The destiny of nations depends on the manner in which they are fed (Brillat-Savarin,1825)
Makanan adalah isu politik yang sentimentil. Banyak atensi dunia terhadap makanan, baik itu oleh akademisi, media komunikasi (daring, cetak, radio, televisi), pemerintah, organisasi internasional maupun masyarakat. Perhatian dan kepedulian dilakukan dalam bentuk bantuan makanan, embargo pangan hingga pengaturan produksi pangan secara global memberi efek terhadap budaya makanan. Bisa dikatakan makanan adalah media untuk memprovokasi perubahan di bidang politik dan kebijakan. Malah ada yang mengatakan makanan adalah senjata dan kenderaan dalam bernegosiasi (Cleaver 1977).
Makanan yang semula dianggap barang sederhana untuk memelihara dan menopang tubuh manusia ternyata memiliki dua makna, baik sebagai politik serta budaya simbolis. Kedua makna itu membingkai makanan ke ranah politik, dengan menggambarkan bagaimana aktor dapat memanfaatkan makanan sebagai sumber power (pergeseran simbolik/ideologis, propaganda budaya dan keamanan) maupun sebagai kekuatan prestise (perjamuan diplomatik)
Banyak aktor politik dunia memanfaatkan makanan, yang semula sebagai barang simbolis, ternyata sehabis dipakai dapat memiliki pengaruh yang besar di arena politik. Mereka memahami dan memanfaatkan makanan sebagai intermediary, yang dalam aspek budaya dan ekonomi, bisa menjadi instrumen kebijakan kekuasaan. Aktor-aktor politik secara efektif mendayagunakan makanan sebagai sumber kekuatan.
Contoh seperti apa yang dilakukan Presiden Prancis Jacques Chirac membuat lelucon tentang makanan Inggris dalam pertemuan pemimpin Eropa menjelang diadakannya KTT G8 bulan Juli 2005 di Skotlandia. Guyonan itu membuat Gerhard Schroeder (Jerman) dan Vladimir Putin (Rusia) tertawa dan ikut bergabung dalam olok-olok.
"One cannot trust people whose cuisine is so bad as that .. After Finland, it's the country with the worst food .. the only thing [the British] have given European agriculture is the mad cow" (Barkham 2005)
Komentar Jacques Chirac dibuat dalam jarak pendengaran wartawan yang hadir di pertemuan itu. Kelakar Chirac memberi daya kekuatan politik di media global, sehingga juru bicara Inggris mengatakan: "Ada beberapa hal yang lebih baik untuk tidak dikomentari."
Bodoran Jacques Chirac berikutnya saat mengenang peristiwa ketika mantan sekretaris jenderal NATO Lord George Robertson (yang berkebangsaan Skotlandia) telah membuat Chirac mencoba hidangan lokal Inggris.
"That is where our difficulties with NATO come from" (BBC News 2005).
Komentar itu muncul saat Prancis dan Inggris bersaing untuk menyelenggarakan Olimpiade pada 2012, dan berselisih soal anggaran UE. Olok-olok Chirac membuat kritikus makanan Inggris Egon Ronay menuduh Presiden Prancis kurang informasi atas serangannya terhadap masakan Inggris.
Kelakar Jacques Chirac menyebar dengan cepat ke seluruh media global (daring, cetak, radio dan televisi), sampai membuat juru bicara Prancis menolak laporan media the French Liberation sebagai salah mengartikan fokus pertemuan dengan mengatakan kutipan yang dikaitkan dengan Presiden Republik sama sekali tidak sesuai dengan nada atau isi diskusi di pertemuan Kaliningrad.
Pernyataan Chirac membuat Finlandia memilih menantang Prancis menjadi host Olimpiade 2012, yang pada akhirnya Inggris memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga internasional tersebut.
Dari candaan Presiden Prancis Jacques Chirac, dapat dikatakan makanan digunakan aktor politik bukan sekedar sebagai jamuan bersama, tetapi sebagai kekuatan simbol yang menarik yang mengandung sentilan dan teka-teki. Banyolan Chirac menggunakan makanan sebagai intermediary ternyata lebih efektif dan menyenangkan mengawali pembicaraan suatu tujuan atau isu politik.
