".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday, 20 February 2022

Gastronomi & Daya Saing Pariwisata Indonesia

GASTRONOMI & KULINER
Sebutan gastronomi di Indonesia baru ramai dipergunakan masyarakat sejak tahun 2013, walaupun istilah itu sudah lama akrab di lapisan terbatas (akademisi dan chef profesional atau kalangan tertentu).

Namun sampai hari ini penggunaanya masih menimbulkan kekaburan sehingga kerap menimbulkan ketidakjelasan. Selain itu penggunaan kata makanan dengan sebutan kuliner juga menimbulkan pertanyaan karena kurang tepat dalam arti sebenarnya.

Sekian ratus tahun, gastronomi sebenarnya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di bumi Nusantara. Yang namanya “Masyarakat” - siapapun itu, warga negara apapun dia - yang menikmati dan mencintai makanan Indonesia, tidak menyadari bahwa apa yang disajikan di hadapan mereka adalah gastronomi.

Gastronomi pada prinsipnya adalah The Art Of Good Eating alias tukang makan yang melihat dan mengkaji makanan dari sejarah & budaya.

Pelakunya disebut sebagai “gastronom” yang dalam tindakannya melakukan “penilaian” (assessor). Seorang gastronom tidak harus pandai memasak atau ahli dalam sejarah dan budaya makanan, namun cukup sekedar mengenal secara umum (generalis).

Selain itu gastronom harus punya passion terhadap seni makanan karena yang bersangkutan adalah food connoisseur (pecinta, pemerhati & penikmat makanan).

The Art Of Good Eating disini diartikan sebagai kepiawaian gastronom dalam gaya makan yang terampil dan mahir (proficient & skillful eating style).

Seorang gastronom harus menguasai dan memiliki kompetensi keahlian The Art Of Good Eating dari segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan sajian makanan yang apik, indah dan berkelas yang di tata di atas peranti saji yang elok.

Dalam bahasa Indonesia, gastronomi diterjemahkan oleh ahli bahasa Indonesia almarhum Anton Moeliono sebagai Upaboga.

Sedangkan kata Kuliner digunakan pada tahun 2005 berkat slogan “Wisata Kuliner”, dari sebuah tayangan televisi yang meliput tempat-tempat makan unik atau sudah memiliki reputasi yang baik.

Sejak saat itu, kata kuliner menjadi semakin populer dan menjadi sesuatu yang identik dengan mencicipi berbagai jenis makanan dan minuman.

Secara harfiah kata kuliner diserap dari bahasa Inggris culinary yang merujuk kepada aktifitas masak-memasak, yaitu teknik dalam menyiapkan makanan sehingga siap dihidangkan

Dengan demikian kuliner merujuk kepada tukang masak atau bahasa kerennya The Art Of Good Cooking.

Pelakunya adalah artis seniman yang berkreatif dalam teknik dan proses masak – memasak (chef profesional dan pemasak otodidak).

Karena kata kuliner kurang tepat merujuk kepada makanan, maka ada kata padanan yang paling cocok yakni Boga.

Kata boga  dipakai di Nusantara pada masa kuno yang diambil dari bahasa Sansekerta, "bhoga" atau "bhogi" yang penggunaannya banyak muncul dalam prasasti-prasasti kuno di Jawa sejak abad ke-8 M.

Arti boga itu sendiri adalah kenikmatan dan kesenangan terhadap makanan yang lezat.

Sudah saatnya kita mempopulerkan kembali kata “boga” untuk merujuk kepada makanan (dan bukan kuliner), artinya melestarikan ulang jejak pengetahuan citarasa warisan para leluhur terhadap makanan.

Dengan demikian, secara universal gastronomi adalah sebuah pengetahuan yang mempelajari hubungan makanan - sebagai poros tengah  - dengan sejarah & berbagai komponen budaya yang fokusnya pada hidangan yang berkualitas prima.

PARIWISATA
Saya bukan ahli pariwisata walaupun gastronomi terkait dengan kepariwisataan, namun kita coba untuk menjelaskan secara umum hubungan gastronomi dengan pariwisata.

Seperti diketahui banyak definisi mengenai pariwisata. Kalau diperas menjadi suatu kalimat sederhana, maka pariwisata adalah pengalaman berwisata yang berharga dan tidak terlupakan, spesial, spektakuler, dan selalu terkenang karena ada unsur novel dan authentic experience yang dianggap unique &  memorable.

Tourist experience akan membuat wisatawan bercerita kepada orang lain mengenai pengalaman memuaskan dari ingatan petualangan yang tidak terlupakan.

Malah pengalaman itu ingin diulang kembali karena ada unsur pengetahuan baru dari tempat yang dikunjungi, apalagi kesan tersebut bertambah dengan adanya cindera mata untuk mengenang tempat yang dikunjungi.

Perlu diingat, pada hakekatnya bisnis pariwisata adalah menjual pengalaman karena pengalaman yang tersimpan di memori wisatawan akan dibawa pulang.

Kenangan itu berkembang suatu saat untuk berkunjung kembali dengan membawa serta keluarga dan handai tolannya.

DAYA SAING PARIWISATA INDONESIA
Kita pakai laporan tahunan World Economic Forum (WEF) yang selalu dijadikan tolak ukur bagi pemerhati pariwisata dunia, yakni The Travel & Tourism Competitiveness Report (TTCR).

Tahun 2017 laporan TTCR WEF diberi judul Paving the Way for a More Sustainable and Inclusive Future yang  berkeinginan agar industri pariwisata bisa menjadi lebih berkesinambungan, terutama terkait alam dan komunitas lokal di dalamnya.

Dalam laporan TTCR ada index yang mengukur faktor-faktor dan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sektor pariwisata dan perjalanan suatu negara yang kemudian berkontribusi kepada perkembangan dan daya saing wisata negara.

Tolak ukur itu disebut Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) dan untuk tahun 2017 ada 136 negara yang dimasukkan dalam daftar daya saing pariwisata dunia ini.

Menurut senarai TTCI secara umum, Indonesia berada di peringkat 42. Artinya naik 8 peringkat dari tahun sebelumnya. Skor Indonesia adalah 4,16 dari total 7.

Saya tidak berkeinginan membahas lebih jauh soal senarai TTCI ini, karena bukan ahlinya. Pembicaraan kita tidak akan mengupas soal itu secara detail, tapi bisa dikatakan pencapaian angka 42 memang lebih baik dari tahun sebelumnya ketimbang Turki, Barbados, Arab Saudi, Vietnam, atau Filipina, walaupun masih tetap ketinggalan dari negara tetangga Thailand, Malaysia dan Singapura.

Walaupun Indonesia punya keunggulan seperti sumber daya alam yang sukar ditandingi di kawasan Asia dan daya saing harga (price competitiveness), tetap ada kelemahan seperti layanan infrastruktur, kesehatan dan higienitas, kultur masyarakat lokal yang masih kaku dan kadangkala menutup diri terhadap wisatawan yang datang, maupun kesiapan di bidang information and communication technology.

Secara umum bisa dikatakan posisi daya saing pariwisata Indonesia banyak mengalami kemajuan, walaupun brand power pariwisatanya masih berada pada angka 5,2%, ketinggalan dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura (8,6%) dan Thailand (9,4%) atau masih dibawah rata-rata angka brand power pariwisata dunia yang berkisar di angka 7,7% (Kantar TNS Indonesia).

Meskipun demikian, masyarakat menyadari, dari tahun ke tahun, Pemerintah sudah melakukan perbaikan. Contoh konkrit kebijakan bebas visa kunjungan selama 30 hari bagi 169 negara telah menaikkan angka kunjungan 11,52 juta wisatawan asing pada 2016 melalui 19 pintu masuk.

Terus terang, masyarakat punya harapan besar terhadap sektor wisata, mengingat potensinya paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor lain.

Dalam pertumbuhan ekonomi, sektor pariwisata menempati peringkat keempat sebagai penyumbang pendapatan negara.

Pada tahun 2016 pendapatan negara dari sektor ini mencapai USD 11,76 Milyard. Malah diproyeksikan pariwisata akan menjadi tulang punggung devisa Indonesia di masa depan.

Namun apapun prestasi yang telah dicapai, kekuatan utama pariwisata Indonesia adalah wisata alam (TTCI di peringkat 14).

Indonesia belum bisa bersaing dan belum bisa memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus (special interest tours) melawan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia & Singapura. Padahal potensi untuk itu luar biasa, banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.

KULINER DALAM PARIWISATA
Dalam UU Nomor 9 Tahun 1990 & Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, makanan (kuliner atau boga) masuk dalam ranah Wisata Minat Khusus. Scopenya masuk dalam jenis Industri & Kerajinan.

Wisata minat khusus (special interest tours) adalah objek wisata yang belum lama dikembangkan di Indonesia.

Wisata ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa.

Wisata ini ditujukan kepada wisatawan yang mempunyai minat atau tujuan maupun motivasi khusus dalam berwisata.

Biasanya wisatawan diharuskan memiliki kemampuan atau keahlian tertentu sesuai dengan obyek wisata minat khusus yang akan dikunjungi.

WISATA UPABOGA & WISATA BOGA DALAM PARIWISATA
Seperti dikatakan istilah gastronomi baru dikenal masyarakat tahun 2013 dan peranannya dalam dunia pariwisata pun masih muda usianya.

Saat ini kerap kita dengar ada slogan yang menarik yakni wisata gastronomi. Tetapi praktiknya agak kurang tepat.

Penggunaannya condong kepada aplikasi wisata kuliner (boga). Wisata boga berbeda dengan wisata gastronomi (upaboga).

Di bawah ini akan dijelaskan perbedaan antara wisata upaboga dan wisata boga, yakni :

Wisata Gastronomi (upaboga) didorong oleh motivasi untuk  mengenal dan mempelajari sejarah & budaya makanan setempat, selain melihat objek wisata alam yang bersifat alami dan objek wisata yang dibuat oleh manusia (budaya & sejarah).

Wisata Kuliner (boga) didorong sebatas mencari dan menikmati makanan tanpa perlu mengenal dan mempelajari sejarah & budayanya. Bagi wisatawan obyek wisata alam, obyek wisata buatan manusia (budaya dan sejarah), bukan opsi utama dari kunjungan. Kerap pula non wisatawan pun melakukan wisata boga.  

Contoh wisata boga adalah kota Bandung walaupun sampai saat ini Pemdanya belum mempromosikan kota kembang itu sebagai destinasi wisatawan, setiap tahunnya jumlah wisatawan meningkat.

Setiap akhir pekan orang Jakarta datang ke kota Bandung hanya untuk melakukan wisata kuliner (boga). Di hari-hari libur datang pagi dan pulang malam atau keesokan hari, hanya untuk menikmati aneka kreasi makanan lokal dan non lokal maupun souvenir makanan yang ada di setiap pelosok jalan kota.

Rata-rata di tahun 2015, jumlah wisatawan berkunjung ke Bandung mencapai 125 ribu setiap minggunya. Pada tahun 2015 kota Bandung  sudah didatangi 6 juta turis yang 20% diantaranya adalah wisatawan asing.

Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam makanannya (lokal & non lokal) dan kebanyakan pelawat datang untuk melakukan wisata kuliner karena obyek wisata alamnya bisa dibilang tidak banyak. Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.

KEUNGGULAN KULINER DALAM PARIWISATA
Keunggulan makanan atau kuliner (boga) lebih banyak diutarakan dengan memakai ukuran pertumbuhan angka restoran dan rumah makan yang perkembangannya cukup besar akibat fenomena kebiasaan makan di luar.

