Semenjak kuliner menjadi pembicaraan hangat dalam masyarakat, belum ada sampai sekarang kesepakatan mengenai branding nama kuliner Indonesia.
Ramai representasi nama makanan (atau kuliner) ditampilkan, tetapi riuh rendah ditanggapi, malah di daerah brand nama kuliner itu diabaikan oleh sebagian besar kelompok masyarakat setempat.
Bisa dikatakan sampai sekarang belum terlihat jawabannya, walaupun sudah ada political will dari Presiden Indonesia dengan menempatkan makanan (atau kuliner) sebagai salah satu 4 (empat) pilar diplomasi (Rapat Terbatas tanggal 27 September 2016 dan tanggal 3 Februari 2017), tetapi kenyataan representasi nama kuliner Indonesia belum berhasil di formulasikan.
Semenjak 9 (sembilan) tahun lalu, pemerintah pusat Indonesia meletakan 3 (tiga) dasar rumusan makanan (atau kuliner) berupa kampanye 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia.
Kampanye 30 IKTI diperkenalkan pada tahun 2012, promosi 76 Diplomasi Soto pada tahun 2017, sedangkan publisitas 5 Kuliner Indonesia pada tahun 2018.
Usia ketiganya pun hanya sebatas masa jabatan pimpinan tertinggi (pejabat) kementerian / badan teknis bersangkutan, alias tidak berkelanjutan dan bertahan lama, seperti yang dimiliki Thailand, Vietnam dan Korea Selatan.
Melihat teknik cara kampanye, promosi dan publisitas ketiga makanan (atau kuliner) tersebut pun, selain tidak long-lasting juga tidak menasional sampai ke pelosok daerah seperti teknik yang dilakukan BKKBN semasa Orde Baru mengenai pembatasan kelahiran (program keluarga berencana) dengan slogan kampanye 2 (dua) anak yang bisa bertahan selama 30 (tiga puluh) tahun lebih.
Disadari semasa Orba belum dikenal media online seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya sebagai sarana utama kampanye, promosi dan publisitas namun teknik pemberitaan BKKBN cukup terasa meluas bagi hampir semua masyarakat di Indonesia sampai ke pelosok daerah.
Selain itu, kenyataan juga menunjukan, kuliner yang ditampilkan 30 IKTI dan 5 Kuliner Indonesia tidak bisa membedakan mana yang tradisional, mana yang akulturasi dan mana yang mimikri.
Semua disamaratakan dengan sebutan sebagai makanan tradisional. Sedangkan terhadap Diplomasi Soto, tidak semua suku dan sub-suku di negeri ini mempunyai kuliner soto, sehingga keterwakilan mereka tidak ada dalam rumusan itu.
Anggapan bagi sebagian besar masyarakat di daerah, ketiga rumusan kuliner yang ditampilkan pemerintah pusat selalu berkisar yang itu-itu saja, yang terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu yang mendominasi pangsa pasar kuliner Indonesia. Bisa dikatakan ada semacam "kecemburuan sosial" bagi sebagian besar masyarakat di daerah terhadap kuliner Indonesia yang selama ini ditampilkan pemerintah pusat.
Nama-nama kuliner itu belum bisa diterima sebagai representasi produk keaslian masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan kuliner daerah.
Perlu diingat bagi masyarakat makanan adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa.
Tampilan nama kuliner dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain, nama kuliner mereka ikut dalam tampilan tersebut, apalagi kalau selama ini nama kulinernya sering yang itu-itu saja yang diekspresikan.
Pertanyaannya, begitu sulitkah menentukan branding nama kuliner Indonesia, padahal negeri ini sangat kaya akan seni dapur masakan.
Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini akibat pelaku perumus ketiga makanan (atau kuliner) di atas kurang memahami secara mendalam dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur (resepi) makanan yang ada di negeri ini.
Apalagi pelaku perumus ketiga makanan (atau kuliner) di atas tidak secara lengkap menampilkan kontribusi dan pemikiran pakar-pakar dari semua daerah.
Dengan populasi sebesar 270 juta lebih yang terdiri dari 1334 suku dan sub suku, termasuk etnis pendatang, negara ini mempunyai kekuatan puluhan ribu seni dapur masakan, cuma belum digarap dari hulu sampai hilir.
Apalagi kuliner Indonesia punya kisah mengenai sejarah dan budaya, baik tangible dan intangible. Selain itu, Indonesia punya prestasi tersendiri kepada dunia mengenai seni dapur makanannya, seperti Rijsttafel.
Rempah kepulauan Nusantara pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.
