".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Monday 28 September 2015

Mie Ayam


Mie Ayam jenis makanan yang paling populer di Jakarta, begitu dipuja dan berskala luas penyebarannya, entahlah apa daerah lain di luar Jakarta juga memiliki sinyalemen yang sama. Mie ayam di Jakarta mudah ditemui dari komunitas kampung-kampung kumuh sampai dengan kampung nggak kumuh. 

Jenis makanan ini keliatannya mudah meraciknya, tapi tunggu dulu, tidak sembarang orang berbakat meracik mie ayam. Wilayah Bintaro kabarnya adalah gudangnya mie ayam basah dengan racikan dominan daun bawang, sementara wilayah Menteng adalah yang mempelopori mie ayam menggunakan kombinasi kecap dan nyaris tanpa kuah dengan sebutan Mie Yamin. Nama Yamin sendiri diambil dari nama seorang preman kejam dan brutal yang sering malak tukang mie ayam di seputaran Menteng, setelah si Yamin dikasih mie ayam kering berkecap itu dia tidak minta uang lagi sama tukang mie ayam tapi minta tiap siang disediakan dua mangkuk mie ayam kering kecap. Rumornya lagi ada pedagang Mie Ayam yang pake trik belagak blo'on kalo dipalak sama si Yamin, nah Mie Ayam yang pedagangnya belagak blo'on ini kemudian hari dikenal sebagai Mie Blo'on atau Mie O’on yang adanya di deket Theresia, Menteng.

Di seputaran wilayah Kota lama bisa ditemukan ciri khas mie ayam asli. Mie ayam yang asli memang bawaan dari Tiongkok Selatan terutama dari daerah-daerah pelabuhan di Fujian dan Guandong. Setelah gerakan besar imigrasi orang-orang Arab dan Tiongkok tahun 1870 ke Jawa karena politik keterbukaan imigran Pemerintahan Hindia Belanda, berkembanglah dengan pesat kantong-kantong pemukiman penduduk timur asing yang kalo orang kumpeni bilang `Vreemde Oosterlingen'. Meledaknya peningkatan penduduk dari Tiongkok Selatan ini menambah preferensi selera makan karena mereka juga membawa ilmu gastronomi. Apalagi dalam budaya Tionghoa peranakan terkenal dengan budaya menikmati hidup, artinya `Lu kalo makan jangan tanggung-tanggung yang banyak dan enak sekalian'. Bagi kaum peranakan Tionghoa kerja habis-habisan harus diganti dengan makan enak dan hidup nyaman. 

Dari filosofi hidup makan enak lahirlah mie ayam ini. Terciptanya mie ayam dengan rasa khas ini tak terlepas dari gerakan besar masakan `caudo' (lidah melayu menyebutnya 'soto'). `Caudo' melanda nusantara terutama di pesisir Jawa setelah habisnya perang Diponegoro 1825-1830. Awalnya `caudo' dikenal di Lamongan dan Kudus. Jenis caudo ini bening karena mengambil filsafat `wening ingati' atau beningnya hati. Tapi lama kelamaan kuah soto Kudus dan Soto Lamongan tidak sebening di awalnya karena dapat ketambahan bumbu-bumbu (terutama `poya' terbuat dari udang tumbuk seperti ebi). 

Gerakan soto Kudus dan Lamongan pada tahun 1932 di saat jaman pemogokan buruh kereta api di Surabaya, masuk ke beberapa kampung di Surabaya seperti Gundih, Darmo, Waru, Ambengan, dll. Dari situ lahirlah soto Waru, soto Sulung, soto Ambengan, dan yang paling fenomenal adalah `Soto Madura'. 

Soto Madura pada awalnya diracik oleh peranakan Tionghoa Surabaya, namun karena pembantu masaknya orang Madura dan pembantu itu kemudian lepas dari majikannya lalu mempopulerkan masakan itu. Lucunya di kemudian hari jarang yang bikin soto madura itu orang madura asli. Kalo anda mampir makan di soto-soto madura pinggir jalan kebanyakan yang dagang berasal dari Jawa Timur, bukan Madura. Malah juga banyak dari Solo atau Semarang. 

