".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Sunday 31 May 2015

Mengulik Sejarah Tradisi Peranti Saji Indonesia


Indonesia menyimpan kekayaan tersendiri. Bukan hanya keindahan alam dan keragaman masyarakat. Tetapi juga seni makanan yang beraneka rasa.Tak cuma keragaman sumber daya alam dan makanannya, Indonesia memiliki harta karun lain berupa budaya dan adat istiadat. Salah satunya, keberagaman budaya itu tercermin pada tata cara penyajian makanan yang berbeda-beda dimiliki tiap-tiap daerah. Keberagaman tata saji ini juga didukung dengan seperangkat peranti hidangan.

Menikmati sajian tak cukup hanya melalui kelezatan dan keharuman aroma masakan yang menggoda. Lewat makanan, ada ritual budaya yang bisa diresapi. Dari cara penyajiannya, ada nilai sejarah yang bisa dikenali dan sajian yang diletakkan di atas peranti bukan hanya berfungsi untuk menghidangkan makanan. Di balik itu semua terdapat ritual dan tata aturan dalam menggunakannya mengingat tata cara penyajian makanan tak lepas dari adat istiadat yang diturunkan dari nenek moyang setiap suku di Indonesia. Bahkan peranti saji yang digunakan pun memiliki makna tersendiri termasuk ‘cerita’ tentang kondisi alam dan ‘kekayaan’ yang ada di sebuah daerah. Bisa dipahami, mengingat peranti saji melibatkan hasil kerajinan tangan masyarakat setempat. Apa yang tersaji di atas meja menggambarkan identitas, tradisi, budaya, tata cara dan etika masyarakatnya.

Sejak zaman kerajaan, acara makan bukan sekedar menikmati sajian. Melainkan ada jamuan megah dengan perangkat makan lengkap. Apalagi biasanya peranti saji ini dipakai untuk menjamu para tetua adat atau tamu kehormatan. Semuanya dibuat dengan sentuhan seni. Anyaman, gerabah, sampai ornamen perak. Tradisi itu masih dipertahankan hingga kini.

Sejumlah tradisi etnis di Sumatera, misalnya, menggunakan peranti saji dari material logam seperti kuningan, tembaga, bahkan emas. Tentunya, hal ini sesuai dengan kondisi alam Sumatera yang kaya aneka tambang, termasuk tambang emas dan jenis logam lainnya.

Peranti saji asal Lampung, Sumatera Selatan dikenal dengan memiliki tradisi Cuwak Mengan Nyewruit yang artinya mengundang orang lain untuk nyeruwit bersama. Nyeruwit berasal dari kata seruwit yang merupakan makanan khas masyarakat Lampung yang terdiri dari sambal terasi yang dicampur dengan ikan, terong ungu bakar dan mentimun.

Pada tata cara adat ini, seperangkat peralatan makan tak ketinggalan menambah kekentalan adat daerah. Peranti yang ada, seperti talam dolang (tempat untuk membawa nasi dan lauk pauk), pighing (piring), tenong (tempat nasi), bakei (tempat sayur),penjung (tempat buah), aghew (sendok untuk mengambil kuah), cetung (sendok untuk mengambil nasi), kubukan (mangkok cuci tangan), dan cekkigh (tempat untuk minum). Peranti saji tradisi Cuwak Mengan Nyewruit tersebut telah berumur antara 80 hingga 100 tahun.

Di Aceh misalnya, ada dulang kuningan yang piringannya bertahtakan 52 lengkungan mirip mahkota bunga. Biasanya digunakan sebagai hantaran pernikahan atau wadah aneka jajan dan buah-buahan. Ada pula tutup saji dari perunggu yang memiliki motif rumit dan detil.

Lain lagi dengan peranti saji khas Jambi yang punya tradisi penggunaan peranti saji yang biasa dipakai untuk kalangan bangsawan, untuk upacara adat, dan untuk menyambut tamu-tamu adat. Terdapat sepaket ceret dan mangkok bermotif sederhana yang bahannya terbuat dari kuningan. Yang paling menarik, jambangan buah dengan ornamen sulur. Ia berdiri di atas kaki berbentuk seperti pilar.

Penggunaan peranti saji di Jambi pada umumnya selain menggunakan peranti lokal, juga memakai perkakas yang mendapat pengaruh budaya dari luar. Misalnya, peranti saji yang berasal dari India, Timur Tengah, Cina, dan Eropa. Posisi Jambi yang strategis, membuat Jambi semakin kaya akan akulturasi budaya lokal dengan luar.

Kalangan bangsawan Jambi menggunakan peranti saji dari bahan logam kuningan serta yang terbuat dari batok kelapa. Alas peranti saji menggunakan taplak batik Jambi bermotif tradisional, dipadankan dengan peranti kuno peninggalan dari Cina dan Eropa yang ketika itu banyak ditemukan di sekitar Daerah Alisan Sungai (DAS) Batanghari zaman dinasti Han hingga Dinasti Qing.

Sedangkan peranti saji di Jawa didominasi bahan perak. Jawa Barat bahkan terang-terangan menyerap budaya mewah nan klasik Eropa. Sebuah sendok penyaring teh saja, dibuat dari perak sterling zaman akhir Victoria. Ornamen perak juga menghiasi gelas-gelas kaca.

Jawa Barat juga mengenal peranti saji sederhana berbahan daun. Pembuatannya hanya ditekuk dan disemat dengan lidi. Jika layu, tinggal direndam air dingin.

Dikenal pula teknik filigree. Jauh lebih rumit dan detil, karena satu per satu komponen harus dipatri dengan pasta. Biasanya berfungsi sebagai pinggan dan mangkok. Teknik ini banyak digunakan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Sulawesi Tenggara.

