".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 11 December 2016

Wisata Gastronomi & Wisata Boga


Saya berusaha terlebih dahulu menjelaskan perbedaan antara wisata gastronomi dan wisata boga untuk kita pahami secara jelas sebagai komunitas gastronomi Indonesia. 

1. Wisata gastronomi (gastronomic tourism) cenderung sebagian besar dilakukan wisatawan luar negeri yang datang untuk tujuan di mana makanan dan minuman lokal adalah faktor utama yang memotivasi mereka datang, selain melihat obyek alam, obyek budaya dan obyek bersejarah yang ada.

2. Wisata boga (culinary tourism) dilakukan pelancong domestik yang bepergian ke tempat-tempat tertentu (biasanya tempat wisata dan ada kalanya non wisata) untuk mencari dan menikmati makanan dan minuman spesifik (biasanya lokal dan ada kalanya non-lokal). Bagi pelancong domestik obyek alam, obyek budaya dan obyek bersejarah, bukan opsi utama dari kunjungan.

Contoh wisata gastronomi adalah Bali dan Yogyakarta, dua destinasi yang cukup banyak menarik didatangi pelawat manca negara, mengingat kedua kota ini dikenal memiliki obyek wisata yang beraneka ragam seperti keindahan alam, obyek bersejarah dan seni budaya tradisional lainnya (pakaian, kerajinan tangan maupun tarian).

Aneka boga makanan Bali dan Yogyakarta sudah mampu menarik perhatian wisatawan asing, walaupun kemasan gastronominya masih belum banyak ditampilkan yakni kemampuan untuk menceritakan sejarah, budaya, geografis, metoda memasaknya. Sedangkan pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi, peranti saji dan penampilan boga makanannya cukup baik, termasuk performa dari teknik food plating dan presentasi table settingnya.

Contoh wisata boga adalah kota Bandung walaupun sampai saat ini Pemdanya tidak mempromosikan kota kembang itu sebagai destinasi wisatawan, setiap tahunnya jumlah wisatawan meningkat dimana pada tahun 2015  sudah didatangi 6 juta turis yang 20% diantaranya adalah wisatawan asing. Kota Bandung dikenal dengan aneka ragam makanannya (lokal & non lokal) dan kebanyakan pelawat datang untuk melakukan wisata boga karena obyek wisata alamnya hampir dibilang tidak banyak. Obyek wisata Bandung ada disekitar kabupaten Bandung.

Pelayanan, dekorasi, sanitasi, presentasi, peranti saji dan penampilan boga makanan di kota Bandung cukup baik, termasuk performa dari teknik food plating dan presentasi table settingnya. Hanya saja kemasan gastronominya belum terlihat yakni dalam kemampuan hoteliers dan restaurateur menceritakan sejarah, budaya, geografis, metoda memasak sajian yang ditampilkan.


PERTUMBUHAN WISATA BOGA DI BENUA BARAT
Dari catatan survei pelancong yang dilakukan The International Culinary Tourism Association Amerika Serikat pada tahun 2007, diketahui 17% dari jumlah pelawat domestik negara itu hanya bertujuan untuk wisata boga. Diperkirakan angka itu akan tumbuh pesat 3 kali lipat di tahun-tahun mendatang. 

Sedangkan menurut catatan koran USA Today di tahun 2009, sekitar 27 juta penduduk Amerika Serikat berwisata domestik hanya untuk kepentingan boga. Di Inggris, wisata boga diperkirakan memberi sumbangan terhadap produk domestik bruto negara itu sebesar hampir $ 8 miliar per tahun. 

Wisata boga adalah segmen pariwisata yang pertumbuhan sangat pesat di benua barat, dan biasanya wisata gastronomi mengikuti trend itu yang dikombinasikan dengan kegiatan lain seperti wisata budaya, bersepeda, berjalan, dan lain-lain. The International Culinary Tourism Association memperkirakan rata-rata wisatawan domestik menghabiskan biaya sekitar $ 1.200 per perjalanan, dimana sepertiganya (36% atau $ 425) berhubungan dengan belanja makanan. Malah untuk kedepannya diperkirakan cenderung akan menghabiskan jumlah yang cukup signifikan dan lebih tinggi dari sebelumnya (yakni sekitar 50%) untuk yang berhubungan dengan makanan.

WISATA MAKANAN
Saya belum dapat data angka statistik mengenai sumbangan sektor makanan dalam dunia pariwisata, namun catatan data ini perlu untuk mengetahui peta wisata Indonesia. Apakah sudah ada sensus nasional mengenai sejauh mana daya tarik makanan lokal memberi sumbangan terhadap pariwisata di negeri ini dan apakah wisatawan asing atau lokal datang ke suatu destinasi wisata karena obyek makanan atau non-makanan.

Pelaku boga di Indonesia bukan hanya hoteliers dan restaurateur. Ada pelaku lain yakni warung makan sederhana dan warung kaki lima yang jumlahnya cukup signifikan yakni hampir 60% dari total angka UKM (usaha kelompok kecil dan menengah). 

Pilihan masyarakat kebanyakan pada sektor ini, karena masyarakat masih melihat "apa adanya" dan bangga terhadap seni masakan tradisional yang tidak perlu di "up to date" penampilannya secara mutakhir. Memang bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, rasa dan kelezatan yang menjadi pilihan utama, yang penting enak, kejangkau secara ekonomi dan tidak perlu mengikuti standard macam-macam

Oleh karena itu, sensus nasional mengenai makanan terhadap pariwisata perlu dilakukan, baik itu untuk mencatat data pelaku hotel, restoran, warung makan sederhana dan warung kaki lima. Bagaimana sumbangannya mereka terhadap dunia wisata daerah dan berapa besar daya tarik dan jumlah wisatawan berkunjung ke tempatnya.

Dari kajian statistisk ini bisa nanti diklasifikasikan kota-kota mana di Indonesia dapat dikategorikan sebagai destinasi wisata gastronomi dan wisata boga. Dalam perjalanan ke berbagai daerah, sepertinya (mungkin saya salah), hanya obyek alam, obyek budaya dan obyek bersejarah yang dipasarkan promosi di negeri ini.

Belum ada promosi wisata gastronomi dan wisata boga yang bisa menjadi andalan utama pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Bandung bisa menjadi contoh bagaimana kota itu begitu gencar dan kreatif memasarkan wisata boga sebagai andalan promosi daerahnya. 

Setiap akhir pekan orang Jakarta datang ke kota Bandung hanya untuk makan. Datang pagi dan pulang malam atau keesokan hari, hanya untuk menikmati aneka kreasi makanan lokal dan non lokal maupun souvenir makanan yang ada di setiap pelosok jalan kota. Jumlah itu sudah mencapai 125 ribu setiap minggu di tahun 2015.

Namun yang pasti untuk menjadikan makanan sebagai obyek pariwisata, diperlukan juga keterlibatan pemangku / otoritas terkait memberi pelatihan, bimbingan, penyuluhan dan pendidikan yang intensif kepada pelaku boga di seluruh daerah agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya, mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca - indra konsumen juga ikut makan.

Sejauh ini diketahui Pemerintah hampir tidak pernah menyentuh mereka. Padahal mereka adalah pelaku usaha dan jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen. Mereka adalah pelaku utama yang harus menafsirkan terus - menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen.

Semoga pemikiran ini bisa menjadi masukan, mengingat sektor makanan bisa memberi sumbang besar terhadap PDB (produk domestik bruto) masing-masing daerah disamping dapat membuka lapangan kerja baru.

Tabek