".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday, 30 September 2015

Keumamah


Keumamah atau sering disebut dengan ikan kayu adalah makanan tradisional Aceh yang paling diminati oleh masyarakat Aceh. Selain memiliki rasa yang lezat dan unik, ikan ini terbuat dari ikan tuna yang telah direbus, kemudian dikeringkan dan dipotong-potong kecil.

Biasa dimasak menggunakan santan, kentang, paprika hijau dan rempah-rempah lainnya. Ikan kayu tahan lama untuk perjalanan jauh diambil, sehingga dapat digunakan sebagai bekal dalam perjalanan. Selama perang Aceh melawan Belanda di hutan, makanan ini sangat populer karena sangat mudah dibawa dan dimasak.

Dendeng Batokok

Dendeng adalah daging yang dipotong tipis menjadi serpihan yang lemaknya dipangkas, dibumbui dengan saus asam, asin atau manis dengan dikeringkan dengan api kecil atau diasinkan dan dijemur. 

Hasilnya adalah daging yang asin dan semi-manis dan tidak perlu disimpan di lemari es. Dendeng adalah contoh makanan yang diawetkan. 

Di Sumatera Barat, pengolah dendeng dibagi dua, satu dendeng kering dan satunya dendeng basah. Dendeng kering biasanya diolah lagi dengan menggunakan cabe merah, kita kenal dengan sebutan Dendeng Balado. Sedangkan dendeng basah biasanya digunakan sebagai bahan untuk membuat masakan Dendeng Batokok yang sangat terkenal itu.

Laksamana Mengamuk

Es Laksamana Mengamuk merupakan minuman dingin yang menggunakan buah kuini sebagai bahan utama. 

Konon, keberadaan minuman ini berawal dari mengamuknya seorang laksamana di kebun kuini. Laksamana tersebut mengamuk lantaran istrinya dibawa lari oleh pemilik kebun kuini tersebut. Sang laksamana menebas-nebaskan pedangnya ke seluruh penjuru, hingga puluhan buah kuini hancur karena kemarahannya ini. 

Usai sang laksamana menuntaskan kemarahannya dan pulang, orang-orang di sekitar kebun kuini mengambil puluhan buah kuini yang sudah tercincang dan terhampar di rumput. Pada awalnya, orang-orang tersebut bingung, akan diapakan buah kuini yang telah terpotong-potong tersebut. Hingga salah seorang wantia, mencampurkan potongan-potongan buah kuini itu dengan air santan dan gula merah. 

Jadilah minuman segar, yang pada waktu itu, langsung dinikmati oleh orang sekampung.

Tempoyak

Tempoyak, merupakan makanan hasil olahan dari durian, enak dicampur dengan sambal dan bumbu pepes. Tempoyak memiliki jenis yang beragam (sesuai dengan selera), seperti, tempoyak gurame, tempoyak udang, tempoyak gurame, tempoyak patin, dengan bahan dasar yang dicampur durian, namun tastednya begitu memuaskan selera. 

Tempoyak bisa digunakan untuk membuat berbagai menu seperti gulai-gulai tempoyak yang cukup terkenal dan menjadi menu utama beberapa restoran dan rumah makan yang menjajakan masakan khas Jambi.

Tempoyak merupakan makanan yang berasal dari buah durian yang difermentasikan. Rasanya sangat mengundang selera. Tidak ada orang asli Jambi yang tidak pernah mencicipi makanan terbuat dari asam durian itu.

Tempoyak asli Jambi biasanya baru bisa ditemukan di Jambi ketika musim durian tiba. Tempoyak bisa digunakan untuk membuat berbagai menu antara lain seperti gulai tempoyak yang cukup terkenal dan menjadi menu utama beberapa restoran dan rumah makan yang menjajakan masakan khas Jambi.

Rujak Aceh Samalanga


Rujak Aceh Samalanga, disebut demikian karena rujak Aceh tentunya banyak ditemukan di Aceh sampai dipelosok-pelosok desa. Samalanga merupakan salah satu kecataman yang terdapat di kabupaten Bireuen.

Keunikan rujak Aceh pada umumnya memiliki keistimewaannya yang terletak pada cita rasanya yang asam, manis dan pedas. Bahan-bahan yang digunakan memang relatif sama seperti pembuatan rujak pada umumnya, yang terdiri dari buah mangga, pepaya, kedondong, bengkuang, jambu air, nenas, dan timun, namun bumbu-bumbu yang digunakan, memiliki ciri khas tersendiri seperti garam, cabe rawet, asam jawa, gula aren (merah) yang cair, kacang tanah dan pisang monyet (pisang batu) atau rumbia (salak Aceh).

Yang menarik dari rujak Aceh Samalanga ini, di atas tempat ulekan yang besar terbuat dari batu itu bisa menampung untuk 50 porsi rujak, ada juga ulekan yang digunakan biasanya yang terbuat dari kayu jati. 


Cara penyajiannya rujak biasanya memang ddilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ditaruh di dalam piring dan yang kedua ditaruh di atas daun pisang. Pembeli yang makan di warung, biasanya disediakan di dalam piring, sedangkan yang akan dibawa pulang, biasanya dibungkus dengan daun pisang yang tentu menjadi ciri khas tersendiri.

Bubur Sitohap


Bubur Sitohap adalah makanan khas masyarakat marga Silalahi di pinggir Danau Toba, Sumatera Utara. Bahan pembuatan bubur ini sama seperti jenis lain dari bubur beras dan ayam dengan bawang merah, bawang putih, jahe, kemiri, andaliman (jenis daun yang dipakai untuk bumbu khas orang Batak) dan daun sitohap (sesuai nama buburnya).  

Daun sitohap hanya tersedia di hutan liar di kawasan pegunungan Danau Toba yang proses memasaknya sendiri memerlukan waktu 5 jam. Cara penduduk Silalahi makan bubur ini ditaruh dulu dalam wadah antik, yang usianya sudah ratusan tahun, yang memang khusus dibuat untuk bubur sitohap. Lalu bubur yang masih panas itu dimakan menggunakan tangan.

Bubur Sitohap adalah satu dari sekian banyak makanan khas daerah pesisir yang kaya akan gizi namun tidak banyak orang yang mengetahuinya.

Tuesday, 29 September 2015

Sanger Minuman Kopi Khas Aceh

Kopi Sanger adalah sejenis minuman yang hanya ada di Aceh. Sanger atau juga sering disebut kopi Sanger umumnya mirip dengan capucino, tapi jauh lebih lezat kopi sanger ini. Selain itu, jika melihat sekilas dari sanger akan terlihat seperti kopi susu adalah normal, tetapi jika kita mempertimbangkan rasa, kopi sanger memiliki yang sangat khas dan berbeda dari rasa kopi lainnya. 

Hampir setiap jalan di Banda Aceh kita pasti akan menemukan banyak toko-toko menjual kopi sanger sekalian tempat nongkrong dari segala usia.

Monday, 28 September 2015

Kompyang

Pernah mendengar makanan "Kompyang" atau "Kompia" ? Apakah Anda menyukai makanan ini ?

Kompyang merupakan semacam roti atau kue polos (tanpa isi) yang konon sangat keras dan butuh 'perjuangan' untuk memakannya. Meskipun keras (cukup sukar digigit), makanan ini lumayan mengenyangkan. Kompyang dapat dijumpai di beberapa kota seperti Solo, Surabaya, Semarang dan Malang.