Sampai saat ini belum diketahui apa sudah ada penelusuran secara rinci mengenai sejauh mana daya tarik makanan lokal memberi sumbangan terhadap pariwisata.

Apakah wisatawan asing atau lokal datang ke suatu destinasi wisata karena obyek makanan (kuliner) atau tidak.

Sejauh yang diketahui belum ada data mengenai sumbangan sektor makanan (kuliner) dalam dunia pariwisata, mengingat diperlukan untuk mengetahui peta keunggulan pariwisata Indonesia.

Untuk menyimpang sedikit dari topik pembicaraan, bisa dikatakan sejak 20 tahun terakhir terjadi pergeseran kebiasaan di mana semakin banyak masyarakat Indonesia makan di luar.

Sepanjang tahun 2013, tercatat kebiasaan makan di luar ini mencapai 380 juta kali dan menghabiskan total USD 1,5 miliar.

Menurut data tahun 2016, saat ini jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia tercatat 70 juta jiwa dari total penduduk 260 juta jiwa.

Kalau memakai kebiasaan makan di luar angka tahun 2013 itu dan mengambil  umpamanya 40 juta kelas menengah di Indonesia, artinya rata-rata  satu jiwa kelas menengah ke atas melakukan kebiasaan makan di luar 9,5 kali / tahun. Fenomena itu tidak berkurang dengan adanya online delivery, malah semakin semarak perputaran bisnisnya.

Menurut yang kami pantau dari beberapa catatan yang ada, total jumlah restoran dan rumah makan yang berbadan hukum di 5 (lima) kota besar Indonesia (Jakarta, Bali, Bandung, Surabaya & Medan) ada 40,282.

Ini belum termasuk yang tidak berbadan hukum seperti kaki lima, usaha rumah tangga, dan warung makan sederhana yang kerap disebut sebagai UKM.

Sektor UKM yang 60% dari pelakunya bergerak di sektor makanan (kuliner) bisa dikatakan sebagai warna & wajah makanan Indonesia yang minim akan standar pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi maupun penampilan.

Pilihan masyarakat kebanyakan pada sektor ini, karena masyarakat masih melihat "apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan UKM yang tidak perlu di "up to date" penampilannya secara mutakhir.

Memang bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, rasa dan kelezatan yang menjadi pilihan utama, yang penting enak, kejangkau secara ekonomi dan tidak perlu mengikuti standar macam-macam.

Bisa dikatakan, keunggulan makanan (kuliner atau boga) dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah teruji keberhasilannya. Di tahun 2017 bisnis makanan tumbuh 8,5%.

Kementerian Perindustrian memprediksi sektor makanan dan minuman tahun 2017 hanya tumbuh kisaran 7,5% - 7,8%.

Sementara, pengusaha yang tergabung dalam organisasi GAPMMI memperkirakan bisa tumbuh minimal sama dengan 2016 yakni sekitar 8,2% - 8,5%.

Sedangkan sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 34,17 persen atau tertinggi dibandingkan sektor lainnya.

Kalau kita kembali ke topik pembicaraan, makanan memiliki peran sangat penting dalam pengembangan jasa pariwisata.

Pada prinsipnya semua wisatawan harus makan dengan selera atau membuat makanan yang ada menjadi perhatian khusus bagi mereka yang berkunjung.  

Diketahui 30% atau lebih dari pengeluaran wisatawan diperuntukkan untuk makanan yang merupakan bisnis lokal masyarakat setempat.

Konsumsi wisatawan akan makanan merupakan kontribusi terbesar untuk restoran lokal, warung / kedai makan, penjaja makanan jalanan dan industri makanan.

Disamping itu makanan menjadi salah satu elemen penting dalam dunia pariwisata, mengingat wisatawan menjadi salah satu pasar utama untuk bisnis masakan lokal (Dodd, 2011; Hjalager dan Richards, 2002 ).

Pentingnya masakan lokal, dicatat dalam survei Torres dimana 46% makanan yang dikonsumsi para wisatawan asing adalah masakan lokal, sedangkan pengeluaran harian pada makanan lokal oleh turis adalah lima kali lebih besar dari rata-rata masyarakat setempat (Torres, 2002).

The International Culinary Tourism Association (ICTA) memperkirakan rata-rata wisatawan dunia menghabiskan biaya sekitar $ 1.200 per perjalanan, dimana sepertiganya (36% atau $ 425) berhubungan dengan belanja makanan.

Bahkan untuk kedepannya diperkirakan cenderung akan menghabiskan jumlah yang cukup signifikan dan lebih tinggi dari sebelumnya (yakni sekitar 50%) untuk yang berhubungan dengan makanan.

KEUNGGULAN GASTRONOMI DALAM PARIWISATA
Mengenai keunggulan gastronomi itu sendiri dalam daya saing pariwisata, belum banyak diperbincangkan atau dikaji secara mendalam, walaupun potensinya cukup tinggi.

Sedangkan keunggulan boga (kuliner) dalam daya saing pariwisata sudah cukup teruji, bahkan kuliner itu sendiri saja tanpa komponen wisata sudah menjadi mesin cetak uang tersendiri yang cukup signifikan bagi pendapatan kebanyakan masyarakat setempat. Apalagi sektor ini memberi potensinya menyerap tenaga kerja yang cukup lumayan.

Meskipun boga (kuliner) dan upaboga (gastronomi) merupakan saudara kembaran, bisa dikatakan penerapan upaboga kedalam mesin pariwisata belum semarak seperti wisata boga.

Salah satu penyebabnya karena banyak yang belum mengerti dan memahami cara menerapkan wisata upaboga ke dalam konsepsi kepariwisataan. Kerap diucapkan tapi beda teknis penerapannya.

Secara umum wisata gastronomi ada dua macam jenis :
1. Gastronomi Luxury : Diperuntukkan bagi kalangan high end dengan kapasitas rombongan terbatas dan mampu membayar dengan harga yang tinggi.

Kalangan wisatawan high end memang kerap keliling dunia mencari kenikmatan dan pengalaman artistik sensorik masakan dari kreasi master chef yang memiliki reputasi yang sudah diakui kepiawaiannya.

Kemewahan hospitality, presentasi dan kelezatan hidangan makanan yang terbaik menjadi incaran utama mereka, disamping mengenal dan mempelajari sejarah & budaya dari makanan itu sendiri.

2. Gastronomi Konvensional : Diperuntukkan bagi kalangan kebanyakan yang ingin mengenal dan mempelajari sejarah & budaya makanan serta penggunaan produk lokal (seperti bumbu dan rempah), resep tradisional maupun cara proses pembuatannya

Wisatawan jenis ini tidak terlalu menghiraukan soal kemewahan dan siapa pemasaknya (bisa chef professional atau pemasak otodidak).

Bagi mereka yang paling penting adalah kenikmatan dan pengalaman artistik sensorik seni masakan dengan harga yang kejangkau dan tidak mahal.

Sampai saat ini belum terlihat ada paket-paket wisata Gastronomi Luxury di Indonesia, walau tidak menafikan ada kalangan terbatas melakukannya dengan pelancong asing berdasarkan orderan artinya dilakukan secara tidak kontinyu.

Potensi untuk melakukan wisata Gastronomi Luxury di Indonesia cukup besar. Umpamanya gaya makan kerajaan Nusantara (ala keraton Surakarta atau Yogyakarta atau lainnya), bisa menjadi pertimbangan dengan segala kemewahan presentasi dan hospitalitynya.

Paket ini bisa menampilkan, merasakan dan memilih “Inheritance of Harmony” dari beragam kekayaan local heritage hidangan klasik tradisional kerajaan Nusantara sebagai kebanggaan dan pelestarian terhadap kekayaan makanan asli bangsawan yang berasal dari latar belakang sosial-budaya yang berbeda.

Untuk Gastronomi Luxury, kalangan high end tidak keberatan membayar mahal, apalagi kalau jumlahnya terbatas justru semakin baik karena eksklusif.

Sebagai contoh untuk suatu paket wisata Gastronomi Luxury di suatu kota di Eropa, selama 2 (dua) hari, yang diselenggarakan sebuah organisasi gastronomi di Paris, anggotanya membayar USD 3,500 per orang. Biaya ini  di luar biaya akomodasi, transportasi udara dan sarapan pagi.

Biaya itu hanya untuk acara makan siang, acara makan malam dan transportasi darat bersama (bis) untuk kapasitas 30 orang. Artinya selama 2 (dua) hari dengan 4 (empat) kali paket acara makan, per orang dikenakan biaya USD 875 per acara makan atau Rupiah 11,6 juta.

Peminatnya cukup banyak di benua barat tapi secara umum sukar diketahui keberadaannya. Biasanya mereka bernaung dalam organisasi-organisasi gastronomi, sommelier, culinary, yayasan-yayasan sosial dari kalangan masyarakat atas, atau sejenisnya.

Gastronomi Konvensional lazim ditemui di hampir semua kegiatan wisata boga dan pelakunya harus dipilih yang punya minat khusus (special interest) dengan harga yang relatif kejangkau isi dompet mereka.

Keunggulan Gastronomi Konvensional itu bisa satu paketkan dengan wisata boga (makanan) dengan tambahan atraksi memberi pengenalan dan pelajaran mengenai proses pembuatan makanan serta penggunaan produk lokal (seperti bumbu dan rempah) serta resep masakannya.

Tambahan atraksi ini memberi ruang komunikasi, bertukar pikiran dan pengetahuan serta keramah tamahan yang sangat berperan penting mendeskripsikan pengalaman para wisatawan itu akan menjadi tak terlupakan (berkesan).

Perlu diketahui pada umumnya wisatawan mencari novel dan authentic experience karena dianggap unique & memorable.

Misalnya, kunjungan ke pabrik membuat tahu yang kedelainya harus diinjak-injak membuat tempe. Atau diajarkan cara membuat rendang, mulai dari cara penyembelihan sapi, belanja bahan baku ke pasar tradisional sampai proses mengolah masakan rendang itu di dapur.

Wisatawan diajak ke tempat pembuatan atau tahu atau rendang disuruh lihat dan praktik membuatnya. Si wisatawan dilibatkan emosional, interaksi fisik, spiritual dan level intelektualnya menjadi sebuah hiburan yang mempunyai estetika, pendidikan dan petualangan.

Secara sadar wisatawan Gastronomi Konvensional diberi pemahaman filosofi, sejarah & budaya serta terakhir ada unsur transaksi dagang untuk oleh-oleh yang akan dibawa pulang.

PESAN
Mengingat daya saing pariwisata Indonesia di tahun 2017 berada di peringkat 42 dalam senarai kalibrasi TTCI WEF. Naik 8 peringkat dari tahun sebelumnya dengan skor 4,16 dari total 7. Dimana ditargetkan tahun 2019 akan diproyeksikan naik 12 level di posisi peringkat 30 besar dunia, maka sudah seharusnya Pemerintah kini mulai mempertimbangkan dengan bijak dan serius memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus (special interest tours) dengan mengangkat Wisata Upaboga sebagai salah satu programnya. Potensi untuk itu luar biasa, banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.

Jakarta 22 Januari 2018

Tabek
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President

 

Sunday, 13 February 2022

Wisata Halal Indonesia : Part II

PRAKATA
Presiden Jokowi mengatakan Indonesia saat ini dinobatkan menjadi wisata halal nomor satu dunia.

Pertanyaannya sampai sejauh mana kesiapan Pemerintah mengambil peluang dari potensi wisata halal ini, karena negara-negara tetangga (seperti Malaysia, Singapore, Thailand termasuk Korea Selatan, Taiwan & Jepang),  sangat agresif mendapatkan porsi kue ekonomi dari wisata muslim ini.