Makanan mempunyai keunikan yang sering digunakan aktor politik dalam guyonan mereka, karena memiliki kekhasan dan menjadi tak terpisahkan dalam budaya politik masyarakat. Kelakar-kelakar aktor politik lebih terasa excited dan bisa berpengaruh pada suasana hati pendengarnya dan memberi dampak kepada media global. Makanan punya nilai kekuatan politik yang melalui media diekspresikan sebagai isu dalam bagaimana kekuasaan itu digunakan
KEKUATAN MAKANAN DALAM DIPLOMASI
Makanan adalah sumber kekuatan politik yang menunjukkan cara kerja kekuasaan antar negara, karena keterkaitannya dengan ketahanan pangan secara global, pengaturan produksi pangan dan bantuan pangan (Gummer 2002,59-62). Meskipun tidak bisa dikatakan makanan secara tradisional dipandang sebagai satu-satunya sumber kekuatan politik, apalagi kekuatan militer tidak cukup menjamin keselamatan suatu negara.
Karakteristik makanan tidak seefektif kekuatan militer, karena makanan sebagai bentuk yang lembut dari kekuasaan, dilihat dari rangkuman simbolisme, ideologi, dan metode produksi maupun konsumsi, yang pada gilirannya mengubah pandangan politik praktis warga negara dan pemerintah.
Dalam ketatanegaraan internasional, makanan berguna menjelaskan interaksi budaya dalam ranah politik sebagai sumber kekuatan lain (J.S Nye 2005). Kakek dari tradisi pemikiran realis modern Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations, mencantumkan makanan sebagai salah satu elemen kekuatan nasional yang dapat menjelaskan cara-cara di mana dan dimanfaatkan mempengaruhi kekuasaan. Morgenthau juga mengatakan bentuk kekuasaan prestise diplomatik, (seperti jamuan makan dan pesta negara), sebagai daya upaya yang jelas menunjukkan tingkat kekuasaan negara dan bangsa melalui diplomat mereka.
Prestise melalui upacara diplomatik adalah kendaraan aktor negara dalam berinteraksi yang dapat meningkatkan dan menggambarkan hubungan kekuasaan antara negara, elit, dan aktor lainnya. Aktor yang menggunakan makanan sebagai kekuatan politik utamanya adalah aktor negara (pemerintah pusat, politisi, negarawan) dan kekuatan alternatif yakni aktor non negara (pemerintah daerah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, organisasi, kelompok kepentingan dan individu).
Jika suatu bangsa diperlakukan dalam upacara diplomatik lebih baik atau lebih buruk dari yang seharusnya, akan menyebabkan hubungan kekuasaan berubah. Bisa dikatakan diplomasi upacara melalui jamuan diplomatik sebagai sumber kekuasaan karena makanan adalah tindakan intim yang dapat diungkapkan secara terbuka (dengan ideologi) dan merupakan propaganda budaya.
Contoh di setiap pertemuan G8 dan G20, di saat berkumpul untuk makan malam resmi, selalu muncul pertanyaan sajian makanan apa yang dimakan dan siapa yang duduk di sebelah siapa yang semuanya menjadi indikator kekuatan politik. Siapa yang hadir dan siapa yang tidak hadir di acara makan merupakan indikator daya yang penting. Siapa yang diundang menandakan siapa yang menurut tuan rumah layak untuk hadir, serta siapa yang ingin diremehkan tuan rumah dengan tidak mengundang.
Tempat duduk tamu (baik di meja dan tempat), adalah perangkat daya sinyal prestise lainnya. Sejak zaman feodal, penempatan tempat duduk makan telah menjadi isu yang diperdebatkan, karena terkait masalah pangkat dan prioritas yang selalu ada di benak tuan rumah dan tamu yang dengan sendirinya bisa menjadi masalah pertikaian dengan bentuk tertentu yang tidak sesuai dengan keadaan tertentu (Visser 1992).
Morgenthau (1985), membahas bagaimana negosiasi damai dan makan malam antara Viet Cong dan AS tidak dapat dilanjutkan sampai bentuk dan penempatan meja yang disepakati bersama diselesaikan. Rencana penempatan meja dan pengaturan tempat duduk masih memegang simbolisme politik yang hebat. Siapa yang duduk di sebelah presiden menggambarkan dengan tepat betapa pentingnya simbolisme diberikan pada tempat duduk di acara makan. Pernah Perdana Menteri Inggris dan Italia mengancam akan keluar dari jamuan makan malam G20 jika tidak diberikan kursi yang lebih dekat dengan Presiden yang baru dilantik Obama (Addley 2009).
Pemilihan tempat juga melambangkan gagasan negara tuan rumah tentang kekuatan para tamu yang hadir. Ilustrasi kasus Presiden Khan dari Pakistan makan bersama Presiden AS Kennedy yang semula akan diselenggarakan di Gedung Putih ternyata dilakukan di rumah abad kedelapan belas George Washington, Gunung Vernon. Perubahan tempat ini belum pernah terjadi sebelumnya yang memberikan arti penting dan kehormatan kepada Presiden Khan karena melambangkan dia sebagai versi kontemporer dari Washington Morgan (2008).
