".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 15 April 2022

Kuliner Mimikri

Pernah dengar kata "MIMIKRI" ? Dalam arti sederhana mimikri adalah suatu hasrat "peniruan" (imitasi) dari suatu subjek yang berbeda menjadi subjek sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama.


Maksud melakukan "peniruan" itu adalah bentuk sikap perlawanan dari suatu subyek terhadap (dominasi) subjek yang lain untuk mendapatkan kesetaraan dan penyesuaian identitas serta ketidaktergantungan yang bertujuan untuk mencapai kemajuan dan kesejajaran, baik dalam dalam gaya hidup maupun cara berpikir.

Sebagai contoh masa kolonialisme Belanda (sang penjajah) selama tiga setengah abad lalu meninggalkan jejak dampak di masyarakat pribumi (kaum terjajah) yang hingga kini masih terasa.  Hubungan yang berlangsung saat itu bisa dikatakan tidak setara, baik secara jiwa, fikiran dan fisik maupun secara politis, sosial dan budaya untuk membuat bangsa terjajah tetap tunduk dalam kekuasaan kolonial.

Masyarakat pribumi tidak pasrah atas semua perlakuan itu dan timbul kesadaran untuk “membaca” keadaan tersebut. Mereka mulai memberikan perlawanan dengan mengidentifikasikan dirinya seraya membangun identitas atau persamaan untuk menaikkan martabatnya agar sederajat dengan kaum penjajah, walaupun mereka tetap mempertahankan perbedaan yang ada.

Upaya itu dilakukan untuk mengukuhkan dan sekaligus mendistorsi otoritas kolonial dengan menunjukkan ketidaktergantungan kaum terjajah terhadap dominasi sang penjajah. Perlawanan ini dilakukan terutama oleh kelompok masyarakat yang mengalami pendidikan gaya Belanda.

Salah satu ikhtiar bentuk perlawanan itu adalah dengan melakukan "mimikri" melalui cara meminjam berbagai elemen budaya untuk peniruan.  Pola imitasi ini tidaklah menunjukkan ketergantungan yang terjajah kepada yang menjajah, malah sang peniru menikmati dalam proses imitasi tersebut.  

Dengan demikian "mimikri" merupakan suatu strategi mengukuhkan dan sekaligus siasat mendigresi dominasi penjajah saat itu.

Muslihat ini bersifat ambivalen karena secara fisik telah melestarikan warisan budaya kolonial namun sebenarnya menegasikan dominasi penjajahan untuk mendapatkan identitas diri kesetaraan dari penjajah, baik dalam dalam gaya hidup maupun cara berpikir.

Mimikri itu dilakukan sebagai hasrat masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan demi mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sejajar dengan bangsa penjajah. Salah satu sorotan kesuksesan "mimikri" itu bisa dilihat dari peniruan resepi masakan Belanda, yang dapat melukiskan perpaduan imitasi nyata dalam gaya hidup dan dalam cara berpikir masyarakat Indonesia saat itu sampai sekarang.

Contoh masakan mimikri ini antara lain seperti : “Klappertaart” atau “Manuk Enom”. Selain itu hidangan “Bestik” yang merupakan mimikri dari “Steak”. Di kalangan Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Solo, mimikri dari steak menjadi “Selat Solo”. Juru masak Keraton Yogya melakukan mimikri menjadi “Manuk Enom”.

Di Manado “Custard Pudding” bermimikri menjadi “Klappertart”. Contoh lain, yang dikenal sebagai “Sop Sayur” sebenarnya adalah mimikri dari “Groenten Soep” dalam masakan Belanda. “Bir Pletok” merupakan mimikri dari “Bir”.

Gado-gado yang terkenal sebagai hidangan khas Indonesia, ternyata merupakan mimikri dari “Huzarensla”, hidangan dari Belanda.  Huzarensla adalah campuran kentang dan sayuran yang dicampur dengan mayonaise dan krim yang berbahan dasar susu.

Hidangan ini dibawa Belanda ke Indonesia dalam masa penjajahan. Masyarakat di Batavia memikrikan menjadi gado-gado yang juga menggunakan bahan kentang dan sayuran, diberi kekhasan ditambah lontong dan kerupuk atau emping goreng. Mayonaise dan krim diubah menjadi saus kacang yang berbumbu pedas.

Selain mimikri, peniruan resepi masakan itu bisa juga dikatakan sebagai hasil silang budaya dalam dialog antar masakan dari dua bangsa yang saling bertemu. Contohnya seperti antara lain : “Sate”, “Nasi Goreng”, “Gulai” dan “Soto” yang merupakan mimikri dari etno-masakan Tiongkok maupun “Nasi Kebuli” dari etno pendatang Arab yang bermigrasi ke bumi Nusantara ini sebelum Indonesia merdeka.

Dari uraian diatas, dalam kaitan dengan penjajahan di Indonesia, dapat dipahami mengapa makanan bangsa-bangsa luar menjadi panutan dalam masakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dampak hegemoni dalam penjajahan maupun migrasi etnik pendatang di masa silam yang mewariskan representasi ke arah dunia yang lebih bergengsi.

Sebagai bagian dari kebudayaan, masakan Indonesia juga tidak luput dari proses mimikri yang berlangsung, dan kemungkinan akan berlangsung terus pada hari esok. Ternyata walau Indonesia telah mencapai kemerdekaan bangsanya, tetapi masyarakat Indonesia tak serta merta bisa menghapus gaya hidup yang diwariskan oleh bekas penjajahnya, termasuk etno-masakan dari bangsa pendatang (Tionghoa, Arab, Portugis dan India).

Mimikri tersebut tidak berhenti sampai pada mimikri dari budaya Belanda maupun etno-masakan dari bangsa-bangsa pendatang yang telah menetap di negeri ini, akan tetapi juga mengikuti pergeseran imperialis global, dari Euro-sentris ke Amerika-sentris. Proses mimikri ini senantiasa terjadi dalam proses ambivalensi terhadap kekuatan hegemoni dalam globalisasi.

Namun apapun itu, hasil mimikri dapat menjadi positif untuk memperkaya khasanah budaya masakan, asalkan tidak menenggelamkan kearifan lokal dalam makanan tradisional Indonesia.

Semoga bermanfaat

Salam Gastronomi
Makanan Punya Kisah
Food Has Its Tale
Cibus Habet Fabula

Tabek
Indra Ketaren