Dengan modal kekayaan dan prestasi di atas, apa yang menjadi persoalan hingga sampai kini negeri ini belum mampu melahirkan purwarupa brand makanan (kuliner) Indonesia.
Tantangan ini yang perlu dibicarakan secara lebih mendalam, namun terlebih dahulu ada beberapa hal yang perlu dipahami agar model rumusan kuliner Indonesia kedepannya bisa berhasil dan bertahan lama.
KORIDOR PERUMUSAN
PERTAMA, perlu disadari yang memegang kendali serta kepemilikan kuliner (makanan) di Indonesia adalah masyarakat dan pemerintah daerah.
Masyarakat dan pemerintah daerah lebih paham dan mengetahui mengenai harta kekayaan kuliner mereka, baik mengenai nama, resep, sejarah, budaya, cerita atau kisahnya.
Segala aset kekayaan kuliner pelaku (konsumen & produsen) maupun penyelenggaraannya ada di daerah; yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal, badan dan dinas di daerah terkait. Apalagi di era desentralisasi, kuasa itu semakin kuat.
Namun terkait kebijakan dan pemegang otoritas tertinggi nasional kepariwisataan kuliner (termasuk gastronomi) ada di ranah Kemenparekraf / Baparekraf sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2019 tentang Badan Pariwisata & Ekonomi Kreatif.
Untuk itu harus ada kerjasama Kemenparekraf / Baparekraf dengan masyarakat dan pemerintah daerah dalam merumuskan brand, tema dan ikon kuliner Indonesia (termasuk gastronomi) yang asetnya bermuara dari daerah.
Kerjasama ini diperlukan untuk harmonisasi dan koordinasi antara masyarakat dan pemerintah daerah dengan Kemenparekraf / Baparekraf dalam menentukan arah kebijakan kuliner (termasuk gastronomi) di Indonesia.
KEDUA, perlu dicatat masyarakat dan pemerintah daerah juga punya otorisasi dan kewenangan mengangkat dan mempromosikan kuliner (termasuk gastronomi) secara langsung ke berbagai belahan dunia berdasarkan payung hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Paradiplomasi).
Untuk diketahui semenjak tahun 2019, dunia sudah tidak lagi bicara mengenai Ikon Kuliner suatu Negara seperti Thailand dengan Tom Yum, Vietnam dengan Pho atau Korea Selatan dengan Kimchi. Masyarakat global lebih berhasrat bicara mengenai kuliner suatu Kota.
Pada tahun 2020, sebuah bisnis media dan hiburan global bernama Time Out Group menginspirasi masyarakat wisatawan dunia menjelajahi dan menikmati hidangan-hidangan yang terbaik dari kota di seluruh dunia.
Time Out membantu wisatawan dunia menemukan budaya hidangan di perkotaan dengan tagline "Time Out - the soul of the city" yang merupakan kurasi pasar makanan dan budaya dalam menghadirkan kuliner yang terbaik dari kota di seluruh dunia dengan memperkenalkan nama-nama pemasak (Chef), makanan, minuman, dan pengalaman budaya yang bisa didapatkan dalam perjalanan wisata.
Pada tahun 2020, media Time Out menghadirkan serial tahunan menu dunia bernama The world's most iconic dishes according to city locals (Hidangan paling ikonik di dunia menurut penduduk kota) yang meliputi 46 kota di dunia termasuk Singapore (Chicken Rice), Tokyo (Ramen), Osaka (Takoyaki), Seoul (Korean Barbecue) Kuala Lumpur (Nasi Lemak), Hong Kong (Dim Sum), Mumbai (Vada Pav).
Sudah saatnya kota-kota di seluruh Indonesia mempertimbangkan kehadiran hidangan kuiner mereka dalam panggung Time Out maupun media dunia lainnya, mempertimbangkan seperti dikatakan di atas dunia sekarang ini sudah tidak bicara mengenai ikon kuliner Negara tetapi lebih condong kepada ikon kuliner Kota.
KETIGA, secara literal, perumusan ikon kuliner (atau makanan) Indonesia harus memasukan dimensi masyarakat daerah sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia. Dalam arti pada saat perjalanan sejarah kepulauan Nusantara sebelum menjadi negara Indonesia agar mudah dipahami dan diterima semua pihak di negeri ini.
Seperti diketahui, negara Republik Indonesia lahir akibat okupasi (pendudukan) perusahaan konglomerasi Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Hindia Belanda maupun kekuatan asing lainnya.