Asal-usul makanan ini sesungguhnya dari negara China. Makanan ini ditemukan oleh Qi Jiguang pada tahun 1562 di Fujian. Pada saat itu, Qi Jiguang beserta anak buahnya bertempur melawan perompak dari Jepang. Qi Jiguang mengamati bahwa perompak Jepang selalu bisa mendeteksi keberadaan pasukannya dengan aroma masakan yang dipersiapkan oleh Jiguang.

Sebaliknya, dia & pasukannya tidak dapat mendeteksi keberadaaan perompak Jepang itu karena mereka membawa makanan (yang memang susah terdeteksi) dengan nama "Onigiri". Untuk mengimbangi strategi musuh, Jiguang beserta pasukannya membuat makanan yang setipe dengan Onigiri. Dari situlah, akhirnya Qi Jiguang bisa mengalahkan perompak Jepang itu.

Untuk mengenang atas kemenangan pasukan Qi Jiguang, makanan tersebut diberi nama "Guang Bing" atau "Guang Biang" dalam dialek Jian'ou yang di negara kita dinamakan "Kompyang" atau "Kompia". 

Kompyang sengaja dibuat keras dan teksturnya tidak mudah hancur agar tahan lama serta karena saat itu kompyang dibuat untuk tentara China yang sedang berperang.

Konon, kompyang dibuat lubang di tengahnya agar mempermudah tentara China membawanya (dengan dikalung) serta memakannya.

Saat ini, kompyang dimodifikasi dengan cara diisi di dalamnya (seperti coklat, daging ayam, dll) serta dibuat lebih lunak agar orang-orang mudah memakannya.

Nasi gandul


Nasi gandul merupakan masakan khas daerah Pati (daerah pesisir Jawa Tengah, merupakan jalan pantai utara Jawa). Akan tetapi, konon menurut cerita, daerah di Pati yang memopulerkan nasi gandul ini adalah desa Gajahmati (arah selatan teminal bus Pati). Itulah sebabnya sering ditemui kata-kata Nasi Gandul Gajah Mati. Walaupun pada akhirnya banyak ditemui penjual nasi gandul yang tidak berasal dari desa Gajahmati tetap menuliskan kata desa Gajahmati pada spanduk tempat makan mereka. Jika ditelusuri asal-usul pemberian nama nasi gandul, banyak versi yang mengemukakan tentang hal tersebut.

Versi pertama mengatakan bahwa nama nasi gandul adalah nama pemberian dari pembeli. Dulu, di daerah Pati, penjual nasi gandul menjajakan nasinya dengan menggunakan pikulan yang berisi kuali (tempat kuah nasi gandul) di satu sisi, dan bakul nasi serta peralatan makan nasi gandul di sisi lain. Kemudian, pikulan tersebut digotong dan dijajakan sehingga pikulan tersebut naik-turun seirama dengan langkah penjualnya (kedua sisi bambu ini bergantungan bakul nasi dan kuali kuah secara menggantung (gandul). Oleh sebab itu, masyarakat kemudian menamainya nasi gandul.

Versi kedua, nama nasi gandul terinspirasi dari cara penyajian nasi gandul yang unik. Cara penyajiannya: piring yang telah dilapisi oleh daun pisang, kemudian diisi oleh nasi, baru setelah itu diberi kuah. Karena penyajian yang serupa itu, oleh para pembeli menyebut bahwa nasi dan kuah itu mengambang; menggantung (tidak menyentuh piring).

Versi ketiga mungkin dahulu hanya sebagai bahan banyolan masyarakat Pati. Dikisahkan bahwa penjual (seorang pria) yang menjajakan nasi tersebut dengan cara berkeliling, memakai sarung. Ketika penjual tersebut duduk dan melayani pembeli, sarung penjual tersebut tersingkap dan kelihatan alat kelaminnya yang ‘gondal-gandul’. Kemudian, sejak saat itu orang menyebut nasi itu adalah nasi gandul. Dari versi-versi tersebut, versi pertama dan kedualah yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Yah,,, terserah pembaca yang mau memilihnya.

Tahu Pong Semarang



Dengar tahu pong, yang mengerti pasti langsung ngeh ini “Semarang” punya. Tapi bagi yang pertama kali dengar kata ini, mikirnya: “apa ini?”

Tahu Pong adalah nama makanan, bisa dikatakan khas, dari Semarang. Sejak kapan, dan mulai kapan ada, tidak jelas lagi bahwa tahu pong sudah lama sekali di Semarang, sejak tahun 1930’an.

Kenapa disebut tahu pong ?

Itu adalah kependekan dari kata tahu kopong. Dalam bahasa Jawa, kopong artinya kosong. Lha kok bisa tahu kosong? Inilah kenapa disebut tahu kopong.

Tahu yang tengahnya kosong. Tahu ini sebenarnya tahu biasa, seperti tahu-tahu yang lain yang kita kenal. Bedanya, mungkin karena proses pembuatan sedikit berbeda, tingkat kepadatan akhir yang berbeda menyebabkan kopong begitu. Sewaktu mentah bentuknya juga sama seperti tahu biasa, tapi setelah digoreng, bagian tengahnya menyusut dan menjadi kopong.

Selain dari bahasa Jawa, ada kemungkinan kata “pong” berasal dari dialek Banlam yakni "phong" (Hokkian selatan), yakni merupakan dialek mayoritas kakek-moyang orang Tionghoa peranakan di Semarang. Salah satu makna phong adalah “melembung” atau “menggembung”.

Sejarah Singkat Tahu : Dari Tiongkok Ke Seluruh Dunia


Tahu adalah bahan makanan yang kaya protein, lemak nabati dan kalsium dan mudah menyerap rasa dari berbagai bumbu masakan. Kata Inggris untuk tahu, adalah tofu yang berasal dari Jepang. Tofu sendiri diturunkan dari kata doufu. Tahu dibawa masuk ke Jepang pada masa Dinasti Tang [618 - 907].

Tahu dapat dibedakan dalam beberapa kategori berdasarkan raw material, hardness, jenis koagulan. Material utama tahu adalah kacang kedelai yang menentukan kualitas tahu. Di tahun 1960 , produksi kacang kedelai di Tiongkok mencapai hampir setengah produksi dunia. Selain Tiongkok, negara seperti Argentina, Brazil dan Afrika Selatan merupakan penghasil soybean. Kacang kedelai yang terbaik untuk proses pembuatan tahu memiliki usia panen 3-9 bulan. Air juga merupakan bahan utama pembuatan tahu. Air berguna untuk proses clearing , soaking , milling dan cooling. Kandungan Kalsium dalam air merubah nilai penyerapan air pada kacang kedelai yang juga akan berpengaruh pada rasa tahu

Di Tiongkok ada ratusan jenis tahu, tetapi secara umum dapat dibedakan menjadi tiga jenis utama : Tahu Utara, Tahu Selatan dan Tahu GDL. Tahu Utara jenis yang dikeringkan dan di-press walaupun masih memiliki kelembaban yang sama dengan “momen tofu” di Jepang. Jenis utara dapat di ambil dengan mudah oleh sumpit. Jenis koagulan yang digunakan adalah air asin. Tahu Selatan mengalami proses press dan pengeringan yang mirip dengan jenis utara tetapi dengan proses yang lebih ringan daripada di utara. Tahu jenis selatan disiapkan dengan bahan gypsum-calcium sulfate sebagai koagulan.

