“…the fate of
nations has often been sealed at a banquet.” (Brillat-Savarin 1970)
Makanan
adalah obyek yang selalu ada dalam masyarakat. Benda umum yang komunal
sepanjang sejarah (Tannahill 1988).
Makanan
dikonsumsi setiap hari untuk mempertahankan hidup, namun sekedar penuh makna
sekunder dan sebatas simbolisme (Fischler 1988 - Mintz dan Bois 2002).
Dahulu kala, makanan (boga) adalah sekedar obyek dari suatu
simbol yang diartikan untuk mempertahankan hidup.
Semenjak tahun 1900, makanan (boga) mulai dikaji para
akademisi yang kontribusinya sangat signifikan, terutama bagi disiplin ilmu
politik.
Paarlberg
(2010), Schanbacher (2010) dan Reynolds (2010) memperkenalkan kembali makanan
sebagai basis ilmu politik yang telah ditinggalkan terbengkalai sejak tahun
1985 oleh Morgenthau, dengan mengusulkan makanan tidak hanya penting untuk
kelangsungan hidup rakyat, tetapi juga proliferasi dari sebuah negara dan
bangsa yang modern.
Sedangkan
Brown (2011) sendiri menunjukkan bahwa kebijakan pangan, ketahanan pangan,
kedaulatan pangan dan semua budaya makan merupakan faktor penentu dari keadaan
kekuasaan dan ketersediaan makanan suatu bangsa.
a.
Kekuatan Prestise
Dasar pemikiran ini merujuk kepada gagasan yang diajukan
Morgenthau dalam bukunya dalam “Politics Among
Nations” (1985) mengenai “Kekuatan
Prestise” suatu negara, yang merupakan proto-konseptualisasi tentang
bagaimana elit politik menggunakan diplomasi kebudayaan dan soft power dalam
mencapai tujuan mereka.
Prestise atau wibawa atau gengsi adalah sebuah kehormatan,
wibawa dan kemampuan yang dimiliki sebuah negara melalui diplomasi yang membuat
dirinya menjadi “berbeda” / istimewa bila dibandingkan dengan negara lain.
Prestise juga kendaraan untuk mencapai kekuasaan di mana elit
dan aktor politik dapat berinteraksi.
Tujuannya untuk mengubah perilaku aktor / elite politik dari
sebuah negara lain melalui persepsi, simbolisme dan budaya.
Interaksi itu dilakukan melalui upacara diplomatik sebagai
bentuk pencapaian prestise yang fungsinya untuk meningkatkan dan menggambarkan
hubungan kekuasaan antara negara, elit dan aktor lainnya.
Seremonial diplomatik berfungsi, baik sebagai barometer kekuatan
prestise untuk hubungan politik, dan sebagai cermin dua arah ranah politik
untuk perebutan dan keunggulan image suatu kekuasan politik (Roosen 1980).
Jika suatu bangsa diperlakukan lebih baik atau lebih buruk
dalam upacara diplomatik, akan menyebabkan hubungan kekuatan politik itu
berubah dan penyimpangan sinyal pergeseran kekuasaan itu akan terlihat di meja
makan.
b.
Diplomasi
Sebelum kita membahas lebih lanjut perihal
Gastro-Diplomasi, perlu dipahami arti dari diplomasi itu sendiri.
Diplomasi pada intinya adalah suatu strategi, taktik dan
siasat untuk melakukan pengorganisasian lobi dan negosiasi dalam menyelesaikan
perbedaan atau menyamakan (memperkuat) persamaan posisi.
Diplomasi,
atau dikatakan juga diplomasi publik, adalah instrument penting dalam negara
melakukan hubungan antar negara.
Instrumen
diplomasi digunakan sebagai perangkat konstruksi kebijaksanan nasional dalam
menjaga keamanan, demokrasi dan stabilitas ekonomi maupun politik dunia.
