".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 8 May 2015

Makna Tangible & Intangible Tumpeng Dari Sisi Semiotika

Tumpeng merupakan salah satu kuliner khas Jawa yang senantiasa hadir dalam kesempatan-kesempatan istimewa. Seluruh upacara adat masyarakat Jawa, terutama yang berkaitan dengan daur hidup manusia, sejak kelahiran, pernikahan, hingga kematian, pastilah menghadirkan tumpeng sebagai salah satu sajian kulinernya. Tumpeng adalah hidangan paripurna (penuh & lengkap) yang merupakan warisan tradisi nenek moyang yang sangat tinggi maknanya dan mempunyai nilai yang sakral.

"Tumapaking penguripan-tumindak lempeng tumuju Pangeran" adalah kepanjangan dari kata tumpeng yang mengartikan bahwa "Manusia itu harus dijalan Tuhan". Masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib di luar diri manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka merasa perlu memelihara hubungan dengan kekuatan tersebut agar terjadi keseimbangan dengan kehidupan mereka, yaitu dengan cara selamatan.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa, tumpeng memiliki makna-makna dalam kehidupan manusia. Kepercayaan pembuatan tumpeng yang tidak hanya untuk dikonsumsi sehari-hari namun juga memiliki nilai-nilai historis di dalamnya berkembang di masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa dengan menyajikan tumpeng adalah hal yang ritual, yaitu untuk mensyukuri nikmat Tuhan, memohon perlindungan dan keselamatan, memperingati peristiwa-peristiwa penting serta untuk menyampaikan keinginan tertentu agar terkabul

Dalam pemahaman umum, tumpeng diwujudkan dalam sajian makanan yang terbuat dari nasi, baik nasi putih, nasi kuning, maupun nasi uduk / gurih, yang dibentuk kerucut, diletakkan di atas tampah atau bakul bambu, dilengkapi dengan sejumlah lauk-pauk baku seperti urap, telur pindang, ayam, dan sebagainya.  Sedangkan upacara tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan. Wujud fisik semacam itulah yang kerap diacu oleh awam saat mereka mendeskripsikan tentang tumpeng.

Seiring berjalannya waktu, tumpeng tampaknya tidak hanya menjadi milik budaya kuliner tradisional masyarakat Jawa. Masyarakat dari suku dan etnis lain pun yang ada di Indonesia mulai memasukkan tradisi tumpeng sebagai sajian pokok dalam upacara-upacara lain di luar upacara adat seperti ulang tahun kelahiran, ulang tahun pernikahan, syukuran kelulusan, naik pangkat, dan sebagainya. Namun, satu hal yang tampak secara implisit dari kehadiran tumpeng adalah tentang sifat penyajiannya yang hanya muncul sesekali, sakral, dan monumental.  

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah makna di balik tumpeng, sehingga kehadirannya mempunyai hubungan sebagai lambang (tangible) dengan yang dilambangkan (intangible)  ?  

Kedua, mengapa tumpeng hanya muncul sesekali dan dalam kesempatan-kesempatan tertentu yang sifatnya sakral dalam sebuah upacara ?  

Mari kita coba melihat secara umum makna tangible dan intangible tumpeng dari sisi Semiotika sehingga dapat memberi saran atau petunjuk mengenai konsep yang diwakilinya.

Jika kita pakai pendekatan Semiotika (yang pakarnya antara lain seperti Ferdinand de Saussure dan C.S. Peirce), makna tumpeng dapat kita kaitkan dengan "teori tanda" karena pada esensinya manusia adalah makhluk tanda apalagi dalam berpikir pun orang menggunakan tanda-tanda.

Pemaknaan tumpeng dalam teori tanda terdiri atas "penanda" dan "petanda" (1). Disini tumpeng diposisikan sebagai pemaknaan "penanda" dari kategori objek makanan atau kuliner tradisional Jawa. Pemaknaan "petanda" yang muncul adalah bahwa ada upacara yang sedang atau akan berlangsung, atau bahwa tumpeng tersebut hadir sebagai sesajian dalam kesempatan sakral tertentu.  

Pemaknaan semacam ini, terbentuk secara sosial karena adanya “kesadaran kolektif” yang dimiliki oleh masyarakat Jawa secara umum berkaitan dengan kehadiran tumpeng dalam perhelatan atau upacara tertentu yang merupakan perangkat kaidah sosial yang telah ada. Aspek praktik sosialnya diwujudkan dalam peristiwa ketika seseorang menyelenggarakan sebuah upacara, misal pernikahan, ia menyajikan tumpeng dalam upacara tersebut.

Pemaknaan atas tumpeng dapat berlanjut melalui unsur-unsur yang hadir didalamnya seperti bentuk tumpeng yang kerucut menyerupai gunung, mewakili permohonan seseorang kepada Tuhan sebagai penguasa kosmos. Tumpeng yang terbuat dari nasi putih menandakan kesucian hati dalam mensyukuri atau menerima segala pemberian Tuhan, baik maupun buruk.  