Ada tiga macam pendapat tentang asal tahu itu. Yang paling umum adalah tahu diciptakan di Tiongkok Utara sekitar 164 SM oleh Pangeran Liu An [179-122SM], seorang pangeran  dari kota Huainan selama Dinasti Han. Dalam sejarah Tiongkok ,  penemuan penting sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh penting. Fakta lain bahwa untuk waktu yang lama kota Huainan telah merayakan festival tahu setiap tahun. Huainan merupakan daerah penghasil kedelai yang penting dan air bawah tanah mengandung banyak mineral yang cocok sebagai koagulan. 

Teori lain menyatakan bahwa metode produksi untuk tahu itu ditemukan secara tidak sengaja saat bubur kedelai tercampur dengan garam laut murni. Garam laut mengandung garam kalsium dan garam magnesium, memungkinkan campuran kedelai mengental dan menghasilkan gel tahu. Ini mungkin mungkin menjadi cara Tahu ditemukan, karena  susu kedelai telah dimakan sebagai sup lezat di kuno. 

Teori ketiga menyatakan bahwa orang Tionghoa kuno belajar metode untuk mengentalkan susu kedelai dengan meniru teknik susu mengental dari Mongol atau India. Bukti utama untuk teori ini terletak pada kesamaan etimologis antara istilah Tiongkok untuk Mongolia fermentasi susu (rufu) dan dòufu istilah atau tahu. Meskipun demikian, tahu telah dikenal masyarakat dan  telah dikonsumsi bahan makanan di Tiongkok di abad 2 SM .

Tahu kemudian menyebar keluar wilayah Tiongkok. Tahu masuk ke Jepang di periode Tang, bersamaan dengan masuknya pengaruh Buddhism di Jepang. Tahu adalah sumber penting protein dalam diet vegetarian kaum religius. Buku Tofu Hyakuchin ["Seratus Jenis Tahu"] diterbitkan di tahun 1782 periode Edo. 

Selain di Jepang, tahu juga masuk ke Vietnam, Thailand, Korea. Di Korea, tahu menjadi bahan penting dalam variasi masakan khas Korea. Di Asia Tenggara, selain Vietnam dan Thailand yang berbatasan langsung dengan Tiongkok, masuk juga ke Indonesia, Malaysia. Di Indonesia, tahu memperkaya budaya Indonesia dan melahirkan berbagai jenis. Di Sumedang, seorang Tionghoa bernama Ong Kino, merintis usaha tahu yang kemudian diteruskan oleh anaknya Ong Bun Keng. Dari sini muncul tahu Bungkeng yang terkenal dan identik dengan tahu Sumedang. Di Semarang terkenal tahu Pong yang berasal dari “phong" dalam dialek Banlam. Tahu menjadi bahan penting dalam masakan Melayu, bahkan digunakan oleh masyarakat India di wilayah Malaya.

Meskipun varietas tahu yang diproduksi di zaman kuno tidak mungkin telah identik dengan hari ini,  deskripsi dari tulisan-tulisan dan puisi dari Song dan Dinasti Yuan menunjukkan bahwa  teknik produksi untuk tahu sudah distandarisasi. Doufu muncul dalam dokumen pertama kali di tahun 965 M, masa Dinasti Song dalam  Ching I Lu yang ditulis oleh Tao Ku. Sementara Tofu muncul dalam dokumen Jepang dalam catatan harian Hiroshige Nakaomi di tahun 1183 M, yang merupakan pendeta Shinto di sebuah kuil di Nara. Tofu telah menjadi bagian dari persembahan di altar.

Tofu tercatat pertama kali dalam dokumen Barat pada catatan Kapten John Saris selama perjalanannya ke Jepang. Tetapi dalam catatan itu tidak secara langsung menyebut tofu. Baru pada catatan Domingo Fernandez de Navarrete (yang mengabdi pada misi Dominikan) dalam bukunya  "A Collection of Voyages and Travels" menulis tentang tofu. Di tahun 1704 , buku Friar Domingo Navarrete diterbitkan dalam bahasa Inggris. Buku itu menjadi dokumen Inggris pertama kali yang menyebut Tofu Jepang dan koneksinya dengan Tiongkok. Dokumen Amerika yang menyebut Tofu muncul dalam sebuah surat Benjamin Franklin yang sedang berada di London kepada John Bartram di Philadelphia. 

Tahu diproduksi pertama kali di Barat pada tahun 1880, oleh orang Perancis bernama Paillieux. Perusahan yang membuat tahu pertama kali di Amerika Serikat adalah Wo Sing & Co berdiri di tahun 1878 di San Fransisco. Di tahun 1895 , perusahaan Hirata & Co berdiri di Sacramento, California sebagai perusahaan pertama yang didirikan oleh orang Jepang di Amerika. Di tahun 1896 , tahu muncul pertama kali dalam jurnal ilmiah di American Scientific Journal [American Journal in Pharmacy melalui karya tulis Henry Trimble dengan judul “Recent Literature On The Soja Bean] . Demikian sejarah singkat perjalanan Tahu ke seluruh dunia.

Singkong dan Ubi


Saya tadi siang makan resep jajanan tradisional 'Lenthuk' dengan seorang teman dan sempat berdebat tentang sebutan "singkong dan ubi"; dua jenis sumber karbohidrat yang berbeda namun kadang rancu dalam penyebutannya.

Dulu waktu masih sekolah di Medan, saya tau kalau singkong itu disebut ubi kayu (cassava); sedangkan ubi disebut 'ubi rambat' yang kalau di Bahasa Inggriskan disebut 'sweet potato'.

Kata 'singkong' sendiri saya kenal sejak di Jakarta saja, karena pernah menyebut 'ubi kayu' sukses diketawakan teman-teman.

Kenapa ? Karena bagi mereka sebutan kedua karbohidrat ini berbeda termasuk bagi orang lain di berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Sebenarnya kebanyakan orang Jogja nyebut singkong dengan 'telo jendal' dan nyebut ubi dengan 'telo pendem' ...

Orang Solo dengan orang Salatiga sama-sama nyebut singkong dengan "telo pohong" dan ubi dengan "telo pendem" ..

Orang Banyumas nyebut "bodin" ama "boled" untuk singkong dan ubi ..

Di Jawa Timur ada yang nyebut "puhung" untuk singkong, ada juga yang bilang "kaspe", dan kalau sudah direbus / kukus disebut "roti sumbu"..

Di Kutoarjo, singkong disebut "telo" - kalo ubi dengan "telo munthul" ...

Kalau di Surabaya singkong disebut "pohung"; sedangkan di beberapa daerah di Jatim disebut "telo kaspe".

Orang Sukabumi nyebut singkong dengan "sampeuk"; dan ubi dengan "huwi atau bolet". 

Di Sulawesi Selatan yang terdiri atas beberapa suku penamaannya juga berbeda-beda. Misalnya, suku Bugis nyebut singkong dengan "lame aju". Suku Makassar dengan sebutan "lame". Suku Toraja-Enrekang nyebut singkong dengan kata "kandoa" dan kadangkala dengan kata "dua kayu", sedangkan ubi itu namanya "dua". Tambah jauh kan ? ..