Setelah era soto di tahun 1880 pada suatu perayaan capgomeh di Semarang, Kong Koan (perkumpulan elite Tionghoa peranakan) mengundang ahli masak masakan Tiongkok untuk berlomba. Bahan dasar yang digunakan itu mian (mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen (bihun), mian xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau), juga dipake ravioli alias bianshi yang kalo lidah melayu bilang Pangsit.

Selain bahan berbasis tepung beras lomba itu juga menyajikan perlombaan memasak jenis-jenis tim sum (dim sum) seperti ruo bao (bapao), ruo zong (bacang), nunbing (lumpia). Saat itu hasil perlombaan berlangsung yang memenangkan lomba untuk kategori bahan dasar terigu dan tepung beras adalah peranakan dari Batavia dan pemenang kategori Tim Sum adalah seorang ibu peranakan Tionghoa dari Bandung. Inilah kenapa sebabnya makanan untuk kategori bahan dasar tepung terigu dan beras kelak di kemudian hari dikuasai oleh Jakarta dan Tim Sum yang kemudian melahirkan jenis masakan fenomenal bernama Siomay dikuasai Urang Bandung. Nggak ada yang ngalahin rasanya siomay ikan tenggiri Bandung, tapi jangan bandingin mie ayam bandung dengan mie ayam Jakarta.

Setelah keberhasilan Kong Koan meletakkan dasar-dasar makanan enak, kemudian jaringan makanan enak berkembang pesat tidak lagi dijalankan dengan sistem tradisional yang berupa gendongan / pikulan di pasar-pasar. Modernisasi masakan Tionghoa ini pada awalnya dilawan dengan gerakan masakan gaya Arab. Pusat makanan bergaya Arab ini ada di Solo dan Semarang, tapi yang paling terkenal di Solo makanan yang sampai sekarang masih kita nikmatin sisa-sisa kejayaan makanan arab dan merakyat adalah Tongseng dan Gulai Kambing. 

Jago-jago masak tongseng dan gulai kambing ini sendiri bukan keturunan Arab tapi orang-orang Jawa asli dan mereka kebanyakan dari wilayah Karanggede utara Solo dekat Boyolali. Kejayaan masakan khas Arab pernah dirasakan juga di Jakarta pusatnya ada di wilayah elite Cikini dekat rumah Raden Saleh. Sampai sekarang sisa-sisa itu masih ada. Kalo anda berjalan di sekitar jalan Raden Saleh, banyak makanan khas Arab bertebaran di sana dan resto-nya udah tua-tua. Gerakan masakan Arab yang mundur di tahun 1950-an kemudian digantikan oleh persebaran baru jenis Masakan Padang.

Masakan Padang awalnya berdiri di Senen tahun 1950-an. Wilayah Pasar Senen dulu banyak dihuni pedagang-pedagang dari Minang, dari copet sampe tukang emas semuanya orang minang. Karena orang Minang ini pintar-pintar dan tidak hanya berbakat jadi pedagang, mereka juga pandai bersastra dan juga sering maen film. Maka terbentuklah komunitas gelandangan Senen, ini bukan gelandangan sembarang gelandangan tapi lebih kepada komunitas seniman. 

Tokoh seniman dari Minang yang terkenal dan gemar kongkow sambil kadang-kadang jadi tukang catut banyak banget, sebut aja Chairil Anwar, Djamalludin Malik, Sukarno M Noor (Bapaknya Rano Karno), Adam Malik, kadang-kadang Tan Malaka juga datang ke Senen secara incognito karena diburu-buru intelijen Hindia Belanda. 

