Kalau melihat peta Indonesia, maka di bagian Selatan terlihat untaian kepulauan dari Jawa di bagian Barat sampai Kepulauan Maluku Tenggara di Timur. Pulau-pulau ini walaupun letaknya berjajaran, namun jika diurut dari Barat ke Timur memiliki perbedaan yang cukup besar.
Kalau dunia flora dan fauna memiliki garis Wallace dan garis Weber yang membatasi Indonesia Barat, Tengah, dan Timur, maka ada baiknya untuk membuat 'Garis Seni Masakan' yang menandakan perubahan makanan dari kepulauan-kepulauan yang ada di Indonesia, karena di setiap daerah masing-masing suku memiliki ciri khas makanannya, baik itu makanan berat, makanan ringan, atau sekedar minuman.
Untuk Indonesia bagian Barat (Sumatera), masakan Melayu memegang peranan penting karena kentalnya percampuran budaya Melayu, India, dan Timur Tengah, makanannya cenderung pedas, berlemak, dan kuat dalam penggunaan rempah - rempahnya. Ciri khas utamanya adalah makanan berkuah berbasis santan yang disebut gulai. Dari Sumatera, pengaruhnya masih terasa sampai di kepulauan Sunda dan Jawa.
Sumatera bagian utara (Aceh dan Sumatera Utara) yang didominasi penggunaan bumbu Timur Tengah dan India. Sementara bagian tengah (Sumatera Barat dan Riau) bumbunya tidak sekuat bagian utara. Adapun Sumatera bagian selatan (Jambi, Bengkulu, Palembang, dan Lampung) bumbunya ringan dan segar. Satu hal yang menjadi benang merah adalah penggunaan cabai yang hampir pasti ditemukan dalam setiap masakan Sumatera.
Namun, di Pulau Jawa rasanya sudah tidak mengandalkan lemak kelapa, tetapi tarikannya lebih cenderung manis. Orang Jawa rupanya lebih suka tarikan rasa manis daripada Sumatera, sehingga banyak teknik memasak dan bahan seperti kecap yang membawa citarasa makanan menjadi cenderung manis. Orang Sunda di Jawa Barat makanannya cenderung 'natural saja', lalapan, tempe-tahu, dan sambal.
Makin jauh ke dalam Jawa Tengah (misalnya: Solo dan Yogya), makin kentara rasa manis ini. Sampai-sampai kalau pesan minuman teh pasti disajikan teh manis, karena mereka menganggap tidak masuk akal minum teh yang tidak manis.
Kalau bergerak ke Timur kepulauan Jawa, terlihat Jawa Timur punya rasa yang lain. Disini, rasanya sudah mulai tajam - misalnya dengan kehadiran petis. Dibanding Jawa Tengah, rasa manis sudah berkurang, diganti rasa pedas dan tarikan sedikit asam. Ini menunjukan bahwa pengaruh Melayu sudah mulai berkurang, diganti pengaruh Timur.
Lompat dari kepulauan Jawa ke kepulauan Bali, ada sebuah lonjakan besar dalam citarasa. Oleh karena itu diantara kepulauan Jawa dan kepulauan Bali inilah sebaiknya dibuat 'Garis Seni Masakan' karena disinilah batas tarikan rasa Indonesia Barat dan Timur yang secara jelas punya celah antropologis hubungan kuat antara seni masakan orang Bali dan orang Jawa.
Makanan Bali menjadi berbeda dengan makanan Jawa, salah satu tandanya adalah kehadiran sambal matah. Sambal yang serupa - bening, tidak berwarna merah, rasanya cenderung pedas asam dan menyegarkan - dapat ditemui dari Bali, Flores, Sumba, sampai Manado. Padahal, sambal jenis ini nyaris tidak dikenal di Jawa. Ini menandakan pergeseran selera makan dari merah, panas, pedas ke bening, asam, pedas. Sambalnya lebih 'menyegarkan' daripada memeras keringat, dan pedasnya lebih tajam, sementara di Jawa pedasnya lebih ke 'panas'. Dengan demikian, citarasa masakan keseluruhan menjadi berubah.
Apalagi penggunaan bumbu dalam masakan Bali terutama yang tradisional. Sebagai contoh bumbu pada masakan Bali seperti Bebek Betutu adalah cerminan dari bumbu masakan Jawa Kuno, yang buat sebagian orang mirip jamu. Jenis dan metode tersebut dibawa oleh penduduk dan bangsawan Majapahit yang berpindah ke Bali dahulu kala saat terdesaknya agama Hindu di pulau Jawa.
Lihat saja masakan Bali: sate lilit, tum daging, dan sup ikan timbungan. Citarasa manisnya sudah jauh berkurang, dan unsur santan nyaris tidak ada. Adapun tidak sebagai kuah, namun sebagai bumbu. Untuk rasanya, bumbu-bumbu yang digunakan lebih tajam aromanya.
Tidak hanya cita-rasa, keadaan geografi pun mempengaruhi makanan khas suatu daerah. Antara perilaku yang dipengaruhi letak geografisnya juga akan memotivasi kebutuhan tubuh akan makanan dan saringannya adalah lidah yang menciptakan cita rasa itu. Di Banjarmasin misalnya, karena dikenal sebagai Kota Seribu Sungai, hidangan yang terbuat dari ikan air tawar mendominasi seni masakan di daerah ini.
Namun selain ada 'Garis Seni Masakan', lebih baik lagi jika garis cita-rasa itu di lindungi secara Hak Kekayaan intelektual (HKI) khususnya Hak Merek qq indikasi geografis, mengingat manfaat yang diperoleh setelah mendapat perlindungan itu akan memberi keuntungan ekonomis kepada masyarakat setempat.
Cheers
Catatan :
Artikel ini disortir dari tulisan Harry Nazarudin dan berbagai masukan lainnya