".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 31 July 2014

Memahami Kembali Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah “perangkat pengetahuan dan praktik-praktik pada suatu komunitas - baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun dari pengalaman ketika berhubungan dengan lingkungandan masyarakat lainnya - untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan / atau kesulitan yang dihadapi secara baik, benar dan bagus”.

Kearifan lokal menekankan kepada ‘tempat’ dan ‘lokalitas’ dari suatu kearifan masyarakat tertentu, tetapi tidak harus merupakan pewarisan dari generasi sebelumnya (kearifan tradisional). Suatu kearifan lokal bisa saja baru muncul beberapa tahun belakangan, atau didapat dari generasi sebelumnya. Kearifan lokal yang baru saja muncul bisa saja disebut ‘kearifin kini’ untuk membedakannya dengan‘kearifan lama’ yang telah lebih dulu dikenal dalam sebuah masyarakat.

Komponen utama dari kearifan lokal adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai sistem pengetahuan, cara pandangan, nilai-nilai, serta praktik-praktik dari sebuah komunitas masyarakat, baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari sebuah komunitas masyarakat tersebut, atau didapat dari komunitas masyarakat lain, ataupun yang didapat - berdasarkan pengalaman - di masa kini yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, termasuk juga dari kontak budaya dengan masyarakat luar atau asing.

Dengan demikian kearifan lokal bisa dimaknai sebagai sebuah proses kompromi budaya yang dilakukan ketika budaya lokal bersentuhan dengan budaya-budaya lain dari luar. Dalam proses tawar-menawar itu kearifan lokal mendorong terjadinya sebuah perubahan sebagai sebuah konsekuensi logis kenyataan bahwa suatu bangsa bukanlah merupakan satu-satunya komunitas di dunia ini.

Masyarakat lokal dipastikan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai sistem ekonomi dan lingkungan alam mereka yang telah lama ‘ada’ dan ‘bertahan’ didalam masyarakat tersebut. Jika diibaratkan sebuah penelitian, kearifan lokal telah lama ‘diuji’ - lalu kemudian mencapai tahap ‘teruji’ - dan dipraktekkan oleh masyarakat hingga mencapai titik akhir yang sempurna dan dengan baik sehingga menjadi fondasi yang sangat kuat pada bebeberapa aspek dalam masyarakat itu sendiri.

Contoh Kearifan Lokal
Di Jerman misalnya, pada 2012 negara tersebut memutuskan seluruh ayam tidak boleh lagi dipelihara dengan cara dikandangkan secara individu, berpasangan, atau kelompok. Pola pemeliharaan yang dipraktekan selama ini dianggap sebagai bentuk penyiksaan, saling mematuk, dan terjadi kanibalisme. Sebagai akibatnya produksi telur menurun secara drastis akibat stress. Penerapan peraturan ini setelah sebuah perusahaan ayam terbesar di negara tersebut dan juga terbesar di dunia, menemukan galur ayam dengan produksi hingga 360 butir telur per ekor per tahun (produksi tertinggi didunia). Ini berarti hanya 5 hari saja ayam tersebut ‘beristirahat’ bertelur. Sistem pemeliharaan ayam yang mereka kembangkan adalah dengan membiarkan ayam-ayam petelur tersebut bebas berkeliaran yang tidak terikat di dalam kandang yang sempit dan disediakan sangkak untuk bertelur. Jika melihat pola beternak ayam nenek moyang Indonesia - yang saat ini masih dipraktekkan dikampung-kampung - kita bertanya tanya pada diri sendiri, mengapa perusahaan ternak ayam di Jerman itu meniru teknik beternak secara ekstensif seperti yang diterapkan oleh nenek moyang Indonesia ?