Di tahun 1950-an para gelandangan rata-rata udah jadi orang; Adam Malik udah jadi dubes Moskow (jaman Orde Baru dia sempat jadi Wapres), Chairil Anwar udah jadi legenda sastra – dia wafat sekitar tahun 1949 dan dimakamkan di pekuburan Karet, Djamalludin Malik udah jadi produser film besar -nama perusahaannya Persari dan mimpin organisasi budaya muslim 'Lesbumi'. Ketika seniman udah banyak yang jadi orang, tukang-tukang masak Padang juga mulai memperkuat dagangan. Awalnya konglomerasi `Salero Bagindo' dibangun di seputaran Senen, terus hampir seluruh wilayah Jakarta Pusat pada tahun 1970-1980 dikuasai jaringan Salero Bagindo. 

Di saat meledaknya jaringan Salero Bagindo bermuncullah pedagang-pedagang nasi Padang kesohor, baik dari Pariaman yang mempopulerkan sate padang maupun dari Solok yang terkenal ayam bakar dan bareh solok, bareh tanamo. Nama-nama seperti : Singgalang, Goyang Lidah, Ratu Bundo, Sari Ratu, Rajo Salero, berkecambah dimana-mana ditambah popularitas ayam pop keluaran Medan menambah referensi masakan Padang. Kini jenis masakan lokal yang memiliki jaringan kuat di Indonesia hanya ada dua; jenis masakan Padang dan jenis masakan Tionghoa.

Jangan salah, tiap daerah di Jakarta punya ciri khasnya. Inilah kenapa mie ayam-mie ayam lokal mampu unggul sementara selera universal mie ayam dikuasai metodologi bumbu dari resto `GM' dan resto `Es Teler 77'.  Mie ayam di wilayah selatan beda dengan mie ayam di pusat. Mie ayam di pusat lebih dikuasai gaya padat bumbu dan kuahnya condong berwarna hitam ini karena pengaruh penggunaan lada hitam dan bumbu kecap cina yang kental. Sementara wilayah selatan kecap bumbunya agak keemasan dan tidak diberi lada yang banyak tapi cukup bumbu vetsin dan garam serta rasa kuah daun bawang yang kerasa banget, dan inilah alasan kenapa mie ayam di selatan Jakarta agak lebih bening. 

Sementara di perbatasan antara pusat-selatan sendiri yaitu wilayah Menteng, mie ayam-nya merupakan gabungan antara selera selatan dan pusat, jadilah mie ayam khas kecap kering ala Yamin. Dulu antara tahun 1981-1984 di daerah Mampang-Buncit banyak berkeliaran gerobak dagangan mie ayam, warna gerobak itu biru muda, seluruhnya terbuat dari kayu dan berbentuk sangat besar. Gaya masakan mereka mie ayam agak bening dan ada kerupuk mie ayam / kerupuk pangsit-nya enak banget, bahkan kita bisa ambil kerupuk seenaknya dan sebanyak-banyaknya. 

Mie ayam buncit yang enak ini kayaknya sekarang udah tidak ada lagi. Di sekitar Buncit-Mampang memang ada mie ayam tapi tidak ada yang seenak mie ayam khas tahun 80-an. Dulu juga ada di Buncit Empat pas depan jalan (perempatan dengan jalan raya Buncit) mie ayam enak banget yang mempopulerkan mie ayam rasa daun bawang yang racikannya sangat berpengaruh di Bintaro dan Indomie sempat bikin racikan seperti ini. Tapi tukang mie ayam itu sudah tidak ada lagi, cuman bagusnya sisa-sisa mie ayam selera Mampang-Buncit masih ada dan berupa kios kecil, tempatnya di pertigaan Buncit-Duren Tiga. Dulu lokasinya depan jalan masuk Pomad dekat apotik Mataram, namanya `Bakmi Ayam Mataram'. Ini mie ayam enak banget dan pewaris selera mie ayam Buncit-Mampang.

Artikel tulisan oleh Anton Anticelli