Lauk-pauk baku yang umumnya diatur melingkari tumpeng pun memiliki makna, seperti urap yang terdiri atas sayur-mayur juga merepresentasikan permohonan-permohonan seseorang akan perlindungan, ketenteraman, dan keberlanjutan (segala sesuatu hal yang baik).  

Telur pindang yang biasanya disajikan utuh dengan kulitnya sehingga mengharuskan seseorang untuk mengupasnya terlebih dahulu sebelum memakannya, di samping merupakan perwujudan dari kesadaran akan persamaan derajat setiap manusia di mata Tuhan, juga merepresentasikan pesan bahwa segala sesuatu hal yang ingin dicapai haruslah melalui proses atau perjuangan.  

Sedangkan, ayam, yang umumnya dipilih jenis ayam jago atau jantan, yang dimasak utuh (ingkung) dengan bumbu kuah santan melambangkan kekhusyukan dalam beribadah atau bermunajat pada Tuhan, dengan menghilangkan kesombongan diri dan egoisme.  

Pemaknaan unsur-unsur tumpeng di atas, memanfaatkan relasi sintagmatis antar elemen yang dihadirkan.  Sedangkan, pemaknaan yang bersifat paradigmatis dapat berkembang sesuai pengalaman individu tertentu, atau kelompok sosial masyarakat tertentu atas "penanda" yang sama, dalam hal ini tumpeng.

Pemaknaan atas tanda dapat diartikan bahwa ada hubungan antara kenyataan atau realitas yang bersifat konkret (tangible) dengan sesuatu yang ada pada kognitif manusia (intangible). Tanda adalah representamen yang bersifat kausal (sebab-akibat) atau kontigu (berdekatan) yang secara spontan mewakili objek yang dibentuk berdasarkan konvensi kognisi sosial.

Selain itu pemaknaan semiosis atas "tanda" memiliki tiga unsur ( triadik) yakni "Representamen" - "Obyek" - "Interpretan" (2). Disini tanda diartikan sebagai representamen yang bagi seseorang mewakili sesuatu dalam kaitan atau kapasitas tertentu. Tanda ini menciptakan dalam pikiran orang itu suatu tanda lain (gagasan) yang setara, atau bisa juga suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu disebut interpretan yang mewakili sesuatu, yaitu obyek-nya.

Dengan demikian tumpeng dalam alur triadik berkedudukan sebagai tanda sekaligus representamen yang mengacu pada objek makanan (atau salah satu jenis makanan), tiruan bentuk gunung, tiruan bentuk kedua telapak tangan yang saling ditangkupkan (menyembah), upacara tradisional masyarakat Jawa, permohonan dan rasa syukur pada Tuhan.  

Objek-objek yang terwakili oleh representamen tumpeng itu tampaknya muncul dalam tiga kategorisasi tanda itu.  Disebut sebagai index adalah ketika representamen mewakili objek makanan atau upacara tradisional masyarakat Jawa. Tiruan gunung dan posisi tangan menyembah masuk dalam kategori ikon. Sedangkan, simbol adalah ketika tumpeng sebagai representamen dianggap mewakili permohonan dan rasa syukur kepada Tuhan.

Di tahap interpretan, tumpeng dapat ditafsirkan sebagai tiruan gunung yang dalam tradisi religi Hindu disebut meru atau mahameru, yaitu puncak gunung tertinggi sebagai kawasan suci tempat berdiam para dewa dan persemayaman arwah leluhur, maupun kediaman Tuhan terhadap kesempurnaan dari sebuah tujuan serta akhir sebuah perjalanan. Dari objek-objek tersebut dihasilkan interpretan antara lain bahwa masyarakat Jawa menganggap mulia arwah para leluhurnya seperti halnya mereka memandang Tuhan yang ditempatkan di tempat tertinggi, dan sebagainya.

Konsep religi kuno tersebut tampaknya masih terus dilanjutkan bahkan hingga kedatangan Islam di Jawa. Masyarakat Jawa menyimbolkan persemayaman Tuhan dan arwah leluhur sebagai tempat yang tinggi. Posisi tangan yang menyembah juga menghasilkan interpretan yang kurang lebih sejalan dengan interpretan sebelumnya, yaitu bahwa tumpeng merupakan sajian yang menyiratkan permohonan kepada Tuhan, maupun rasa syukur atau penerimaan seseorang manusia atas segala ketentuan Tuhan atas dirinya maupun orang-orang disekelilingnya.

Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan. Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.

Dari penjelasan ini dapat dikatakan tumpeng (tangible) adalah salah satu simbol budaya kuliner khas masyarakat Jawa yang berfungsi sebagai sarana komunikasi spiritual (intangible) antara manusia dengan penciptanya. Sarana komunikasi spiritual (intangible) itu adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa yang hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajaran masyarakat Jawa yang universal dan selalu melekatkan diri segala sesuatu yang berhubungan dengan adat, spiritual dan kepercayaan berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya.