Indikator perjalanan wisata halal dunia (bisnis kepariwisataan) bisa menjadikan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dalam waktu dekat.

Untuk diketahui  sejak tahun 2016, jumlah industri wisata Muslim telah tumbuh hampir 30% dan diproyeksikan selama dekade berikut kontribusi sektor ini terhadap ekonomi global akan meningkat menjadi $ 300 miliar dari $ 180 miliar per tahun.

Global Islamic Economy Report mencatat untuk tahun 2016 sekitar USD 176,9 miliar telah dibelanjakan umat Muslim untuk urusan perjalanan (travelling) ke berbagai negara. Kontribusi ini sebesar 11,9% dari total pengeluaran global pariwisata dunia (tidak termasuk haji dan umrah).

Diperkirakan pada tahun 2022 akan mencapai USD 268,5 milyar atau meningkat 40% (GIE Report). Sedangkan menurut catatan Laporan Ekonomi Global  di tahun 2017 angka kontribusi sektor ekonomi umat Islam secara global sebesar USD 169 miliar.

ISU WISATA HALAL
Isu utama di wisata halal bukan terletak di bisnis kepariwisataanya, tetapi dalam penggunaan kata Halal itu sendiri.

Sejauh yang diperhatikan penggunaan kata Halal belum bisa banyak diterima masyarakat non muslim sehingga perlu dicari kosa kata lain seperti Muslim Friendly yang digunakan Malaysia.

Sebaiknya disarankan dilakukan sosialisasi dan pendekatan lebih banyak kepada tokoh-tokoh non muslim akan kegunaan bisnis kepariwisataan Wisata Halal bagi penguatan ekonomi Indonesia serta melakukan konsultasi juga dengan para ulama, kiyai dan ustad umat Islam dalam mencari kosa kata lain daripada penggunaan kata  Halal tersebut.

Kata halal itu sangat sensitif dan bisa ditafsirkan macam-macam oleh berbagai pihak sehingga menyulitkan bagi pejabat Pemerintah bertindak, baik untuk kepentingan mengakomodasi atau untuk  menyerap potensi wisatawan muslim datang ke negeri ini.

Perlu dipahami bahwa :
1.     Kata wisata halal atau ramah muslim adalah additional facilities (fasilitas tambahan) yang bertujuan bukan untuk menghalalkan destinasi.
2.     Fasilitas additional facilities sudah ada sejak dulu sebelum kalimat wisata halal atau ramah muslim itu dipromosikan ke panggung dunia.
3.     Dunia sudah mengetahui Indonesia masyarakatnya mayoritas beragama Islam, sehingga fasilitas kehalalan itu sudah tersedia dan terjamin dengan sendirinya.
4.     Masyarakat muslim dan non muslim di Indonesia sangat menghargai kehadiran keanekaragaman kuliner halal dan non halal.

Dengan demikian pariwisata halal Indonesia bukan bersifat zonasi dan tidak ada mensyariahkan. Destinasi halal justru merupakan penyediaan layanan tambahan (additional facilities)

Jika soal isyu ini tidak diselesaikan dengan baik maka apa yang dicanangkan Presiden Jokowi menjadikan Indonesia wisata ramah Muslim nomor satu dunia, akan sulit tercapai & status ceruk (niche status) wisata halal hanya akan berada di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan.

Promosi kalimat wisata halal dilakukan negara-negara tetangga (seperti Jepang, Taiwan, Korsel, Singapura, Thailand dan sebagainya), karena mereka ingin menjamin soal kehalalan itu kepada wisatawan muslim dunia mengingat masyarakat di negaranya bukan mayoritas beragama Islam.

WISATA BUDAYA RELIGI
Secara tersirat apa yang diucapkan Presiden Jokowi mengenai wisata halal atau ramah muslim mempunyai banyak sekali makna & catatan sejarah dalam perjalanan Islam di negeri ini.

Jika kepentingan wisata halal atau ramah muslim ingin mengambil ceruk wisatawan muslim dunia berwisata ke Indonesia, maka bisa dikembangkan dengan versi lain.

Bisa dibuat dengan mempromosikan wisata budaya religi (tanpa gunakan kata halal) dimana wisatawan muslim dunia dapat mengunjungi tempat-tempat dan bangunan-bangunan sejarah perjalanan Islam di Indonesia, lengkap dengan cerita dan kisahnya (seperti Wali Songo dan sebagainya), dengan pengenalan kuliner halal dengan perangkat gastronominya.

Sebagai contoh Islam dibawa pedagang India muslim maupun pedagang Arab muslim maupun pedagang Persia muslim ke kepulauan Nusantara. Belum lagi catatan perjalanan para Wali Songso.

Islam juga sangat banyak berpengaruh terhadap arsitektur bangunan di Indonesia. Rumah Betawi salah satunya, adalah bentuk arsitektur bangunan yang banyak dipengaruhi oleh corak Islam. Rumah Betawi yang memiliki teras lebar, dan ada bale-bale untuk tempat berkumpul, adalah salah satu ciri arsitektur peradaban Islam di Indonesia.

Ini belum lagi bicara mengenai tempat ibadah Muslim yang dapat dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di Indonesia saat ini antara 600-800 ribu buah, dimana angka masjid ada sekitar 800 ribu.

Dalam pada itu, pengelolaan masjid di Indonesia berbeda dengan negara lain. Pemerintah tidak secara langsung membangun dan mengelola masjid, tetapi lewat swadaya masyarakat, begitu juga dalam hal pengelolaannya.

Dari swadaya masyarakat itu bisa menjadi daya tarik pelancong muslim untuk belajar dan mencatat sebagai pengetahuan baru bagi mereka.

Belum lagi kalau bicara soal pesantren yang merupakan salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendidikan paling tua di Indonesia.

Semua itu bisa menjadi daya atraksi, aksesibilitas, dan amenitas bagi wisata halal atau ramah muslim yang mana kelebihan Indonesia ini tidak dimiliki negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Hong Kong, Jepang, Thailand, Taiwan dan di negara lain sebagainya.

Pelancong muslim akan dapat banyak manfaat datang ke Indonesia karena mereka akan dapat pengalaman yang berkesan dan tidak terlupakan di samping mendapat pengetahuan baru dengan datang ke Indonesia.

Kalau Indonesia mampu mengangkat wisata budaya religi ini, maka negara-negara tetangga akan kalah jauh dari Indonesia karena catatan sejarah Islam di Indonesia sangat banyak. Wisata budaya religi ini bisa diinisiasi dengan komunitas pesantren atau lain sebagainya yang punya pengalaman dan pengetahuan mengenainya.

Dengan wisata budaya religi ini, selain catatan sejarah Islam, bisa juga disinergikan dengan kearifan lokal budaya Jawa & non Jawa (seperti busana, tarian, makanan dll) dalam mengadaptasi Islam itu ke negeri ini yang mana komunitas pesantren punya kepakaran dalam hal ini.

Selain Islam, wisata budaya religi ini bisa juga dilakukan dengan catatan sejarah Budha dan Hindu di Indonesia yang punya perjalanan cerita, kisah maupun bukti-bukti sejarah bangunannya.

Menyimpang sedikit dari topik pembicaraan. Terkait pengenalan awal (atau promosi) wisata budaya religi Indonesia kepada dunia dapat dilakukan melalui metaverse; yakni pengembangan suatu Channel (saluran) aplikasi yang merupakan sebuah ruang virtual yang memanfaatkan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) yang memungkinkan semua orang untuk berkumpul, bertemu dan berinteraksi; bahkan bertransaksi jual-beli layaknya dunia nyata.

Pengalaman metaverse melalui realitas virtual program teknologi aplikasi di gadget adalah mengenai perjalanan wisata budaya religi yang dipresentasikan suara narator, dengan bantuan soundtrack, pertunjukan cahaya, dan mesin angin.

Khususnya mengenai kuliner halal memberi pengalaman unik kepada konsumen berkeliling Indonesia untuk tidak hanya mencicipi masakan lokal setempat tetapi juga virtual memasaknya.

Melalui smartphone, wisatawan dapat membaca dengan teliti sejumlah pengalaman memasak di wilayah yang akan dikunjungi terhadap tekstur, rasa, aroma, sensasi, food pairing makanan tertentu; selain juga memberikan pengalaman virtual saat bersantap.

Realitas virtual metaverse ini akan memberi pengalaman wisata budaya religi Indonesia dengan pengenalan terhadap kuliner ala gastronominya.

Kembali ke topik semula, dengan demikian wisata budaya religi bicara mengenai :
1.  Potensi mengenai perjalanan dan catatan sejarah Islam, Budha dan Hindu dalam versi masyarakat lokal setempat (Jawa & Non Jawa).

2.  Potensi membuka lapangan kerja dan ekonomi kreatif lainnya

3.  Peluang ekonomi kreatif budaya busana, tarian, masakan dan lain sebagainya.

Bisa saja, suatu saat nanti, destinasi wisata budaya religi ke Indonesia akan menjadi daya tarik perjalanan ibadah bagi pelancong muslim dunia; karena perlu disadari kepariwisataan Indonesia adalah bagian dan milik seluruh elemen bangsa yang menghargai budaya, kearifan lokal & keberagaman.

Ada keramah-tamahan khas dengan berbagai latar kekayaan kultural dan agama yang merupakan aktivitas universal, sehingga seluruh tempat wisata di Indonesia terbuka bagi seluruh wisatawan, apapun latar belakang agama, kepercayaan, dan kewarganegaraannya.

PENUTUP

Model pariwisata Indonesia dibangun berbasis kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan toleransi sekaligus sebuah destinasi yang mampu merefleksikan harmoni dalam keberagaman.

Artinya pariwisata Indonesia sebenarnya adalah berbasis budaya, berkearifan lokal, berkelanjutan, berkualitas, dan sehat, sehingga bisa mengakomodasi semua pihak dalam kepentingan mereka baik religi atau agama.

Kue ekonomi dunia untuk wisata halal atau ramah muslim atau wisata budaya religi cukup besar, apalagi sebagai negara penduduk muslim terbanyak di dunia, potensi kekuatan itu di Indonesia sangat banyak,  apalagi punya kekuatan ekonomi syariah.

Jumlah wisatawan Muslim yang melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lainnya sebanyak 158 juta per tahun. Dari jumlah tersebut, Indonesia baru kebagian kurang dari 3 (tiga) juta wisatawan Muslim.

Sekali lagi perlu digaris bawahi, perhatian utama wisata halal atau ramah muslim ada pada pelayanan tambahan di tempat  (additional on-site services atau extended facilities) dan bukan untuk menghalalkan destinasi.

Antara lain berangkat dari kebutuhan wisatawan muslim menjalankan shalat 5 (lima) waktu, sehingga butuh tempat beribadah dan wudhu dan seterusnya.

Lalu, saat berwisata, wisatawan muslim butuh makan, sehingga makanan yang dicari untuk dikonsumsi harus halal. Termasuk hotel yang menyediakan peralatan shalat dan Al Quran, masjid, hingga tidak menyajikan makanan non-halal maupun minuman keras.

Demikian disampaikan sepintas mengenai wisata halal Indonesia.

Semoga bermanfaat.                                        

Jakarta, 24 Oktober 2018
Tabek
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President

Saturday, 12 February 2022

Memahami Wisata Halal - Part I

PRAKATA
Wisata Halal atau Wisata Ramah Muslim (PRM) telah menjadi fenomena regional di kalangan umat Islam dan meningkat dari waktu ke waktu. Kesadaran wisata halal telah menembus ke sebagian besar umat Muslim di seluruh dunia.