Pada hakekatnya, kelahiran negara Indonesia merupakan bangsa baru (new nation) yang konsep fenomenanya secara politik dibentuk dan berkembang pada abad 20, yang kita kenal sekarang sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata Indonesia secara politis, dicetuskan dalam Manifesto (Maklumat) para pelajar Indonesia di Belanda pada tahun 1924, yang momentum ini mendapat sambutan hangat dari golongan nasionalis di dalam negeri yang kemudian mereka gunakan sebagai ekspresi politik perjuangan kebangsaan.
Puncak perkembangan nama Indonesia baru populer pada saat dicetus Sumpah Pemuda tahun 1928 yang dibacakan oleh Budi Utomo. Sumpah Pemuda adalah tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan kesepakatan politik semua suku dan sub-suku untuk bersatu, termasuk etnik pendatang.
Ikrar Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia yang puncaknya berbuah menjadi Proklamasi Kemerdekaan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945.
Teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dibacakan Soekarno didampingi Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Sebagai Negara yang merdeka dengan tanah air yang berdaulat, maka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia disepakati melalui ikatan politik, yaitu Pancasila dengan ikatan hukum Undang-Undang Dasar 1945, selain oleh satu ikatan bahasa Indonesia.
Berhimpunnya suku dan sub-suku ke dalam negara yang bernama Indonesia adalah bukti mereka sejatinya bukan berasal dari suku dan sub-suku bangsa yang sama. Masing-masing suku dan sub-suku mempunyai perjalanan kesejarahan yang berbeda, meskipun ada yang sama.
Selain itu, konstruksi peradaban budaya masing-masing suku dan sub-suku masih tetap dipertahankan karena merupakan produk kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan ke dalam satu ikatan kesatuan kebangsaan negara bernama Indonesia.
Peradaban budaya itu menjadi kekayaan untuk saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan kata sederhananya “dititipkan”.
Tidak pernah kita dengar ungkapan kuliner (makanan atau masakan) batak, atau kuliner padang atau kuliner palembang atau kuliner Bali dan sebagainya disebut sebagai kuliner Indonesia. Pastinya tetap memakai sebutan kuliner (makanan atau masakan) batak atau padang atau palembang atau bali yang merupakan melting pot makanan (masakan) Nasional Indonesia. Itulah makna penjabaran dari kata “dititipkan”.
Disarankan pemikiran ini bisa menjadi pertimbangan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena bagaimanapun harus disadari peradaban budaya masakan atau makanan (kuliner) di negeri ini adalah titipan dari segenap masyarakat kepulauan Nusantara kepada bangsa dan negara yang bernama Indonesia saat menyatakan kemerdekaannya.
Oleh karena itu dalam merumuskan ikon kuliner (atau makanan) Indonesia kedepannya jangan sampai terjadi "kecemburuan sosial" seperti yang disampaikan di atas.
KEEMPAT, perumusan brand kuliner (atau makanan) Indonesia seyogyanya tidak bisa langsung di atas namakan kuliner namun sebaiknya atas nama brand Tema sebagai representasi mewakili segenap sejarah dan budaya masakan daerah di kepulauan Nusantara.
Filosofi brand Tema melambangkan simbol sejarah, budaya dan lanskap geografis kearifan lokal masakan daerah masyarakat Nusantara, sehingga menghasilkan suatu kesatuan karakter dan memberi kesan dinamis maupun futuristik sebagai bangsa Indonesia.
Selain itu, kekuatan brand tema adalah ungkapan terhadap Branding Power makanan nasional Indonesia yang diterjemahkan bukan karena nama makanan (kuliner) belaka, tetapi lebih menekankan kepada emosi, personality, identitas, prestise serta kekuatan dari seni dapur masakan daerah kepulauan Nusantara.
Brand tema ini ibaratnya merupakan payung legitimasi yang melambangkan kuliner (makanan) di kepulauan Nusantara Indonesia. Oleh karena itu brand tema itu diperlukan sebagai representasi dari semua kekayaan dan keanekaragaman kuliner (makanan) yang ada di negeri ini. Brand tema dibangun dengan suatu diksi narasi yang tagline-nya harus bisa menggambarkan dan mewakili kuliner masyarakat daerah kepulauan Nusantara.
Sebagai inspirasi kuliner di kota Medan dikenal dengan narasi "Enak & Sangat Enak" sehingga brand tema kuliner di kota Medan dapat diterjemahkan dengan simbol tagline tersebut.
Gagasan tagline lainnya bisa dengan menginterpretasikan ke dalam simbol pedas (spicy) dan rempah (spices) sebagai rasa alami makanan.
Seperti diketahui, pedas mewakili semua makanan yang ada di seluruh kepulauan Nusantara. Bisa dikatakan, di hampir semua makanan masyarakat Nusantara ada rasa pedas alami dan ada rasa pedas manis. Sedangkan rempah melalui bumbunya sudah tercatat kemasyhurannya yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian hidup masyarakat Nusantara.