Di Banjarmasin, keduanya disebut "gembili" tapi di daerah hulu singkong disebut "jawaw";  terus ubi disebut "gumbili lancar" ..

Di Papua singkong disebut dengan "kasbi" .. Sedangkan di daerah Serang Banten singkong disebut "dangdeur"; kalo ubi disebut "mantang".

Kalo di Manado, si singkong ini namanya "ubi" - ada yg putih, dan ada yg kuning. Ubi kuning bilangnya "ubi mentega" .. Sedangkan untuk telo, ubi merah, ubi kuning, ubi madu disebut "batata" - yakni ada batata merah dan batata kuning .. Kalo umbi-umbian yang tawar disebut "bete". Termasuk talas juga bilangnya bete karena tawar. Kalo talas yg dalamnya agak ungu, disebut "bete bentul", karena jadi pernah lambang rokok bentoel.

Kalau di Padang, singkong disebut "ubi kayu", mungkin karena bentuk dan kerasnya seperti kayu. Tapi yang pasti daun singkong yang kita kenal dalam masakan padang namanya berbeda bukan daun singkong atau daun pucuk ubi kayu, tapi disebut "pucuak parancih". Ga ngerti kenapa bisa beda gitu.

Saya ngak tau teman-teman di Klub Magasi menyebutnya singkong dan ubi dengan apa ? ..

Tapi apapun itu, kadang-kadang lucu, kita dari berbagai daerah nyebut satu benda dengan julukan yang berbeda-beda. Seperti Misro yang disebut "onde-onde" di Kendari; "cemplon" di Yogja; .. apalagi yaa .. Waah bangga rasanya jadi orang Indonesia. Beragam kosa kata bahasa di negeri tercinta ini ..

Salam kebersamaan dalam keberagaman! (atau keberagaman dalam kebersamaan) ..

Dim Sum

Dalam tradisi budaya Cina, dim sum merupakan bagian dari "yum cha" yaitu suatu upacara minum teh yang telah ada sejak jaman Shen Nung beribu tahun lalu. Selanjutnya, di masa Dinasti Sung (960-1280) upacara ini menjadi sangat populer dan sedikit demi sedikit mengalami perubahan dengan mulai diperkenalkannya dim sum. 

Pada saat itu minuman teh panas menjadi pilihan para petani untuk menghilangkan dahaga serta menyegarkan badan setelah seharian bekerja di ladang. Sambil minum teh dihidangkan pula dim sum dengan aneka bentuk dan rupa.

Kata dim sum sendiri berarti 'menyentuh hati'. Nama ini sangat sesuai karena bentuk dim sum yang mungil dan jenisnya yang beraneka ragam ini sangat menarik hati. Dengan ukuran seperti ini justru memudahkan setiap orang untuk mencoba rasa dan jenisnya yang berlainan.

Dim sum mencapai puncak polularitasnya di Hong Kong. Hampir semua restoran Cina di sana memiliki menu andalan berupa dim sum. Biasanya, dim sum disajikan dalam wadah kukusan dari bambu. Setiap kukusan berisi 3 potong dim sum (kadang-kadang 5 atau 7 potong). Rasa dan bentuknya bermacam-macam, tak terbatas pada rasa asin atau manis saja. Teknik memasaknya pun beragam. Mulai dari dikukus, dipanggang, digoreng, direbus, ditim, hingga disemur.

Bersamaan dengan arus imigrasi penduduk Cina ke berbagai belahan dunia, seni kuliner Cina juga ikut berkembang. Dan, jadilah dim sum terkenal hingg ke mancanegara. Sekarang, dim sum tiak lagi harus dihidangkan saat upacara minum teh saja, tetapi sudah banyak disajikan sebagai menu untuk sarapan pagi, makan tengah hari atau makan malam.

Hidangan Imlek Yang Sarat Makna


Menjelang hari besar Imlek, warga Tionghoa akan sibuk berbenah, membersihkan rumah, mengecat rumah, mempersiapkan angpao, dan membeli baju baru. Dan, kegiatan yang paling penting ialah mempersiapkan berbagai makanan untuk upacara. Sama seperti makanan untuk upacara adat atau keagamaan lainnya, makanan khas Imlek juga sarat makna simbolik. 

Hidangan yang disajikan biasanya berjumlah minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ini mewakili lambang-lambang dari shio yang berjumlah 12. Diantaranya yang memiliki perlambang ialah mie, melambangkan panjang umur dan kemakmuran. Kue lapis atau lapis legit juga disediakan. Konon kehadiran kue itu sebagai perlambang datangnya rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok, kue moho dan kue keranjang, biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue moho atau kue mangkok yang diberi merah pada bagian atasnya. Harapan yang terkandung di situ adalah kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. 


Agar pikiran menjadi jernih sepanjang tahun ini disertakan pula manisan kolang-kaling. Ada pula agar-agar yang dicetak bentuk bintang, merupakan simbol kehidupan yang terang. Hidangan camilan yang tidak pernah ketinggalan adalah kuaci, kacang dan permen.

Semua hidangan untuk persembahan diatur di atas meja sembahyang. Lalu, seluruh angota keluarga berkumpul dan berdoa memanggil arwah para leluhurnya untuk menyantap sajian yang disuguhkan. Setelah upacara sembahyang usai, makanan yang tersaji di meja upacara kemudian dibagikan kepada kerabat dan handai taulan. 

Meski hidangan favorit leluhur selalu disediakan di meja sembahyang, tetapi ada juga hidangan yang dihindari sekalipun disukai. Bubur, misalnya. Hidangan ini melambangkan kemiskinan, hingga tidak boleh hadir dalam hidangan sembahyang maupun suguhan Tahun Baru Imlek.

Kebiasaan Tradisi Jawa Yang Mulai Hilang


1. PETANAN
Petanan atau dalam bahasa Indonesia mencari kutu adalah salah satu kebiasaan orang Jawa yang mulai ditinggalkan. Pada zaman dahulu, petanan sering dilakukan pada waktu senggang atau saat beristirahat. Petanan lebih sering dilakukan oleh kaum wanita, sambil saling mengobrol atau bercerita. Petanan sebenarnya bukan sekedar aktivitas mencari kutu, akan tetapi juga merupakan interaksi sosial antara orang tua dengan anak, atau seseorang dengan tetangganya. Petanan sangat menjaga keakraban antara individu satu dengan individu lainnya, karena interaksi yang telah dilakukan itu.

“Kemajuan zaman sedikit demi sedikit telah menggerus adat atau kebiasaan orang Jawa seperti petanan. Orang Jawa pada zaman dahulu menjaga kebersihan kepalanya dengan melakukan aktivitas seperti petanan. Akan tetapi orang Jawa zaman sekarang lebih memilih pergi ke salon atau spa untuk menjaga kebersihan rambut mereka. Alasan orang zaman sekarang lebih memilih pergi ke salon dan spa karena masalah waktu dan merasa memiliki cukup uang.“ 

Selain itu, orang-orang zaman sekarang cenderung memilih hal-hal instan, karena tuntutan pekerjaan dan gaya hidup akibat pengaruh dari budaya luar. Padahal hal-hal seperti itu akan mengurangi interaksi sosial yang terjadi dengan tetangga atau kerabat dekat. Perubahan sosial seperti ini akan membuat rasa peduli antar sesama orang Jawa semakin berkurang. Sementara hal yang paling terlihat berbeda, yaitu mulai hilangnya sebuah tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, salah satunya mencari kutu atau petanan.

