".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 23 January 2016

Tradisi Makan di Tanah Air


Kebiasaan menyantap makanan pun tak luput dari balutan tradisi khas negeri ini. Tidak  hanya kaya dengan jenis-jenis makanannya, tapi tata cara menyantapnya juga kerap dipenuhi dengan berbagai kebiasaan yang terbilang unik.

Setiap negara pasti menyimpan tradisi makan yang berbeda-beda, tak terkecuali di Indonesia.  Tata cara makan memang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat. Jadi, walaupun perkembangan zaman kian pesat , tetap saja unsur budaya tak bisa 100 persen luntur begitu saja, pasti ada saja yang mereka ingat dan mungkin masih dilakukan hingga saat ini.

Nah, yang menarik dari tata cara santap-menyantap makanan ini ternyata memiliki alat atau kelengkapan piranti saji makan yang beragam. Dan kebanyakan dari kelengkapan tersebut  memiliki bentuk dan bahan dasar yang unik, yang mungkin lain dari perlengkapan makan modern yang sering ditemui sehari-hari, antara lain :

DAUN JATI
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk alas makanan. Uniknya, makanan yang dibungkus dengan daun jati itu akan terasa lebih nikmat, wangi, dan tahan lama. Contohnya makanan khas daerah Cirebon, yaitu Nasi Jamblang. Daun jati yang digunakan sebagai pembungkus atau alas makanan adalah daun yang masih muda karena tekstur daun terasa lebih ulet dan tidak mudah robek.

DAUN PISANG
Selain daun jati, yang sering digunakan untuk pembungkus atau alas makanan khas Tanah Air adalah daun pisang. Daun ini dapat digunakan untuk pembungkus beberapa jenis makanan, seperti lemper, tempe, nagasari (kue pisang), nasi bakar, kue lampu-lampu dari Manado, nasi kucing, dan lain sebagainya. Daun pisang akan semakin kuat dan elastis jika terlebih dahulu dipanaskan di atas api kecil, atau dijemur hingga layu.

Untuk tradisi ini pasti Anda masih sering menemukannya, dan jika Anda mengamati detail, sebenarnya daun pisang ini sebelum digunakan kerap dibentuk hingga menjadi wadah yang diinginkan. Misalnya bentuk takir, yang proses pembentukannya dengan cara menggunting daun pisang berbentuk persegi, lalu dilipat kedua ujungnya hingga membentuk wadah kotak tak bertutup. Agar kuat, biasanya ujung lipatan tersebut dikunci dengan cara ditusuk lidi.

Ada juga bentuk Sami, yaitu daun pisang yang dibentuk lingkaran. Biasanya sami digunakan sebagai alas agar makanan tidak langsung menyentuh wadahnya yang berbentuk bundar.  Tak hanya itu, pembungkusan daun pisang ini banyak caranya, tapi sayang sebagian besar nyaris punah karena jarang dipakai.

Tapi Prof Dr Florentinus Gregorius Winarno, pakar ilmu teknologi pangan, dalam sebuah handout (selebaran berisi tentang bagian materi pelajaran kutipan, tabel, dan sejenisnya) yang berjudul Tumpeng Offering, mendokumentasikan berbagai macam teknik membentuk daun pisang tersebut. Tercatat ada sekitar 12 teknik bungkus asli Indonesia  yang hingga kini masih kerap digunakan, misalnya, bentuk ceper, tum, bongko bali, dan lain sebagainya.

INGKE BALI
Piring tradisional yang satu ini, tentulah sudah tidak asing lagi di tanah Bali. Ingke adalah nampan atau juga piring yang terbuat dari anyaman lidi daun kelapa. Pada mulanya, ingke dipergunakan sebagai tempat sesajen oleh ibu-ibu di Bali, di samping sebagai perabotan rumah tangga sebagai tempat berbagai macam makanan atau jajanan, buah-buahan dan bumbu dapur.

Di zaman modern ini, ingke menjadi perabotan yang memiliki nilai unik bahkan mewah. Apalagi, di kalangan rumah tangga di perkotaan, ingke justru mendapat tempat istimewa di antara perabotan rumah tangga lainnya. Piring tradisional ini masih kerap digunakan pada restoran-restoran, acara adat setempat atau bahkan untuk Anda gunakan sehari-hari di rumah.

OHATE
Ohate adalah piring khas milik Suku Sentani di Papua. Piranti saji piring yang terbuat dari kayu ini biasanya dihiasi berbagai macam jenis ukiran khas suku, yang mengandung makna-makna tertentu.

Walaupun keberadaan piring ini sudah jarang terpakai, atau lebih sering menjadi suvenir khas Papua, namun dulu ohote biasanya digunakan menaruh ikan atau daging untuk dimakan bersama-sama oleh 4 atau 5 orang.

Tata cara makan ini memiliki maksud agar kebersamaan atau jalinan ikatan kekeluargaan  semakin erat. Bagi Anda yang ingin melestarikan tradisi makan ala Suku Sentani, langsung saja cari piring ini di toko-toko souvenir khas daerah Indonesia terdekat.

BAJAMBA ATAU BARAPAK MINANGKABAU
Membahas kelengkapan piranti saji alat makan tradisional, tentu tak lengkap rasanya jika tak membahas tradisi makan itu sendiri. Salah satu yang menarik dari tradisi makan yang dimiliki negeri ini adalah makan bajamba atau juga disebut makan barapak khas masyarakat Minangkabau.

Tradisi makan bersama ini, dilakukan dengan cara duduk bersama-sama dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan. Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya. Secara harafiah makan bajamba mengandung makna sangat dalam, dalam tradisi makan bersama ini akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial.

Makan Bajamba pada umumnya diikuti puluhan hingga ratusan orang yang kemudian dibagi dalam beberapa kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari 3 sampai 7 orang yang duduk melingkar, dan di setiap kelompok telah tersedia satu dulang yang di dalamnya terdapat sejumlah piring yang telah berisikan nasi dan berbagai macam lauk. Makan bajamba biasanya dibuka dengan berbagai kesenian Minang, kemudian diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran, hingga acara berbalas pantun.

Tradisi berbalas pantun dilakukan sebelum proses Makan Bajamba dimulai. Dengan bahasa daerah setempat, nada, serta intonasi yang diakhiri dengan bunyi yang sama, mengandung kekayaan budaya Melayu yang khas. Mungkin bagi orang yang mengerti bahasa setempat menjadi lebih indah dalam menyelami bunyi dan makna.

Tradisi ini diyakini berasal dari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, dan diperkirakan telah ada sejak agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7.

Oleh karena itu, adab-adab yang ada dalam tradisi ini umumnya didasarkan pada ajaran Islam terutama hadits. Beberapa adab dalam tradisi ini di antaranya seseorang hanya boleh mengambil apa yang ada dihadapannya setelah mendahulukan orang yang lebih tua mengambilnya.

Artikel ini diambil dari Koran Jakarta,  Kamis, 27 Pebruari 2014