".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Monday 7 September 2015

Kue Bacot

Orang Betawi punya sebuah tradisi unik. Kue Bacot. Apa itu Kue Bacot? 

Kue Bacot merupakan tradisi dalam masyarakat Betawi yang dilakukan pasca lamaran seorang pria kepada mempelai wanita. Biasanya kita temui pada masyarakat Betawi yang tinggal di kampung bernama Sudimara Pinang, Tangerang-Banten. Ketika pihak mempelai pria melamar mempelai wanita, itu biasanya diiringi dengan berbagai bawaan makanan dan barang-barang lainnya yang kemudian diserahkan kepada pihak wanita. Yang biasa disebut dengan seserahan. 

Beberapa hari kemudian, mempelai wanita “membalas” seserahan dari mempelai pria itu dengan memberikan berbagai jenis kue tradisional; yang terdiri dari kue geplak, kue cincin, wajik, serondeng, uli, dan dodol. Kue-kue tersebut dikumpul jadi  satu dan ditaruh di bakul (biasanya lebih dari satu bakul), yang kemudian oleh pihak mempelai pria diberikan kepada kerabat-kerabat dekatnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. 

Kerabat-kerabat dekatnya ini, kemudian diharuskan (sudah ada semacam kontrak sosial) mengembalikan bakul kue tersebut dengan menyertakan sejumlah uang didalamnya. Jumlah uang yang harus disertakan tidak ditentukan. Tetapi, jika uang yang diterima oleh si pemberi kue itu nominalnya sedikit, kurang dari biaya membuat kue-kue itu, biasanya ini jadi bahan omongan. Keluhan-keluhan akan rasa tidak senang karena uang yang diberikan tidak sebanding dengan harga kue-kue itu sontak menjadi perbincangan orang-orang kampung. 

“Ahh.. die mah ngasihnye dikit banget, dikata murah apa bikin ni kue”, kira-kira begitu yang dikatakan pemberi Kue Bacot ini setelah menerima bakul yang disertai uang. Begitu pun dengan si penerima kue, jika ia memberikan uang yang sekiranya lebih dari harga kue-kue tersebut, dalam hati kecilnya pasti ada sesuatu yang mengganjal, perasaan tidak ikhlas. Lalu berkata “Ah elah, harusnye bisa buat nyawer ni duit, gegara ni kue jadi kaga jadi. Biarin dah, daripada jadi bahan omongan orang kampung. Emang dasar Kue Bacot!”.

Pergunjingan yang muncul oleh rasa tidak senang karena menerima uang yang tidak sesuai dengan biaya membuat kue-kue disatu sisi, dan karena harus mengeluarkan uang lebih disisi lain, kemudian menjadi dasar penamaan dari kue-kue ini, Kue Bacot! Karena bacot merupakan sebuah kata dari bahasa sehari-hari yang memiliki arti sama dengan banyak bicara.

Secara etik, tradisi Kue Bacot ini dapat dilihat sebagai sebuah penggalangan dana bagi mereka yang hendak menyelenggarakan sebuah pesta perkawinan. Mereka yang ingin menikah, untuk menambah dana pesta pernikahannya, mereka membuat kue dengan beberapa varian seperti yang disebutkan diatas. 

Kue-kue itu, seperti yang sudah dijelaskan, dibagikan kepada kerabat-kerabat terdekat. Kerabat-kerabat ini nantinya diharuskan menyertai uang (tidak ditentukan nominalnya) pada bakul tempat menaruh kue-kue tadi. Dari situ, sebenarnya diharapkan sebuah keuntungan dari biaya pembuatan kue yang nantinya untuk meringankan beban biaya pesta pernikahan. Betawi punye gaye!

Artikel tulisan : Andika Prasatya - Mahasiswa Sejarah UNJ