Diplomasi
adalah soft power yang menandakan kekuatan
nasional suatu negara dalam nilai-nilai global yang menggunakan outlet yang
dipilih untuk mencapai tujuannya.
Misalnya Pemerintah Amerika Serikat melayani
pengaruh-pengaruh di wilayah global melalui beberapa sasaran untuk memperkecil
ancaman terhadap keamanan bangsa.
Disini diplomasi Pemerintah Amerika Serikat dikodekan sebagai
negara yang mempunyai persepsi niat baik, khususnya untuk melawan penyebaran
disinformasi sejak serangan 9/11 di World Trade Center di New York City.
Diplomasi digunakan Pemerintah Amerika Serikat sebagai alat
untuk meningkatkan stabilitas di kawasan regional dan internasional, selain
untuk memperkuat hubungan antar bangsa berkaitan dengan ekonomi, serta
memajukan hubungan politik untuk kepentingan bangsa sendiri dan masyarakat
antar benua.
Pemerintah Amerika Serikat berusaha untuk memahami,
menginformasikan, terlibat, dan mempengaruhi khalayak global, pemerintah asing
untuk mempromosikan apresiasi yang lebih besar dan pemahaman tentang budaya,
lembaga, nilai-nilai, dan kebijakan masyarakat Amerika Serikat.
Bisa dikatakan diplomasi memberikan dasar atau titik awal
untuk memahami pendekatan keadaan tertentu, meskipun beberapa negara mungkin
memiliki alat yang unik dan inklusif, dengan pendekatan yang sama sekali
berbeda untuk mempromosikan solidaritas, demokrasi, keamanan, dan stabilitas
ekonomi melalui instrument diplomasi mereka.
c.
Makanan Sebagai Instrumen Diplomasi
Salah satu aksi diplomasi adalah melalui lensa makanan (boga)
dengan keramah-tamahan budayanya yang dimanfaatkan oleh aktor dan elit politik
suatu negara sebagai bentuk diplomasi pemerintahan yang bersangkutan.
Bentuk dari aksi diplomasi itu adalah melalui makanan (boga)
yang dipresentasikan melalui suatu perjamuan makan bersama. Prestise dan
kewibawaan Pemerintah bersangkutan diterjemahkan ke dalam sebuah perhelatan
makan bersama.
Kekuatan
prestise melalui makanan tidak seperti perwujudan kekuasaan lainnya. Konsep
makanan yang digunakan dalam tindakan diplomasi adalah untuk menarik atau
memaksa aktor dan elit politik (counterpart) mengubah tindakan mereka yang
diperagakan dalam budaya-simbolik dan politik-ekonomi dari makanan itu sendiri.
Kekuatan
prestise menggunakan makanan sebagai media di mana interaksi politik dapat
dikomunikasian dan kekuasaan itu diperagakan (Reynolds 2010).
Disini pemahaman
prestise berpusat pada penggunaan makanan dalam upacara diplomatik untuk
mengamati dan menggambarkan hubungan kekuasaan itu di bidang politik.
Makanan dan
upacara diplomatik memiliki banyak kesamaan dalam menampilkan cara kerja dan
efek prestise dalam diplomasi budaya dengan cara yang unik (Morgenthau 2008).
Representasi
makanan dalam ranah politik melalui upacara diplomatik dimungkinkan karena
ajaran norma lama yang mengatakan diplomat adalah "wakil perwujudan dari wajah kekuatan sebuah Negara berdaulat"
melalui keberadaan mereka (Urbach 2003).
Penggunaan
makanan sebagai brand atau trademark suatu bangsa adalah salah satu alat khusus
dari strategi pemerintah, yang digunakan secara luas dan lebih kuat dibanding
penggunaan diplomasi budaya.
Makanan digunakan sebagai sarana interaksi untuk
mengkomunikasikan ide-ide maupun informasi dalam kepentingan mengakses
counterpart di luar jalur birokrasi yang kaku.
Pada intinya, makanan adalah instrumen kewibawaan suatu
negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari hubungan
internasional dan dalam menterjemahkan aristokrasi politik maupun simbol
kekuasaan budaya suatu negara.
