lembaga seperti itu, apapun yang beredar saat ini di publik mengenai makanan atau kuliner Indonesia sepertinya belum terarah dengan baik dan menjadi tanda tanya bagi sebagian masyarakat di negeri ini.

Umpamanya salah satu contoh, kita pernah dengar 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia. Ketiganya dijadikan Ikon Makanan Negara Indonesia ke panggung dunia. Usia ketiganya pun hanya sebatas pejabat bersangkutan dan setelah itu hilang dari peredaran publik. Tidak bertahan lama seperti Ikon Makanan Negara signature dish Tom Yam (Thailand), Kimchi (Korea Selatan), Pho (Vietnam) dan Nasi Lemak (Malaysia).

Penentuan Ikon Makanan Negara Indonesia itu kurang diorganisir dengan baik sebagaimana dan seharusnya dengan melibatkan berbagai pihak yang keahliannya dalam bidang gastronomi, makanan, antropologi, arkeologi, hubungan internasional, budaya, sejarah, sosiologi, kesehatan (nutrisi), teknologi pangan, pariwisata, hospitality dan lain sebagainya.

Selain itu, selama ini makanan yang kerap ditampilkan selalu berkisar yang itu-itu saja. Sepertinya nama-nama makanan itu terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu dan mendominasi. Pengalaman memperlihatkan, penyebutan makanan dengan nama tertentu selalu menjadi andalan Indonesia yang dibingkai sebagai "local dan original" kuliner negeri ini. Padahal nama-nama makanan itu belum tentu bisa diterima di daerah lain sebagai produk keaslian seni masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan.

Bagi suku dan sub-suku, seni dapur (resepi) makanan mereka adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa. Mesti disadari, tampilan seni dapur dan makanan satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain minta ikut di dalam tampilan tersebut, apalagi kalau sering dan kerap tampilan seni dapur dan makanannya itu-itu saja dari satu pihak.

Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini adalah soal kurang mendalami dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur (resepi) makanan yang ada di negeri ini. Peluang seni dapur masakan Indonesia untuk cukup besar, cuma belum digarap dari hulu sampai hilir seperti yang dilakukan Thailand.

Kebanyakan masyarakat, termasuk otoritas pemangku kepentingan, selalunya ingin makanan Indonesia bisa populer di dunia seperti dilakukan Thailand. Bisa dikatakan tantangannya terlalu besar, karena mesti ditentukan faktor apa yang menjadi motif, tujuan dan sasaran utama Indonesia melakukan seperti yang dilakukan Thailand, dimana hilirnya ada sekian belas ribu restoran mereka di berbagai belahan dunia.

Thailand mempunyai platform dari hulu sampai ke hilir terhadap strategi dan manajemen makanan mereka, yang intinya untuk outlet pangsa pasar eksport hasil pertanian. Platform ini merupakan vehicle yang menjamin eksport hasil pertanian negeri gajah putih ini dengan cara mendirikan restoran-restoran di berbagai belahan dunia.

Thailand menyediakan dan mengendalikan infrastruktur fasilitas storage dan stockpile bahan baku pangan pertanian di luar negeri untuk keperluan jaringan restoran mereka di luar negeri. Bisa dikatakan dari keperluan A sampai Z disediakan kepada jaringan restoran Thailand di luar negeri serta kepada eksportir hasil pertanian negeri gajah putih itu.

Oleh karena itu, belasan ribu restoran Thailand di luar negeri adalah outlet dari kepentingan eksport hasil pertanian. Seperti diketahui produk pertanian negeri ini sangat bagus dan advance dalam kualitas dan packaging serta memiliki sertifikasi atau sudah terdaftar di berbagai negara-negara di benua Barat.

Contoh apa yang dilakukan Thailand bisa ditiru oleh Indonesia, tetapi apa faktor yang menjadi motif, tujuan dan sasaran utamanya. Selain itu, Indonesia tidak bisa compete dengan Thailand, apalagi Vietnam, dengan membuat restoran dan sudah ketinggalan jauh puluhan tahun dari mereka. Apalagi hasil produk pertanian Indonesia belum secanggih Thailand yang sudah diakui resmi di pelbagai negara-negara di Barat.

Sebenarnya kekuatan Indonesia adalah di bumbu dari kekayaan rempah-rempah yang ada. Satu-satunya, Indonesia harus menggunakan rempah-rempah sebagai bumbu masakan yang dibuat mendunia. Perlu dicatat, kekuatan yang dimiliki Indonesia adalah di seni dapur masakan yang cukup banyak dan ini belum diangkat secara serius serta merupakan harta terpendam, terutama di sisi bumbu dan rempahnya.

Potensinya sangat besar, apalagi di dalam negeri sendiri semakin maraknya jumlah entrepreneur (pengusaha) makanan (menengah, mikro, kecil) yang lahir melalui inkubator secara alam (otodidak). Karena makanan merupakan pilihan utama bisnis masyarakat menengah dan bawah dalam mengatasi kesulitan ekonomi saat ini.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan mendirikan lembaga kajian gastronomi (makanan) sebagai kebijakan geopolitik dan geostrategi Negara dengan memformat secara nyata instrumen GastroDiplomasi & GastroWisata-nya. Dengan adanya lembaga ini seyogyanya bisa lebih baik diformulasikan kebijakan makanan atau gastronomi atau kuliner Indonesia, baik di dalam negeri maupun di panggung dunia.

Pemikiran perlunya lembaga kajian gastronomi (makanan) Indonesia merujuk kepada amanah Bung Karno tanggal 12 Desember tahun 1960 kepada Menteri Pertanian Brigjen dr Azis Saleh dalam buku Mustika Rasa; yang pada intinya Indonesia harus mempunyai Lembaga Teknologi Makanan yang akan meneliti dan mengkaji “the Indonesian Archipelago Region Cuisine Heritage”.

Amanat Bung Karno belum terealisasi sampai sekarang, yang pada hakekatnya, adalah dasar pemikiran dan rencana Bung Karno terhadap nasib masa depan makanan dan pangan Indonesia.

Buku Mustika Rasa merujuk kepada inspirasi dan kreatifitas kearifan lokal seni memasak bangsa Indonesia, yang di dalamnya secara eksplisit menutur alur sejarah dan daya cipta budaya masyarakat setempat serta peta lanskap geografis makanan suatu bangsa. Inspirasi dan kreativitas itu menyangkut falsafah, filosofis maupun perilaku sosial yang menjadi simbol, ritual dan adat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas masyarakat tempatan.

Setiap negara, bahkan setiap kelompok masyarakat memiliki corak makanan yang serasi dengan seleranya masing-masing dan sesuai dengan kondisi alam geografisnya. Apa yang kita makan, dengan siapa kita makan, dan bagaimana proses persiapan serta penyajian makanan itu menunjukkan peranan yang penting dalam memaknai relasi transaksi sosial budaya yang ada.

Dalam kesempatan ini, kiranya bisa diperluas amanah Bung Karno itu untuk juga menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan makanan dan minuman serta dalam kepentingan untuk kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Dan itu semua bisa dilakukan lembaga kajian gastronomi (makanan) Indonesia.

Demikian disampaikan .. Semoga bermanfaat

Tabek
Betha Ketaren (Indra)