".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday 12 February 2022

Memahami Wisata Halal - Part I

PRAKATA
Wisata Halal atau Wisata Ramah Muslim (PRM) telah menjadi fenomena regional di kalangan umat Islam dan meningkat dari waktu ke waktu. Kesadaran wisata halal telah menembus ke sebagian besar umat Muslim di seluruh dunia.

Selama dekade terakhir, industri pariwisata Islam menunjukkan pertumbuhan positif dan terus menjadi salah satu kontributor utama di sektor jasa terhadap perekonomian nasional di berbagai negara.

Menurut Laporan The Global Islamic Economy (EGIE) Report tahun 2017/2018, perjalanan (travelling) ke berbagai negara di dunia telah menjadi kebiasaan lama kalangan umat Islam yang mana kemudian beberapa tahun terakhir ini dikemas menjadi tren dengan adanya industri pariwisata Islam.

Global Islamic Economy (GIE) Report mencatat untuk tahun 2016 sekitar USD 176,9 miliar telah dibelanjakan umat Muslim untuk urusan perjalanan (travelling) ke berbagai negara.

Kontribusi ini sebesar 11,9% dari total pengeluaran global pariwisata dunia (tidak termasuk haji dan umrah).

Diperkirakan pada tahun 2022 akan mencapai USD 268,5 milyar atau meningkat 40% (GIE Report).

Sedangkan menurut catatan Laporan Ekonomi Global  (LEG) di tahun 2017 angka kontribusi sektor ekonomi umat Islam secara global sebesar USD 169 miliar.

Bisa dikatakan status ceruk (niche status) industri pariwisata dunia dengan cepat berpaling kepada pariwisata Islam atau dikenal dengan wisata halal dengan tagline Pariwisata Ramah Muslim (PRM).

Sebagian besar perusahaan, pelaku bisnis perhotelan, pemilik restoran, operator tur serta pelancong di berbagai belahan dunia berbenah diri mengantisipasi perkembangan ini dan terus mempromosikan pariwisata ramah muslim.

Konsep Pariwisata Ramah Muslim (PRM) telah mendapatkan perhatian banyak negara dan pemangku kepentingan dalam industri ini sejak awal diperkenalkannya oleh para pelaku bisnis perhotelan Syariah.

PRM adalah salah satu industri jasa yang berfokus pada penyediaan layanan di sektor pariwisata dan perhotelan yang ramah muslim dengan penekanan pada pelayanan akomodasi, makanan dan minuman serta kegiatan perjalanan.

Semua layanan ini berdasarkan aturan syariah dengan tujuan untuk memanjakan para pelancong yang menginginkan layanan PRM.

Malaysia adalah salah satu negara di dunia yang memimpin sebagian besar interaksi Pariwisata Ramah Muslim (PRM) yang menawarkan pilihan perjalanan yang aman dan nyaman.

ESENSI DASAR WISATA HALAL
Perlu diketahui, agama dan kepercayaan biasanya dapat memengaruhi aktivitas sehari-hari saat bepergian.

Dalam Islam, ada beberapa surat yang mendorong umat melakukan perjalanan dan menjelajahi dunia serta untuk melestarikan pengalaman maupun pengabdiannya kepada Allah SWT.

Ada 9 (sembilan) ayat dalam al-Qur'an yang mendorong umat Muslim melakukan perjalanan dunia. Kesembilan surat tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Surat Al-Mulk Ayat 15
2.  Surat Muhammad Ayat 10
3.  Surat Luqman Ayat 31
4.  Surat Yusuf Ayat 109
5.  Surat Ar-Rum Ayat 42
6.  Surat Ali ‘Imran Ayat 137
7.  Surat Ar-Rum Ayat 9
8.  Surat An-Naml Ayat 69
9.  Surat Al-An’aam Ayat 11

Kesembilan surat al-Qur'an ini menggambarkan dorongan dalam Islam bahwa sejatinya manusia itu memiliki tujuan berkeliling dunia untuk menemukan dan menganalisis sejarah masa lalunya.

Ibnu Batutah adalah salah satu contoh ulama Muslim yang bepergian selama kurang lebih 30 tahun pada abad ke-14 (Berkeley, 2018).