Masalah formalitas di acara makan kerap pula menggambarkan hubungan kekuasaan. Kurangnya formalitas tampaknya menyiratkan kepada beberapa penampilan acara yang tidak ada artinya bagi tuan rumah. Meskipun pengurangan formalitas dapat menyiratkan ikatan diplomatik yang lebih erat atas kekuasaan dan kontrol.
Contoh, kunjungan Perdana Menteri India Nehru pada tahun 1961 ke AS yang datang dengan pesan ia mengharapkan kesederhanaan dan kurangnya dilakukan upacara formalitas. Permintaan Nehru mengubah hubungan kekuasaan, mengingat Nehru mengambil simbol kekuasaan yang biasanya ditemukan dalam struktur upacara makan malam formal di negaranya dengan permintaan mengubahnya menjadi kesederhanaan. Dalam melakukan ini, Nehru mengubah dinamika kekuatan dengan menciptakan platform yang sama sekali baru dia kendalikan. Namun Nehru, bukan tuan rumah, yang memegang kendali.
Perubahan upacara diplomatik ini tidak hanya mengubah jamuan diplomatik, tetapi juga keseimbangan kekuatan dan negosiasi politik perjalanan Nehru. Dengan demikian, perubahan sederhana dapat mengubah baik hubungan kekuasaan pada jamuan makan malam maupun bidang politik. Faktor-faktor seperti siapa yang ikut diundang makan, apa (dan berapa banyak) sajian hidangan yang dimakan, di mana pengunjung duduk (baik di meja dan tempat) dan bahkan formalitas acara, semuanya terkait dengan simbolis-budaya dari makanan, memancarkan pesan tentang hubungan kekuasaan antara aktor yang dapat diamati dari luar acara makan (Morgan 2008).
Tidak hadir juga dapat menandakan bahwa tamu ingin menghina tuan rumah, membuat sinyal politik yang jelas dan hubungan mereka tentu saja menjadi hubungan yang singkat. Pemahaman akan indikator dan penentu tempat duduk itu dapat dimanipulasi untuk mengubah keseimbangan kekuasaan di acara-acara diplomatik dan politik, sehingga memberikan aktor negara keuntungan terhadap counterparts mereka.
Preseden dari ketidakhadiran mencerminkan sinyal kekuatan, seperti absennya Tiongkok pada jamuan makan malam G8 2008 menunjukkan kurangnya kemajuan yang dicapai dalam hubungan Tiongkok oleh G8. Sementara undangan pemerintahan Obama kepada diplomat Iran untuk ikut merayakan hari Kemerdekaan AS 4 Juli mencerminkan keinginan AS untuk terlibat secara damai dengan Iran. Namun, penolakan Iran untuk hadir membuat pemerintah AS malu dan menunjukkan ketegangan hubungan dan situasi kekuasaan antara kedua negara (Barry 2009; Landler 2009).
Jumlah yang hadir dapat juga menunjukkan bagaimana sinyal tuan rumah memandang hubungan kekuasaan di acara makan diplomatik. Makan bilateral dan multilateral melambangkan hubungan simbolisme kekuasaan yang berbeda bagi mereka yang hadir dan mereka yang mengamati dari luar acara makan. Permisalan makan malam bilateral antara Presiden Amerika Kennedy, Perdana Menteri India Nehru dan Presiden Pakistan Khan melambangkan hubungan dekat yang ingin dimiliki India dan Pakistan dengan AS selama tahun 1960-an.
Alegori kelakar cerdik Jacques Chirac saat makan bersama mantan sekretaris jenderal NATO Lord George Robertson, adalah simbol propaganda budaya yang mampu memberi pemahaman tentang pesan dibelakangnya. Presiden Prancis dalam kunjungan kenegaraan ke Inggris Raya, disajikan daging sapi Skotlandia, setelah larangan Uni Eropa atas daging sapi Inggris yang disebabkan oleh krisis BSE (penyakit sapi gila).
Apa (dan berapa banyak) yang dimakan juga merupakan simbol budaya lain yang sangat penting ketika mempertimbangkan prestise politik. Makanan yang disajikan pada acara makan dapat mempromosikan agenda atau pesan nasional. Keinginan untuk mengesankan atau mendominasi juga dapat diekspresikan oleh makanan yang disajikan, dengan negara tuan rumah yang menyajikan masakan lokal atau tamu, untuk menggambarkan tingkat keramahan dan hubungan kekuasaan di acara makan. Apalagi jumlah makanan yang disajikan dapat menandakan seberapa besar dedikasi dan pemahaman negara terhadap isu-isu tertentu.
