".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 7 May 2015

BANCAKAN - KEARIFAN LOKAL WONG JAWA YANG SERINGKALI DISALAH ARTIKAN


Masyarakat Jawa dikenal memiliki kepercayaan terhadap kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur dalam kehidupan mereka. Hal ini berlangsung sebelum datangnya beberapa agama bahkan bagi yang sudah memeluk agama tertentu. Pemahaman akan adanya energi / kekuatan magis (ghaib) dan adanya kehidupan setelah kematian menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Jawa mempunyai dasar-dasar nilai spiritualitas dalam kehidupannya. Disamping itu, masyarakat Jawa dikenal juga pada dasarnya merupakan Homo Simbolis yang suka menjelaskan sesuatu melalui penggambaran dalam bentuk simbol  ataupun pralambang.

Pertemuan antara nilai-nilai spiritualitas dan simbol / pralambang inilah yang membentuk budaya jawa menjadi budaya yang sangat luhur dan mempunyai makna filosofi yang tinggi. Hal inilah yang dimaksud dengan "wohing budi lan daya". Jadi untuk memahaminya perlu menggunakan rasa (rah sa) dan budi agar kita bisa menggali makna-maknanya.

Tentu ini tidak mudah, diperlukan latihan olah rasa dan kedewasaan spiritual, sehingga mampu mengungkap tabir yang ada. Namun hal ini akan dimaknai berbeda, ketika hasil budaya tersebut dipahami seperti apa yang dilihat tanpa dikaji dan digali maknanya. Maka tidak heran jika sebagian orang menilai jika budaya jawa itu lekat dengan hal-hal yang berbau mistis, irrasional dan klenik.

Pada kesempatan ini akan dicoba memaparkan salah satu contoh kearifan lokal itu dengan mengangkat kuliner wong Jawa yang ada. Kuliner ini sering disalah-artikan sebagai hal yang sifatnya mistis / klenik oleh beberapa orang yang antipati terhadap budaya maupun bagi orang-orang Jawa itu sendiri. Contoh kearifan lokal kuliner masyarakat Jawa itu adalah acara Bancakan.

Bancakan atau dikenal dengan slametan biasanya diwujudkan dalam bentuk  nasi tumpeng yang berbentuk kerucut. Biasanya nasi gurih (nasi uduk) dengan aneka lauk, atau dikenal juga dengan istilah kembul bujana. Bancakan / slametan biasanya dilakukan setelah terwujudnya suatu keinginan yang diinginkan, yang bermaksud untuk mensyukuri atas karunia yang telah diterima.

Bancakan / slametan dipandang sebagai suatu hal yang klenik, dikarenakan dianggap sebagai sajen / sesaji kepada danyang atau terhadap suatu kekuatan lainnya selain Allah. Padahal dalam bancakan sendiri sebetulnya terdapat beberapa makna sebagai berikut:

a. Mensyukuri atas nikmat / karunia dari Allah, atas terwujudnya suatu hajat / keinginan sehingga diwujudkan dalam bentuk shodaqoh (sedekah), dengan mengeluarkan sebagian rejekinya untuk berbagi terhadap sesama.
b. Nasi uduk, berasal dari kata wudhu yang berarti suci / bersih. Dikarenakan berasal dari nasi gurih, dilambangkan sebagai makanan yang harum. Diharapkan orang yang selalu makan makanan yang harum dan bersih, darah dagingnya akan memancarkan bau harum dengan sendirinya.
c. Tumpeng buceng, bentuk kerucut,  tumpeng dalam istilah Jawa dikenal dengan buceng. Mbujung =  buceng = mengejar untuk mencapai tingkatan yang paling tinggi di dalam hidup yaitu tingkat kehidupan ke-illahian, dengan berbekal segala potensi hidup (potensi alami) yang dilambangkan dengan uborampe makan yang berupa tumbuh-tumbuhan dikenal dengan gudangan.

Tentu masih banyak lagi kearifan lokal wong Jawa yang belum diungkap. Contoh diatas hanyalah sebagian kecil dari kearifan lokal wong Jawa yang sering disalah artikan, sehingga menimbulkan kesan klenik / mistis dan irrasional. Bancakan merupakan salah satu rujukan bagi budaya yang dihasilkan oleh para leluhur negeri ini dimana nilai-nilai prosesi yang dihasilkannya penuh makna (intangible heritage).

Penjelasan di atas  bertujuan agar tidak terjadi salah pemahaman dalam memaknai kegiatan budaya serta menepis anggapan warisan peninggalan para leluhur itu merupakan hal yang tidak bermakna dan cenderung menyimpang dari agama maupun logika manusia.

Salam Gastronomi