Salah satu cara untuk menjaga tradisi atau kebiasaan orang Jawa yang sudah ada sejak dahulu itu, dengan melakukan kegiatan petanan. Walaupun kelihatannya memalukan di zaman sekarang ini, tapi petanan bisa menjadi sebuah ajang dalam berkumpul dengan teman, tetangga atau kerabat. Guna menjaga komunikasi dan interaksi sosial agar terus berjalan baik.

Apabila orang Jawa di zaman sekarang ini mulai menurunkan ego dan rasa malunya, pastinya kegiatan seperti petanan masih teta pada. Karena sesibuk apapun masyarakat Jawa jaman sekarang, pasti punya waktu luang. Di waktu luang itulah mereka bisa berkumpul untuk saling mencari kutu atau petanan, walaupun tidak semua orang memiliki kutu di zaman modern seperti sekarang ini.

2. PULUK
Puluk adalah cara makan orang Jawa dengan menggunakan tangan secara langsung. Posisi tangan biasanya merapatkan kelima jari, kemudian menggunakannya untuk mengambil makanan. Orang Jawa yang suka hidup sederhana, sangat suka melakukan hal-hal yang sederhana pula, salah satunya adalah makan menggunakan tangan secara langsung. Orang Jawa pada zaman dahulu sangat suka makan menggunakan tangan atau puluk, alasannya karena pada zaman dahulu peralatan makan masih sangat sedikit. Akan tetapi, di zaman sekarang, mangan di puluk atau dalam bahasa Indonesia makan menggunakan tangan sudah mulai jarang. Walaupun ada, biasanya hanya pada acara-acara tertentu atau pada rumah makan lesehan.

Orang jawa, sama seperti halnya suku lain, tidak punya alat makan. Oleh karena itu orang jawa menggunakan tangan saat makan. Di zaman sekarang piring sudah terbuat dari keramik dan sendok bisa dijumpai dimana-mana karena itu orang jawa sekarang makan menggunakan sendok. Namun kebiasaan makan pakai tangan tetap tidak bisa hilang terutama saat prosesi adat.

Orang Jawa pada zaman sekarang lebih suka makan menggunakan sendok. Alasan pertama karena pada masa kini, sudah ada beragam alat makan yang di jual di toko. Selain itu, akibat pengaruh budaya luar, masyarakat beranggapan bahwa makan menggunakan sendok dianggap lebih sopan daripada menggunakan tangan secara langsung. Maka dari itu banyak orang yang memilih makan menggunakan sendok.

Makan menggunakan tangan atau di puluk sebenarnya sangat menarik, karena terasa lebih nikmat daripada menggunakan sendok. Makan di puluk membuat tangan kita merasakan secara langsung tekstur makanan yang akan kita makan. Selain itu, makan menggunakan tangan juga lebih melatih kita untuk bersabar. Sebab, kita harus pandai-pandai memilih dan menyusun nasi serta lauk yang muat untuk di bawa jari-jari tangan kita. Karena jika tidak, nasi akan jatuh berceceran sebelum masuk ke dalam mulut.

Hal-hal seperti itu tidak hanya membuat tradisi atau kebiasaan orang Jawa yang sudah ada mulai ditinggalkan, tetapi juga terancam hilang. Sebagai orang Jawa, harusnya orang-orang masa kini tidak perlu malu makan menggunakan tangan atau di puluk, tidak perlu malu dianggap kampungan atau kurang sopan. Justru harus merasa bangga, karena menjaga tradisi yang sudah ada.

3. PINCUK
Pincuk adalah sebuah wadah makan yang digunakan orang Jawa. Pincuk biasanya terbuat dari daun pisang yang kedua ujungnya disatukan menggunakan lidi, kemudian dibagian bawah berbentuk runcing seperti kerucut. Pincuk biasanya dipakai sebagai pengganti piring pada zaman dahulu.

Selain itu, pincuk juga sering digunakan untuk tempat membagikan bancakan dan tempat makan saat bekerja di sawah. Pincuk dipilih para petani untuk tempat makan, karena cara membuatnya yang mudah, serta banyak daun pisang yang bisa dijumpai di sawah. Kemudian, agar tidak repot membawa piring dari rumah. Karena pada zaman dahulu piring orang Jawa masih terbuat dari tanah liat yang mudah pecah. Selain itu, walaupun sudah memakai piring, biasanya orang Jawa juga akan memberi alas daun pisang di atas piringnya tadi, jadi untuk mempermudah, para petani lebih memilih langsung menggunakan pincuk daun pisang saja.

Orang jawa memiliki kebiasaan yang mungkin aneh dibanding suku lain. Saat kita makan kita tidak boleh mengeluarkan suara karena dianggap mirip hewan terutama sapi yang jika makan mereka selalu mengeluarkan suara. Pada jaman dulu orang jawa makan dengan piring yang terbuat dari tanah liat sehingga sebelum meletakkan makanan akan diberi sehelai daun pisang karena jika tidk makanan akan kotor.” 

Orang Jawa sangat suka makan beralaskan daun pisang atau pincuk, karena terasa lebih nikmat. Akan tetapi, pada saat ini, pincuk sudah jarang dipakai. Alasannya karena sudah ada beraneka ragam jenis piring yang dijual di toko-toko. Alasan lainnya adalah, mulai jarangnya orang menanam pohon pisang di sekitar rumah mereka. Karena keterbatasan lahan di masa seperti sekarang ini.
Sekarang ini, pincuk masih bisa kita temukan di tempat-tempat penjual makanan tradisional Jawa, seperti; klepon, sego liwet, pecel, gudangan, lauk, jenang dan lain sebagainya. Makanan-makanan tradisional yang masih menggunakan pincuk, biasanya dijual di pasar atau pinggir-pinggir jalan. Untuk tetap menjaga keberadaan pinjuk atau tempat makan yang terbuat dari daun pisang ini, kita harus bangga dan tidak malu sesekali makan menggunakan pincuk. Serta menyuruh para penjual untuk menggunakan pincuk daripada plastik, karena plastik mengandung bahan kimia sedangkan daun bersifat alami, sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Salah satu rahasia orang Jawa yang memiliki umur panjang, mungkin dari makanan dan tempa makan yang mereka gunakan masih sangat alami, dibandingkan dengan orang-orang sekarang yang memilih sesuatu yang serba instan dan ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan mereka.

4. LUNGGUH SILA
Lungguh sila atau dalam bahasa Indonesia adalah duduk bersila, merupakan posisi duduk yang biasa dilakukan orang Jawa. Posisi ini adalah duduk di atas tanah secara langsung atau dengan beralaskan tikar. Posisi kedua kaki saling dilipat. Salah satu telapak kaki masuk ke sela antara betis dan paha (bawah lutut) kaki yang lainnya, sementara telapak kaki yang satunya berada tepat di bawah. Posisi duduk seperti ini biasanya dilakukan oleh seorang pria. Sementara wanita Jawa biasanya duduk dengan posisi kaki ditekuk ke samping. Sebab wanita Jawa pada zaman dahulu memakai jarik, jadi akan menyulitkan mereka untuk duduk bersila.

