Dari sejak lama Indonesia tidak hanya kaya akan ragam hidangan kuliner dan tata cara teknik memasaknya, tetapi juga berada akan sejarah, budaya dan cara makan, bahkan sampai legenda dan filosofi di balik makanan itu. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam multi-etnik kaya akan budaya dan memiliki beragam makanan beserta cara penyajiannya.
Namun sampai saat ini kuliner dan gastronomi di negeri ini belum menjadi identitas bangsa yang bisa membedakan dirinya dengan bangsa lain. Kuliner dan gastronomi kepulauan nusantara Indonesia lebih banyak merupakan folklor sejarah masa lalu yang diwariskan secara lisan turun-temurun dalam sebuah kolektif sebagai salah satu identitas produk budaya dari keragaman komunitas yang bersepakat bersatu dalam wadah negara bernama Indonesia.
Meski lebih dari dua abad gastronomi telah dimaknai oleh bangsa dan budaya di pelbagai belahan dunia, namun sampai sekarang Indonesia belum memiliki gambaran holistik tentang identitas kuliner dan gastronomi diri bangsanya apalagi terhadap pemahaman dan pandangan serta keterkaitannya dengan berbagai aspek.
Salah satu sebabnya kuliner di negeri ini hampir kebanyakan didominasi oleh kelompok usaha Ultra Mikro (UMi) dan UMKM, karenanya tidak bisa dipungkiri bila identitas itu belum tergambarkan dengan nyata mengingat mereka kurang mempunyai akses untuk mengangkat kuliner Indonesia ke atas panggung nasional apalagi internasional.
Baru memasuki tahun 90-an bisnis seni memasak dapur (kuliner) bangsa ini mulai merambah pelan-pelan ke kalangan menengah, apalagi setelah tahun 1998an sampai kini, bisa dikatakan kelompok menengah cukup gencar berniaga dalam kuliner baik membuka restoran, rumah makan maupun berniaga dari rumah.
Akan tetapi tetap saja identitas kuliner dan gastronomi bangsa dengan 270 juta lebih penduduk ini belum menemukan identitas dirinya. Berbagai gambaran naratif (pikiran, ide dan gagasan) kuliner Indonesia diangkat (dimulai) sejak tahun 2004 tapi tidak menggema dan membumi sama sekali apalagi mendunia secara permanen, walaupun banyak disebut berbagai bangsa di dunia tetapi hanya sekedar serpihan dari nama kuliner yang ada (seperti rendang atau nasi goreng).
Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI) dan Soto Diplomasi adalah contoh promosi naratif tersebut, namun usianya di media sebatas masa jabatan pejabat yang berkuasa saat itu. Setelah itu menjadi sekedar catatan sejarah yang terlupakan, apalagi menjadi lahan ekspor dan devisa bagi negeri ini.
Negara-negara tetangga sudah mampu menemukan identitas diri seni memasak dapur (kuliner) dan gastronomi mereka. Bisa dikatakan nama-nama identitas kuliner dan gastronomi mereka sudah puluhan tahun beredar di dunia dengan tetap satu nama. Seperti Thailand dengan Tom Yam, Malaysia dengan Nasi Lemak atau Korea Selatan dengan Kimchi.
Identitas kuliner dan gastronomi negeri tetangga ini sudah menjadi legenda trend dunia dan malah bisa diolah menjadi lahan bisnis ekspor yang menghasilkan devisa yang cukup besar. Katakan saja Kimchi Korea Selatan bisa menghasilkan nilai ekspor USD 144,5 juta pada tahun 2020 bagi negeri tersebut.
Sedangkan Thailand dengan legenda brand "Thai Is The World Kitchen" melalui kerjasama kemitraan Pemerintah dengan pihak swasta membangun 18 ribu lebih restorannya di luar negeri telah memberi pemasukan devisa bagi negeri Gajah Putih itu sebesar USD 12 Miliar pada tahun 2019.
Artinya kuliner dengan perangkat gastronomi negara-negara tetangga sudah bisa menjadi lahan bisnis ekspor yang menguntungkan dan pemasukan devisa. Bagaimana kesiapan Indonesia ?
Apakah kuliner dengan perangkat gastronomi Indonesia bisa diekspor seperti makanan Kimchi Korea Selatan yang notabene hanya sayuran yang difermentasi dengan beraneka ragam bumbu rempah yang dipadukan dengan rasa pedas dan asam.
Meskipun restoran Indonesia ada lebih kurang 1,177 di belahan dunia namun belum bisa dikatakan menjadi masukan devisa bagi negeri ini karena pemiliknya adalah masyarakat diaspora Indonesia di luar negeri yang profit dari perputaran restoran itu menjadi income bagi mereka.