Contoh konkrit brand tema yang diangkat satu kementerian koordinator pada tahun 2021 dengan tagline "Indonesia Spice Up the World" .
Narasi itu memenuhi segala unsur kekuatan brand power equity kuliner atau masakan daerah di kepulauan Nusantara Indonesia yang notabene mewakili sejarah, budaya dan kearifan lokal masyarakat secara keseluruhan.
Diharapkan kekuatan brand-nya bisa bertahan lama (long-lasting) seperti yang dilansir Thailand dengan tagline "Thailand : Kitchen of the World"
KELIMA, setelah menemukan tagline brand Tema seperti yang disampaikan di butir Keempat diatas, maka perlu ditentukan turunannya, yakni Signature Dish (hidangan khas) masakan warisan (kuliner) daerah yang legendaris dan unik serta tidak ada duanya, baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi.
Signature Dish ini merupakan kuliner (makanan) andalan daerah sebagai jurus pamungkas yang mempunyai sentuhan emosional dan aktual yang kuat, selain merupakan karya yang sarat akan karakter dan menjadi ciri khas yang melekat bagi kebanyakan masyarakat daerah, termasuk yang langka.
Mengingat kuliner (makanan) di negeri ini terlalu banyak dan tidak bisa mewakili semua daerah yang, maka paling tidak Signature Dish itu nanti harus bisa mewakili 34 (tiga puluh empat) jumlah provinsi yang ada.
Umpamanya, Signature Dish dari Minangkabau, atau dari Jawa (Tengah, Timur atau Barat), atau dari Kalimantan (Tengah, Timur, Selatan, Utara atau Barat), atau dari Batak (Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun atau Pakpak), atau dari Aceh maupun lain sebagainya.
Sedangkan penyebutan nama-nama makanannya (kuliner) bisa dilakukan sebagai Subtitle dari Signature Dish tersebut. Contoh Subtitle dari Signature Dish itu bisa diperumpamakan untuk kuliner (makanan) Jawa Tengah dengan cara "Central Javanese Nourishment with appearance of Nasi Gandul, Gudeg, Soto Kudus, Mangut Beong, Mie Ongklok, Garang Asem, Rondo Royal, Lumpia, Wajik, Gethuk, etcetera"
Contoh Subtitle lain dari Signature Dish itu bisa diperumpamakan dengan menampilkan Soto Indonesia dengan ungkapan "Indonesia Legend Soto Nourishment with appearance of Soto Madura, Soto Padang, Soto Betawi, Soto Lamongan, Soto Medan, etcetera"
Perumpamaan Subtitle untuk Signature Dish Indonesia dengan ungkapan "Indonesia Popular Nourishment with appearance of Rendang Padang, Laksa Bogor, Sate Ayam Madura, Gado-Gado Jakarta, Nasi Liwet Solo, Rawon Surabaya, etcetera"
Dengan demikian referensi ikon kuliner Indonesia pada mulanya harus ditentukan terlebih dahulu tagline brand Tema yang mewakili narasi keanekaragaman dan kekayaan kuliner (makanan Indonesia). Setelah dirumuskan narasinya maka kemudian menentukan Signature Dish berdasarkan nama-nama kuliner (makanan) daerah yang ingin ditampilkan.
KEENAM, perumusan brand Tema, Signature Dish dan Subtitle dari Signature Dish harus melibatkan semua pakar-pakar daerah dan pusat yang keahlian dalam bidang gastronomi, makanan (kuliner), antropologi, arkeologi, hubungan internasional, budaya, sejarah, sosiologi, kesehatan (nutrisi), teknologi pangan, pariwisata, hospitality dan lain sebagainya.
Pakar-pakar ini dihadirkan dan dilibatkan kontribusi pemikirannya oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Demikian disampaikan. Semoga bermanfaat
Salam Gastronomi
Makanan Punya Kisah
Food Has Its Tale
Cibus Habet Fabula
Tabek
Indra Ketaren (Betha)
Ramai representasi nama makanan (atau kuliner) ditampilkan, tetapi riuh rendah ditanggapi, malah di daerah brand nama kuliner itu diabaikan oleh sebagian besar kelompok masyarakat setempat.
Bisa dikatakan sampai sekarang belum terlihat jawabannya, walaupun sudah ada political will dari Presiden Indonesia dengan menempatkan makanan (atau kuliner) sebagai salah satu 4 (empat) pilar diplomasi (Rapat Terbatas tanggal 27 September 2016 dan tanggal 3 Februari 2017), tetapi kenyataan representasi nama kuliner Indonesia belum berhasil di formulasikan.