Disamping itu makanan yang dihidangkan merupakan simbol
kekuatan diplomasi dalam bagaimana counterpart melihat dan menilai kekuatan
negara lain mengorganisir kekayaan budaya mereka melalui suatu rangkaian sajian
hidangan.
d.
Gastro-Diplomasi
Gastronomi Diplomasi dalam bahasa kita disebut sebagai
"Diplomasi Melalui Makanan", atau dalam bahasa antar bangsa disebut sebagai
"GastroDiplomacy".
Gastro-Diplomasi
adalah cabang lain dari Diplomasi (atau Diplomasi Publik), di mana soft power
digunakan sebagai alat perang.
GastroDiplomasi adalah kelanjutan dari "instrument
diplomasi tertua" yang memanfaatkan makanan untuk pemahaman lintas budaya
dengan harapan agar meningkatkan interaksi dalam kerja-sama bilateral maupun
multilateral.
Sejak
beberapa tahun terakhir, Gastro-Diplomasi dikonsentrasi sebagai lambang
komunikasi non-verbal yang sangat ampuh dalam berdiplomasi.
Ketika sebuah
negara yang berbangsa memutuskan untuk menggabungkan makanan dengan strategi
diplomasinya, hasilnya adalah Gastro-Diplomasi.
Gastro-Diplomasi
adalah "tindakan memenangkan hati
dan pikiran melalui perut" (Paul Rockower 2011). Di sisi lain Gastro-Diplomasi,
adalah "penggunaan makanan dan
masakan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan
harapan meningkatkan interaksi dan kerjasama" pada level
pemerintah-ke-pemerintah yang lebih tinggi, sebagai lawan dari tingkat pemerintah-ke
–publik (Rockower, 2011).
Gastro-Diplomasi
digunakan tidak hanya terbatas pada eksekusi skala kecil, tetapi juga dapat
dimanfaatkan dalam berbagai representasi dan keterampilan yang menggunakan
aktor dan atau elit negara dan non-negara.
GastroDiplomacy merupakan ekspresi kekayaan dan kekuatan seni
budaya makanan suatu bangsa yang beradab.
Morgan (2008) dalam tesisnya “Diplomatic Gastronomy : Style and Power at the Table”
memperkenalkan istilah Gastro-Diplomasi sebagai simbol kekuatan diplomasi
melalui makanan.
Morgan menggambarkan interaksi
kekuasaan politik suatu Negara berdasarkan prestise yang menggunakan makanan
sebagai media untuk interaksi.
Tesis Morgan merupakan suatu metode untuk menilai bagaimana suatu negara
menilai dan melihat kekuatan negara dan organisasi lainnya. Sejak saat itu
"makanan telah menjadi sarana
pemerintah" (Brillat-Savarin 1970).
Gastro-Diplomasi
muncul sebagai pendekatan baru untuk terlibat dengan komunitas asing dan
budaya.
Atraksinya
dilakukan melalui pagelaran seni makanan dan sedikit taktik diplomasi. Konsep
ini kuno, tapi terminologinya relatif baru.
Platform
Gastro-Diplomasi dikembangkan untuk menunjukkan reputasi budaya sebuah negara,
dari sisi keunikan seni masakannya, yang pada saat yang sama mengekspresikan
kekuatan ekonomi suatu bangsa melalui keahlian memasak dan pariwisata.
Makanan
dimanfaatkan menjadi lambang identitas nasional, yang mana representasi ini
bertujuan untuk mencapai nilai-nilai ekonomi melalui pengakuan global.
Fenomena
Gastro-Diplomasi masih relatif baru untuk dikatakan berhasil membangun citra
suatu negara di panggung dunia internasional. Namun pastinya Gastro-Diplomasi
telah mampu mengangkat semangat nasionalisme dan identitas negara melalui
konvensi sosial seni masakan suatu bangsa.
Tabek