Selama dekade terakhir, industri pariwisata Islam menunjukkan pertumbuhan positif dan terus menjadi salah satu kontributor utama di sektor jasa terhadap perekonomian nasional di berbagai negara.

Menurut Laporan The Global Islamic Economy (EGIE) Report tahun 2017/2018, perjalanan (travelling) ke berbagai negara di dunia telah menjadi kebiasaan lama kalangan umat Islam yang mana kemudian beberapa tahun terakhir ini dikemas menjadi tren dengan adanya industri pariwisata Islam.

Global Islamic Economy (GIE) Report mencatat untuk tahun 2016 sekitar USD 176,9 miliar telah dibelanjakan umat Muslim untuk urusan perjalanan (travelling) ke berbagai negara.

Kontribusi ini sebesar 11,9% dari total pengeluaran global pariwisata dunia (tidak termasuk haji dan umrah).

Diperkirakan pada tahun 2022 akan mencapai USD 268,5 milyar atau meningkat 40% (GIE Report).

Sedangkan menurut catatan Laporan Ekonomi Global  (LEG) di tahun 2017 angka kontribusi sektor ekonomi umat Islam secara global sebesar USD 169 miliar.

Bisa dikatakan status ceruk (niche status) industri pariwisata dunia dengan cepat berpaling kepada pariwisata Islam atau dikenal dengan wisata halal dengan tagline Pariwisata Ramah Muslim (PRM).

Sebagian besar perusahaan, pelaku bisnis perhotelan, pemilik restoran, operator tur serta pelancong di berbagai belahan dunia berbenah diri mengantisipasi perkembangan ini dan terus mempromosikan pariwisata ramah muslim.

Konsep Pariwisata Ramah Muslim (PRM) telah mendapatkan perhatian banyak negara dan pemangku kepentingan dalam industri ini sejak awal diperkenalkannya oleh para pelaku bisnis perhotelan Syariah.

PRM adalah salah satu industri jasa yang berfokus pada penyediaan layanan di sektor pariwisata dan perhotelan yang ramah muslim dengan penekanan pada pelayanan akomodasi, makanan dan minuman serta kegiatan perjalanan.

Semua layanan ini berdasarkan aturan syariah dengan tujuan untuk memanjakan para pelancong yang menginginkan layanan PRM.

Malaysia adalah salah satu negara di dunia yang memimpin sebagian besar interaksi Pariwisata Ramah Muslim (PRM) yang menawarkan pilihan perjalanan yang aman dan nyaman.

ESENSI DASAR WISATA HALAL
Perlu diketahui, agama dan kepercayaan biasanya dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari saat bepergian.

Dalam Islam, ada beberapa surat yang mendorong umat melakukan perjalanan dan menjelajahi dunia serta untuk melestarikan pengalaman maupun pengabdiannya kepada Allah SWT.

Ada 9 (sembilan) ayat dalam al-Qur'an yang mendorong umat Muslim melakukan perjalanan dunia. Kesembilan surat tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Surat Al-Mulk Ayat 15
2.  Surat Muhammad Ayat 10
3.  Surat Luqman Ayat 31
4.  Surat Yusuf Ayat 109
5.  Surat Ar-Rum Ayat 42
6.  Surat Ali ‘Imran Ayat 137
7.  Surat Ar-Rum Ayat 9
8.  Surat An-Naml Ayat 69
9.  Surat Al-An’aam Ayat 11

Kesembilan surat al-Qur'an ini menggambarkan dorongan dalam Islam bahwa sejatinya manusia itu memiliki tujuan berkeliling dunia untuk menemukan dan menganalisis sejarah masa lalunya.

Ibnu Batutah adalah salah satu contoh ulama Muslim yang bepergian selama kurang lebih 30 tahun pada abad ke-14 (Berkeley, 2018).

Alasan utama yang mendorong Ibnu Batutah melakukan perjalanan adalah karena ziarah ke Mekah untuk memenuhi rukun Islam kelima.

Tetapi Ibnu Batutah bepergian sejauh 120.700 kilometer dan mengunjungi sekitar 44 negara setelah menyelesaikan haji di Mekah.

Dari kisah Ibnu Batutah itu, menunjukkan agama memang mempengaruhi aktivitas bepergian dalam kehidupan seseorang.

Menurut Jafari dan Scott (2014), agama mempengaruhi dan menentukan pilihan orang bepergian terutama maksud untuk tujuan diskresi dan kegiatan yang keagamaan, selain tentunya untuk perdagangan.

Demikian pula, Zakaria dan Abdul Talib (2010), menemukan implikasi yang sebanding bahwa tuntutan bepergian dan tur perjalanan sangat dianjurkan dalam Islam dan biasanya terhubung dan saling terkait dengan keramahan (hospitality).

Berdasarkan studi dan literatur, konsep pariwisata Islam datang lebih awal sebelum berkembangnya tema Pariwisata Ramah Muslim (PRM). Beberapa istilah menggambarkan bepergian telah digunakan dalam Islam.

Baharom, Khalid dan Yaakob (2010), menjelaskan istilah bepergian atau pariwisata dibagi menjadi beberapa istilah yang terdiri dari siyahah, ziarah, rehlah dan umrah / haji (ziarah).

Siyahah berarti perjalanan seseorang dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan pariwisata dalam rangka menghibur atau mengeksplorasi pengalaman baru (Sohirin & Shah Jani, 2014).

Ziarah melaksanakan makna mengunjungi orang lain dengan tujuan dan rehlah, yang berarti bepergian dan melewati tempat lain untuk tujuan tertentu.

Kata rehlah digunakan secara khusus untuk bepergian dengan tujuan pendidikan dan perdagangan (Duman, 2011).

Sebaliknya, umrah / haji adalah perjalanan berdasarkan tujuan agama yang berbeda dari praktik biasa perjalanan umum atau kegiatan pariwisata.

Umrah / haji telah menjadi kegiatan utama Muslim setiap tahun untuk mengunjungi Mekah dan memenuhi salah satu dari 5 (lima) rukun Islam.

Lebih lanjut, Nor ‘Ain Othman (2013) mengatakan wisata Islam dapat didefinisikan dari berbagai daerah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Definisi tersebut dapat diturunkan dari perilaku para wisatawan termasuk motivasi untuk bepergian, tujuan yang dipilih serta produk dan layanan yang ditawarkan yang mencakup akomodasi, makanan dan minuman dan maskapai penerbangan.

Nor ‘Ain Othman (2013) mendefinisikan Wisata Islami sebagai minat atau kegiatan yang terkait dengan perjalanan dalam mengeksplorasi sejarah, seni, budaya dan warisan Islam dan untuk mengalami cara gaya hidup Islam.

Pada perspektif lain, pariwisata Islam didefinisikan oleh Islamic Tourism Center (ITC) sebagai aktivitas, peristiwa, dan pengalaman apa pun yang dilakukan dalam keadaan perjalanan yang sesuai dengan Islam (ITC, 2016).

Definisi pariwisata Islam juga melibatkan kegiatan bepergian ke dan tinggal di tempat-tempat di luar lingkungan mereka yang biasa untuk jangka waktu tertentu dengan niat atau maksud memotivasi kebathinan Islam (Dunman, 2011).

Sebagai kebutuhan dan layanan berbasis agama, wisata Islam juga dikenal sebagai wisata ramah halal atau wisata halal.

Akyol dan Kilinc (2014) menekankan bahwa pariwisata halal terdiri dari berbagai sektor yang saling terkait yang mencakup akomodasi halal, transportasi halal, makanan dan minuman halal, paket wisata halal, dan keuangan halal.

Namun, istilah pariwisata ramah Muslim muncul ketika masalah serangan 11/9 tahun 2001 di New York, dan Islamophobia dimulai di seluruh dunia.

Banyak negara, negara-negara Muslim dan non-Muslim bercita-cita untuk memanfaatkan segmen ceruk ini dalam industri pariwisata, tetapi gagal untuk saling menyetujui satu istilah umum yang dapat mewakili industri pariwisata Islam.

Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China baru-baru ini menggunakan istilah pariwisata halal atau perjalanan halal dalam mempromosikan pasar pariwisata negara mereka kepada para pelancong Muslim.

Sedangkan negara seperti Indonesia, Brunei, dan negara GCC juga belum berhasil membuat istilah tersebut terlihat oleh dunia, terkecuali Malaysia.

MALAYSIA
Muslim Friendly Tourism adalah tema yang digunakan Malaysia untuk memenuhi kebutuhan pelancong Muslim dan juga untuk menawarkan produk dan layanan yang sama kepada semua orang termasuk non-Muslim.

Kisah sukses Malaysia banyak ditiru negara lain seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, China dan lain sebagainya termasuk Indonesia.

Menurut Battour (2016): “Istilah ramah Muslim dalam industri pariwisata menunjukkan upaya untuk membuat pengalaman pariwisata menyenangkan bagi umat Muslim yang taat”.

Pernyataan Battour itu hampir mirip dengan konsep 'Wisata Halal' tetapi dalam konteks yang lebih luas untuk memasukkan kemungkinkan umat Islam melakukan tugas keagamaan.

Dengan kata lain, tujuan ramah Muslim tidak hanya menawarkan banyak layanan 'Halal' (seperti makanan dan minuman halal, kolam renang terpisah berdasarkan jenis kelamin, dll) tetapi juga tempat-tempat yang nyaman bagi umat Islam untuk melakukan doa harian mereka.

Cresent Rating (2016) menguraikan pemahaman istilah Pariwisata Ramah Muslim (PRM) untuk memberikan gambaran tentang istilah yang mendominasi kepada semua pemangku kepentingan terkait yang mencari pertumbuhan pasar PRM.

Layanan PRM (Cresent Ratin, 2016) meliputi hospitality atau fasilitas yang telah memperhitungkan beberapa kebutuhan berbasis agama dari para pelancong Muslim.

Sebagai hasilnya, dapat diduga bahwa pengertian PRM didasarkan pada konsep pariwisata Islam, tetapi istilah yang digunakan sesuai dengan segmen baru industri pariwisata dan perhotelan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan di seluruh dunia dan tidak meninggalkan keyakinan dan praktek agama untuk menghalanginya.

Singkatnya, Battour (2016) mengungkapkan bahwa PRM adalah upaya untuk mengubah pengalaman pariwisata sebagai kesenangan bagi para pelancong Muslim dan membiarkan mereka melakukan tugas keagamaan saat berwisata.

TANTANGAN WISATA RAMAH MUSLIM
Tantangan pertama dalam mengembangkan Pariwisata Ramah Muslim (PRM) adalah bagaimana membuatnya terlihat nyata oleh dunia.

Sampai sejauh mana kemajuan teknologi, keterampilan SDM, organisasi terkait maupun pelayanan perhotelan & restoran di negara-negara berkaitan siap diri menghadapi bisnis ini.

Kemajuan teknologi berkontribusi terhadap tantangan yang lebih besar dalam pengembangan PRM

Di era Revolusi Industri 4.0 (IR 4.0) & 5.0 (IR 5.0), industri pariwisata perlu mengubah dirinya untuk naik dalam skala penggunaan big data dan internet.

Media sosial, informasi online dan transparan dan teknologi diperlukan untuk memodernisasi layanan di PRM.

Inovasi dan perubahan teknologi yang tidak dapat disangkal ini dapat membantu meningkatkan layanan yang disediakan terutama di tiga bidang utama dalam industri pariwisata seperti layanan perhotelan, layanan akomodasi, dan layanan F&B.

Di antara tantangan dalam PRM adalah bagaimana menyebarkan promosi dan menciptakan kesadaran tentang Pariwisata Ramah Muslim (PRM) kepada semua wisatawan di seluruh dunia.

