Gastronomi atau tata boga atau upaboga menurut Cousins (2001) adalah
seni, atau ilmu akan makanan yang baik (good eating) sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan kenikmatan dari makan dan minuman. Dan
dengan kata lain Fossali (2008: 54-86) menyebutkan gastronomi sebagai
studi mengenai hubungan antara budaya dan makanan, di mana gastronomi
mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya
(seni kuliner). Hubungan budaya dan gastronomi terbentuk karena
gastronomi adalah produk budidaya pada kegiatan pertanian sehingga
pengejawantahan warna, aroma, dan rasa dari suatu makanan dapat
ditelusuri asal-usulnya dari lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan.
Greg
R.( 2002) mengatakan dua ratus tahun yang lalu, kata gastronomi pertama
kali muncul di zaman modern tepatnya di Perancis pada puisi yang
dikarang oleh Jacques Berchoux (1804). Kendati popularitas kata tersebut
semakin meningkat sejak saat itu, namun kata gastronomi masih sulit
untuk didefinisikan. Greg juga mengatakan bahwa kata gastronomi berasal
dari Bahasa Yunani kuno gastros yang artinya "lambung" atau "perut" dan
nomos yang artinya "hukum" atau "aturan". Dan Cousins (2001) membagi
Gastronomi meliputi studi dan apresiasi dari semua makanan dan minuman.
Selain itu, gastronomi juga mencakup pengetahuan mendetail mengenai
makanan dan minuman nasional dari berbagai negara besar di seluruh
dunia. Peran gastronomi adalah sebagai landasan untuk memahami bagaimana
makanan dan minuman digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Melalui
gastronomi dimungkinkan untuk membangun sebuah gambaran dari persamaan
atau perbedaan pendekatan atau perilaku terhadap makanan dan minuman
yang digunakan di berbagai negara dan budaya.
Gastronomi sebagai elemen dari identitas budaya lokal:
Menurut
Steen Jacobsen (2001) pada struktur ekonomi premodern, sebelum
diciptakannya sistem transportasi jarak jauh dan perdagangan makanan
lintas nasional dan iklim, pertanian dan industri makanan lebih banyak
melayani pangsa pasar lokal. Dan perbedaan sumber daya alam dan
keahlian lokal menghasilkan produksi makanan lokal yang unik. Dimana
elemen lokal lain seperti arsitektur, kerajinan tangan, cerita rakyat,
bahasa regional, seni visual, referensi literatur dan cara hidup
berkembang dengan cara berbeda-beda dan berkontribusi pada karakter
suatu daerah.
Dari sudut pandang wisatawan, makanan dengan
identitas lokal setara dengan perjalanan mengelilingi museum dan
monumen. Pariwisata membuat mereka dapat merasakan identitas lokal
tersebut, di sisi lain para wisatawan tersebut memberikan kesempatan
bagi industri pariwisata untuk menawarkan produk baru.
Gastronomi dan masakan nasional:
Menurut
Steen Jacobsen (2001) Masakan nasional telah dipopulerkan oleh media
massa sebagai bagian penting dari identitas bangsa di mana "blender
raksasa" bernama globalisasi telah mengkontaminasi, melemahkan, dan
mengancam eksistensinya. Semakin mudahnya akses terhadap makanan dari
berbagai negara, tersedia sepanjang tahun, telah menciptakan kebingungan
antara hubungan tempat dan waktu tertentu dari suatu makanan. Definisi
dari masakan nasional sendiri adalah masakan asli yang dikonsumsi dalam
jangka waktu yang cukup oleh suatu populasi sehingga populasi tersebut
dapat dikatakan ahli dalam masakan tersebut. Peran gastronomi adalah
melestarikan budaya atau tradisi makanan tersebut, salah satunya dengan
cara mempelajari sejarah masakan tersebut dan hubungannya dengan suatu
negara tertentu.
Crang P. (1996: 131-153) Salah satu contoh
makanan nasional yang telah mendunia karena proses globalisasi adalah
masakan Jepang. Proses "kontaminasi" oleh globalisasi dimulai pada akhir
abad ke-19 sewaktu sejumlah dokter militer Jepang membuat kampanye
opini publik yang menyatakan bahwa para wajib militer bangsa Jepang
lebih pendek daripada mereka yang berasal dari Eropa karena makanan
mereka yang berbasiskan beras. Akibatnya selama periode 1920, angkatan
darat dan angkatan laut jepang mengadopsi makanan Barat yang terdiri
dari daging dan roti gandum. Pada saat yang sama, para ahli nutrisi,
kaum intelektual, dan pengusaha restoran mempromosikan adaptasi makanan
Barat menjadi lebih sesuai dengan selera masakan Jepang. Hasilnya adalah
masakan seperti korokke (kroket), donatsu (varian donat), dan kare pada
periode 1950, kombinasi dari makanan Jepang dan makanan Barat ini yang
membentuk "Masakan Jepang" yang diterima luas saat ini.
