".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Monday, 9 January 2017

Gastronomi & Diplomasi

“…the fate of nations has often been sealed at a banquet.” (Brillat-Savarin 1970)

Makanan adalah obyek yang selalu ada dalam masyarakat. Benda umum yang komunal sepanjang sejarah (Tannahill 1988).

Makanan dikonsumsi setiap hari untuk mempertahankan hidup, namun sekedar penuh makna sekunder dan sebatas simbolisme (Fischler 1988 - Mintz dan Bois 2002).

Dahulu kala, makanan (boga) adalah sekedar obyek dari suatu simbol yang diartikan untuk mempertahankan hidup.

Semenjak tahun 1900, makanan (boga) mulai dikaji para akademisi yang kontribusinya sangat signifikan, terutama bagi disiplin ilmu politik.

Paarlberg (2010), Schanbacher (2010) dan Reynolds (2010) memperkenalkan kembali makanan sebagai basis ilmu politik yang telah ditinggalkan terbengkalai sejak tahun 1985 oleh Morgenthau, dengan mengusulkan makanan tidak hanya penting untuk kelangsungan hidup rakyat, tetapi juga proliferasi dari sebuah negara dan bangsa yang modern.

Sedangkan Brown (2011) sendiri menunjukkan bahwa kebijakan pangan, ketahanan pangan, kedaulatan pangan dan semua budaya makan merupakan faktor penentu dari keadaan kekuasaan dan ketersediaan makanan suatu bangsa.

a.     Kekuatan Prestise
Dasar pemikiran ini merujuk kepada gagasan yang diajukan Morgenthau dalam bukunya dalam “Politics Among Nations” (1985) mengenai “Kekuatan Prestise” suatu negara, yang merupakan proto-konseptualisasi tentang bagaimana elit politik menggunakan diplomasi kebudayaan dan soft power dalam mencapai tujuan mereka.

Prestise atau wibawa atau gengsi adalah sebuah kehormatan, wibawa dan kemampuan yang dimiliki sebuah negara melalui diplomasi yang membuat dirinya menjadi “berbeda” / istimewa bila dibandingkan dengan negara lain.

Prestise juga kendaraan untuk mencapai kekuasaan di mana elit dan aktor politik dapat berinteraksi.

Tujuannya untuk mengubah perilaku aktor / elite politik dari sebuah negara lain melalui persepsi, simbolisme dan budaya.

Interaksi itu dilakukan melalui upacara diplomatik sebagai bentuk pencapaian prestise yang fungsinya untuk meningkatkan dan menggambarkan hubungan kekuasaan antara negara, elit dan aktor lainnya.

Seremonial diplomatik berfungsi, baik sebagai barometer kekuatan prestise untuk hubungan politik, dan sebagai cermin dua arah ranah politik untuk perebutan dan keunggulan image suatu kekuasan politik (Roosen 1980).

Jika suatu bangsa diperlakukan lebih baik atau lebih buruk dalam upacara diplomatik, akan menyebabkan hubungan kekuatan politik itu berubah dan penyimpangan sinyal pergeseran kekuasaan itu akan terlihat di meja makan.

b.     Diplomasi
Sebelum kita membahas lebih lanjut perihal Gastro-Diplomasi, perlu dipahami arti dari diplomasi itu sendiri.

Diplomasi pada intinya adalah suatu strategi, taktik dan siasat untuk melakukan pengorganisasian lobi dan negosiasi dalam menyelesaikan perbedaan atau menyamakan (memperkuat) persamaan posisi.

Diplomasi, atau dikatakan juga diplomasi publik, adalah instrument penting dalam negara melakukan hubungan antar negara.

Instrumen diplomasi digunakan sebagai perangkat konstruksi kebijaksanan nasional dalam menjaga keamanan, demokrasi dan stabilitas ekonomi maupun politik dunia.

Diplomasi adalah soft power yang menandakan kekuatan nasional suatu negara dalam nilai-nilai global yang menggunakan outlet yang dipilih untuk mencapai tujuannya.

Misalnya Pemerintah Amerika Serikat melayani pengaruh-pengaruh di wilayah global melalui beberapa sasaran untuk memperkecil ancaman terhadap keamanan bangsa.

Disini diplomasi Pemerintah Amerika Serikat dikodekan sebagai negara yang mempunyai persepsi niat baik, khususnya untuk melawan penyebaran disinformasi sejak serangan 9/11 di World Trade Center di New York City.

Diplomasi digunakan Pemerintah Amerika Serikat sebagai alat untuk meningkatkan stabilitas di kawasan regional dan internasional, selain untuk memperkuat hubungan antar bangsa berkaitan dengan ekonomi, serta memajukan hubungan politik untuk kepentingan bangsa sendiri dan masyarakat antar benua.

Pemerintah Amerika Serikat berusaha untuk memahami, menginformasikan, terlibat, dan mempengaruhi khalayak global, pemerintah asing untuk mempromosikan apresiasi yang lebih besar dan pemahaman tentang budaya, lembaga, nilai-nilai, dan kebijakan masyarakat Amerika Serikat.

Bisa dikatakan diplomasi memberikan dasar atau titik awal untuk memahami pendekatan keadaan tertentu, meskipun beberapa negara mungkin memiliki alat yang unik dan inklusif, dengan pendekatan yang sama sekali berbeda untuk mempromosikan solidaritas, demokrasi, keamanan, dan stabilitas ekonomi melalui instrument diplomasi mereka.

c.     Makanan Sebagai Instrumen Diplomasi
Salah satu aksi diplomasi adalah melalui lensa makanan (boga) dengan keramah-tamahan budayanya yang dimanfaatkan oleh aktor dan elit politik suatu negara sebagai bentuk diplomasi pemerintahan yang bersangkutan.