Semenjak 9 (sembilan) tahun lalu, pemerintah pusat Indonesia meletakan 3 (tiga) dasar rumusan makanan (atau kuliner) berupa kampanye 30 (tiga puluh) IKTI (Ikon Kuliner Tradisional Indonesia), Diplomasi Soto (76) dan 5 (lima) Kuliner Indonesia.
Kampanye 30 IKTI diperkenalkan pada tahun 2012, promosi 76 Diplomasi Soto pada tahun 2017, sedangkan publisitas 5 Kuliner Indonesia pada tahun 2018.
Usia ketiganya pun hanya sebatas masa jabatan pimpinan tertinggi (pejabat) kementerian / badan teknis bersangkutan, alias tidak berkelanjutan dan bertahan lama, seperti yang dimiliki Thailand, Vietnam dan Korea Selatan.
Melihat teknik cara kampanye, promosi dan publisitas ketiga makanan (atau kuliner) tersebut pun, selain tidak long-lasting juga tidak menasional sampai ke pelosok daerah seperti teknik yang dilakukan BKKBN semasa Orde Baru mengenai pembatasan kelahiran (program keluarga berencana) dengan slogan kampanye 2 (dua) anak yang bisa bertahan selama 30 (tiga puluh) tahun lebih.
Disadari semasa Orba belum dikenal media online seperti Facebook, Instagram, Twitter dan lain sebagainya sebagai sarana utama kampanye, promosi dan publisitas namun teknik pemberitaan BKKBN cukup terasa meluas bagi hampir semua masyarakat di Indonesia sampai ke pelosok daerah.
Selain itu, kenyataan juga menunjukan, kuliner yang ditampilkan 30 IKTI dan 5 Kuliner Indonesia tidak bisa membedakan mana yang tradisional, mana yang akulturasi dan mana yang mimikri.
Semua disamaratakan dengan sebutan sebagai makanan tradisional. Sedangkan terhadap Diplomasi Soto, tidak semua suku dan sub-suku di negeri ini mempunyai kuliner soto, sehingga keterwakilan mereka tidak ada dalam rumusan itu.
Anggapan bagi sebagian besar masyarakat di daerah, ketiga rumusan kuliner yang ditampilkan pemerintah pusat selalu berkisar yang itu-itu saja, yang terkesan selalu bersaing dengan simbol-simbol kebudayaan tertentu yang mendominasi pangsa pasar kuliner Indonesia. Bisa dikatakan ada semacam "kecemburuan sosial" bagi sebagian besar masyarakat di daerah terhadap kuliner Indonesia yang selama ini ditampilkan pemerintah pusat.
Nama-nama kuliner itu belum bisa diterima sebagai representasi produk keaslian masakan mereka, meskipun ada di daerah tersebut, tetapi dianggap sebagai makanan pendatang yang bukan menjadi andalan kuliner daerah.
Perlu diingat bagi masyarakat makanan adalah soal kebanggaan dan harga diri yang menyembunyikan arogansi fenomenal yang sangat kental kepribadiannya, apalagi pengakuan sebagai suatu bangsa.
Tampilan nama kuliner dari satu pihak, akan membawa dorongan dan hasrat kepada pihak lain, nama kuliner mereka ikut dalam tampilan tersebut, apalagi kalau selama ini nama kulinernya sering yang itu-itu saja yang diekspresikan.
Pertanyaannya, begitu sulitkah menentukan branding nama kuliner Indonesia, padahal negeri ini sangat kaya akan seni dapur masakan.
Sebenarnya bukan karena ada yang diistimewakan atau kurang diperhatikan. Ini akibat pelaku perumus ketiga makanan (atau kuliner) di atas kurang memahami secara mendalam dan terbatas menyadari begitu banyaknya kekayaan seni dapur (resepi) makanan yang ada di negeri ini.
Apalagi pelaku perumus ketiga makanan (atau kuliner) di atas tidak secara lengkap menampilkan kontribusi dan pemikiran pakar-pakar dari semua daerah.
Dengan populasi sebesar 270 juta lebih yang terdiri dari 1334 suku dan sub suku, termasuk etnis pendatang, negara ini mempunyai kekuatan puluhan ribu seni dapur masakan, cuma belum digarap dari hulu sampai hilir.
Apalagi kuliner Indonesia punya kisah mengenai sejarah dan budaya, baik tangible dan intangible. Selain itu, Indonesia punya prestasi tersendiri kepada dunia mengenai seni dapur makanannya, seperti Rijsttafel.