Gastronomi Indonesia:
Menurut
Freeman N.(2010) Gastronomi Indonesia terbentuk dari perpaduan dengan
budaya serta makanan dari India, Timur Tengah, Cina, dan bangsa Eropa
seperti Portugis dan Belanda. Van Esterik P. (2008) makanan pokok di
Indonesia adalah nasi, kecuali di Maluku dan Irian Jaya, lebih umum
mengkonsumsi sagu, kentang, dan singkong. Seperti negara-negara di
daerah Asia Tenggara, makanan lauk pauk di Indonesia disajikan lebih
sedikit dibandingkan dengan makanan pokoknya. Ciri khas yang lain adalah
adanya sambal yang memberi cita rasa pedas bagi kebanyakan makanan
Indonesia.
Freeman N (2010) mengatakan bahwa pada awalnya, budaya
dan masakan India yang sangat berpengaruh di Indonesia contohnya ada
pada penggunaan bumbu-bumbu seperti jinten, ketumbar, jahe, dan kare
yang sering disajikan dengan santan. Setelah itu, pengaruh perdangang
dari Arab pun ikut memperkaya masakan Indonesia seperti masakan sate
yang terinspirasi dari masakan arab yaitu kebab, begitu juga halnya
dengan masakan yang menggunakan daging kambing. Tidak hanya pedagang
Arab, para pedagang dari Cina juga membawa bahan pangan dari negara
mereka seperti mi, kacang kedelai, dan berbagai macam sayuran.
Kolonisasi
oleh bangsa Belanda memperkenalkan cita rasa baru dan bahan pangan
seperti lada yang berasal dari Meksiko, kacang dari Amerika untuk bumbu
sate dan gado-gado. Singkong dari Karibia dan kentang dari Amerika
Selatan. Tak hanya itu, bermcam-macam sayuran seperti kubis, kembang
kol, kacang panjang, wortel, dan jagung diimpor masuk ke Indonesia
sehingga menciptakan berbagai macam masakan baru. Dan ditinjau dari segi
gastronomi praktis Advameg (2010), beberapa masakan khas Indonesia
dikaitkan dengan perayaan tertentu seperti perayaan agama. Contohnya
pada saat hari raya Lebaran yang dirayakan oleh umat Muslim, masakan
menggunakan ketupat adalah masakan yang umum disajikan. Sementara, di
saat "Selamatan", yaitu tradisi berdoa sebelum kegiatan tertentu seperti
pernikahan atau membangun rumah, tumpeng atau nasi kuning yang dibentuk
seperti kerucut disajikan. Pada Hari Raya Nyepi yang dirayakan umat
Hindu biasanya disajikan kue kering dan manisan. Pada perayaan Hari
Kemerdekaan, ada budaya untuk mengadakan lomba memakan kerupuk udang
untuk anak-anak dan lomba membuat tumpeng bagi para wanita.
Sumber Referensi Artikel:
Freeman N. 2010. Ethnic cuisine: Indonesia.
Fossali PB. 2008. Seven conditions for the gastronomic sciences. Gastronomic Sci 4(8):54-86
Van Esterik P. 2008.Food Culture in Southeast Asia. London: Greenwood Press.
Advameg. 2010. Indonesia
Hjalager AM, Greg R. 2002. Tourism and Gastronomy. Routledge
Gillesoie C, Cousins JA. 2001. European Gastronomy into the 21st century. Oxford:Butterworth-Heinenmann.
Cook I, Crang P. 1996. The World on a Plate: Culinary Culture, Displacement, and Geographical Knowledges. Journal of Material Culture. 1(2): 131-153.
Jan Vidar Haukeland and Jens Kr. Steen Jacobsen.Gastronomy in the periphery Food and cuisine as tourism attractions on the top of Europe Paper presented at the 10th Nordic Tourism Research Conference, Vasa, Finland 18–20 October 2001