Negara Indonesia terbentuk karena faktor sejarah. Bukan karena faktor suku, bukan karena faktor etnis, bukan karena faktor ras dan bukan karena faktor agama.
Sejarah karena adanya kekayaan rempah-rempah di kepulauan Nusantara seperti di wilayah Timur Indonesia yaitu Ternate dan Tidore, maupun adanya bandar-bandar laut di pesisir Indonesia sebagai tempat diperdagangkannya rempah-rempah itu.
Kekayaan rempah-rempah mendorong negara-negara Eropa ingin menguasai wilayah Nusantara yang difantasikan sedemikian rupa sebagai makanan surga. Kisah-kisah rempah-rempah sengaja dibuat seheboh mungkin, agar harga jualnya di benua Eropa semakin mahal, dan orang-orang Eropa tidak berminat mencarinya, karena begitu sulit untuk mencapainya.
Kisah-kisah tersebut akhirnya makin terkikis setelah orang Eropa tergoda untuk membuktikannya, sehingga mereka pun melakukan penjelajahan samudera. Akhirnya mereka pun berhasil mencapai daerah asal rempah-rempah yaitu Ternate dan Tidore.
Dengan penemuan lokasi asal rempah-rempah, maka muncullah keserakahan bangsa Eropa untuk memonopoli sehingga menimbulkan konflik dengan penduduk setempat. Lahirlah kemudian yang kita kenal dengan kolonialisme.
Kolonialisme mempunyai antitesis nasionalisme. Dengan nasionalisme inilah, penduduk Nusantara merasa senasib sebagai korban kolonialisme, rela bersatu menjadi bangsa dan warga negara Indonesia.
Kekayaan rempah-rempah itu merupakan mahakarya manusia yang menghasilkan negara Indonesia yang perjuangannya dilalui melalui renteten perjalanan sejarah.
Sejak diproklamirkan kemerdekaan, Indonesia menganut falsafah bahwa hanya ada satu bangsa di wilayah negara Republik ini yaitu *"Bangsa Indonesia"*.
Apapun suku dan sub-sukunya, termasuk etnik pendatang yang telah ada ratusan tahun, menjadi bagian dari sejarah kebangsaan Republik ini.
Kesepakatan itu sesuai dengan tekad para pemimpin Indonesia yang tercetus dalam “Sumpah Pemuda” tahun 1928.
Karena Indonesia terbentuk dari faktor sejarah, maka pengakuan terhadap semua suku dan sub-sukunya, termasuk ke-empat etnik pendatang (Arab, India, Tionghoa & Belanda) adalah "Mutlak".
Oleh karena itu hari kebesaran agama semua suku dan sub-sukunya, termasuk ke-empat etnik pendatang, adalah hari kebesaran agama milik kita semua, bangsa Indonesia.
Bangsa ini mempunyai keyakinan asal dan tekad :
"Dari yang banyak, bersatu dan tak terpisahkan .. INDONESIA .. Satu Negara, Satu Bangsa dan Satu Jiwa .. Di manapun juga ia ditempatkan, ia akan tegak .. Setia tak tergoyahkan .."
Pada kesempatan emas ini, ijinkan saya mewakili teman-teman Indonesian Gastronomy Association (IGA) mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada para anggota IGA dan sahabat masyarakat Tionghoa di Indonesia :
“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang”
Yang berarti semoga sukses selama-lamanya & selalu dalam keadaan sehat