Rempah kepulauan Nusantara pun tercatat telah mengubah revolusi cita rasa bumbu masyarakat dunia; yang awalnya berkembang di Eropa.
Dengan modal kekayaan dan prestasi di atas, apa yang menjadi persoalan hingga sampai kini negeri ini belum mampu melahirkan purwarupa brand makanan (kuliner) Indonesia.
Tantangan ini yang perlu dibicarakan secara lebih mendalam, namun terlebih dahulu ada beberapa hal yang perlu dipahami agar model rumusan kuliner Indonesia kedepannya bisa berhasil dan bertahan lama.
KORIDOR PERUMUSAN
PERTAMA, perlu disadari yang memegang kendali serta kepemilikan kuliner (makanan) di Indonesia adalah masyarakat dan pemerintah daerah.
Masyarakat dan pemerintah daerah lebih paham dan mengetahui mengenai harta kekayaan kuliner mereka, baik mengenai nama, resep, sejarah, budaya, cerita atau kisahnya.
Segala aset kekayaan kuliner pelaku (konsumen & produsen) maupun penyelenggaraannya ada di daerah; yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal, badan dan dinas di daerah terkait. Apalagi di era desentralisasi, kuasa itu semakin kuat.
Namun terkait kebijakan dan pemegang otoritas tertinggi nasional kepariwisataan kuliner (termasuk gastronomi) ada di ranah Kemenparekraf / Baparekraf sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Presiden RI Nomor 70 Tahun 2019 tentang Badan Pariwisata & Ekonomi Kreatif.
Untuk itu harus ada kerjasama Kemenparekraf / Baparekraf dengan masyarakat dan pemerintah daerah dalam merumuskan brand, tema dan ikon kuliner Indonesia (termasuk gastronomi) yang asetnya bermuara dari daerah.
Kerjasama ini diperlukan untuk harmonisasi dan koordinasi antara masyarakat dan pemerintah daerah dengan Kemenparekraf / Baparekraf dalam menentukan arah kebijakan kuliner (termasuk gastronomi) di Indonesia.
KEDUA, perlu dicatat masyarakat dan pemerintah daerah juga punya otorisasi dan kewenangan mengangkat dan mempromosikan kuliner (termasuk gastronomi) secara langsung ke berbagai belahan dunia berdasarkan payung hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Paradiplomasi).
Untuk diketahui semenjak tahun 2019, dunia sudah tidak lagi bicara mengenai Ikon Kuliner suatu Negara seperti Thailand dengan Tom Yum, Vietnam dengan Pho atau Korea Selatan dengan Kimchi. Masyarakat global lebih berhasrat bicara mengenai kuliner suatu Kota.
Pada tahun 2020, sebuah bisnis media dan hiburan global bernama Time Out Group menginspirasi masyarakat wisatawan dunia menjelajahi dan menikmati hidangan-hidangan yang terbaik dari kota di seluruh dunia.
Time Out membantu wisatawan dunia menemukan budaya hidangan di perkotaan dengan tagline "Time Out - the soul of the city" yang merupakan kurasi pasar makanan dan budaya dalam menghadirkan kuliner yang terbaik dari kota di seluruh dunia dengan memperkenalkan nama-nama pemasak (Chef), makanan, minuman, dan pengalaman budaya yang bisa didapatkan dalam perjalanan wisata.
Pada tahun 2020, media Time Out menghadirkan serial tahunan menu dunia bernama The world's most iconic dishes according to city locals (Hidangan paling ikonik di dunia menurut penduduk kota) yang meliputi 46 kota di dunia termasuk Singapore (Chicken Rice), Tokyo (Ramen), Osaka (Takoyaki), Seoul (Korean Barbecue) Kuala Lumpur (Nasi Lemak), Hong Kong (Dim Sum), Mumbai (Vada Pav).
Sudah saatnya kota-kota di seluruh Indonesia mempertimbangkan kehadiran hidangan kuiner mereka dalam panggung Time Out maupun media dunia lainnya, mempertimbangkan seperti dikatakan di atas dunia sekarang ini sudah tidak bicara mengenai ikon kuliner Negara tetapi lebih condong kepada ikon kuliner Kota.
KETIGA, secara literal, perumusan ikon kuliner (atau makanan) Indonesia harus memasukan dimensi masyarakat daerah sebagai bangsa di negara yang bernama Indonesia. Dalam arti pada saat perjalanan sejarah kepulauan Nusantara sebelum menjadi negara Indonesia agar mudah dipahami dan diterima semua pihak di negeri ini.
Seperti diketahui, negara Republik Indonesia lahir akibat okupasi (pendudukan) perusahaan konglomerasi Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Hindia Belanda maupun kekuatan asing lainnya.