Untuk menjaga industri yang cepat berubah ini, media interaktif seperti aplikasi online telah dikembangkan untuk memungkinkan proses dan persiapan wisatawan jauh lebih mudah.

Wang dan Wang (2009) mengidentifikasi bahwa masalah teknologi yang melibatkan kegiatan pariwisata biasanya mencakup sistem reservasi interaktif, inovasi kamar tamu, penambangan data, manajemen hasil.

Tantangan kedua untuk pengembangan PRM adalah aksesibilitas menuju manajemen pembangunan berkelanjutan (sustainable development management).

Permintaan universal untuk manajemen keberlanjutan harus bisa mendorong pemangku kepentingan PRM mempraktekkan keramahan lingkungan dalam memberikan layanannya.

Seperti umpamanya pelatihan tenaga-tenaga pekerja yang handal memperkenalkan standar pelayanan ramah keramahtamahan Muslim, baik secara nasional maupun global, yang berfokus pada 3 (tiga) area utama yakni :
1.  Dalil Siyahi (Panduan Wisata)
2.  Dhiyafah (Akomodasi)
3.  Safar dan Siyahah (Perjalanan dan Tour)

Dalam perkembangan ekonomi dunia saat ini, ketergantungan negara terhadap sustainable development management memainkan peranan penting dalam bisnis wisata halal (PRM).

Apalagi industri pariwisata adalah salah satu kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga penting bagi negara untuk memperbaiki semua masalah dan mengatasi tantangan menuju Pariwisata Ramah Muslim (PRM).

Sekali lagi kata kuncinya ada di kemajuan teknologi, keterampilan SDM, organisasi hospitality terkait maupun pelayanan perhotelan & restoran ramah Muslim dalam memberikan layanan ramah lingkungan.

Muslim sekarang menjadi salah satu segmen industri wisata global yang tumbuh paling cepat.

Menanggapi tren yang semakin berkembang, sebagian besar hotel dan operator tur dunia berusaha memenuhi kebutuhan mereka.

Memisahkan lokasi menu kuliner non halal dan kuliner halal di hotel, rute penerbangan menyediakan layanan minuman non alkohol, hotel maupun resor menyediakan kolam renang terpisah untuk pria dan wanita, bahkan setiap tur wisata diisi dengan waktu istirahat untuk sholat.

Tercatat sejak tahun 2016, jumlah industri wisata Muslim telah tumbuh hampir 30%. Mastercard dan Crescent Rating, sebuah kelompok peneliti yang melacak perjalanan wisata ramah halal, memproyeksikan selama dekade berikut kontribusi sektor wisata Muslim terhadap ekonomi global akan meningkat menjadi $ 300 miliar dari $ 180 miliar per tahun.

Dengan kebanyakan populasi muda, terdidik, dan bergerak ke atas secara tidak proporsional, wisatawan Muslim adalah salah satu demografi yang tumbuh paling cepat di kancah pariwisata global.

AWAL MULA WISATA HALAL
Sejarah dikenalnya istilah wisata halal dimulai pada tahun 2015 dimana wanita yang bernama Soumaya Hamdi melakukan perjalanan keliling Asia bersama suaminya dan bayinya yang berumur 4 bulan.

Ketiganya mengunjungi Singapura dan Malaysia, dan kemudian naik penerbangan ke Korea Selatan dan ke Jepang.

Perjalanan itu mengasyikkan, tetapi sebagai Muslim yang taat mereka merasa sulit mencari makanan bersertifikasi halal.  

Mereka mendapati rasa frustrasi setiap hari dengan kurangnya informasi tentang di mana dapat menemukan makanan halal dan berkualitas di Korea Selatan, Jepang, Singapura dan Malaysia.

Atas dasar pengalaman itu, Ibu Hamdi, yang tinggal di London, mulai menulis di blog tentang restoran halal bagi kalangan Muslim yang ia temukan di media internet, serta fasilitas sholat dan situs-situs yang secara khusus menyambut keluarga yang berwisata dengan bayi.

Tulisan artikel Ibu Hamdi kemudian menjadi gagasan berdirinya Halal Travel Guide, sebuah platform online yang menawarkan tip, rekomendasi, dan rencana perjalanan yang disesuaikan untuk para pelancong Muslim.

Bisa dikatakan Wisata Halal sudah sangat diperlukan kehadirannya dan sudah sangat tepat dikembangkan, apalagi mempertimbangkan sekarang ini komunitas Muslim di Eropa ada pada kalangan generasi ketiga atau keempat yang senang dan suka berwisata antar negara. Mereka berpendidikan dan memiliki pekerjaan dengan gaji yang baik.

Untuk generasi pertama dan kedua, ide liburan mereka adalah mengunjungi keluarga di negara asalnya; sedangkan untuk generasi ketiga dan keempat sudah punya gagasan liburan seperti ke berbagai negara di dunia.

Diperkirakan ada sekitar 156 juta Muslim akan memesan perjalanan wisata global antara tahun 2018 sampai tahun 2020.

Inti dari perjalanan suatu wisata adalah mendapatkan pengalaman akan keanekargaman makanan (kuliner). Untuk pelancong Muslim, faktor nomor satu pengalaman itu adalah makanan halal berkualitas baik.

Bukan semata tentang kari atau biryani tetapi makanan lokal asli yang halal. Setelah itu, biasanya baru fasilitas untuk sholat.

Permintaan global turis Muslim akan makanan halal telah tumbuh sangat banyak sehingga jangkauan secara sentris ke sektor pariwisata Muslim perlu dilakukan.

Umpamanya, Singapura mempunyai komunitas online untuk wisatawan Muslim yang disebut Halal Will Travel, mirip dengan platform online Halal Travel Guide di London. Saat ini, konten keduanya mencapai 9,1 juta pengguna setiap bulan.

Di tahun 2015, begitu banyak platform aplikasi online yang memberikan layanan memberi tahu tempat makan dan tempat bepergian (seperti Yelp dan TripAdvisor), tetapi begitu sedikit informasi untuk umat Islam.

Bukan hanya tentang makanan, meskipun makanan halal adalah dasar dari banyak hal, tetapi juga tentang keamanan dan tempat beribadah. Secara umum ada kekurangan layanan informasi dan sangat terpecah pecah.

Selang beberapa tahun kemudian, celah di pasar itu sekarang dipenuhi dengan beraneka situs-situs artikel khusus untuk wisata halal, seperti Passport and Plates, blogger yang berbasis di Los Angeles.

Salah satu penulisnya,  Sally Elbassir, menceritakan petualangan wisata globalnya di mana daging babi dan alkohol selalu keluar dari menu.

Di situs Arabian Wanderess, Esra Alhamal menulis tentang pengalaman wisatanya sebagai seorang wanita milenium Muslim dengan anggaran terbatas.

Di situs Muslim Travel Girl yang berbasis di Bulgaria, para pembaca dapat belajar tentang hotel & resor bulan madu yang ramah-Muslim dengan kolam renang pribadi dan mendapatkan tips untuk Umrah (ziarah ke Mekah).

Artikel-artikel di situs blogger menggemakan sentimen yang sama. Tujuan mereka bukan hanya untuk memudahkan wisatawan Muslim menemukan makanan, ruang sholat dan kegiatan bebas alkohol, tetapi juga untuk mendukung para pelancong Muslim berada di zona nyaman dan diberdayakan dengan baik saat menjelajahi dunia, apalagi saat melancong ke negara-negara mayoritas non-Muslim.

Pada intinya para blogger mendorong umat Islam mencari pengalaman perjalanan budaya yang imersif di luar tujuan ramah Muslim tradisional seperti ke Dubai, Malaysia dan Maroko.

Wisatawan Muslim mencari nilai tambah untuk perjalanan mereka, baik dari pantai pribadi di mana wanita bisa mandi tanpa pria mengganggu mereka, dan lebih dari ini, perjalanan yang menawarkan wisatawan Muslim kesempatan untuk mengalami sesuatu yang sama sekali berbeda.

Demikian disampaikan sepintas mengenai pemahaman terhadap wisata halal.

Semoga bermanfaat

Jakarta, 19 April 2018
Tabek
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President

Thursday, 10 February 2022

Lembaga Koordinasi Pariwisata

PRAKATA
Kalau kita melihat postur Pariwisata Indonesia saat ini masih terdapat catatan kelemahan-kelemahan sehingga aplikasinya kurang bisa maksimal. Bisa dikatakan program Pariwisata di era reformasi (1998 - 2019) belum maksimal menghasilkan sesuatu yang "Wonderful Indonesia" seperti tema logonya.

Kelemahan-kelemahan ini antara lain seperti tidak memadainya fasilitas infrastruktur akses (pelabuhan laut, jalan tol, pelabuhan udara); akomodasi, kesehatan dan kebersihan (higienis), keamanan serta keteraturan (amenitas & aksesibilitas), layanan (hospitality) yang tidak merata, kultur masyarakat lokal yang masih kaku dan kadangkala menutup diri terhadap wisatawan yang datang, kesiapan di bidang information and communication technology, dan lain sebagainya.

Termasuk soal Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang layak dalam kemampuan berinteraksi dengan wisatawan untuk menimbulkan impresi yang baik sebagai destinasi wisata yang tourist friendly maupun struktur hukum yang menjadi penghambat pengembangan pariwisata itu sendiri.

Kalau bicara soal catatan kelemahan tersebut, tidak lebih dan tidak kurang, Pariwisata di negara-negara tetangga ASEAN lainnya mengalami hal serupa yang notabene semuanya memiliki banyak tempat wisata yang indah seperti Indonesia.

Umpamanya di negara-negara itu dirasakan kurang nyaman, kurang unggul & orang-orang kurang ramah bagi wisatawan asing.

Jadi bukan Indonesia saja memiliki kelemahan itu. Terkecuali Singapura yang sudah punya sistem kerja operasional Pariwisata yang cukup baik.

Lihat saja dukungan bandara dan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar seperti Bangkok, Kuala Lumpur & Manila maupun di kota-kota wisata sekunder mereka lainnya, mirip situasinya dengan kebanyakan kota-kota di Indonesia.

Belum lagi kalau bicara soal polusi dan kondisi lingkungan memburuk, apalagi tidak cukupnya fasilitas utilitas, terutama pasokan (supply) air yang berdampak pada perluasan pariwisata, termasuk pembuangan sampah di berbagai kota.

Soal kelonggaran dalam penegakan hukum pun jadi pembicaraan, seperti korupsi (sogok menyogok) dan menghukum orang-orang yang menipu turis (yakni pemandu hantu dan / atau souvenir-souvenir palsu). Tampaknya kabar kejahatan terhadap wisatawan asing kurang diberitakan secara luas. Banyak lagi sebenarnya kalau mau diutarakan dan akan cukup panjang daftarnya.

Memang ada yang mengatakan prestasi pariwisata Indonesia bisa dibilang cukup ketinggalan dibanding negara-negara tetangga.  

KEPARIWISATAAN INDONESIA
Dari hasil survei Kantar TNS Indonesia, (perusahaan konsultan riset pasar yang dipercaya pemerintah melakukan survei citra Indonesia di 16 negara penjuru dunia), disimpulkan kekuatan citra atau brand power pariwisata Indonesia di dunia internasional masih sangat lemah. Artinya, Indonesia kurang diketahui banyak pengunjung internasional.

Berdasarkan wawancara kuantitatif Kantar TNS Indonesia pada 7.610 responden, 50% responden menyatakan pernah mendengar dan mengetahui banyak tentang Indonesia dan 50% responden menyatakan pernah mendengar namun hanya tahu sedikit tentang Indonesia.  

