Saya berasal Surabaya, tetapi sejak tahun 50an sering ke Semarang untuk bersambang keluarga dan setiap kalinya ke Semarang tidak luput dihidangkan lumpia gang lombok atau yang sekarang telah menyebar clone-nya di kota Semarang. Lunpia Semarang gang lombok paling enak dan juga paling mahal dijual - tidak ada yang menandinginya, sekalipun punya saudara clone-nya. Rahasianya terletak pada rebungnya - ia hanya pakai satu jenis rebung. Meskipun paceklik , ia selalu punya stock dalam bentuk rebung yang sudah diasini dalam gentong gentong kuno. Waktu panen ia beli sebanyak-banyaknya.
Namun membandingkan lumpia sekarang yang mahal, kecil, bahannya sangat sederhana tidak mengandung apa apa yang istimewa, sama sekali tidak lagi seperti yang aslinya beberapa puluh tahun yang lalu. Lumpia yang sekarang disebut Semarang itu bukanlah ciptaan orang Tionghoa Semarang per se, tetapi berasal dari Hokkian yang dibawa Tanglang untuk makanan Ceng Bing setelah pulang dari kuburan, yang artinya pia musim semi, lun (lum) adalah musim semi, bisa dimakan basah maupun digoreng untuk yang tersisa lewat malam supaya tidak basi.
Cara makannya secara tradisional yang pernah saya alami sewaktu kecil, adalah meletakkan kulitnya diatas telapak tangan kiri, lalu meletakkan lauknya yang cukup banyak diatasnya, terus dilipat seperti burrito Mexico yang besar, terus dimakan dengan batang batang bawang daun, sedangkan bumbu tauco sudah disiramkan didalamnya sebelumnya, bukan ditutulkan seperti cara Baba sekarang lakukan.
Memasaknya dengan bahan isinya yang mengandung "sedikit" rebung bamboo shoot, sedikit wortel, tetapi pada umumnya adalah kecamba, tahu kering yang sudah dimarinate yaitu tau-koa, udang kering dan udang besar, daging babi masak kecap, bunga kiemcam kering, kadang ada kacang, dan lain sebagainya yang saya sudah lupa, lalu berulang-ulang dimasak diwajan besar dengan banyak minyak dan airnya, sehingga sungguh sungguh merasuk rasa kecap dan rempah rempag go-hiong nya. Setelahnya didinginkan, lalu rahasianya, semua bahan jadinya itu dimasukkan bungkusan kain besar, lalu diperas sampai kering, maka itu jadinya tidak bertetesan.
Tidak ada yang disebut pakai rebung spesial, yang difermentasi, yang ini atau yang itu, itu apus-apusan doang, supaya bikin lumpia gang lombok angker saja. Rebung yang dipakai adalah rebung asal saja yang cukup muda. Yang penting adalah cara pengolahannya seperti saya sebutkan diatas, memasaknya kira kira sampai 2 (dua) harian supaya rasanya sungguh merasuk dan cukup minyak, air, bumbu gohiong dan kecapnya.
Sekarang kalau bilang lumpia semarang berarti burrito bamboo shoot, sudah maleh dari rasa puluhan tahun lalu. Kalau masih mau merasakan lumpia yang cukup asli seperti di Tiongkok, kapan hari masih terdapat di Pasar Atom Surabaya. Anehnya kalau sungguh sungguh mencarinya di Hokkian, ngak gampang, karena disana adalah makanan Ceng Bing habis kembali dari kuburan dan pada umumnya dibuat disetiap rumah tangga sendiri sendiri. Maka lumpia ala Semarang sekarang itu hanya sekedar makanan keturunan Tanglang diperantauan.
Selain lumpia yang di gang lombok, ada lagi, tahu petis yang jalan Mataram. Meskipun cuma tahu petis, tapi rasanya jangan tanya. Dimakan besoknya, rasa tidak akan berubah. Inilah tahu pong Semarang yang legendaris itu. Orang antri bisa 1 jam lamanya, karena 1 orang biasanya beli antara 30-60 tahu (dibawa pulang ), bahkan banyak yang beli 100 tahu. Selain itu, kalo sudah pesan dan mau tambah, tacik itu malah marah, bisa dibentak (galak).
Rupanya, disini tidak berlaku pameo : Pembeli adalah raja, melainkan PENJUAL ADALAH RAJA. Selain itu, dia buka warung, TEPAT jam 6 sore, tidak perduli dia sudah siap en pembeli sudah antri panjang. Sungguh warung tahu petis ini istimewa dan merusak pameo lama.
Wedang kacang ijo-nya juga enak, rasa manisnya pas .... ciamik lah....!!!
Kalau cerita titee mie Semarang, walaupun sama-sama bakmi, tapi cara olahannya ada macammacam. Kelihatannya bakmi titee itu hanya dibuat oleh orang Semarang, tapi kalau mau mencoba, memang terasa enak sekali. Apalagi kalau kita suka makan kaki babi, terutama waktu sembahyang leluhur dimana kaki babi dimasak dengan rebung Tiongkok ditambah hioko, swalo (teripang), juhi dan tiram kering.
Disamping itu juga orang Semarang suka makan pepes telur kodok. Di Jakarta saya sudah coba bakmi titee demikian pula pepes telur kodok, tetapi yang belakangan ini saya kurang suka. Di Padang ada orang bikin bakmi goreng pakai lapyuk (samcan asin), itu resep tiga generasi. Saya suka lapyuk karena sedikit wangi dan lemaknya justru sangat gurih. Dulu banyak orang jual lapyuk dipasar, sekarang hanya satu dua toko yang sedia lapyuk dekat sinchia di Gang Ribal, Glodok, Jakarta.
Banyak hidangan Tionghoa mempunyai cerita dibelakangnya, merupakan cerita liar yang mengasyikkan juga, bila saya makan di Tiongkok, sering bisa dibaca cerita dibelakang hidangan terkenal mereka yang diumumkan di dinding. Saya suka membacanya, tetapi kebanyakan mereka melarang untuk difoto, maka saya catat dengan tulisan tangan saja.
Kamsia
Hock Tong
Catatan:
Tulisan ini kiriman dari Soekmadjie yang dicopas dari group Socio-Culture