Kebiasaan duduk bersila sudah ada di masyarakat Jawa sejak jaman dahulu. Orang Jawa lebih suka duduk di atas tanah daripada duduk di atas kursi. Duduk bersila biasanya dilakukan orang Jawa saat acara-acara adat atau hajatan, makan bersama, nonton tv, mengaji, belajar, serta saat melakukan aktivitas lainnya.

Saat makan laki-laki duduk bersila sedangkan wanita duduk dengan merapatkan selakangannya karena jika membuka selakangan dianggap tidak sopan, selain itu pakaian adat wanita zaman dulu tidak memungkinkan wanita untuk duduk mengangkan.”

Ketika bertamu, orang Jawa jaman dahulu juga lebih memilih duduk di bawah, karena beranggapan duduk di bawah lebih sopan daripada duduk di atas kursi. Akan tetapi, pada jaman sekarang, orang lebih memilih duduk di atas kursi yang empuk, dibandingkan harus duduk di atas tanah yang keras. Kebiasaan-kebiasaan orang Jawa seperti lungguh sila, sudah mulai jarang kita temui di waktu sekarang ini. Hanya orang-orang yang bertempat tinggal di desa-desa yang masih sering lungguh sila. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban kita untuk menjaga kebiasaan dan tradisi masyarakat Jawa jaman dahulu, yaitu dengan melakukan lungguh sila juga.

5. JARIKAN
Jarikan dalam bahasa Indonesia adalah memakai jarik. Jarik sendiri adalah sebuah kain bercorak batik yang biasanya dipakai dengan cara dililitkan dipinggang sampai menutupi kaki. Jarik biasanya dipakai oleh kaum wanita. Akan tetapi, pada acara-acara adat tertentu, kaum pria di Jawa juga memakai jarik. Jariakan sebenarnya mengajarkan kesopanan dalam berpakaian untuk wanita Jawa. Motif jarik pada zaman dahulu, sangat menentukan status sosial orang Jawa. Ada motif-motif jarik tertentu, yang pada zaman dahulu hanya boleh di pakai oleh raja dan ratu di keraton. Seiring perkembangan zaman, kini semua orang bebas memakai motif jarik yang diinginkan.

Akan tetapi, jumlah orang pemakai jarik di zaman sekarang mulai sedikit. Pemakai jarik yang biasanya adalah orang lanjut usia, kini lebih memilih memakai baju daster atau rok.  Penyebab semakin sedikit orang jarikan karena memakai jarik yang terlalu rumit dan membutuhkan waktu lebih lama, daripada jika memakai rok atau baju daster. Jariak semakin ditinggalkan, apalagi untuk kaum muda. Biasanya jarik dipakai kaum muda hanya di acara-acara tertentu seperti hajatan dan wisuda. Sebagai ciri khas pakaian orang Jawa, jarikan harus tetap dijaga keberadaannya. Jangan sampai orang Jawa lupa dengan kebiasaan berpakaian nenek moyangnya dulu.

6. GELUNGAN
Gelungan adalah tatanan rambut bagi wanita Jawa. Gelungan hanya bisa dilakukan pada rambut wanita yang panjang. Apabila rambut wanita Jawa tersebut pendek, maka akan sangat sulit digelung atau bahkan tidak bisa sama sekali. Cara gelungan yaitu mengikat rambut dengan cara digulung dan dibentuk seperti cepol.

Gelungan sudah ada sejak zaman dahulu. Para wanita Jawa pada zaman dahulu yang kebanyakan memiliki rambut panjang, akan menggulung rambutnya. Hal ini bertujuan agar mereka tidak merasa gerah dengan rambut panjangnya itu. Orang Jawa biasa gelungan saat melakukan kegiatan sehari-hari. Akan tetapi, untuk acara resmi atau acara adat tertentu, orang Jawa akan gelungan dengan lebih rapi daripada saat kegiatan sehari-hari. Contohnya gelungan saat acara pernikahan anak atau kerabatnya.

Pada jaman sekarang, hanya sedikit orang yang gelungan. Kebanyakan dari mereka yang masih gelungan adalah nenek-nenek yang sudah lanjut usia. Akan tetapi banyak pula nenek-nekek jaman sekarang yang tidak gelungan, justru hanya mengikat rambut mereka dengan tali. Alasannya karena mereka memotong rambut dan memilih rambut pendek, agar lebih mudah diatur. Kemudian karena gelungan lebih merepotkan daripada mengikat rambut dengan tali.

Sebagai kebiasaan dan tradisi yang telah ada, gelungan harus tetap di jaga, dengan cara menggelung rambut yang memang panjang dan bisa digelung. Selain itu, sebagai orang Jawa, harus memanjangkan rambut, karena mahkota perempuan adalah rambutnya. Apabila memiliki rambut panjang, pastinya rambut akan mudah digelung.

7. MLAKU MBUNGKUK NANG NGAREPE WONG TUWA
Mlaku mbungkuk disini maksudnya adalah berjalan membungkuk saat lewat di depan orang yang lebih tua. Perilaku orang Jawa seperti ini sudah ada sejak dahulu. Bertujuan untuk mengajarkan tatakrama dan sopan santun kepada anak, agar menghormati orang yang lebih tua. 

Posisi yang dimaksudkan dengan mlaku mbungkuk yaitu, membungkukkan badan ke bawah, kemudian meletakkan satu tangan di belakang (tepat di atas pinggang), kemudian tangan yang satunya diluruskan ke bawah agak ke depan. Biasanya orang yang jalan membungkuk sambil berkata “nyuwun sewu, nderek langkung”. Saat berjalan dengan membungkukkan badan seperti ini, haruslah berjalan pelan-pelan, bukan malah berlari. Hal seperti itu adalah cara orang Jawa yang lebih muda dalam menghormati orang yang lebih tua, apabila hendak lewat di depannya. 

Dalam interaksi sehari-hari di masyarakat Jawa, orang lebih muda akan selalu membungkukkan badannya ketika sedang berjalan di depan orang yang lebih tua. Etika ini bila dilihat sepintas akan terlihat sangat sepele, namun sebenarnya etika ini menggambarkan sikap tunduk atau hormat antara orang muda terhadap orang yang lebih tua. Selain itu, sikap membungkukkan badan juga menandakan bahwa orang ini menghargai dan menempatkan posisinya.

Sayangnya, anak-anak muda di Jawa jaman sekarang mulai pudar sopan santun dan tatakramanya. Sehingga membuat mereka merasa tidak perlu lagi melakukan hal-hal yang diajarkan orang tuanya sejak kecil. Disaat seperti sekarang ini, banyak anak kecil atau orang yang lebih muda, berjalan seenaknya saat lewat di depan orang yang lebih tua. Mereka merasa tidak malu atau dalam bahasa Jawa "ora perkewuh". Akibat pengaruh budaya luar, akan membuat tatakrama dan perilaku anak muda di Jawa menjadi berubah. Maka dari itu kita harus pandai-pandai memilih kebudayaan yang masuk, dengan meniru hal baik dan membuang hal yang sekiranya tidak pantas dilakukan orang Jawa. Agar, sopan santun atau etika orang Jawa tidak hilang dengan begitu saja.