Dari kelompok responden pertama, sebanyak 24 persennya menyatakan tidak pernah berkunjung ke Indonesia dan hanya 26% yang menyatakan pernah berkunjung ke Indonesia.

Dari kelompok responden yang menyatakan pernah berkunjung ke Indonesia, sebanyak 21% menyatakan tidak mengunjungi Indonesia secara rutin dan hanya 5% responden yang menyatakan mengunjungi Indonesia secara rutin.
Dari hasil survei terhadap pendapat responden itu, brand power pariwisata Indonesia berada pada angka 5,2%, ketinggalan dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura (8,6%) dan Thailand (9,4%) atau masih dibawah rata-rata angka brand power pariwisata dunia yang berkisar di angka 7,7%.  Brand power paling kuat menurut para responden adalah Jepang, yakni dengan skor 14,8% dan Australia dengan skor 12,5%.

PRESTASI KEPARIWISATAAN INDONESIA
Kalau kita mau mundur sejenak, sebenarnya secara umum sejak menjelang 5 (lima) tahun terakhir atau di masa Kabinet Kerja 2014 – 2019, bisa dikatakan posisi daya saing pariwisata Indonesia mengalami kemajuan.

Menurut senarai kalibrasi Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) dari  laporan tahunan World Economic Forum (WEF) tahun 2017, Indonesia berada di peringkat 42. Artinya naik 8 peringkat dari tahun sebelumnya. Skor Indonesia adalah 4,16 dari total 7.

Kalau bicara prestasi, di tahun 2019 Indonesia sudah dinobatkan Rough Guides, Inggris, di Peringkat ke-6 The Most Beautiful Countries in the World serta sebagai the Top 10 Countries Best in Travel 2019 oleh Lonely Planet.

World Travel & Tourism Council (WTTC) sendiri menyatakan Indonesia adalah Negara dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia, sedangkan the Telegraph pada tahun 2017 menyatakan Indonesia is in Top 20 Fastest Growing Travel Destination in the World.

Meski ada yang mengatakan ketinggalan dan ada yang mengatakan sebaliknya, masyarakat menyadari dari tahun ke tahun, Pemerintah sudah melakukan perbaikan.

Contoh konkrit kebijakan bebas visa kunjungan selama 30 hari bagi 169 negara telah menaikkan angka kunjungan 11,52 juta wisatawan asing pada 2016 melalui 19 pintu masuk.

Sedangkan pertumbuhan kunjungan wisatawan asing di tahun 2018 mencapai 15,81 juta & perjalanan wisatawan Nusantara sebesar 273 juta. Pertumbuhan ini menempatkan Indonesia berada pada angka 12,58%, lebih tinggi dari ASEAN (7,4%) & dunia (5,6%).

Terus terang, masyarakat punya harapan besar terhadap sektor wisata, mengingat potensinya paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor lain.

Indonesia memang punya keunggulan seperti sumber daya alam yang sukar ditandingi di kawasan Asia dan daya saing harga (price competitiveness).

Dalam pertumbuhan ekonomi, sektor pariwisata menempati peringkat keempat sebagai penyumbang pendapatan negara.

Pada tahun 2016 pendapatan negara dari sektor ini mencapai USD 11,76 Miliar. Menurut BPS pada tahun 2018 sebesar Rupiah 224 Triliun dengan kontribusi pada PDB Nasional sebesar 5,25% yang mampu menampung 12,7 juta tenaga kerja.

Malah diproyeksikan pariwisata akan menjadi tulang punggung devisa Indonesia di masa depan.

Di tahun 2019 diproyeksikan industri pariwisata akan menyumbang devisa terbesar di Indonesia, yaitu US$ 20 Miliar, & ditargetkan menjadi yang terbaik di kawasan regional, bahkan melampaui ASEAN.

Namun apapun prestasi yang telah dicapai, kekuatan utama pariwisata Indonesia adalah wisata alam (TTCI di peringkat 14). Indonesia belum bisa bersaing dan belum bisa memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus (special interest tourism) melawan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia & Singapura. Padahal potensi untuk itu luar biasa, banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.

Selain itu sudah seharusnya Pemerintah mulai mempertimbangkan dengan bijak dan serius memaksimalkan wisata buatan manusia (man-made tourism) & wisata minat khusus (special interest tourism) dengan mengangkat Wisata Upaboga sebagai salah satu programnya. Potensi untuk itu luar biasa, banyak dan tersebar di pelosok negeri ini.

Perlu diingat, pada hakekatnya bisnis pariwisata adalah menjual pengalaman karena pengalaman yang tersimpan di memori wisatawan akan dibawa pulang. Kenangan itu berkembang suatu saat untuk berkunjung kembali dengan membawa serta keluarga dan handai tolannya.

Kembali mengenai catatan kelemahan-kelemahan tadi, pada kesimpulannya terlihat seperti ada kurangnya kerjasama dan koordinasi di antara sistem administrasi publik.

Masalah kelemahan-kelemahan yang disebutkan di atas adalah gejala dari akar penyebabnya, seperti kurangnya penilaian maupun pengukuran kinerja serta tidak sinkronnya sistem pemantauan yang serius antara lembaga administrasi publik.

Ini adalah kelemahan yang penting tampak di mata masyarakat & wisatawan asing.

Kelemahan-kelemahan itu selalunya selesai dan teratasi pada level pimpinan tertinggi Pemerintah, yakni Presiden.

Umpamanya, saat Presiden menyambangi kawasan wisata laut Taman Nasional Bunaken di Provinsi Sulawesi Utara & kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Timur memonitoring fasilitas infrastruktur pariwisata ke Labuan Bajo, adalah contoh kecil mengatasi masalah fasilitas infrastruktur akses & teknis pariwisata di lapangan.

Namun prestasi yang selama ini telah dirintis & dilakukan oleh Kementerian Pariwisata semasa Kabinet Kerja 2014 – 2019, dirasakan sudah cukup memadai. Sekarang bagaimana ke depannya.

Seperti diketahui, capaian tahun ke 4 (empat) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019, kontribusi pariwisata pada PDB Nasional di tahun 2018 di angka 5,25% dengan pendapatan devisa sebesar Rupiah 224 Triliun dan di tahun 2020 diperkirakan akan mencapai di angka 5,50% dengan pendapatan devisa sebesar Rupiah 260 Triliun.

Jumlah tenaga kerja di tahun 2018 sebanyak 12,7 juta orang dan di tahun 2020 diperkirakan 13 juta orang.

Jumlah wisatawan mancanegara di tahun 2018 sebanyak 15,8 juta kunjungan (meskipun turun dari target RPJMN sebanyak 17 juta kunjungan) dan di tahun 2020 diperkirakan 20 juta kunjungan.

Sementara itu dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2015-2019, pariwisata ditetapkan akan menjadi sektor unggulan pembangunan dengan posisi pada rangking kedua di tahun 2019.

Sedangkan rencana target kedepan, porsi kerja Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif akan cukup menakjubkan.

Di tahun 2020 di agendakan target pertumbuhan pariwisata akan mencapai sebesar 21,6 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Di tahun 2025 akan mencapai target 31,8 juta kunjungan wisatawan mancanegara sebagai peningkatan daya saing. Malah di tahun 2045 akan mencapai target 73,6 juta kunjungan wisatawan mancanegara sebagai unggulan destinasi dunia.

Sebaliknya dalam rencana target RPJMN Tahun 2020 - 2024, kontribusi pariwisata pada PDB Nasional di tahun 2020 diperkirakan akan mencapai di angka 4,8% dengan perkiraan pendapatan devisa sebesar USD 16,8 Miliar dan di tahun 2024 diperkirakan akan mencapai sebesar 5,5% dengan perkiraan pendapatan devisa sebesar 22,7 Miliar.

Diproyeksikan pariwisata akan menjadi tulang punggung devisa Indonesia di masa depan.

Angka rencana target RPJMN Tahun 2020 - 2024 itu akan bisa naik apabila Indonesia bisa mempertahankan posisinya pada peringkat pertama pariwisata halal dunia karena wisman manca negara dan perputaran uang di sektor ini cukup potensial berkontribusi terhadap devisa Negara.

KOORDINASI KEPARIWISATAAN INDONESIA
Merujuk kepada soal kelemahan-kelemahan tadi di atas, "in my two cents opinion", sudah waktunya mengatasi penyebab akar masalah dengan memaksimalkan koordinasi antar lembaga administrasi publik (Kementerian Negara & Lembaga Pemerintah Pusat maupun Daerah), sehingga Presiden tidak selalu disibukan dengan urusan teknis di lapangan.

Selain itu kalau melihat target RPJMN & RKP 2020 - 2024, Pemerintah bukan bicara angka kecil dan kompetisinya akan tinggi melihat negara-negara tetangga juga punya target angka-angka sendiri yang akan menyaingi Indonesia. Pastinya tantangan pekerjaannya akan memacu secara intens adrenalin para operator administrasi publik.

Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga koordinasi dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna program kebijakan Pariwisata dalam penanganannya secara komprehensif.

Lembaga koordinasi ini bersifat ad-hoc dengan amanah dan tanggung jawab melakukan peningkatan kinerja koordinasi Pariwisata antar lembaga administrasi publik dalam satu atap untuk mencapai target apa yang disusun dalam RPJMN & RKP 2020 - 2024.

Untuk itu disarankan Pemerintah mempertimbangkan dibentuknya Dewan Koordinasi Pariwisata Indonesia (Indonesian Tourism Coordinating Council) sebagai pendukung sistem administrasi & operasi manunggal.

Melalui Dewan itu semua permasalahan, kerjasama & koordinasi antar lembaga administrasi publik (Kementerian Negara & Lembaga Pemerintah) diputuskan secara final dalam satu pintu (atap) secara bersama, termasuk aplikasi teknisnya di lapangan.
                                                 
Manajemen Dewan sebaiknya berada langsung di tangan Presiden Republik Indonesia dengan para Menteri teknis terkait, dimana Presiden sebagai Ketua Pengawas sedangkan Menteri Pariwisata & Ekonomi Kreatif sebagai Ketua Pelaksana.
                               
Menteri-Menteri teknis antara lain seperti Menko Kemaritiman & Investasi, Sekretaris Kabinet, Menteri Perhubungan, Menteri PU, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua Bappenas, Ketua BKPM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, Kapolri, Menteri Koperasi & UKM, Menteri Komunikasi & Informatika, Menteri Agama, Menteri Pendidikan & Kebudayaan, dan lain sebagainya.

Contoh lembaga ad hoc Dewan Koordinator Pariwisata ini ada di negara Thailand, Philippine, China & beberapa negara seperti di Amerika Serikat.

Semoga bermanfaat.                                                  
Jakarta, 24 Oktober 2019

Tabek
Indra Ketaren (Betha)
Founder & Chairman

Wednesday, 2 February 2022

Identitas Kuliner & Gastronomi Indonesia

Dari sejak lama Indonesia tidak hanya kaya akan ragam hidangan kuliner dan tata cara teknik memasaknya, tetapi juga berada akan sejarah, budaya dan cara makan, bahkan sampai legenda dan filosofi di balik makanan itu. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam multi-etnik kaya akan budaya dan memiliki beragam makanan beserta cara penyajiannya.

Namun sampai saat ini kuliner dan gastronomi di negeri ini belum menjadi identitas bangsa yang bisa membedakan dirinya dengan bangsa lain. Kuliner dan gastronomi kepulauan nusantara Indonesia lebih banyak merupakan folklor sejarah masa lalu yang diwariskan secara lisan turun-temurun dalam sebuah kolektif sebagai salah satu identitas produk budaya dari keragaman komunitas yang bersepakat bersatu dalam wadah negara bernama Indonesia.