Beberapa dekade yang lalu di kampung-kampung dan pedesaan di Indonesia, mungkin tidak asing melihat anak-anak gembala duduk di atas kerbau memenuhi jalan-jalan di sore hari membawa gembalanya pulang ke kandang; atau petani yang membajak sawah dengan kerbau atau sapi menghiasi sawah-sawah; atau peternak ayam & bebek menggiring ternaknya kembali masuk ke kandang. Sistem beternak ”ala kampung” dan membajak sawah secara tradisional tanpa disadari ternyata mampu memenuhi kebutuhan daging dan beras di dalam negeri. Sehingga saat itu masyarakat setempat tidak mengenal istilah daging impor, atau beras impor. Namun kemudian, masuknya era mekanisme modern di sektor pertanian telah mengubah perilaku petani dan secara signifikan menurunkan populasi kerbau dan sapi di dunia. Dan Indonesia mulai mengimpor beras. Sawah dan kerbau, mungkin seperti dua sisi mata uang, tidak berarti jika hilang salah satunya. Padahal kotoran kerbau atau sapi dapat sekaligus menjadi pupuk, di samping bajakan yang jauh lebih baik dari pada traktor tangan, sehingga penggunaan pupuk bisa lebih efektif. Selain itu, kerbau atau sapi juga bisa berkembang biak jika dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan traktor, jika sudah sampai akhir masa pakainya akan berubah menjadi onggokan besi tua. Disamping bahan bakar yang mencemari lingkungan.

Pergeseran budaya bertani ini mendorong badan pangan dunia FAO, mencanangkan kembali sistem ‘tradisional’ yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendukung program tersebut, FAO mendirikan "Buffalo Village" di Thailand. Tujuan program ini adalah mengembalikan kejayaan bertani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagai unsur kearifan lokal menuju kemandirian pangan.

Uraian di atas memberi sedikit gambaran, betapa nenek moyang dan ilmu pengetahuan masyarakat Indonesia telah berkembang jauh ke depan melampaui zamannya, dan kearifan lokal bukanlah suatu yang ditemukan dan dikembangkan dalam jangka waktu yang instan. Tetapi memakan waktu, pengalaman, dan “uji coba”yang beratus-ratus tahun.

Ketidakarifan nasional dan global, secara membabi-buta menyingkirkan berbagai kearifan lokal.  Seperti pisau bermata dua, masyarakat selalu menghadapi tantangan perkembangan zaman. Di satu sisi berpotensi meningkatkan taraf hidup mereka, namun sebaliknya tak sedikit justru mengancam pola-pola kehidupan yang sudah lama tertata dan bahkan mencerabut akar kearifan lokal yang sudah begitu dalam tertanam.

Kejujuran semakin lenyap, sikap kstaria seperti hanya sebuah cerita. Kearifan lokal sendiri (local wisdom) dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Ciri kearifan lokal yang berporos pada proses sebuah kebaikan ketimbang aplikasi semata menjadikannya sangat jauh dari hal yang instan sehingga menjadi cermin budaya bagi masyarakatnya, menjadi akar dalam pedoman kehidupan yang turun temurun, menjadi warisan bangsa.

Namun kini zaman kian berubah, era globalisasi dan modernisasi memasuki semua negara termasuk Indonesia, budaya lokal mulai kian tergerus arus. Masyarakat muda yang diharapkan menjadi penerus warisan bangsa terlihat acuh tak acuh, seperti tidak adanya kepedulian dalam pelestarian budaya tersebut.

Tidak berlebihan jika budaya modern banyak menciptakan kerugian-kerugian terutama pada hal yang bersifat normatif dalam budaya lokal seperti makanan-makanan instan tiap harinya, pakaian minim yang berporos pada budaya barat, bahkan ideologi berpikir kesenangan sementara (hedonisme) sering terlihat dalam ruang lingkup sosial.

Hingga kini, tak terkira betapa banyak kearifan lokal yang tersingkir. Bukanhanya secara fisik, berbagai suku terpinggirkan dari wilayahnya, namun juga mulai lenyapnya nilai-nilai luhur yang sebelumnya banyak diakui sebagai kekayaan negeri ini.

Pertanyaannya adalah, masihkah kita menelantarkan ‘anugrah’ kearifan lokal bangsa ini ?