Alasan utama yang mendorong Ibnu Batutah melakukan perjalanan adalah karena ziarah ke Mekah untuk memenuhi rukun Islam kelima.

Tetapi Ibnu Batutah bepergian sejauh 120.700 kilometer dan mengunjungi sekitar 44 negara setelah menyelesaikan haji di Mekah.

Dari kisah Ibnu Batutah itu, menunjukkan agama memang mempengaruhi aktivitas bepergian dalam kehidupan seseorang.

Menurut Jafari dan Scott (2014), agama mempengaruhi dan menentukan pilihan orang bepergian terutama maksud untuk tujuan diskresi dan kegiatan yang keagamaan, selain tentunya untuk perdagangan.

Demikian pula, Zakaria dan Abdul Talib (2010), menemukan implikasi yang sebanding bahwa tuntutan bepergian dan tur perjalanan sangat dianjurkan dalam Islam dan biasanya terhubung dan saling terkait dengan keramahan (hospitality).

Berdasarkan studi dan literatur, konsep pariwisata Islam datang lebih awal sebelum berkembangnya tema Pariwisata Ramah Muslim (PRM). Beberapa istilah menggambarkan bepergian telah digunakan dalam Islam.

Baharom, Khalid dan Yaakob (2010), menjelaskan istilah bepergian atau pariwisata dibagi menjadi beberapa istilah yang terdiri dari siyahah, ziarah, rehlah dan umrah / haji (ziarah).

Siyahah berarti perjalanan seseorang dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan pariwisata dalam rangka menghibur atau mengeksplorasi pengalaman baru (Sohirin & Shah Jani, 2014).

Ziarah melaksanakan makna mengunjungi orang lain dengan tujuan dan rehlah, yang berarti bepergian dan melewati tempat lain untuk tujuan tertentu.

Kata rehlah digunakan secara khusus untuk bepergian dengan tujuan pendidikan dan perdagangan (Duman, 2011).

Sebaliknya, umrah / haji adalah perjalanan berdasarkan tujuan agama yang berbeda dari praktik biasa perjalanan umum atau kegiatan pariwisata.

Umrah / haji telah menjadi kegiatan utama Muslim setiap tahun untuk mengunjungi Mekah dan memenuhi salah satu dari 5 (lima) rukun Islam.

Lebih lanjut, Nor ‘Ain Othman (2013) mengatakan wisata Islam dapat didefinisikan dari berbagai daerah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Definisi tersebut dapat diturunkan dari perilaku para wisatawan termasuk motivasi untuk bepergian, tujuan yang dipilih serta produk dan layanan yang ditawarkan yang mencakup akomodasi, makanan dan minuman dan maskapai penerbangan.

Nor ‘Ain Othman (2013) mendefinisikan Wisata Islami sebagai minat atau kegiatan yang terkait dengan perjalanan dalam mengeksplorasi sejarah, seni, budaya dan warisan Islam dan untuk mengalami cara gaya hidup Islam.

Pada perspektif lain, pariwisata Islam didefinisikan oleh Islamic Tourism Center (ITC) sebagai aktivitas, peristiwa, dan pengalaman apa pun yang dilakukan dalam keadaan perjalanan yang sesuai dengan Islam (ITC, 2016).

Definisi pariwisata Islam juga melibatkan kegiatan bepergian ke dan tinggal di tempat-tempat di luar lingkungan mereka yang biasa untuk jangka waktu tertentu dengan niat atau maksud memotivasi kebathinan Islam (Dunman, 2011).

Sebagai kebutuhan dan layanan berbasis agama, wisata Islam juga dikenal sebagai wisata ramah halal atau wisata halal.

Akyol dan Kilinc (2014) menekankan bahwa pariwisata halal terdiri dari berbagai sektor yang saling terkait yang mencakup akomodasi halal, transportasi halal, makanan dan minuman halal, paket wisata halal, dan keuangan halal.

Namun, istilah pariwisata ramah Muslim muncul ketika masalah serangan 11/9 tahun 2001 di New York, dan Islamophobia dimulai di seluruh dunia.