Meski lebih dari dua abad gastronomi telah dimaknai oleh bangsa dan budaya di pelbagai belahan dunia, namun sampai sekarang Indonesia belum memiliki gambaran holistik tentang identitas kuliner dan gastronomi diri bangsanya apalagi terhadap pemahaman dan pandangan serta keterkaitannya dengan berbagai aspek.

Salah satu sebabnya kuliner di negeri ini hampir kebanyakan didominasi oleh kelompok usaha Ultra Mikro (UMi) dan UMKM, karenanya tidak bisa dipungkiri bila identitas itu belum tergambarkan dengan nyata mengingat mereka kurang mempunyai akses untuk mengangkat kuliner Indonesia ke atas panggung nasional apalagi internasional.

Baru memasuki tahun 90-an bisnis seni memasak dapur (kuliner) bangsa ini mulai merambah pelan-pelan ke kalangan menengah, apalagi setelah tahun 1998an sampai kini, bisa dikatakan kelompok menengah cukup gencar berniaga dalam kuliner baik membuka restoran, rumah makan maupun berniaga dari rumah.

Akan tetapi tetap saja identitas kuliner dan gastronomi bangsa dengan 270 juta lebih penduduk ini belum menemukan identitas dirinya. Berbagai gambaran naratif (pikiran, ide dan gagasan) kuliner Indonesia diangkat (dimulai) sejak tahun 2004 tapi tidak menggema dan membumi sama sekali apalagi mendunia secara permanen, walaupun banyak disebut berbagai bangsa di dunia tetapi hanya sekedar serpihan dari nama kuliner yang ada (seperti rendang atau nasi goreng).

Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI) dan Soto Diplomasi adalah contoh promosi naratif tersebut, namun usianya di media sebatas masa jabatan pejabat yang berkuasa saat itu. Setelah itu menjadi sekedar catatan sejarah yang terlupakan, apalagi menjadi lahan ekspor dan devisa bagi negeri ini.

Negara-negara tetangga sudah mampu menemukan identitas diri seni memasak dapur (kuliner) dan gastronomi mereka. Bisa dikatakan nama-nama identitas kuliner dan gastronomi mereka sudah puluhan tahun beredar di dunia dengan tetap satu nama. Seperti Thailand dengan Tom Yam, Malaysia dengan Nasi Lemak atau Korea Selatan dengan Kimchi.

Identitas kuliner dan gastronomi negeri tetangga ini sudah menjadi legenda trend dunia dan malah bisa diolah menjadi lahan bisnis ekspor yang menghasilkan devisa yang cukup besar. Katakan saja Kimchi Korea Selatan bisa menghasilkan nilai ekspor USD 144,5 juta pada tahun 2020 bagi negeri tersebut.

Sedangkan Thailand dengan legenda brand "Thai Is The World Kitchen" melalui kerjasama kemitraan Pemerintah dengan pihak swasta membangun 18 ribu lebih restorannya di luar negeri telah memberi pemasukan devisa bagi negeri Gajah Putih itu sebesar USD 12 Miliar pada tahun 2019.

Artinya kuliner dengan perangkat gastronomi negara-negara tetangga sudah bisa menjadi lahan bisnis ekspor yang menguntungkan dan pemasukan devisa. Bagaimana kesiapan Indonesia ?

Apakah kuliner dengan perangkat gastronomi Indonesia bisa diekspor seperti makanan Kimchi Korea Selatan yang notabene hanya sayuran yang difermentasi dengan beraneka ragam bumbu rempah yang dipadukan dengan rasa pedas dan asam.

Meskipun restoran Indonesia ada lebih kurang 1,177 di belahan dunia namun belum bisa dikatakan menjadi masukan devisa bagi negeri ini karena pemiliknya adalah masyarakat diaspora Indonesia di luar negeri yang profit dari perputaran restoran itu menjadi income bagi mereka.

Gambaran naratif (pikiran, ide dan gagasan) kuliner berikutnya adalah "Indonesia Spice Up The World" (ISUW) yang dilansir pada tahun 2021. Narasi ISUW sepertinya lebih cocok menggambarkan identitas kuliner dan gastronomi Indonesia yang kaya dan beragam rupa seni dapur masakan (kuliner). Apalagi ISUW tidak menyebut nama-nama kuliner seperti IKTI dan Soto Diplomasi mirip dengan brand "Thai Is The World Kitchen".

Mudah-mudahan ISUW bisa menjadi lahan bisnis ekspor bagi bangsa ini, khususnya dengan rencana Pemerintah mendorong kemitraan membuka 4,000 restoran Indonesia di luar negeri dapat menjadi pemasukan devisa bagi negeri ini serta memberi lahan lapangan kerja bagi masyarakat kebanyakan.

Memang seni memasak dapur (kuliner) Indonesia sejatinya bukan sekadar masakan biasa namun juga mengandung nilai, simbol, aturan, serta pola konsumsi dan produksi masyarakat di dalamnya dengan keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan golongan. Barangkali dengan belum ditemukannya identitas tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dunia berwisata ke Indonesia yang disebut oleh Multatuli sebagai "sabuk zamrud".

Apapun kenyataan sebenarnya, kita harus memahami cermin diri atau identitas seni memasak dapur (kuliner) dan gastronomi Indonesia itu yang terus berkembang secara evolusioner yang sejatinya karakteristik dari identitas gastronomi bangsa ini.

Pemahaman terhadap identitas ini sangat menentukan dalam mendefinisikan strategi pariwisata gastronomi dan konsep restoran masakan lokal karena unsur-unsurnya memiliki pengaruh penting dalam menentukan identifikasi karakteristik kuliner yang puya suatu pola evolusi konstan yang memadukan secara unik dan memberi pengaruh penting terhadap tradisi, etiket, inovasi, tekstur, aroma serta rasa

Oleh karena itu dalam kita melihat seni dapur memasak dan gastronomi Indonesia harus berangkat dari refleksi sebuah sejarah, dampak budaya dan suasana lingkungan mengenai "bagaimana (how), di mana (where), kapan (when) dan mengapa (why)" kuliner Indonesia menjadi penting bagi masyarakat dan industri jasa makanan. Sehingga identitas kuliner & gastronomi Indonesia harus menjadikan masakan lokal sebagai "gerakan identitas" dan faktor penting untuk tujuan destinasi wisatawan.

Semoga bermanfaat

Tabek
Jakarta, 2 Februari 2022
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President

Tuesday, 1 February 2022

Pengaruh & Gaya Masakan Indonesia

Pendahuluan
Indonesia, disebut oleh Multatuli sebagai  "sabuk zamrud" . Negara yang luasnya sekitar 4.800 km laut, kalau dilihat di peta Eropa, membentang dari Irlandia ke Ural di Rusia.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.984 pulau besar dan kecil dengan berbagai jenis orang. Masing-masing dengan identitas dan identitas budaya mereka sendiri.

Dengan populasi sekitar sebesar 273,5 juta jiwa pada tahun 2020, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan yang berpenduduk Muslim terbesar, meskipun secara resmi bukan negara Islam.

Indonesia saat ini terdiri dari 34 provinsi, lima di antaranya memiliki status yang berbeda. Provinsi dibagi menjadi 403 kabupaten dan 98 kota yang dibagi lagi menjadi kecamatan kemudian kelurahan, desa, gampong, kampung, nagari dan pekon.

Kata "Indonesia" berasal dari bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "Hindia" dan dalam bahasa Yunani yaitu Nesos yang berarti "Pulau". Jadi, kata Indonesia berarti wilayah Hindia Kepulauan, atau kepulauan yang berada di Hindia, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat.

Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa luar, karena wilayahnya terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar pulau, yang telah menjadi jalur utama pelayaran antara India dan Cina selama beberapa abad.

Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India.

Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra.

Selain oleh bangsa Asia, Indonesia juga merupakan negara yang pernah dikuasai oleh banyak bangsa Eropa.

Indonesia sejak zaman dahulu merupakan negara yang kaya akan hasil alamnya yang melimpah, hingga membuat negara-negara Eropa ingin menguasai sumber daya alam untuk pemasukan bagi negara mereka.

Sejak itu sejarah Indonesia mengalami banyak sekali pengaruh dari kegiatan perdagangan tersebut. Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, negeri ini yang saat itu bernama Hindia-Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II.

Pengaruh lain dari kegiatan perdagangan antara lain dalam bidang sosial, budaya, bahasa, agama, seni memasak-makanan dan lain sebagainya. Ini akibat etnis pendatang bermukim dan berkembang biak dengan penduduk lokal di bumi Hindia Kepulauan, baik etnis Cina, Timur Tengah, Portugis, India, Belanda, Inggris  dan Jepang.

Bersama penduduk lokal, keturunan etnik luar berkembang bercampur baur secara  luas di berbagai macam kelompok suku yang saat ini diketahui terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 sub-suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010.

Disamping itu, di berbagai kawasan di Indonesia memiliki suku asli atau suku pribumi yang menghuni tanah leluhurnya sejak dahulu kala. Karena arus perpindahan penduduk yang didorong oleh budaya merantau, atau program transmigrasi yang digalakkan pemerintah, banyak tempat di Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa pendatang yang tinggal di luar kawasan tradisional sukunya.

Sepanjang sejarah, Indonesia telah menjadi tempat perdagangan antara dua benua yang membawa konsekuensi terjadi perubahan dalam karakteristik, gaya dan seni memasak yang satu sama lain saling berbeda.

Teknik memasak dan bahan makanan asli Indonesia berkembang dan kemudian dipengaruhi oleh seni kuliner India, Timur Tengah, Cina, dan akhirnya Eropa.

Para pedagang Spanyol dan Portugis membawa berbagai bahan makanan dari benua Amerika jauh sebelum Belanda berhasil menguasai Indonesia.

Unsur budaya masakan Cina dapat dicermati pada beberapa masakan Indonesia. Masakan seperti bakmi, bakso, dan lumpia telah terserap dalam seni masakan Indonesia.

Masakan Sumatera, sebagai contoh, seringkali menampilkan pengaruh Timur Tengah dan India, seperti penggunaan bumbu kari pada hidangan daging dan sayurannya.

Sementara masakan Jawa berkembang dari teknik memasak asli nusantara. Sedangkan seni kuliner kawasan bagian timur Indonesia mirip dengan seni memasak Polinesia dan Melanesia.

Pulau Maluku yang termahsyur sebagai "Kepulauan Rempah-Rempah", juga menyumbangkan bumbu rempah Indonesia kepada seni masakan dunia.

Pengaruh & Gaya Memasak Di Indonesia
Selama berabad-abad, masakan Indonesia mengalami berbagai pengaruh luar, antara lain pengaruh Belanda, pengaruh Portugis, India, Cina dan Timur Tengah.

Pengaruh Belanda dan Portugal akibat faktor perdagangan rempah-rempah.  Pengaruh India dan Timur Tengah karena faktor agama seperti Hindu dan Islam.

Pengaruh Cina disebabkan oleh migrasi sejumlah besar suku Cina daratan masuk ke kepulauan Indonesia. Orang Cina adalah fitur mencolok dari penduduk Indonesia. Mereka sudah berabad-abad merupakan bagian dari bangsa Hindia Kepulauan (atau dikenal kemudian dengan nama Indonesia). Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa budaya masakan Indonesia dipengaruhi banyak oleh budaya masakan Cina.

Masakan Indonesia merupakan cermin beragam budaya dan tradisi yang berasal dari kepulauan Nusantara dan memegang tempat penting dalam budaya nasional Indonesia.

Secara umum dan hampir seluruh masakan Indonesia kaya akan bumbu yang berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa dan gula aren.