Bentuk dari aksi diplomasi itu adalah melalui makanan (boga) yang dipresentasikan melalui suatu perjamuan makan bersama. Prestise dan kewibawaan Pemerintah bersangkutan diterjemahkan ke dalam sebuah perhelatan makan bersama.

Kekuatan prestise melalui makanan tidak seperti perwujudan kekuasaan lainnya. Konsep makanan yang digunakan dalam tindakan diplomasi adalah untuk menarik atau memaksa aktor dan elit politik (counterpart) mengubah tindakan mereka yang diperagakan dalam budaya-simbolik dan politik-ekonomi dari makanan itu sendiri.

Kekuatan prestise menggunakan makanan sebagai media di mana interaksi politik dapat dikomunikasian dan kekuasaan itu diperagakan (Reynolds 2010).

Disini pemahaman prestise berpusat pada penggunaan makanan dalam upacara diplomatik untuk mengamati dan menggambarkan hubungan kekuasaan itu di bidang politik.

Makanan dan upacara diplomatik memiliki banyak kesamaan dalam menampilkan cara kerja dan efek prestise dalam diplomasi budaya dengan cara yang unik (Morgenthau 2008).

Representasi makanan dalam ranah politik melalui upacara diplomatik dimungkinkan karena ajaran norma lama yang mengatakan diplomat adalah "wakil perwujudan dari wajah kekuatan sebuah Negara berdaulat" melalui keberadaan mereka (Urbach 2003).

Penggunaan makanan sebagai brand atau trademark suatu bangsa adalah salah satu alat khusus dari strategi pemerintah, yang digunakan secara luas dan lebih kuat dibanding penggunaan diplomasi budaya.

Makanan digunakan sebagai sarana interaksi untuk mengkomunikasikan ide-ide maupun informasi dalam kepentingan mengakses counterpart di luar jalur birokrasi yang kaku.

Pada intinya, makanan adalah instrumen kewibawaan suatu negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari hubungan internasional dan dalam menterjemahkan aristokrasi politik maupun simbol kekuasaan budaya suatu negara.

Disamping itu makanan yang dihidangkan merupakan simbol kekuatan diplomasi dalam bagaimana counterpart melihat dan menilai kekuatan negara lain mengorganisir kekayaan budaya mereka melalui suatu rangkaian sajian hidangan.

d.     Gastro-Diplomasi
Gastronomi Diplomasi dalam bahasa kita disebut sebagai "Diplomasi Melalui Makanan", atau dalam bahasa antar bangsa disebut sebagai "GastroDiplomacy".

Gastro-Diplomasi adalah cabang lain dari Diplomasi (atau Diplomasi Publik), di mana soft power digunakan sebagai alat perang.

GastroDiplomasi adalah kelanjutan dari "instrument diplomasi tertua" yang memanfaatkan makanan untuk pemahaman lintas budaya dengan harapan agar meningkatkan interaksi dalam kerja-sama bilateral maupun multilateral.

Sejak beberapa tahun terakhir, Gastro-Diplomasi dikonsentrasi sebagai lambang komunikasi non-verbal yang sangat ampuh dalam berdiplomasi.

Ketika sebuah negara yang berbangsa memutuskan untuk menggabungkan makanan dengan strategi diplomasinya, hasilnya adalah Gastro-Diplomasi.

Gastro-Diplomasi adalah "tindakan memenangkan hati dan pikiran melalui perut" (Paul Rockower 2011). Di sisi lain Gastro-Diplomasi, adalah "penggunaan makanan dan masakan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya dengan harapan meningkatkan interaksi dan kerjasama" pada level pemerintah-ke-pemerintah yang lebih tinggi, sebagai lawan dari tingkat pemerintah-ke –publik (Rockower, 2011).

Gastro-Diplomasi digunakan tidak hanya terbatas pada eksekusi skala kecil, tetapi juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai representasi dan keterampilan yang menggunakan aktor dan atau elit negara dan non-negara. 

GastroDiplomacy merupakan ekspresi kekayaan dan kekuatan seni budaya makanan suatu bangsa yang beradab.

Morgan (2008) dalam tesisnya “Diplomatic Gastronomy : Style and Power at the Table” memperkenalkan istilah Gastro-Diplomasi sebagai simbol kekuatan diplomasi melalui makanan.

Morgan menggambarkan interaksi kekuasaan politik suatu Negara berdasarkan prestise yang menggunakan makanan sebagai media untuk interaksi. 

Tesis Morgan merupakan suatu metode untuk menilai bagaimana suatu negara menilai dan melihat kekuatan negara dan organisasi lainnya. Sejak saat itu "makanan telah menjadi sarana pemerintah" (Brillat-Savarin 1970).

Gastro-Diplomasi muncul sebagai pendekatan baru untuk terlibat dengan komunitas asing dan budaya.

Atraksinya dilakukan melalui pagelaran seni makanan dan sedikit taktik diplomasi. Konsep ini kuno, tapi terminologinya relatif baru.

Platform Gastro-Diplomasi dikembangkan untuk menunjukkan reputasi budaya sebuah negara, dari sisi keunikan seni masakannya, yang pada saat yang sama mengekspresikan kekuatan ekonomi suatu bangsa melalui keahlian memasak dan pariwisata.

Makanan dimanfaatkan menjadi lambang identitas nasional, yang mana representasi ini bertujuan untuk mencapai nilai-nilai ekonomi melalui pengakuan global.

Fenomena Gastro-Diplomasi masih relatif baru untuk dikatakan berhasil membangun citra suatu negara di panggung dunia internasional. Namun pastinya Gastro-Diplomasi telah mampu mengangkat semangat nasionalisme dan identitas negara melalui konvensi sosial seni masakan suatu bangsa.

Tabek