Kehadiran tumpeng menjadi penanda kehadiran adat, spiritual dan kepercayaan bagi sebuah upacara terutama berkaitan dengan daur hidup seseorang sebagai ekspresi rasa syukur, penerimaan, dan permohonan manusia pada Tuhan. Maknanya tak lagi perlu dikomunikasikan secara lisan maupun tertulis, karena bentuk fisik dan segala kelengkapan yang menyertainya telah dipahami oleh masyarakat Jawa secara umum.

Sebagai penutup dan sebagai pesan, perlu diingat bahwa cara menyantap tumpeng tidak dipotong melintang dan daun pisangnya tidak dilepas sama sekali. Dalam kebiasaan masyarakat Jawa kuno (yang jarang diketahui banyak orang saat ini), nasi tumpeng di KERUK sisi sampingnya dimulai di bagian yang paling bawah sampai naik ke atas. Kalau puncak pucuk kerucut dipotong & daun pisang dilepas, artinya simbol rumah suci terlepas dari ikatan bathin yang mau dijalin terhadap Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.


Sebelum di keruk oleh orang pertama, yang bersangkutan dalam hati berdoa dan minta "sesuatu untuk dikabulkan" yang kemudian setelah selesai permintaan itu, mulai mengeruk tumpeng dari sisi sampingnya. Setelah berdoa, puncak tumpeng dikeruk dan kerukan pertama biasanya diberikan kepada orang yang dianggap penting atau dituakan sebagai penghormatan. Dia mungkin menjadi pemimpin kelompok, orang tertua, atau orang yang dicintai.

Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang

Usai itu, tumpeng boleh disantap bersama-sama sebagai perlambang membagi rezeki dengan tetap cara mengeruk dari samping tanpa menyentuh bagian segitiga puncak atau daun pisangnya. Menurut adat kepercayaan, pada saat kerukan semakin banyak dilakukan, di saat tertentu akan jatuh segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang itu. Ini pertanda jawaban, bahwa doa selamatan dan permintaan dikabulkan atau diberkahi oleh YME.

Ambil wadah anyaman yang dilapis daun pisang dan letakan segitiga puncak kerucut yang ada daun pisang yang masih ada nasi tumpeng tersebut. Kemudian wadah anyaman itu diletakan di tempat yang dianggap keramat sebagai sesajian kepada Gusti Allah berserta para dewa-dewi serta para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang.

Note:
(1) Ferdinand de Saussure :
Hubungan antar tanda bersifat sintagmatis dan paradigmatis. Sedangkan pemaknaan tanda dapat bersifat konvensional dengan memanfaatkan perangkat kaidah sosial yang telah ada (langue) dan praktik sosialnya (parole).

- Sintagmatis adalah hubungan linier antara unsur bahasa yang satu dan unsur bahasa yang lain dalam tataran tertentu yang hubungannya dapat diuji dengan permutilasi atau perubahan urutan satuan unsur-unsur bahasa. Misalnya, kata-kata di dalam kalimat : .. "Saya bekerja keras dengan penuh disiplin dan tanggung jawab" .. sudah mempunyai hubungan yang tetap dan tidak boleh diubah-ubah lagi. Jika diubah, maknanya akan berubah dan mungkin tidak dapat dipahami.

- Paradigmatis (asosiatif) adalah hubungan sistematis antar unsur bahasa dengan unsur di luarnya yang memiliki kesesuaian atau masih dalam tataran itu yang hubungan tersebut dapat diperoleh melalui substitusi atau penggantian. Oleh karena itu, hubungan paradigmatis menunjukkan unsur-unsur bahasa yang disubstitusi itu berada dalam kategori yang sama untuk setiap tataran.

(2). C.S. Peirce : Triadik
- Representamen adalah sesuatu yang mewakili obyek tanda yang bisa dipersepsi, baik dengan pancaindera maupun dengan pikiran / perasaan, yang terbentuk dan dipahami di benak (interpretan) si penerima dari si pengirim.

- Obyek adalah komponen yang diwakili tanda yang bisa berupa materi yang tertangkap pancaindera, bisa juga bersifat mental atau imajiner.

- Interpretan adalah tanda yang tertera di dalam pikiran (benak) si penerima setelah melihat representamen tersebut.

Triadik tanda dikembangkan kemudian kedalam trikotomi. Trikotomi yang pertama adalah hubungan obyek dengan tanda. Pembentukan tanda yang paling sederhana adalah ikon, kemudian indeks, dan yang paling canggih adalah simbol. Trikotomi yang kedua adalah hubungan representamen dengan tanda, memiliki tiga tahapan yaitu, qualisign,sinsign, dan, legisign. Sedangkan trikotomi yang ketiga adalah hubungan interpretan dengan tanda dalam tiga tahapan, yaitu rheme, discent, dan argument.

Referensi  :
1. Ferdinand de Saussure (1988), Pengantar Linguistik Umum - Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
2. Hoed, Benny H (2011),  Getok Tular Semiotik Gosip
3. Rodliyah Khuza’i (2007), Dialog Epistemologi M. Iqbal dan Charles S. Peirce - Bandung: PT Refika Aditama
4. Sunardi, Teddy (2010), Filosofi Nasi Tumpeng Dalam Tradisi Jawa