Peranakan Tionghoa di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan cukup berliku, seperti peranakan Singapura dan Malaysia, mereka kerap disebut Straits Peranakan karena memang hidup di Selat Malaka. Kata peranakan memiliki arti keturunan dengan tidak mengacu kepada etnis manapun, kecuali disebutkan di belakang kata peranakan. Peranakan Belanda, peranakan Arab, peranakan Tionghoa, peranakan India, berarti mereka adalah keturunan Belanda, keturunan Arab, keturunan Tionghoa dan keturunan India.
Secara historis, ternyata tidak satupun suku atau etnis di Indonesia yang steril dari proses akulturasi, asimilasi dan hibrida. Istilah hibrida adalah proses penyatuan dan penyesuaian aspek-aspek sosiologi dari dua atau lebih etnis, di antaranya: budaya, bahasa, seni memasak, seni budaya dan masih banyak lagi. Proses akulturasi, asimilasi dan hibrida ini adalah proses alami dimana ketika itu Indonesia merupakan melting pot yang terpenting di Asia Tenggara.
Istilah peranakan Tionghoa pertama kali muncul sekitar abad 18, digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut para keturunan imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok. Seiring dengan berjalannya waktu istilah peranakan Tionghoa tidak semata untuk menyebut keturunan Tionghoa saja, namun lebih mengacu kepada bagian dari budaya dan kemudian sering disingkat saja menjadi peranakan.
Dalam kalangan etnis Tionghoa sendiri masih sering timbul pertanyaan dan perdebatan penggunaan istilah peranakan ini. Apakah bukan malah mempertajam perbedaan ? Karena dengan kata peranakan otomatis akan timbul kata totok. Dalam arti sempit, peranakan adalah yang sudah berasimilasi, kawin dengan penduduk setempat, sementara totok adalah yang masih asli datang dari Tiongkok.
Pengaruh produk budaya peranakan Tionghoa terhadap Indonesia ternyata mencakup aspek yang cukup luas, di antaranya: bahasa, arsitektur, batik, adat istiadat, seni memasak, medis, media dan masih banyak lagi. Siapa yang tidak mengenal kata loteng, cat, tong, limpa, cepek, gocap, angpau? Siapa tidak mengenal batik Lasem atau batik Pekalongan? Siapa tidak mengenal tatung di Kalimantan Barat? Siapa tidak mengenal surat kabar cetak dengan bentuknya yang sekarang? Siapa tidak mengenal Jamu Ny. Meneer, Jamu Jago? Siapa tidak pernah makan tahu, capcay, siomay dan lontong cap go meh?
Semua itu sudah menjadi identitas Nusantara, sehingga banyak yang tidak mengenali lagi asal muasalnya. Banyak juga yang beranggapan bahwa budaya peranakan Tionghoa itu adalah produk lawas yang sudah kadaluarsa, kuno, ketinggalan jaman dan sebagainya. Padahal budaya peranakan Tionghoa ini adalah living heritage, suatu produk budaya yang terus berkembang bukan sekedar produk mati yang usang dan memiliki masa pakai.
Kepulauan Nusantara sejak jaman dahulu dengan sejarah panjang kerajaan-kerajaannya merupakan melting pot dan hub penting di kawasan Asia Tenggara. Faktanya Indonesia memiliki kekayaan khasanah multikultural dan pluralisme dari ujung barat sampai ujung timur.
Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang. Kepulauan Nusantara yang disebut dengan istilah Nan Yang oleh bangsa Tionghoa sudah dikenal sebagai satu mitra penting oleh hampir setiap kerajaan yang berkuasa di Tiongkok dari waktu ke waktu. Nan Yang secara harafiah berarti Lautan Selatan mengacu kepada kawasan di selatan Tiongkok, yang notabene adalah kawasan Asia Tenggara dimana Indonesia termasuk di dalamnya.
Dalam perjalanannya proses interaksi dua bangsa besar ini bukan hubungan dagang semata. Dalam sejarah kita mengetahui adanya hubungan religius yang terjalin dari masa ke masa, salah satunya adalah perjalanan muhibah Laksamana Zheng He (sering dituliskan Cheng Ho), dan juga adanya pertukaran hadiah dari raja atau kaisar yang berkuasa di masing-masing tempat, dan sebagainya.
Salah satu proses yang tak terhindarkan adalah terjadinya imigrasi dari Tiongkok ke Nusantara. Entah karena alasan politis, ekonomi atau yang lainnya, secara bertahap imigran dari Tiongkok mengalir ke Nusantara. Para imigran tersebut memulai kehidupan baru mereka di Nusantara dan mendapati mereka cocok tinggal di Negeri Selatan ini.
Secara alamiah proses akulturasi dan hibrida terjadi. Bahasa adalah produk budaya yang pertama mengalami proses tersebut, yang disusul dengan makanan dan kemudian produk budaya lainnya. Jejak proses akulturasi dan hibrida itu masih bisa dilihat sampai sekarang, misalnya: siomay, bakpao, mie dengan segelintir dari makanan dan sebutannya, loteng, cat, tong, gopek istilah dan penamaan benda, bedug alat komunikasi, gua, lu, engkong, enyak sebutan kekerabatan, surat kabar media massa, corak batik pesisir utara Jawa memory heritage gambaran tentang awan, burung hong, bunga; dan masih banyak lagi.
Perdebatan mengenai istilah peranakan Tionghoa totok atau hanya Tionghoa saja, tidak akan pernah berakhir. Sudah sejak tahun 1900-an, perdebatan ini belum berakhir dan mencapai titik temu. Untuk itu sampai sekarang dan selanjutnya disepakati bahwa peranakan di sini adalah murni untuk penyebutan dan mengacu kepada budaya saja. Benar kalau ada yang bilang budaya peranakan merupakan bagian dari payung besar budaya Tionghoa. Namun pada prinsipnya budaya peranakan lebih spesifik yang ada di Indonesia (dan juga di Singapur dan Malaysia), yang berasal dari budaya Tionghoa yang sudah mengalami proses panjang di bumi Nusantara sehingga memiliki keunikan dan kekhasan sendiri.
Para keturunan Tionghoa tidak akan pernah memandang ada lahir di sana atau lahir di sini. Istilah peranakan hanya dibatasi untuk produk budaya saja. Maksudnya adalah budaya khas Indonesia yang timbul karena proses asimilasi dan proses hibrida yang panjang tadi. Budaya peranakan ini (kebanyakan) hanya ada di Indonesia, tidak dapat ditemui di tempat lain, terlebih lagi tidak dapat ditemui di tempat asalnya yaitu di Tiongkok.
Etnis Tionghoa di Indonesia adalah bagian integral bangsa Indonesia yang tidak terpisahkan, sudah melebur menjadi salah satu entitas etnis / suku di Indonesia. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, para Tionghoa ingin menjaga kelangsungan budaya peranakan yang sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia.
Melalui gastronomi akan kita tunjukkan bahwa ke-4 peranakan Tionghoa, peranakan Arab, peranakan India dan peranakan Belanda adalah satu satuan dari keseluruhan entitas etnis / suku anak Bangsa Indonesia yang akan diperlihatkan melalui sajian resepi seni memasak yang sudah mengalami proses akulturasi dan mimikri walaupun masih ada yang berbentuk tradisional. Sikap itu harus diperlihatkan nyata dalam proses hubungan sosial satu sama lain tanpa ada sekat dan pemisah akibat kecurigaan sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Tabek