Ilustrasi sederhana terlihat pada pertemuan G20 tahun 2020 dengan menempatkan masakan Inggris pada sajian menu, menunjukkan pesan Inggris sebagai kekuatan budaya dan ekonomi yang membanggakan. Tidak makan juga dapat menyebabkan tanda alarm, yakni dengan keputusan Sarah Brown (istri perdana menteri Inggris) pada beberapa kesempatan di acara KTT G8 dan NATO untuk tidak makan hidangan nasional Italia atau Perancis. Sinyal Sarah Brown menyebar cepat di media internasional (Abraham 2009; Press Association 2009).
Pada jamuan makan diplomatik, kecerobohan dapat menyebabkan pergeseran kekuasaan dan simbolisme yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, kejadian pada kunjungan AS ke Jepang tahun 1992, Presiden Bush (senior) muntah ke pangkuan Perdana Menteri Jepang saat itu, Kiichi Miyazawa, yang menciptakan ketegangan diplomatik antara Jepang dan AS serta ejekan dari media global.
KONKLUSI
Makanan memiliki tempat dan kegunaan dalam lingkup politik internasional. Namun, hubungan tempat dan penggunaannya sangat kompleks untuk ditangani antara makanan, masyarakat, dan politik. Seperti semua bentuk kekuasaan politik, kelemahan yang melekat pada kekuatan makanan adalah bahwa makanan hanya efektif dalam konteks, keadaan, dan situasi tertentu.
Namun makanan adalah sumber kekuatan unik yang dapat menyentuh, baik masyarakat maupun pemerintah di tingkat ekonomi maupun simbolis secara bersamaan. Kemampuan inilah yang memberi makanan tempat yang unik di antara instrumen kekuasaan yang tersedia di bidang politik.
Kekuatan makanan dalam politik, terutamanya dalam politik internasional, merupakan kekuatan gengsi yang digunakan (sadar dan tidak sadar) oleh aktor selama upacara diplomatik (seperti perjamuan dan acara makanan lainnya).
Prestise menawarkan bagaimana aktor memahami hubungan kekuasaan di bidang politik serta mengirim pesan tentang status dan kekuasaan kepada aktor lain. Prestise - meskipun tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari - adalah sisi penting kekuatan di lingkungan kekuasaan yang didorong oleh elit politik. Banyak kejadian perjamuan diplomasi memperlihatkan nilai prestise dan relevansi makanan dalam bidang politik.
Nasib bangsa-bangsa tidak hanya bergantung pada cara mereka makan (Brillat-Savarin 1970). Bagaimana dan apa yang mereka makan, berkontribusi pada efektivitas baik simbolisme dan budaya maupun prestise.
Semoga bermanfaat.
Tabek
Betha Ketaren (Indra)
Founder & President
Artikel Referensi:
1. Abraham, T. : "Sarah Brown declines veal and foie gras at Nato summit banquet." Daily Mail.11th April 2009
2. Addley, E. : "The G20 seating plan: Never mind the stimulus, who sat next to the president?", Guardian, 2 April 2009
3. Barkham, P. : "Chirac's reheated food jokes bring Blair to the boil.", The Guardian, 2005, 5 July.
4. Barry, D. : "Ambassador Hot Dog." The New York Times, June 7 2009
5. BBC News, 2005, 4 July :"Blair sidesteps French foodfight."
6. Brillat-Savarin, J.-A. (1970) : The philosopher in the kitchen (The physiology of taste). Harmondsworth, Penguin.
7. Cleaver, H. (1977) : "Food, famine and the international crisis." Zerowork 2(1)
8. Gummer, J. (2002). Hot potatoes: politicians, food and risk. in Foodstuff- Living in an age of feast and famine. J. Holden, Howland Lydia, Jones Daniel Stedman Ed. London, Demos. 18.
9. Landler, M. : "A New Iran Overture, with Hot Dogs." The New York Times, June 2, 2009
10. Morgan, L. (2008) : Diplomatic Gastronomy : Style and Power at the Table. School of History and Politics. Adelaide, The University of Adelaide and Le Cordon Bleu.
11. Morgenthau, H. J. (1985) : Politics among nations : the struggle for power and peace. New York, Knopf.
12. Nye, J. S. (2005) : Understanding international conflicts : an introduction to theory and history. New York, Pearson/Longman.
13. Visser, M. (1992) : The rituals of dinner: the origins, evolution, eccentricities, and meaning of table manners. New York, Penguin Books.