Gambaran naratif (pikiran, ide dan gagasan) kuliner berikutnya adalah "Indonesia Spice Up The World" (ISUW) yang dilansir pada tahun 2021. Narasi ISUW sepertinya lebih cocok menggambarkan identitas kuliner dan gastronomi Indonesia yang kaya dan beragam rupa seni dapur masakan (kuliner). Apalagi ISUW tidak menyebut nama-nama kuliner seperti IKTI dan Soto Diplomasi mirip dengan brand "Thai Is The World Kitchen".
Mudah-mudahan ISUW bisa menjadi lahan bisnis ekspor bagi bangsa ini, khususnya dengan rencana Pemerintah mendorong kemitraan membuka 4,000 restoran Indonesia di luar negeri dapat menjadi pemasukan devisa bagi negeri ini serta memberi lahan lapangan kerja bagi masyarakat kebanyakan.
Memang seni memasak dapur (kuliner) Indonesia sejatinya bukan sekadar masakan biasa namun juga mengandung nilai, simbol, aturan, serta pola konsumsi dan produksi masyarakat di dalamnya dengan keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan golongan. Barangkali dengan belum ditemukannya identitas tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dunia berwisata ke Indonesia yang disebut oleh Multatuli sebagai "sabuk zamrud".
Apapun kenyataan sebenarnya, kita harus memahami cermin diri atau identitas seni memasak dapur (kuliner) dan gastronomi Indonesia itu yang terus berkembang secara evolusioner yang sejatinya karakteristik dari identitas gastronomi bangsa ini.
Pemahaman terhadap identitas ini sangat menentukan dalam mendefinisikan strategi pariwisata gastronomi dan konsep restoran masakan lokal karena unsur-unsurnya memiliki pengaruh penting dalam menentukan identifikasi karakteristik kuliner yang puya suatu pola evolusi konstan yang memadukan secara unik dan memberi pengaruh penting terhadap tradisi, etiket, inovasi, tekstur, aroma serta rasa
Oleh karena itu dalam kita melihat seni dapur memasak dan gastronomi Indonesia harus berangkat dari refleksi sebuah sejarah, dampak budaya dan suasana lingkungan mengenai "bagaimana (how), di mana (where), kapan (when) dan mengapa (why)" kuliner Indonesia menjadi penting bagi masyarakat dan industri jasa makanan. Sehingga identitas kuliner & gastronomi Indonesia harus menjadikan masakan lokal sebagai "gerakan identitas" dan faktor penting untuk tujuan destinasi wisatawan.
Semoga bermanfaat
Tabek
Jakarta, 2 Februari 2022
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President
Namun sampai saat ini kuliner dan gastronomi di negeri ini belum menjadi identitas bangsa yang bisa membedakan dirinya dengan bangsa lain. Kuliner dan gastronomi kepulauan nusantara Indonesia lebih banyak merupakan folklor sejarah masa lalu yang diwariskan secara lisan turun-temurun dalam sebuah kolektif sebagai salah satu identitas produk budaya dari keragaman komunitas yang bersepakat bersatu dalam wadah negara bernama Indonesia.
Meski lebih dari dua abad gastronomi telah dimaknai oleh bangsa dan budaya di pelbagai belahan dunia, namun sampai sekarang Indonesia belum memiliki gambaran holistik tentang identitas kuliner dan gastronomi diri bangsanya apalagi terhadap pemahaman dan pandangan serta keterkaitannya dengan berbagai aspek.
Salah satu sebabnya kuliner di negeri ini hampir kebanyakan didominasi oleh kelompok usaha Ultra Mikro (UMi) dan UMKM, karenanya tidak bisa dipungkiri bila identitas itu belum tergambarkan dengan nyata mengingat mereka kurang mempunyai akses untuk mengangkat kuliner Indonesia ke atas panggung nasional apalagi internasional.
Baru memasuki tahun 90-an bisnis seni memasak dapur (kuliner) bangsa ini mulai merambah pelan-pelan ke kalangan menengah, apalagi setelah tahun 1998an sampai kini, bisa dikatakan kelompok menengah cukup gencar berniaga dalam kuliner baik membuka restoran, rumah makan maupun berniaga dari rumah.
Akan tetapi tetap saja identitas kuliner dan gastronomi bangsa dengan 270 juta lebih penduduk ini belum menemukan identitas dirinya. Berbagai gambaran naratif (pikiran, ide dan gagasan) kuliner Indonesia diangkat (dimulai) sejak tahun 2004 tapi tidak menggema dan membumi sama sekali apalagi mendunia secara permanen, walaupun banyak disebut berbagai bangsa di dunia tetapi hanya sekedar serpihan dari nama kuliner yang ada (seperti rendang atau nasi goreng).
Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (IKTI) dan Soto Diplomasi adalah contoh promosi naratif tersebut, namun usianya di media sebatas masa jabatan pejabat yang berkuasa saat itu. Setelah itu menjadi sekedar catatan sejarah yang terlupakan, apalagi menjadi lahan ekspor dan devisa bagi negeri ini.
Negara-negara tetangga sudah mampu menemukan identitas diri seni memasak dapur (kuliner) dan gastronomi mereka. Bisa dikatakan nama-nama identitas kuliner dan gastronomi mereka sudah puluhan tahun beredar di dunia dengan tetap satu nama. Seperti Thailand dengan Tom Yam, Malaysia dengan Nasi Lemak atau Korea Selatan dengan Kimchi.
Identitas kuliner dan gastronomi negeri tetangga ini sudah menjadi legenda trend dunia dan malah bisa diolah menjadi lahan bisnis ekspor yang menghasilkan devisa yang cukup besar. Katakan saja Kimchi Korea Selatan bisa menghasilkan nilai ekspor USD 144,5 juta pada tahun 2020 bagi negeri tersebut.
Sedangkan Thailand dengan legenda brand "Thai Is The World Kitchen" melalui kerjasama kemitraan Pemerintah dengan pihak swasta membangun 18 ribu lebih restorannya di luar negeri telah memberi pemasukan devisa bagi negeri Gajah Putih itu sebesar USD 12 Miliar pada tahun 2019.
Artinya kuliner dengan perangkat gastronomi negara-negara tetangga sudah bisa menjadi lahan bisnis ekspor yang menguntungkan dan pemasukan devisa. Bagaimana kesiapan Indonesia ?
Apakah kuliner dengan perangkat gastronomi Indonesia bisa diekspor seperti makanan Kimchi Korea Selatan yang notabene hanya sayuran yang difermentasi dengan beraneka ragam bumbu rempah yang dipadukan dengan rasa pedas dan asam.
Meskipun restoran Indonesia ada lebih kurang 1,177 di belahan dunia namun belum bisa dikatakan menjadi masukan devisa bagi negeri ini karena pemiliknya adalah masyarakat diaspora Indonesia di luar negeri yang profit dari perputaran restoran itu menjadi income bagi mereka.
Gambaran naratif (pikiran, ide dan gagasan) kuliner berikutnya adalah "Indonesia Spice Up The World" (ISUW) yang dilansir pada tahun 2021. Narasi ISUW sepertinya lebih cocok menggambarkan identitas kuliner dan gastronomi Indonesia yang kaya dan beragam rupa seni dapur masakan (kuliner). Apalagi ISUW tidak menyebut nama-nama kuliner seperti IKTI dan Soto Diplomasi mirip dengan brand "Thai Is The World Kitchen".
Mudah-mudahan ISUW bisa menjadi lahan bisnis ekspor bagi bangsa ini, khususnya dengan rencana Pemerintah mendorong kemitraan membuka 4,000 restoran Indonesia di luar negeri dapat menjadi pemasukan devisa bagi negeri ini serta memberi lahan lapangan kerja bagi masyarakat kebanyakan.
Memang seni memasak dapur (kuliner) Indonesia sejatinya bukan sekadar masakan biasa namun juga mengandung nilai, simbol, aturan, serta pola konsumsi dan produksi masyarakat di dalamnya dengan keberagaman latar belakang sosial, ekonomi dan golongan. Barangkali dengan belum ditemukannya identitas tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dunia berwisata ke Indonesia yang disebut oleh Multatuli sebagai "sabuk zamrud".
Apapun kenyataan sebenarnya, kita harus memahami cermin diri atau identitas seni memasak dapur (kuliner) dan gastronomi Indonesia itu yang terus berkembang secara evolusioner yang sejatinya karakteristik dari identitas gastronomi bangsa ini.
Pemahaman terhadap identitas ini sangat menentukan dalam mendefinisikan strategi pariwisata gastronomi dan konsep restoran masakan lokal karena unsur-unsurnya memiliki pengaruh penting dalam menentukan identifikasi karakteristik kuliner yang puya suatu pola evolusi konstan yang memadukan secara unik dan memberi pengaruh penting terhadap tradisi, etiket, inovasi, tekstur, aroma serta rasa
Oleh karena itu dalam kita melihat seni dapur memasak dan gastronomi Indonesia harus berangkat dari refleksi sebuah sejarah, dampak budaya dan suasana lingkungan mengenai "bagaimana (how), di mana (where), kapan (when) dan mengapa (why)" kuliner Indonesia menjadi penting bagi masyarakat dan industri jasa makanan. Sehingga identitas kuliner & gastronomi Indonesia harus menjadikan masakan lokal sebagai "gerakan identitas" dan faktor penting untuk tujuan destinasi wisatawan.
Semoga bermanfaat
Tabek
Jakarta, 2 Februari 2022
Indra Ketaren (Betha)
Founder & President