".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 31 July 2014

Gastronomi Indonesia: Hubungan Antara Budaya & Makanan

Gastronomi atau tata boga atau upaboga menurut Cousins (2001) adalah seni, atau ilmu akan makanan yang baik (good eating) sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman. Dan dengan kata lain Fossali (2008: 54-86) menyebutkan gastronomi sebagai studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya (seni kuliner). Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.

Greg R.( 2002) mengatakan dua ratus tahun yang lalu, kata gastronomi pertama kali muncul di zaman modern tepatnya di Perancis pada puisi yang dikarang oleh Jacques Berchoux (1804). Kendati popularitas kata tersebut semakin meningkat sejak saat itu, namun kata gastronomi masih sulit untuk didefinisikan. Greg juga mengatakan bahwa kata gastronomi berasal dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya "lambung" atau "perut" dan nomos yang artinya "hukum" atau "aturan". Dan Cousins (2001) membagi Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman. Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai makanan dan minuman nasional dari berbagai negara besar di seluruh dunia. Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman yang digunakan di berbagai negara dan budaya.

Gastronomi sebagai elemen dari identitas budaya lokal:
Menurut Steen Jacobsen (2001) pada struktur ekonomi premodern, sebelum diciptakannya sistem transportasi jarak jauh dan perdagangan makanan lintas nasional dan iklim, pertanian dan industri makanan lebih banyak melayani pangsa pasar lokal. Dan  perbedaan sumber daya alam dan keahlian lokal menghasilkan produksi makanan lokal yang unik. Dimana elemen lokal lain seperti arsitektur, kerajinan tangan, cerita rakyat, bahasa regional, seni visual, referensi literatur dan cara hidup berkembang dengan cara berbeda-beda dan berkontribusi pada karakter suatu daerah.

Dari sudut pandang wisatawan, makanan dengan identitas lokal setara dengan perjalanan mengelilingi museum dan monumen.  Pariwisata membuat mereka dapat merasakan identitas lokal tersebut, di sisi lain para wisatawan tersebut memberikan kesempatan bagi industri pariwisata untuk menawarkan produk baru.

Gastronomi dan masakan nasional:
Menurut Steen Jacobsen (2001) Masakan nasional telah dipopulerkan oleh media massa sebagai bagian penting dari identitas bangsa di mana "blender raksasa" bernama globalisasi telah mengkontaminasi, melemahkan, dan mengancam eksistensinya. Semakin mudahnya akses terhadap makanan dari berbagai negara, tersedia sepanjang tahun, telah menciptakan kebingungan antara hubungan tempat dan waktu tertentu dari suatu makanan. Definisi dari masakan nasional sendiri adalah masakan asli yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup oleh suatu populasi sehingga populasi tersebut dapat dikatakan ahli dalam masakan tersebut. Peran gastronomi adalah melestarikan budaya atau tradisi makanan tersebut, salah satunya dengan cara mempelajari sejarah masakan tersebut dan hubungannya dengan suatu negara tertentu.

Crang P. (1996: 131-153) Salah satu contoh makanan nasional yang telah mendunia karena proses globalisasi adalah masakan Jepang. Proses "kontaminasi" oleh globalisasi dimulai pada akhir abad ke-19 sewaktu sejumlah dokter militer Jepang membuat kampanye opini publik yang menyatakan bahwa para wajib militer bangsa Jepang lebih pendek daripada mereka yang berasal dari Eropa karena makanan mereka yang berbasiskan beras. Akibatnya selama periode 1920, angkatan darat dan angkatan laut jepang mengadopsi makanan Barat yang terdiri dari daging dan roti gandum. Pada saat yang sama, para ahli nutrisi, kaum intelektual, dan pengusaha restoran mempromosikan adaptasi makanan Barat menjadi lebih sesuai dengan selera masakan Jepang. Hasilnya adalah masakan seperti korokke (kroket), donatsu (varian donat), dan kare pada periode 1950, kombinasi dari makanan Jepang dan makanan Barat ini yang membentuk "Masakan Jepang" yang diterima luas saat ini.

