Nasi tumpeng adalah hidangan paripurna (penuh & lengkap) yang merupakan warisan tradisi nenek moyang yang sangat tinggi maknanya dan mempunyai nilai yang sakral.
Nasi tumpeng berbentuk kerucut menjulang ke atas pada satu titik pusat di puncaknya seperti melambangkan tangan manusia merapat menyatu menyembah kepada Tuhan.
Kata tumpeng berasal dari Bahasa Jawa yang padanan katanya sama dengan gunung.
Secara “jarwo dosok” tumpeng diartikan sebagai “Tumapaking panguripan (tumindak lempeng) tumuju Pangeran” adalah kepanjangan dari kata tumpeng yang mengartikan bahwa "Manusia itu harus hidup menuju dan dijalan Tuhan".
Nilai filosofinya sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada YME atas kebersamaan, keharmonisan dan kerukunan yang ada.
Maknanya menyimpan harapan dan pesan agar kesejahteraan & kesuksesan hidup semakin "naik" dan "tinggi".
Kerucut ditutupi segitiga daun pisang, sebagai simbol bentuk rumah suci tempat bersemayam Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang).
Dengan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tumpeng adalah "media komunikasi spiritual" masyarakat Jawa yang dijalin terhadap Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.
Perlu diingat dengan seksama cara menyantap tumpeng tidak dipotong melintang dan daun pisangnya tidak dilepas sama sekali.
Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno (yang jarang diketahui banyak orang saat ini), nasi tumpeng di keruk sisi sampingnya dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas.
Kalau puncak pucuk kerucut dipotong dan daun pisang dilepas, artinya simbol rumah suci terlepas dari ikatan bathin yang mau dijalin dengan Khalik tidak tersambung dengan baik. Artinya terputus sama sekali sarana kebathinan dan media komunikasi spiritual kepada Gusti Allah beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.
Upacara keruk tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.
Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Sebagaimana adat selamatan masyarakat Jawa kuno.
Sebelum di keruk oleh orang pertama, yang bersangkutan dalam hati berdoa dan minta "sesuatu untuk dikabulkan". Kemudian setelah selesai permintaan itu, mulai mengeruk tumpeng dari sisi sampingnya.
Kerukan pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap "penting atau dituakan" sebagai penghormatan. Dia mungkin menjadi pemimpin kelompok, orang tertua, atau orang yang dicintai.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan.
Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang
Usai itu, tumpeng boleh disantap bersama-sama sebagai perlambang membagi rezeki dengan tetap cara mengeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak atau daun pisangnya.
Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu akan jatuh segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang itu. Ini pertanda jawaban, bahwa doa selamatan dan permintaan dikabulkan atau diberkahi oleh YME.
Ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang yang masih ada nasi tumpeng tersebut. Kemudian wadah anyaman itu diletakan di tempat yang dianggap keramat sebagai sesajian kepada Gusti Allah beserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.