Pada hakekatnya, kelahiran negara Indonesia merupakan bangsa baru (new nation) yang konsep fenomenanya secara politik dibentuk dan berkembang pada abad 20, yang kita kenal sekarang sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata Indonesia secara politis, dicetuskan dalam Manifesto (Maklumat) para pelajar Indonesia di Belanda pada tahun 1924, yang momentum ini mendapat sambutan hangat dari golongan nasionalis di dalam negeri yang kemudian mereka gunakan sebagai ekspresi politik perjuangan kebangsaan.
Puncak perkembangan nama Indonesia baru populer pada saat dicetus Sumpah Pemuda tahun 1928 yang dibacakan oleh Budi Utomo. Sumpah Pemuda adalah tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia yang merupakan kesepakatan politik semua suku dan sub-suku untuk bersatu, termasuk etnik pendatang.
Ikrar Sumpah Pemuda dianggap sebagai kristalisasi semangat menegaskan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia yang puncaknya berbuah menjadi Proklamasi Kemerdekaan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945.
Teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dibacakan Soekarno didampingi Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Sebagai Negara yang merdeka dengan tanah air yang berdaulat, maka persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia disepakati melalui ikatan politik, yaitu Pancasila dengan ikatan hukum Undang-Undang Dasar 1945, selain oleh satu ikatan bahasa Indonesia.
Berhimpunnya suku dan sub-suku ke dalam negara yang bernama Indonesia adalah bukti mereka sejatinya bukan berasal dari suku dan sub-suku bangsa yang sama. Masing-masing suku dan sub-suku mempunyai perjalanan kesejarahan yang berbeda, meskipun ada yang sama.
Selain itu, konstruksi peradaban budaya masing-masing suku dan sub-suku masih tetap dipertahankan karena merupakan produk kearifan lokal leluhur yang tidak bisa disatukan ke dalam satu ikatan kesatuan kebangsaan negara bernama Indonesia.
Peradaban budaya itu menjadi kekayaan untuk saling melengkapi dan saling mendukung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan kata sederhananya “dititipkan”.
Tidak pernah kita dengar ungkapan kuliner (makanan atau masakan) batak, atau kuliner padang atau kuliner palembang atau kuliner Bali dan sebagainya disebut sebagai kuliner Indonesia. Pastinya tetap memakai sebutan kuliner (makanan atau masakan) batak atau padang atau palembang atau bali yang merupakan melting pot makanan (masakan) Nasional Indonesia. Itulah makna penjabaran dari kata “dititipkan”.
Disarankan pemikiran ini bisa menjadi pertimbangan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena bagaimanapun harus disadari peradaban budaya masakan atau makanan (kuliner) di negeri ini adalah titipan dari segenap masyarakat kepulauan Nusantara kepada bangsa dan negara yang bernama Indonesia saat menyatakan kemerdekaannya.
Oleh karena itu dalam merumuskan ikon kuliner (atau makanan) Indonesia kedepannya jangan sampai terjadi "kecemburuan sosial" seperti yang disampaikan di atas.
KEEMPAT, perumusan brand kuliner (atau makanan) Indonesia seyogyanya tidak bisa langsung di atas namakan kuliner namun sebaiknya atas nama brand Tema sebagai representasi mewakili segenap sejarah dan budaya masakan daerah di kepulauan Nusantara.
Filosofi brand Tema melambangkan simbol sejarah, budaya dan lanskap geografis kearifan lokal masakan daerah masyarakat Nusantara, sehingga menghasilkan suatu kesatuan karakter dan memberi kesan dinamis maupun futuristik sebagai bangsa Indonesia.
Selain itu, kekuatan brand tema adalah ungkapan terhadap Branding Power makanan nasional Indonesia yang diterjemahkan bukan karena nama makanan (kuliner) belaka, tetapi lebih menekankan kepada emosi, personality, identitas, prestise serta kekuatan dari seni dapur masakan daerah kepulauan Nusantara.
Brand tema ini ibaratnya merupakan payung legitimasi yang melambangkan kuliner (makanan) di kepulauan Nusantara Indonesia. Oleh karena itu brand tema itu diperlukan sebagai representasi dari semua kekayaan dan keanekaragaman kuliner (makanan) yang ada di negeri ini. Brand tema dibangun dengan suatu diksi narasi yang tagline-nya harus bisa menggambarkan dan mewakili kuliner masyarakat daerah kepulauan Nusantara.