Banyak negara, negara-negara Muslim dan non-Muslim bercita-cita untuk memanfaatkan segmen ceruk ini dalam industri pariwisata, tetapi gagal untuk saling menyetujui satu istilah umum yang dapat mewakili industri pariwisata Islam.

Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China baru-baru ini menggunakan istilah pariwisata halal atau perjalanan halal dalam mempromosikan pasar pariwisata negara mereka kepada para pelancong Muslim.

Sedangkan negara seperti Indonesia, Brunei, dan negara GCC juga belum berhasil membuat istilah tersebut terlihat oleh dunia, terkecuali Malaysia.

MALAYSIA
Muslim Friendly Tourism adalah tema yang digunakan Malaysia untuk memenuhi kebutuhan pelancong Muslim dan juga untuk menawarkan produk dan layanan yang sama kepada semua orang termasuk non-Muslim.

Kisah sukses Malaysia banyak ditiru negara lain seperti Thailand, Jepang, Korea Selatan, China dan lain sebagainya termasuk Indonesia.

Menurut Battour (2016): “Istilah ramah Muslim dalam industri pariwisata menunjukkan upaya untuk membuat pengalaman pariwisata menyenangkan bagi umat Muslim yang taat”.

Pernyataan Battour itu hampir mirip dengan konsep 'Wisata Halal' tetapi dalam konteks yang lebih luas untuk memasukkan kemungkinkan umat Islam melakukan tugas keagamaan.

Dengan kata lain, tujuan ramah Muslim tidak hanya menawarkan banyak layanan 'Halal' (seperti makanan dan minuman halal, kolam renang terpisah berdasarkan jenis kelamin, dll) tetapi juga tempat-tempat yang nyaman bagi umat Islam untuk melakukan doa harian mereka.

Cresent Rating (2016) menguraikan pemahaman istilah Pariwisata Ramah Muslim (PRM) untuk memberikan gambaran tentang istilah yang mendominasi kepada semua pemangku kepentingan terkait yang mencari pertumbuhan pasar PRM.

Layanan PRM (Cresent Ratin, 2016) meliputi hospitality atau fasilitas yang telah memperhitungkan beberapa kebutuhan berbasis agama dari para pelancong Muslim.

Sebagai hasilnya, dapat diduga bahwa pengertian PRM didasarkan pada konsep pariwisata Islam, tetapi istilah yang digunakan sesuai dengan segmen baru industri pariwisata dan perhotelan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan di seluruh dunia dan tidak meninggalkan keyakinan dan praktek agama untuk menghalanginya.

Singkatnya, Battour (2016) mengungkapkan bahwa PRM adalah upaya untuk mengubah pengalaman pariwisata sebagai kesenangan bagi para pelancong Muslim dan membiarkan mereka melakukan tugas keagamaan saat berwisata.

TANTANGAN WISATA RAMAH MUSLIM
Tantangan pertama dalam mengembangkan Pariwisata Ramah Muslim (PRM) adalah bagaimana membuatnya terlihat nyata oleh dunia.

Sampai sejauh mana kemajuan teknologi, keterampilan SDM, organisasi terkait maupun pelayanan perhotelan & restoran di negara-negara berkaitan siap diri menghadapi bisnis ini.

Kemajuan teknologi berkontribusi terhadap tantangan yang lebih besar dalam pengembangan PRM

Di era Revolusi Industri 4.0 (IR 4.0) & 5.0 (IR 5.0), industri pariwisata perlu mengubah dirinya untuk naik dalam skala penggunaan big data dan internet.

Media sosial, informasi online dan transparan dan teknologi diperlukan untuk memodernisasi layanan di PRM.

Inovasi dan perubahan teknologi yang tidak dapat disangkal ini dapat membantu meningkatkan layanan yang disediakan terutama di tiga bidang utama dalam industri pariwisata seperti layanan perhotelan, layanan akomodasi, dan layanan F&B.

Di antara tantangan dalam PRM adalah bagaimana menyebarkan promosi dan menciptakan kesadaran tentang Pariwisata Ramah Muslim (PRM) kepada semua wisatawan di seluruh dunia.