Diikuti juga adanya penggunaan teknik memasak akibat pengaruh pendatang yang berasal dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.

Bisa dikatakan akibat pengaruh luar, terjadi modifikasi terhadap karakter gaya memasak Indonesia yang perbedaannya bervariasi menurut pulau dan bahkan perbedaan di masing-masing pulau.

Modifikasi ini akibat terbawanya oleh banyak bumbu, bahan makanan dan teknik memasak dari bangsa India, Timur Tengah, Tionghoa, dan Eropa.

Semua bercampur dengan ciri khas makanan tradisional Indonesia sehingga menghasilkan banyak keanekaragaman yang tidak ditemukan di daerah lain. Bahkan bangsa Spanyol dan Portugis, telah mendahului bangsa Belanda dengan membawa banyak produk dari dunia baru ke kepulauan Nusantara yang mereka kuasai.

Pada dasarnya tidak ada satu bentuk tunggal "masakan Indonesia", tetapi lebih kepada, keanekaragaman masakan Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya asing.

Bentuk lanskap di sebagian besar masakan Indonesia disajikan makanan pokok dengan lauk-pauk berupa daging, ikan atau sayur di sisi piring.

Sebagai contoh, beras yang diolah menjadi nasi, ketupat atau lontong merupakan makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang dihidangkan dengan lauk daging dan sayur.

Masyarakat yang mengkonsumsi nasi yakni penduduk Indonesia di bagian barat, seperti Pulau Jawa dan Sumatera. Jenis nasi di Indonesia pun berbeda-beda, setiap daerah mempunyai nasi/padi khas masing-masing.

Rumah makan Padang yang menyajikan nasi Padang, yaitu nasi disajikan bersama aneka lauk-pauk Masakan Padang, mudah ditemui di berbagai kota di Indonesia.

Selain itu Warung Tegal yang menyajikan masakan Jawa khas Tegal dengan harga yang terjangkau juga tersebar luas.

Nasi rames atau nasi campur yang berisi nasi beserta lauk atau sayur pilihan dijual di warung nasi di tempat-tempat umum, seperti stasiun kereta api, pasar, dan terminal bus.

Di Yogyakarta dan sekitarnya dikenal nasi kucing sebagai nasi rames yang berukuran kecil dengan harga murah, nasi kucing sering dijual di atas angkringan, sejenis warung kaki lima.

Selain nasi, makanan pokok Indonesia yang lain adalah sagu dan jagung yang biasanya dapat ditemui di wilayah bagian timur Indonesia, seperti Irian Jaya yang dominan dengan sagunya dan Sulawesi yang dominan dengan makanan menggunakan jagung

Bumbu (terutama cabai), santan, ikan, dan ayam adalah lauk pauk penting bagi masyarakat Indonesia. Sambal, sate, bakso, soto, dan nasi goreng merupakan beberapa contoh makanan yang biasa dimakan masyarakat Indonesia setiap hari.

Selain disajikan di warung atau restoran, terdapat pula aneka makanan khas Indonesia yang dijual oleh para pedagang keliling menggunakan gerobak atau pikulan.

Pedagang ini menyajikan bubur ayam, mie ayam, mi bakso, mi goreng, nasi goreng, aneka macam soto, siomay, sate, nasi uduk, dan lain-lain.

Penganan kecil, semisalnya kue-kue banyak dijual di pasar tradisional. Kue-kue tersebut biasanya berbahan dasar beras, ketan, ubi kayu, ubi jalar, terigu, atau sagu.

Makanan Indonesia umumnya dimakan dengan menggunakan kombinasi alat makan sendok pada tangan kanan dan garpu pada tangan kiri, meskipun demikian di berbagai tempat (seperti Jawa Barat dan Sumatera Barat) juga lazim didapati makan langsung dengan menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu.

Di restoran atau rumah tangga tertentu lazim menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu untuk makan, seperti restoran seafood, restoran tradisional Sunda dan Padang, atau warung tenda pecel lele dan ayam goreng khas Jawa Timur.

Tempat seperti ini biasanya juga menyajikan kobokan, semangkuk air kran dengan irisan jeruk nipis agar memberikan aroma segar. Semangkuk air ini janganlah diminum; hanya digunakan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan menggunakan tangan telanjang.

Menggunakan sumpit untuk makan lazim ditemui di restoran yang menyajikan masakan Cina yang telah teradaptasi kedalam masakan Indonesia seperti bakmi atau mie ayam dengan pangsit, mie goreng, dan kwetiaw goreng (mie pipih goreng, mirip char kway teow).

Pengaruh & Gaya Memasak Di  Sumatera
Secara umum gaya masakan Sumatera kaya akan bumbu, rempah-rempah dan santan yang terkenal dengan rasa pedasnya.

Masakan Sumatera mengalami banyak pengaruh dari India. Pengaruh ini terlihat dengan sering menggunakan cabai lombok merah kecil. Penggunaan jahe dan kemiri juga merupakan khas pengaruh masakan dari India.

Masakan Sumatera tersebar di sepanjang wilayah kepulauan Sumatera malah sampai ke Semenanjung Melayu (seperti di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam).

Unsur dasarnya boleh sama, tapi setiap daerah mempunyai ciri khasnya masing-masing.

Satu lagi, masakan Sumatera bumbu aslinya sulit dicari. Perbedaan besar terdapat pada masakan Semenanjung Melayu dan Sumatera (Aceh, Riau, dan beberapa wilayah di Sumatera).

Masakan Semenanjung Melayu lebih berani menggunakan bumbu dasar yang kering, beraroma tajam, dan citarasanya khas. Dan ini jarang ditemukan pada makanan-makanan di Sumatera.

Jenis rempah seperti kapulaga, kaskas, dan pekak atau kembang lawang, cenderung tidak populer di Sumatera. Alasannya, rempah jenis ini mengeluarkan aroma serupa jamu yang tidak terlalu disukai.

Khusus kaskas, rempah ini sangat sulit ditemukan. Awalnya biji dari tumbuhan poppy itu tumbuh di Timur Tengah. Perdagangan dari rempah yang rasanya pedas ini juga sangat kecil.

Kaci-kaci, begitu orang Aceh menyebut kaskas, hanya ditambahkan untuk memperkuat cita rasa kari, gulai, mie aceh, soto banjar, dan yang lain.

Kapulaga dan kepak relatif masih bisa ditemukan di beberapa restoran di Sumatera. Terutama kapulaga, selain menjadi rempah andalan untuk menyedapkan kudapan, juga banyak dimanfaatkan untuk pengobatan. Sedangkan pekak, banyak digunakan untuk penyedap makanan.

Soal masakan Sumatera, tidak banyak yang menyadari, ada beragam unsur yang terkandung dalam semangkuk hidangan melayu.

Tercatat, tidak kurang dari sepuluh jenis kuliner Sumatera: makanan pokok, lauk-pauk, sayur-sayuran, sop / soto, salad / acar, sambal, kue-kue, minuman, puding, dan penganan lain. Tidak jarang, beragam jenis itu dihidangkan dalam satu meja.

Pedas menjadi satu ciri yang khas dan santan sebagai salah satu bahan pokok kuliner. Santan yang digunakan bisa mencapai 80% dari keseluruhan bumbu yang dipakai untuk satu menu.

Dari kadarnya itu, terlihat, kekentalan masakan Sumatera jauh lebih tinggi dibanding masakan Jawa. Hal ini bisa dicoba di beberapa menu seperti gulai kepala ikan, rendang, kare, mi aceh, dan yang lain. Selain pedas, adalah gurih, berlemak, dengan kandungan santan yang sangat tinggi.

Pengaruh & Gaya Memasak Di Jawa
Masakan Jawa secara besar dibagi dalam tiga kumpulan utama:

1. Masakan Jawa Tengah
2. Masakan Jawa Timur
3. Masakan Jawa Barat (Masakan Sunda atau Masakan Pasundan)

Ada yang berbeda dari karakter gaya masakan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tetapi perbedaan utama terletak pada cita-rasanya.  

Hidangan masakan Jawa Barat (Masakan Sunda atau Masakan Pasundan) pada umumnya manis dan asam serta sering menggunakan santan .

Hidangan masakan Jawa Tengah pada umumnya ringan dan manis dengan banyak menggunakan gula jawa.

Hidangan masakan Jawa Timur panas dan sering menggunakan petis (pasta ikan yang difermentasi atau udang), kurang gula dan lebih cabai, kemungkinan dipengaruhi oleh masakan Madura.

Nasi adalah makanan utama yang disertakan dalam setiap hidangan. Gaplek, atau ubi kayu kering, kadang-kadang dicampur ke dalam nasi atau sebagai pengganti nasi.

Hidangan masakan Jawa pada umumnya ringan, lembut dalam rasa, manis dan panas. Suku Jawa sedikit atau tidak ada sama sekali menggunakan daging babi di dalam masakan mereka  karena keyakinan agama Islam.

Perkembangan masakan Jawa juga dipengaruhi dari budaya gaya masakan India atau Belanda, meski masih dalam koridor keaslian mereka.

Tempe merupakan masakan Jawa yang telah populer dan menjadi masakan internasional serta satu satunya masakan Jawa yang tidak terpengaruh oleh masakan Tionghoa, masakan India, atau masakan Arab.

Pengaruh dan gaya memasak di Sulawesi
Bagian utara Sulawesi dikenal sebagai Minahasa. Fitur dapur Minahasa adalah hidangan panas dan pedas.

Meskipun ada kesepakatan dengan masakan Sumatera , tetap ciri-khas masakan Minahasa masih berbeda. Di Sulawesi, orang juga menggunakan banyak sereh dan jahe dalam memasak.

Pasar adalah untuk mendapatkan bahan masakan khususnya sumber protein ikan segar di saat nelayan mendarat dari laut.

Hidangan terkenal dari daerah ini adalah Ikan rica-rica (diucapkan rietja - rietja), yang merupakan ikan dimasak dalam saus pedas.

Karena VOC hadir di Sulawesi, maka masih terlihat sisa pengaruh budaya masakan Belanda. Hidangan dapur Sulawesi banyak dibumbui dengan bumbu racikan Belanda, Spanyol, Portugis dan Filipina.

Pengaruh dan gaya memasak di Maluku
Ambon merupakan alam kekayaan rempah yang dikuasai VOC seperti cengkeh dan pala. Setelah orang-orang Spanyol dan Portugis diusir Belanda, maka VOC mengambil alih perdagangan rempah-rempah yang ada. Hidangan masakan Maluku sering dibuat berdasarkan pada ikan, sagu, ubi kayu, ubi jalar dan sayuran .

Pengaruh dan gaya memasak di Bali
Bali adalah sebuah pulau dengan penduduk mayoritas Hindu. Pulau ini penuh dengan candi-candi, seperti Candi Tanah Lot, yang terletak di atas batu di laut.

Hindu Bali memiliki banyak festival keagamaan yang kerap di upacara itu menghadirkan makanan sesajen untuk acara selamatan yang dihiasi dengan bunga-bunga dan daun di sekitar menu hidangan yang dihidangkan.

Hidangan inti yang ditampilkan di upacara keagamaan ini adalah nasi kuning dan babi guling (panggang).

Dari segi komposisi, masakan Bali cukup keras, tetapi memiliki presentasi yang kaya. Makanan utama masyarakat Bali adalah beras yang dimakan dua kali sehari dalam kombinasi dengan sayuran, daging dan ayam.

Meskipun dikelilingi oleh laut, ikan bukan merupakan makanan favorit penduduk Bali.

Semoga bermanfaat

Tabek
Jakarta, 11 Januari 2020
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President