Sebagai inspirasi kuliner di kota Medan dikenal dengan narasi "Enak & Sangat Enak" sehingga brand tema kuliner di kota Medan dapat diterjemahkan dengan simbol tagline tersebut.
Gagasan tagline lainnya bisa dengan menginterpretasikan ke dalam simbol pedas (spicy) dan rempah (spices) sebagai rasa alami makanan.
Seperti diketahui, pedas mewakili semua makanan yang ada di seluruh kepulauan Nusantara. Bisa dikatakan, di hampir semua makanan masyarakat Nusantara ada rasa pedas alami dan ada rasa pedas manis. Sedangkan rempah melalui bumbunya sudah tercatat kemasyhurannya yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian hidup masyarakat Nusantara.
Contoh konkrit brand tema yang diangkat satu kementerian koordinator pada tahun 2021 dengan tagline "Indonesia Spice Up the World" .
Narasi itu memenuhi segala unsur kekuatan brand power equity kuliner atau masakan daerah di kepulauan Nusantara Indonesia yang notabene mewakili sejarah, budaya dan kearifan lokal masyarakat secara keseluruhan.
Diharapkan kekuatan brand-nya bisa bertahan lama (long-lasting) seperti yang dilansir Thailand dengan tagline "Thailand : Kitchen of the World"
KELIMA, setelah menemukan tagline brand Tema seperti yang disampaikan di butir Keempat diatas, maka perlu ditentukan turunannya, yakni Signature Dish (hidangan khas) masakan warisan (kuliner) daerah yang legendaris dan unik serta tidak ada duanya, baik dari segi rasa, bahan maupun presentasi.
Signature Dish ini merupakan kuliner (makanan) andalan daerah sebagai jurus pamungkas yang mempunyai sentuhan emosional dan aktual yang kuat, selain merupakan karya yang sarat akan karakter dan menjadi ciri khas yang melekat bagi kebanyakan masyarakat daerah, termasuk yang langka.
Mengingat kuliner (makanan) di negeri ini terlalu banyak dan tidak bisa mewakili semua daerah yang, maka paling tidak Signature Dish itu nanti harus bisa mewakili 34 (tiga puluh empat) jumlah provinsi yang ada.
Umpamanya, Signature Dish dari Minangkabau, atau dari Jawa (Tengah, Timur atau Barat), atau dari Kalimantan (Tengah, Timur, Selatan, Utara atau Barat), atau dari Batak (Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun atau Pakpak), atau dari Aceh maupun lain sebagainya.
Sedangkan penyebutan nama-nama makanannya (kuliner) bisa dilakukan sebagai Subtitle dari Signature Dish tersebut. Contoh Subtitle dari Signature Dish itu bisa diperumpamakan untuk kuliner (makanan) Jawa Tengah dengan cara "Central Javanese Nourishment with appearance of Nasi Gandul, Gudeg, Soto Kudus, Mangut Beong, Mie Ongklok, Garang Asem, Rondo Royal, Lumpia, Wajik, Gethuk, etcetera"
Contoh Subtitle lain dari Signature Dish itu bisa diperumpamakan dengan menampilkan Soto Indonesia dengan ungkapan "Indonesia Legend Soto Nourishment with appearance of Soto Madura, Soto Padang, Soto Betawi, Soto Lamongan, Soto Medan, etcetera"
Perumpamaan Subtitle untuk Signature Dish Indonesia dengan ungkapan "Indonesia Popular Nourishment with appearance of Rendang Padang, Laksa Bogor, Sate Ayam Madura, Gado-Gado Jakarta, Nasi Liwet Solo, Rawon Surabaya, etcetera"
Dengan demikian referensi ikon kuliner Indonesia pada mulanya harus ditentukan terlebih dahulu tagline brand Tema yang mewakili narasi keanekaragaman dan kekayaan kuliner (makanan Indonesia). Setelah dirumuskan narasinya maka kemudian menentukan Signature Dish berdasarkan nama-nama kuliner (makanan) daerah yang ingin ditampilkan.
KEENAM, perumusan brand Tema, Signature Dish dan Subtitle dari Signature Dish harus melibatkan semua pakar-pakar daerah dan pusat yang keahlian dalam bidang gastronomi, makanan (kuliner), antropologi, arkeologi, hubungan internasional, budaya, sejarah, sosiologi, kesehatan (nutrisi), teknologi pangan, pariwisata, hospitality dan lain sebagainya.
Pakar-pakar ini dihadirkan dan dilibatkan kontribusi pemikirannya oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Demikian disampaikan. Semoga bermanfaat
Salam Gastronomi
Makanan Punya Kisah
Food Has Its Tale
Cibus Habet Fabula
Tabek
Indra Ketaren (Betha)