Biasanya menjelang hari besar Imlek, warga Tionghoa akan sibuk berbenah, membersihkan rumah, mengecat rumah, mempersiapkan angpao, dan membeli baju baru. Dan, kegiatan yang paling penting ialah mempersiapkan berbagai makanan untuk upacara. Sama seperti makanan untuk upacara adat atau keagamaan lainnya, makanan khas Imlek juga sarat makna simbolik.
Hidangan yang disajikan biasanya berjumlah minimal 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ini mewakili lambang-lambang dari shio yang berjumlah 12. Diantaranya yang memiliki perlambang ialah mie, melambangkan panjang umur dan kemakmuran. Kue lapis atau lapis legit juga disediakan. Konon kehadiran kue itu sebagai perlambang datangnya rezeki yang berlapis-lapis. Kue mangkok, kue moho dan kue keranjang, biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue moho atau kue mangkok yang diberi merah pada bagian atasnya. Harapan yang terkandung di situ adalah kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok.
Agar pikiran menjadi jernih sepanjang tahun ini disertakan pula manisan kolang-kaling. Ada pula agar-agar yang dicetak bentuk bintang, merupakan simbol kehidupan yang terang. Hidangan camilan yang tidak pernah ketinggalan adalah kuaci, kacang dan permen.
Semua hidangan untuk persembahan diatur di atas meja sembahyang. Lalu, seluruh angota keluarga berkumpul dan berdoa memanggil arwah para leluhurnya untuk menyantap sajian yang disuguhkan. Setelah upacara sembahyang usai, makanan yang tersaji di meja upacara kemudian dibagikan kepada kerabat dan handai taulan.
Meski hidangan favorit leluhur selalu disediakan di meja sembahyang, tetapi ada juga hidangan yang dihindari sekalipun disukai. Bubur, misalnya. Hidangan ini melambangkan kemiskinan, hingga tidak boleh hadir dalam hidangan sembahyang maupun suguhan Tahun Baru Imlek.
Kata “Imlek” sebenarnya berasal dari dialek bahasa Hokkian yang berarti "penanggalan bulan" atau “yinli” dalam bahasa Mandarin. Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan “Chunjie” (perayaan musim semi). Kegiatan perayaan itu disebut “Guo nian” (memasuki tahun baru), sedang di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “Konyan”.
Apabila orang ingat Imlek otomatis ingat Angpauw (Hokian) atau Hong Bao (Mandarin) yang artinya amplop merah berisi uang yang merupakan simbol dari keberuntungan dan melindungi anak-anak dari roh jahat. Selain Angpauw, tradisi budaya Imlek mewajibkan masyarakatnya melakukan silahturahmi untuk prosesi "Tee-pai", yang mirip prosesi adat sungkem di kalangan orang Jawa.
Prosesi Tee-pai ini dilakukan dengan cara soja yakni tunduk (membungkuk) sambil memberi hormat dengan berdasarkan pedoman “YANG” memeluk “YIN”, yakni tangan kanan dikepal kemudian tangan kiri menutupi tangan kanan. Jari jempol berdiri lurus, dan menempel keduanya.
Soja kepada yang lebih tua sejajar mulut; soja kepada yang seumuran sejajar dada; soja kepada yang lebih muda sejajar perut; soja kepada para dewa sejajar mata; soja kepada Tuhan di atas kepala.
Di waktu silaturahmi inilah dilakukan pemberian Angpauw dan Tee-pai tersebut. Menurut adat kuno, yang boleh pergi keluar bersilaturahmi di hari pertama tahun baru Imlek, hanya kaum pria saja, tetapi sekarang adat ini sudah tidak berlaku lagi. Dan yang wajib dikunjungi secara berturut-turut adalah orang tua suami, setelah itu baru orang tua isteri. Lalu ke sanak keluarga lainnya.
Terkait dengan tradisi pesta ini, apa yang menjadi gastronomi makanan di hari raya tahun baru Imlek itu ?
Pastinya kueh keranjang (nian gao). Kata "kue" atau gao memberikan makna yang sama dengan kata dan arti "tinggi", sedangkan kata nian berarti "tahun" jadi secara simbolis diharapkan jabatan maupun kemakmuran semakin tahun dapat naik semakin tinggi. Oleh sebab itu tidak heran bila kita lihat di Kelenteng banyak kueh keranjang yang dijadikan sesajen disusun secara bertingkat.
Kue keranjang mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, enam hari menjelang Tahun Baru Imlek (Jie Sie Siang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang Tahun Baru Imlek. Kue keranjang yang dijadikan sesaji sembahyang ini, biasanya dipertahankan tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15).
Di malam tahun baru orang-orang biasanya bersantap di rumah atau di restoran. Setelah selesai makan malam mereka bergadang semalam suntuk dengan pintu rumah dibuka lebar-lebar agar rezeki bisa masuk ke rumah dengan leluasa.