Untuk menjaga industri yang cepat berubah ini, media interaktif seperti aplikasi online telah dikembangkan untuk memungkinkan proses dan persiapan wisatawan jauh lebih mudah.

Wang dan Wang (2009) mengidentifikasi bahwa masalah teknologi yang melibatkan kegiatan pariwisata biasanya mencakup sistem reservasi interaktif, inovasi kamar tamu, penambangan data, manajemen hasil.

Tantangan kedua untuk pengembangan PRM adalah aksesibilitas menuju manajemen pembangunan berkelanjutan (sustainable development management).

Permintaan universal untuk manajemen keberlanjutan harus bisa mendorong pemangku kepentingan PRM mempraktekkan keramahan lingkungan dalam memberikan layanannya.

Seperti umpamanya pelatihan tenaga-tenaga pekerja yang handal memperkenalkan standar pelayanan ramah keramahtamahan Muslim, baik secara nasional maupun global, yang berfokus pada 3 (tiga) area utama yakni :
1.  Dalil Siyahi (Panduan Wisata)
2.  Dhiyafah (Akomodasi)
3.  Safar dan Siyahah (Perjalanan dan Tour)

Dalam perkembangan ekonomi dunia saat ini, ketergantungan negara terhadap sustainable development management memainkan peranan penting dalam bisnis wisata halal (PRM).

Apalagi industri pariwisata adalah salah satu kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga penting bagi negara untuk memperbaiki semua masalah dan mengatasi tantangan menuju Pariwisata Ramah Muslim (PRM).

Sekali lagi kata kuncinya ada di kemajuan teknologi, keterampilan SDM, organisasi hospitality terkait maupun pelayanan perhotelan & restoran ramah Muslim dalam memberikan layanan ramah lingkungan.

Muslim sekarang menjadi salah satu segmen industri wisata global yang tumbuh paling cepat.

Menanggapi tren yang semakin berkembang, sebagian besar hotel dan operator tur dunia berusaha memenuhi kebutuhan mereka.

Memisahkan lokasi menu kuliner non halal dan kuliner halal di hotel, rute penerbangan menyediakan layanan minuman non alkohol, hotel maupun resor menyediakan kolam renang terpisah untuk pria dan wanita, bahkan setiap tur wisata diisi dengan waktu istirahat untuk sholat.

Tercatat sejak tahun 2016, jumlah industri wisata Muslim telah tumbuh hampir 30%. Mastercard dan Crescent Rating, sebuah kelompok peneliti yang melacak perjalanan wisata ramah halal, memproyeksikan selama dekade berikut kontribusi sektor wisata Muslim terhadap ekonomi global akan meningkat menjadi $ 300 miliar dari $ 180 miliar per tahun.

Dengan kebanyakan populasi muda, terdidik, dan bergerak ke atas secara tidak proporsional, wisatawan Muslim adalah salah satu demografi yang tumbuh paling cepat di kancah pariwisata global.

AWAL MULA WISATA HALAL
Sejarah dikenalnya istilah wisata halal dimulai pada tahun 2015 dimana wanita yang bernama Soumaya Hamdi melakukan perjalanan keliling Asia bersama suaminya dan bayinya yang berumur 4 bulan.

Ketiganya mengunjungi Singapura dan Malaysia, dan kemudian naik penerbangan ke Korea Selatan dan ke Jepang.

Perjalanan itu mengasyikkan, tetapi sebagai Muslim yang taat mereka merasa sulit mencari makanan bersertifikasi halal.  

Mereka mendapati rasa frustrasi setiap hari dengan kurangnya informasi tentang di mana dapat menemukan makanan halal dan berkualitas di Korea Selatan, Jepang, Singapura dan Malaysia.

Atas dasar pengalaman itu, Ibu Hamdi, yang tinggal di London, mulai menulis di blog tentang restoran halal bagi kalangan Muslim yang ia temukan di media internet, serta fasilitas sholat dan situs-situs yang secara khusus menyambut keluarga yang berwisata dengan bayi.