8. UNGGAH-UNGGUH BAHASA JAWA
Unggah-ungguh bahasa merupakan etiket bahasa (language ettiquete), kaidah sopan santun bahasa yang menjadi tolok ukur apakah tindak bahasanya itu halus atau kasar, hormat atau tak hormat,sopan atau tak sopan. Peristiwa bahasa (speech event) dan tindak bahasa (speech act) seseorang yang ditunjukkan kepada pendengar itu bersifat bebas, namun karena menyangkut hubungan pribadi dengan orang lain, maka harus mengikuti aturan pergaulan dalam bentuk sikap dan bentuk Bahasa patrap dan ucap). 

Ragam unggah-ungguh bahasa Jawa yang pokok, yang pada umumnya dipakai oleh semua pemakai bahasa Jawa, ada tiga yang masing-masing memiliki sub-ragam lagi. Tiga ragam tersebut yaitu ragam ngoko, ragam madya dan ragam krama. Selain ragam pokok ada ragam khusus, karena pemakaiannya hanya sekelompok sosial. Ragam khusus yang dimaksud yaitu ragam krama inggil, ragam krama desa, ragam bahasa istana (kedaton dan Bagongan), dan ragam bahasa kasar.

Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang sangat susah dipelajari. Bahasa Jawa yang dipergunakan sebagai bahasa pergaulan pada awal abad ke-20 mengikuti sistema yang sangat rumit. Sistema tersebut berhubungan dengan perbedaan-perbedaan yang wajib digunakan, yaitu perbedaan yang berkenaan dengan kedudukan, pangkat, usia, dan tingkat keakraban antara yang menyapa dan yang disapa. 

Bahasa Jawa memiliki tiga strata pokok, yaitu Ngoko (strata tidak resmi), Madya (strata setengah resmi), dan Krama (strata resmi). Selain itu, masih ada enam strata lagi yang merupakan kombinasi dari ketiga strata pokok itu, ditambah dengan 300 kosa kata yang disebut Krama Inggil. 

Penggunaan ketiga strata dan kombinasinya tersebut disesuaikan dengan atau sopan santun Jawa. Untuk dapat menggunakannya dengan tepat, maka harus ditentukan dahulu kedudukan orang yang diajak bicara. Perubahan sosial awal abad ke-20 sebagai akibat pendidikan dan kemajuan ekonomi telah mengubah struktur kelas sosial. Ada kalanya orang yang tua harus menghormanti yang lebih muda karena pangkatnya yang lebih tinggi/karena menjadi pedagang kaya.

Hal-hal seperti itu akan membuat hubungan menjadi canggung, dimana orang yang lebih muda harus di hormati orang yang lebih tua hanya karena pangkat atau status sosialnya yang lebih tinggi. Seiring perkembangan jaman, banyak orang Jawa yang mulai hilang Jawanya. Maksudnya disini yaitu, orang Jawa yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan benar, atau bahkan sudah tidak bisa menggunakan bahasa Jawa Krama.

Masyarakat Jawa sangat mengawasi dan memperhatikan betul tingkatan bahasa Jawa. Bahkan orang akan dianggap tercela atau tidak sopan bila ia melakukan kesalahan dalam menggunakan tingkatan bahasa tersebut. Misalnya, seorang abdi memakai bahasa ngoko kepada bendaranya. Sudah pasti sang bendara akan menghukumnya atau setidaknya akan mengusirnya. Dan memang tidak dipungkiri bahwa penggunaan bahasa pada awalnya tidak bisa lepas dari muatan politik. Namun sekarang, tradisi penggunaan tingkatan bahasa lebih cenderung bermuatan etika dan moral. 

Bermula dari sikap pengawasan yang berlebihan ini pula, kemudian dalam masyarakat Jawa terdapat istilah "Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono", maksudnya bahwa kita harus selalu berhati-hati dalam bertutur kata, sopan santun, menghargai lawan bicara, termasuk berkata dengan perkataan dan tingkat bahasa yang benar.

Orang Jawa sekarang malu menggunakan bahasa Jawa, lebih menyukai bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan. Hal ini patut disesali, terutama melihat bahwa bahasa Jawa totok (bahasa Jawa Keratonan/Bagongan) dan bahasa Jawa Krama sudah hampir menghilang dari peredaran. Mudah-mudahan bahasa Jawa Ngaka tetap tidak sampai mengekor menjelang ambang kepunahan.

Di waktu seperti sekarang ini, banyak anak-anak atau anak muda yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan benar. Mereka cenderung berbicara ngoko dengan orang yang lebih tua. Padahal dalam strata Jawa, itu sangat salah dan tidak sopan, atau sering disebut ora boso karo wong tuwa. Alasanya karena tidak tahu bahasa krama inggil atau bahasa krama alus. Penyebabnya karena jarang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.

Contohnya, ketika seorang anak berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan kalimat “bapak lagi mangan”, seharusnya anak tersebut menggunakan kalimat “bapak nembhe dahar” yang artinya bapak sedang makan. Kemudian contoh lainnya yaitu, “kula ajeng sare”, seharusnya diucapkan “aku arep bobok” jika yang mengucapkan itu adalah seorang anak yang ditanya oleh orang yang lebih tua. Arti kalimat tersebut yaitu, saya mau tidur.

Untuk melestarikan bahasa Jawa agar tetap ada di kemudian hari, harus mengajarkannya kepada anak sejak kecil. Selain itu, pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah harus semakin di tambah jamnya, bukan malah dihilangkan dari kurikulum. Selain itu, harus menggunakan bahasa Jawa itu sendiri dalam berkomunikasi sehari-hari. Sebab orang bisa karena terbiasa, jika terbiasa menggunakan bahasa Jawa, akan menjadikan banyak orang Jawa yang pandai menggunakan bahasanya itu dengan tepat sesuai strata yang berlaku. Jika orang Jawa sudah tidak bisa menggunakan atau memakai bahasanya sendiri, maka akan kehilangan jati dirinya atau ilang Jowone.

9. UNGKAPAN ORA ILOK ATAU LARANGAN ORANG JAWA
Ungakapan ora ilok (larangan) dalam bahasa Jawa mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebaikan atau budi pekerti bagi masyarakat Jawa. Ungkapan tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan atau melanggar unggah-ungguh.”

Ungkapan ora ilok di masyarakat Jawa sangatlah banyak, seperti salah satu contohnya larangan untuk tidak berbicara saat makan. Ora ilok mangan karo ngomong ‘tidak baik makan sambil bicara’. Dilihat dari bentuknya, larangan ini berlaku untuk umum, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Larangan ini pun mempunyai makna yang tidak diungkapkan secara langsung. Makna larangan ora ilok mangan karo ngomong ini merupakan ajaran atau nasihat supaya dalam hidup, orang harus bertingkah laku yang sopan dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas. Selain itu, jika larangan itu dilakukan (makan sambil bicara) bisa menyebabkan tersedak.

Ora ilok bocah wedok lungguh karo jigang ‘tidak baik anak perempuan duduk dengan mengangkat kaki’. Dengan melihat bentuk ungkapan di atas, makna ungkapan ora ilok bocah wedok lungguh karo jigang adalah sebagai nasihat orang tua kepada anak gadisnya supaya bersikap sopan, karena tidak pantas jika seorang gadis duduk dengan mengangkat kaki.

Selain dua larangan di atas, ada juga larangan seperti; ora ilok mangan karo mlaku, ora ilok mbuwang uwuh neng longan, ora ilok nyapu bengi-bengi, ora ilok nyugokne geni nggawe sikil, ora ilok ngidoni sumur mengko lambene guwing, ora ilok lungguh neng nduwur bantal mengko wudunen, dan lain sebagainya. 

