".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Wednesday 28 December 2016

Pahlawan


Untuk bicara makanan ada unsur yang harus mutlak dibina, dididik, dilatih dan disuluh dengan baik yakni para aktor yang menjamin ketersediaan pangan dan mengolah pangan itu menjadi makanan sehingga panca - indra kita, seperti mata, hidung, dan lidah, ikut ”makan”.

Mereka adalah yang mempersiapkan, menjamin ketersediaan dan mengolah bahan pangan maupun siapa yang menggerakkan sampai tersedianya keperluan bahan sehingga makanan disajikan secara sempurna.

Sebagian besar perputaran roda ekonomi negara dan DNA "merah putih" makanan dikelola oleh mereka. Selama ini mereka tidak dipandang sebelah mata oleh kita dan selalunya anak bangsa ini tergusur dari panggung makanan negeri yang bernama Indonesia.

Padahal mereka adalah simpul makanan yang selalu didekati setiap masyarakat dalam memilih, membeli dan menikmati kelezatan. Termasuk wisatawan.

Harkat dan martabat mereka terabaikan, yang tanpa disadari cita rasa produk yang dibuat dari jernih keringat mereka, kita nikmati sebagai sebutan makanan.

Berbagai karnaval dan manuver politik maupun yang menyebabkan kritisnya keadaan negeri ini, membuat mereka tidak terganggu apalagi jarang tergoyahkan dalam menghidupkan keekonomian rumah tangganya, walaupun tidak pernah menjadi lebih baik.

Mereka menciptakan sistem enterpreneurship tersendiri tanpa ada fasilitas apapun yang disediakan bangsa ini, terkecuali pasar.

Kita merupakan pasar konsumen bagi mereka yang selalu setia membeli produk yang dihasilkannya, tetapi jarang menyentuh dan bertanya siapa mereka sebenarnya.

Bisa dikatakan ketahanan pangan dan pelestarian seni masakan ada di tatanan kelompok masyarakat ini.

Tanpa mereka, entah bagaimana peri - kehidupan bangsa ini. Mungkin budaya bangsa Indonesia, jika boleh disebut peradaban, tidak akan pernah tegak dan sarat konflik.

Tegasnya, para aktor ini adalah pahlawan – yang boleh disebut sebagai ”pahlawan yang tidak pernah diperhatikan” - yakni :

1. Para pembudi - daya, petani dan nelayan; serta para pelaku usaha yang bergerak di proses industri pangan
Memang dalam tataran citra, mereka boleh disebut sebagai pahlawan yang kerap diperhatikan, tetapi, ironisnya tertinggal.

Akibatnya kehidupan sosial ekonomi mereka tidak pernah menjadi lebih baik, karena salah satunya oleh ketidak-pahaman kita melihat secara mendalam sejarah budaya yang hidup di kalangan pembudi - daya, petani dan nelayan itu sendiri.

Kebijakan dan aturan yang ada maupun cara kerja bank, sejauh ini tidak pernah bersandar pada budaya para pahlawan ini yang lekat dengan sesuatu yang konkret dan bersifat komunal serta berkonteks kepercayaan.

Tidak mengherankan jika di antara posisi Pemerintah dan para pahlawan itu ada ruang kosong.

Ruang kosong ini umumnya diisi oleh para tengkulak, yang secara kultural mampu mengeksploitasi pahlawan kita dengan menawarkan sesuatu yang lebih konkret langsung di depan mata, yaitu uang.

Sementara petugas bank biasanya hanya membawa formulir transfer uang atau persyaratan kredit yang harus diisi.

2. Para pelaku usaha dari usaha industri makanan rumah tangga, warung / kedai makan, pedagang kaki lima, dan segala macam jenis panggilan terhadap mereka yang kesemuanya termasuk dalam kategori UKM (usaha kecil & menengah).
Pemangku otoritas kebijakan hampir tidak pernah menyentuh mereka. Padahal, pelaku usaha adalah jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen.

Mereka juga harus menafsirkan terus - menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen.

Sejauh ini, belum pernah terdengar ada program aksi untuk, misalnya, mendidik, melatih dan membina para pedagang warung kaki lima, warung / kedai makan dan pedagang-pedagang makanan lainnya yang di bahu jalanan, agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya mengundang selera, dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca - indra kita juga ikut makan.

Juga belum pernah terdengar kabar, usaha industri makanan rumah tangga, seperti lemper dan arem – arem dan lain sebagainya, mendapatkan bimbingan dan penyuluhan sehingga penampilan lemper dan arem-arem akan indah seperti sushi dan rasanya pun enak menjemput selera konsumen.

Aktor - aktor pahlawan di atas di sisi proses ini memang tidak mendapatkan perhatian penuh dari para pengambil keputusan.

Akibatnya, para ”pahlawan” itu bisa mati karena tertinggal oleh selera konsumen yang melompat sesuai dengan adagium bahwa konsumen adalah poros penggerak suatu perubahan.

Miskinnya perhatian elite politik dan perguruan tinggi serta teknolog, otomatis berimplikasi pada ketidakmampuan para pelaku usaha makanan untuk bersaing dengan waralaba internasional, yang mampu menafsirkan perubahan selera konsumen berusia muda

Kelompok usia muda inginnya mengkonsumsi produk kualitas premium, dengan rasa, bau, warna, kecepatan penyajian, dan kemasan prima.

Pendeknya, bukan waralaba asing itu yang sesungguhnya menjajah Indonesia, tetapi bangsa ini gagal menangkap perubahan selera bangsanya sendiri.


Tabek