Tulisan artikel Ibu Hamdi kemudian menjadi gagasan berdirinya Halal Travel Guide, sebuah platform online yang menawarkan tip, rekomendasi, dan rencana perjalanan yang disesuaikan untuk para pelancong Muslim.

Bisa dikatakan Wisata Halal sudah sangat diperlukan kehadirannya dan sudah sangat tepat dikembangkan, apalagi mempertimbangkan sekarang ini komunitas Muslim di Eropa ada pada kalangan generasi ketiga atau keempat yang senang dan suka berwisata antar negara. Mereka berpendidikan dan memiliki pekerjaan dengan gaji yang baik.

Untuk generasi pertama dan kedua, ide liburan mereka adalah mengunjungi keluarga di negara asalnya; sedangkan untuk generasi ketiga dan keempat sudah punya gagasan liburan seperti ke berbagai negara di dunia.

Diperkirakan ada sekitar 156 juta Muslim akan memesan perjalanan wisata global antara tahun 2018 sampai tahun 2020.

Inti dari perjalanan suatu wisata adalah mendapatkan pengalaman akan keanekargaman makanan (kuliner). Untuk pelancong Muslim, faktor nomor satu pengalaman itu adalah makanan halal berkualitas baik.

Bukan semata tentang kari atau biryani tetapi makanan lokal asli yang halal. Setelah itu, biasanya baru fasilitas untuk sholat.

Permintaan global turis Muslim akan makanan halal telah tumbuh sangat banyak sehingga jangkauan secara sentris ke sektor pariwisata Muslim perlu dilakukan.

Umpamanya, Singapura mempunyai komunitas online untuk wisatawan Muslim yang disebut Halal Will Travel, mirip dengan platform online Halal Travel Guide di London. Saat ini, konten keduanya mencapai 9,1 juta pengguna setiap bulan.

Di tahun 2015, begitu banyak platform aplikasi online yang memberikan layanan memberi tahu tempat makan dan tempat bepergian (seperti Yelp dan TripAdvisor), tetapi begitu sedikit informasi untuk umat Islam.

Bukan hanya tentang makanan, meskipun makanan halal adalah dasar dari banyak hal, tetapi juga tentang keamanan dan tempat beribadah. Secara umum ada kekurangan layanan informasi dan sangat terpecah pecah.

Selang beberapa tahun kemudian, celah di pasar itu sekarang dipenuhi dengan beraneka situs-situs artikel khusus untuk wisata halal, seperti Passport and Plates, blogger yang berbasis di Los Angeles.

Salah satu penulisnya,  Sally Elbassir, menceritakan petualangan wisata globalnya di mana daging babi dan alkohol selalu keluar dari menu.

Di situs Arabian Wanderess, Esra Alhamal menulis tentang pengalaman wisatanya sebagai seorang wanita milenium Muslim dengan anggaran terbatas.

Di situs Muslim Travel Girl yang berbasis di Bulgaria, para pembaca dapat belajar tentang hotel & resor bulan madu yang ramah-Muslim dengan kolam renang pribadi dan mendapatkan tips untuk Umrah (ziarah ke Mekah).

Artikel-artikel di situs blogger menggemakan sentimen yang sama. Tujuan mereka bukan hanya untuk memudahkan wisatawan Muslim menemukan makanan, ruang sholat dan kegiatan bebas alkohol, tetapi juga untuk mendukung para pelancong Muslim berada di zona nyaman dan diberdayakan dengan baik saat menjelajahi dunia, apalagi saat melancong ke negara-negara mayoritas non-Muslim.

Pada intinya para blogger mendorong umat Islam mencari pengalaman perjalanan budaya yang imersif di luar tujuan ramah Muslim tradisional seperti ke Dubai, Malaysia dan Maroko.

Wisatawan Muslim mencari nilai tambah untuk perjalanan mereka, baik dari pantai pribadi di mana wanita bisa mandi tanpa pria mengganggu mereka, dan lebih dari ini, perjalanan yang menawarkan wisatawan Muslim kesempatan untuk mengalami sesuatu yang sama sekali berbeda.

Demikian disampaikan sepintas mengenai pemahaman terhadap wisata halal.

Semoga bermanfaat

Jakarta, 19 April 2018
Tabek
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President