Larangan-larangan atau ungkapan ora ilok yang sering dikatakan orang Jawa pada jaman dahulu, kini telah mulai sedikit kita dengar. Sudah sedikit orang tua yang menasehati anaknya dengan ungkapan-ungkapan Jawa seperti itu. Hal tersebut membuat anak-anak zaman sekarang sangat kurang sopan santunnya. Oleh sebab itu, orang tua harus sering-sering menashati anaknya dengan larangan-larangan yang sering dipakai orang Jawa jaman dahulu.

10. NULIS AKSARA JAWA
Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal /a/ atau /ɔ/, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi, dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. 

Selain itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung. Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulisbahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca, dan angka Jawa. Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).

Aksara Jawa dinamakan Dentawyanjana atau Carakan, berjumlah 20 buah, yang dimulai dengan aksara ha dan diakhiri aksara nga. Selain Carakan ada aksara murda yang fungsinya untuk penghormatan, aksara swara dan rekan yang keduanya digunakan terutama untuk menulis kata-kata serapan yang ingin ditonjolkan.

Semakin berkembangnya teknologi, kini huruf Jawa bisa ditulis melalui program komputer. Hanya dengan mengetik tombol-tombol di keyboard, sudah bisa muncul tulisan dengan aksara Jawa di komputer. Jadi, orang tidak perlu bersusah payah menuis tulisan Jawa yang cukup rumit. Akan tetapi, hal seperti itu justru membuat orang Jawa seperti jaman sekarang semakin bodoh. Bodoh disini maksudnya, orang Jawa yang semakin susah belajar menulis Jawa secara manual. Karena kemudahan dan kecanggihan teknologi yang membuat orang-orang jaman sekarang semakin malas, malas untuk belajar dan berusaha serta bekerja keras. Orang Jawa jaman sekarang memang sangat berbeda dengan orang-orang Jawa jaman dahulu, yang cenderung suka bekerja keras dan sangat ulet.

Sekarang ini hanya sedikit orang yang bisa menulis aksara Jawa. Jangankan menulis, membaca aksara Jawa saja kesulitan bahkan tidak bisa, apalagi menuliskannya. Maka dari itu, belajar menuis aksara Jawa harus diajarkan kepada anak sejak usia dini, tidak perlu menunggu belajar di Sekolah Dasar. Karena pasalnya, ingatan seorang anak lebih bertahan lama, dibandingkan ingatan orang dewasa. Maka apabila mengajarkan menulis aksara Jawa sejak kecil, kemungkinan anak tersebut akan tetap hafal hingga dia tua nantinya. Dengan begitu, aksara Jawa yang ditulis secara manual tidak akan pernah musnah dari masa ke masa.

11. NUNTUN KENDARAAN NANG LATARE WONG LIYO
Nuntun kendaraan nang latare wong liyo disini adalah larangan menaiki sepeda atau sepeda motor atau kendaraan lain di halaman seseorang.

Manusia Jawa bisa dikatakan sebagai manusia yang mempunyai tipe kepribadian unik. Dikatakan unik karena tingkah laku mereka yang dengan sengaja dilakukan dalam kombinasi berulang-ulang yang jarang dijumpai pada kepribadian manusia lainnya. Misalnya, manusia Jawa melarang seseoran menaiki sepeda onthel, motor atau kendaraan lainnya di halaman rumah seseorang. 

Hal tersebut dilarang karena menurut manusia Jawa hal itu dianggap tidak sopan atau nranyak. Karena itu bila sampai di halaman rumah seseorang, sepeda wajib ditintun, tidak boleh dinaiki. Dan boleh kembali dinaiki manakala telah keluar dari area halaman rumah seseorang.
            
Akan tetapi, di jaman sekarang ini, sudah banyak orang yang lupa dengan tata krama yang cukup sepele seperti itu. Kebanyakan mereka beranggapan tidak terlalu mengganggu bila hanya menaiki sepeda di halaman rumah seseoang. Sifat-sifat seperti itu yang menyebabkan tata krama orang Jawa semakin menurun atau bahkan hilang.

SUMBER REFERENSI
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Supono. 1998. Kemahiran Bahasa Jawa I. Surakarta: UNS.
Zaairul Haq, Muhammad. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Malang: Aditya Media Publishing.

Folkore Semarang : Lunpia


Sejarah berdirinya dinasti “Loenpia Tjoa-Wasi” di Semarang diawali dengan adanya persaingan keras antara Tjoa Thay Joe dengan mbok Wasi. Tentu saja persaingan dalam hal memasarkan dagangan lunpia masing-masing. Keduanya adalah pedagang lunpia kenamaan pada abad ke-19.

Tjoa Thay Joe adalah seorang cina totok berasal dari Fu Kien. Dia menyajikan lunpia dengan rasa sesuai daerah asalnya yakni Hokkian. Sedangkan mbok Wasi, wanita semarang asli, menyajikan lunpia yang rasanya sesuai dengan lidah semarang, yakni nada rasa masing-masing asing. Karena kerasnya persaingan itu, keduanya berlomba meningkatkan mutu barang dagangannya masing-masing. Namun perkembangan selanjutnya sungguh tak terduga.

Tiba-tiba saja Tjoa Thay Joe datang pada mbok Wasi dengan tujuan meminang saingan beratnya itu. Tiada disangka rupanya gayung bersambut, mbok Wasi menerima lamaran. Setelah persaingan dikompromikan dengan perkawinan, selanjutnya resep lunpiapun dipertemukan dalam racikan. Tjoa dari Cina menggunakan babi dan rebung sebagai bahan pembuatan lunpia, sedangkan mbok Wasi dari Semarang menggunakan sayuran (rebung, kol, wortel), telur dan udang. Hasilnya lahirlah lunpia generasi baru yang merupakan perpaduan rasa Hokkian dan Semarangan.

Lunpia era anyar inilah yang menjadi cikal bakal lunpia Semarang yang terkenal sampai sekarang dan tentunya daging babi sudah tidak masuk dalam bahan pembuatan lunpia lagi. Resepnya yang terambil dari kekuatan cinta.

Pada masa kejayaan Tjoa-Wasi, para penggemar Lunpia harus menunggu dulu apabila mereka ingin membeli makanan tersebut. Sebab lumpia masih dijajakan dengan gerobak dorong.

Sistem itu diteruskan oleh anak dan menantu mereka yang merupakan generasi ke-2 dari dinasti loenpia Tjoa-Wasi, yaitu Tjoa Po Nio dan Siem Gwan Sing. Ketika Tjoa Thag Joe meninggal pada tahun 1930, kendali perusahan beralih tangan pada penerusnya.
Sementara Mbok wasi yang menjanda dalam usia 64 tahun hanya bertindak sebagai penasihat saja. Terutama dalam pengolahan lunpia. Cukup lama dia mampu bertahan selama 26 tahun. Pada tahun 1956, pada usianya yang ke-90 tahun, Mbok Wasi meninggal dunia.

Tjoa Po Nio dan suaminya yang mempertahankan resep asli dari orang tua mereka. Resep itulah yang mereka pertahankan dan lestarikan sebagai warisan dari nenek moyang.

Note: Disadur dari tulisan Prof Dr James Danandjaja - Guru Besar Universitas Indonesia