Disamping itu berdasarkan mitos atau dongeng Dewa yang paling bisa mengetahui, keadaan di rumah kita adalah Dewa Dapur "Zao Wang Ye“ (Ciao Ong Ya dalam bahasa Hokkian) sebab segala macam gosip biasanya banyak disebar luaskan pada saat orang sedang kongkouw-kongkouw di dapur.
Setahun sekali sang Dewa Dapur ini pulang mudik cuti ke langit untuk sekalian laporan ke penguasa Sorga. Menurut legendanya, sang Dewa Dapur ini terkesan reseh dan bawel, maka dari itu untuk menghindar agar sang Dewa tidak memberikan laporan yang ngawur, maka disumpal terlebih dahulu dengan kue keranjang agar mulutnya jadi lengket dan akhirnya tidak bisa banyak bicara dan kalau bisa bicara sekalipun pasti hanya hal yang manis-manis saja.
Oleh sebab selalunya diatas altar sang Dewa Dapur sering diletakan kertas yang bertulisan: "Dewa yang mulia, ceritakan hanya kebaikan kami saja di langit dan bawalah berkat kembali apabila Anda turun dari langit".
Makanan lainnya yang sering disajikan menjelang Imlek adalah ikan bandeng, sebab ikan ini melambangkan rezeki. Dalam logat Mandarin, kata "ikan" sama bunyinya dengan kata "Yu" yang berarti “sisa”. Seperti juga kata "Yu" yang sering tercantum di lukisan gambar sembilan ikan, disitu tercantum "Nian Nian You Yu" yang berarti “setiap tahun selalu ada (rezeki) sisa”.
Selain ikan bandeng, makanan wajib lainnya yang disuguhkan adalah jeruk kuning, yang lazim disebut sebagai "jeruk emas" (Jin Ju). Kalau bisa dicarikan jeruk yang ada daunnya sebab itu melambangkan kekayaannya akan bertumbuh terus. Kata “jeruk” dalam bahasa Tionghoa bunyinya hampir sama dengan “Da Ji”, sedangkan arti kata dari “Da Ji” itu sendiri berarti besar rejeki.
Sedangkan untuk buah “Apel” (pin guo) mempunyai arti "Ping Ping An An" sama artinya dengan "Da Li" yang berarti besar kesehatannya dan keselamatannya dan untuk buah pear melambangkan kebahagian yang atinya "Sun Sun Li Li".
Oleh sebab itu ketiga macam buah ini selalu menghiasi meja sembahyangan yang mengartikan "Da Ji Da Li Sun Sun Li Li" (besar rejeki, besar kesehatan & keselamatannya dan besar pula kehabagiaannya)
Begitu juga dalam memberikan entah itu uang ataupun barang maupun buah-buah sebaiknya dalam kelipatan dua jadi angka genap begitu, sebab terdapat sebuah pepatah Tionghoa terkenal yang berbunyi "Hao Shi Cheng Shuang", yang secara harafiah dapat diartikan "Semua yang baik harus datang secara berpasangan".
Dan agar rezekinya tidak tersapu habis keluar, maka diwajibkan menyembunyikan sapu, karena ada pantangan dimana tidak boleh menyapu dalam rumah pada hari Imlek dan dua hari sesudahnya.
Sudah tentu pada hari raya Imlek sebaiknya pasang petasan, karena ini bisa mendatangkan keberuntungan dan perdamaian sepanjang tahun. Petasan sudah ada sejak Dinasti Tang (618-907). Konon menjelang tahun baru Imlek sering berkeliaran monster jahat yang bernama Guo Nien, hanya sayangnya monster ini masih kurang sakti, sehingga selalu ngacir ketakutan apabila
mendengar bunyi mercon, apalagi kalau melihat cahaya kilat yang keluar dari ledakan mercon tersebut.
Pada jaman baheula dahulu kala di hari raya tahun baru Imlek selalunya para leluhur saling mengucapkan “Sin Cun Kiong Hie” (Xin Chun Gong Xi) yang berarti selamat menyambut musim semi atau selamat tahun baru.
Tetapi ucapan demikian sekarang udah kuno dan tidak trendi lagi, karena telah diganti dengan “Gong Xi Fa Cai” atau (Kiong Hie Hoat Cay) yang berarti semoga sukses selalu atau selamat jadi kaya.
Pada kesempatan emas ini, ijinkan saya mewakili teman-teman Indonesian Gastronomy Association (IGA) mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada para anggota IGA dan sahabat masyarakat Tionghoa di Indonesia :
“Gong Xi Fa Cai – Wan Shi Ru Yi - Shen Ti Jian Kang”
Yang berarti semoga sukses selama-lamanya & selalu dalam keadaan sehat