Gastronomi Indonesia:
Menurut Freeman N.(2010) Gastronomi Indonesia terbentuk dari perpaduan dengan budaya serta makanan dari India, Timur Tengah, Cina, dan bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda. Van Esterik P. (2008) makanan pokok di Indonesia adalah nasi, kecuali di Maluku dan Irian Jaya, lebih umum mengkonsumsi sagu, kentang, dan singkong. Seperti negara-negara di daerah Asia Tenggara, makanan lauk pauk di Indonesia disajikan lebih sedikit dibandingkan dengan makanan pokoknya. Ciri khas yang lain adalah adanya sambal yang memberi cita rasa pedas bagi kebanyakan makanan Indonesia.

Freeman N (2010) mengatakan bahwa pada awalnya, budaya dan masakan India yang sangat berpengaruh di Indonesia contohnya ada pada penggunaan bumbu-bumbu seperti jinten, ketumbar, jahe, dan kare yang sering disajikan dengan santan. Setelah itu, pengaruh perdangang dari Arab pun ikut memperkaya masakan Indonesia seperti masakan sate yang terinspirasi dari masakan arab yaitu kebab, begitu juga halnya dengan masakan yang menggunakan daging kambing. Tidak hanya pedagang Arab, para pedagang dari Cina juga membawa bahan pangan dari negara mereka seperti mi, kacang kedelai, dan berbagai macam sayuran.

Kolonisasi oleh bangsa Belanda memperkenalkan cita rasa baru dan bahan pangan seperti lada yang berasal dari Meksiko, kacang dari Amerika untuk bumbu sate dan gado-gado. Singkong dari Karibia dan kentang dari Amerika Selatan. Tak hanya itu, bermcam-macam sayuran seperti kubis, kembang kol, kacang panjang, wortel, dan jagung diimpor masuk ke Indonesia sehingga menciptakan berbagai macam masakan baru. Dan ditinjau dari segi gastronomi praktis Advameg (2010), beberapa masakan khas Indonesia dikaitkan dengan perayaan tertentu seperti perayaan agama. Contohnya pada saat hari raya Lebaran yang dirayakan oleh umat Muslim, masakan menggunakan ketupat adalah masakan yang umum disajikan. Sementara, di saat "Selamatan", yaitu tradisi berdoa sebelum kegiatan tertentu seperti pernikahan atau membangun rumah, tumpeng atau nasi kuning yang dibentuk seperti kerucut disajikan. Pada Hari Raya Nyepi yang dirayakan umat Hindu biasanya disajikan kue kering dan manisan. Pada perayaan Hari Kemerdekaan, ada budaya untuk mengadakan lomba memakan kerupuk udang untuk anak-anak dan lomba membuat tumpeng bagi para wanita.

Sumber Referensi Artikel:
Freeman N. 2010. Ethnic cuisine: Indonesia.
Fossali PB. 2008. Seven conditions for the gastronomic sciences. Gastronomic Sci 4(8):54-86
Van Esterik P. 2008.Food Culture in Southeast Asia. London: Greenwood Press.
Advameg. 2010. Indonesia
Hjalager AM, Greg R. 2002. Tourism and Gastronomy. Routledge
Gillesoie C, Cousins JA. 2001. European Gastronomy into the 21st century. Oxford:Butterworth-Heinenmann.
Cook I, Crang P. 1996. The World on a Plate: Culinary Culture, Displacement, and Geographical Knowledges. Journal of Material Culture. 1(2): 131-153.
Jan Vidar Haukeland and Jens Kr. Steen Jacobsen.Gastronomy in the periphery Food and cuisine as tourism attractions on the top of Europe Paper presented at the 10th Nordic Tourism Research Conference, Vasa, Finland 18–20 October 2001