Peranti saji yang terbuat dari gerabah atau tanah liat bakar, sering ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Biasanya diperindah dengan ornamen batik. Berbeda dengan peranti saji di Nusa Tenggara yang dibuat dari kayu halus. Mirip dengan alat makan khas Papua.

Hanya saja, karena Papua memiliki banyak perairan seperti sungai dan muara, peranti sajinya terinspirasi dari bentuk perahu. Sedangkan Kalimantan sering menyajikan hidangan dengan peranti berbentuk anyaman.

Kesultanan Buton pada masa lalu punya tradisi menghidangkan menu makanan selingan untuk para raja dengan cara duduk bersila di tikar. Kini, tradisi tersebut masih berlangsung, namun telah disesuaikan dengan keadaan zaman, yakni disajikan di atas meja.

Menggunakan peranti saji hasil kerajinan tangan di wilayah Kesultanan Buton, dikombinasikan dengan keramik Cina, serta perangkat lainnya yang seluruhnya merupakan kreasi dan tradisi masyarakat Buton Utara. Salah satu tradisi tata meja Buton Utara yakni adanya tudung saji atau disebut panamba. Peranti yang bentuknya unik, terbuat dari kain beludru merah dan hijau berhias sulam dan ornamen keemasan, menjadi perangkat wajib yang digunakan dalam setiap upacara adat di Buton Utara.

Lain halnya peranti saji dari Nusa Tenggara. Kultur masyarakat Nusa Tenggara tentu beradaptasi dengan kondisi alam yang kering dan tandus. Dengan demikian, peranti saji banyak menggunakan hasil kerajinan tangan berupa tembikar dan produk anyaman, di mana bahan dasarnya berupa tanah liat dan jerami yang jumlahnya berlimpah.

Aneka wadah makanan yang biasa digunakan masyarakat Nusa Tenggara (Timur & Barat) telah digunakan sejak lama secara turun temurun. Terdapat di berbagai daerah di daratan Sumba, Timor, dan Flores. Namun demikian bentuk perantinya berbeda-beda, terlihat dari warna dan teknik menganyamnya. Perangkat alas dan tutup saji yang terbuat dari anyam-anyaman biasanya hanya digunakan untuk orang yang lebih tua sebagai tanda penghormatan. Peranti makan pada umumnya dibuat dari batok kelapa. Merupakan peranti makan biasa, dan masih banyak digunakan oleh banyak rumah tangga di daerah pedesaan di daerah Timur, Flores, dan Alor.

Perangkat saji berupa gerabah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Nusa Tenggara. Peranti saji yang dibuat dari tanah liat setelah melalui proses pembakaran tradisional ini sebagai wujud adaptasi kultur masyarakat setempat terhadap kondisi alam yang kering dan tandus. Kesederhanaan ragam peranti saji gerabah yang secara umum terdapat di Sumbawa dan Lombok, dewasa ini telah menjadi salah satu komoditas handicraft yang banyak dicari oleh para wisatawan. Selain itu, peranti saji berupa batok kelapa serta perangkat anyam-anyaman, yang juga salah satu ikon kerajinan tangan etnik Nusa Tenggara, juga dipergunakan masyarakat setempat untuk ritual upacara adat.

Salah satu peranti saji yang khas juga terdapat di Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis Makassar, yang menggunakan Bosara sebagai  peranti saji untuk menyajikan hidangan. Bosara adalah semacam dulang (baki berkaki) dilengkapi penutupnya, biasa digunakan pada  ritual upacara adat tradisional. Peranti saji tersebut dulunya hanya digunakan oleh kalangan bangsawan, namun kini masyarakat luas  juga mewarisi  tradisi menggunakan Bosara dalam ritual adat, antara lain untuk pernikahan maupun menjamu tamu kehormatan.

Terdapat dua jenis Bosara, yang ukuran besar disebut Bosara Lompo sedangkan yang  besar disebut Bosara Biccu’. Bosara besar berisi  sekurang-kurangnya enam piring makanan, sedangkan Bosara kecil berisi paling tidak enam jenis kue tradisional, seperti barongko, cucur bayao, biji nangka, pelita, tolaba, dan sebagainya.

Bosara biasanya terbuat dari emas, perak, tembaga, atau besi yang  dilengkapi tudung saji atau penutup khas. Penutup Bosara terbuat dari anyaman rotan dan daun lontar, di mana dua tanaman tersebut banyak tumbuh di hutan Sulawesi Selatan. Kalangan bangsawan biasanya membalut kembali penutup saji tersebut dengan kain sutera  atau beludru

Disamping peralatan saji tradisional para leluhur itu, perkembangan peranti saji masyarakat Indonesia semakin berkembang dengan masuknya etnik pendatang ke bhumi Nusantara. Praktik-praktik kecanggihan penggunaan peranti saji itu semakin subur dipergunakan karena pengaruh Belanda. Semasa dulu  peranti saji modern merupakan suatu hal baru bagi masyarakat pribumi karena banyak kalangan masyarakat saat itu tidak mengenal kebiasaan menggunakan perabotan saji yang demikian.

Pada umumnya orang-orang pribumi semasa dulu hanya menggunakan jari tangan ketika makan dengan menggunakan peralatan tata saji tradisional yang sudah dikenal dari para leluhur. Setelah itu dan dengan modifikasi yang ada, peranti saji masyarakat berkembang sedemikian rupa dengan cara mengakomodasikan ke dalam seni peralatan tradisional yang ada.

Pengaruh Belanda yang memberi nuansa kekayaan dalam hal penggunaan peranti saji modern dalam kehidupan masyarakat pribumi (seperti sendok, garpu, pisau, piring, serbet dan lain sebagainya). Praktik-praktik itu menunjukkan lebih kepada status kedudukannya serta terkandung muatan politis yang mencoba menjalin hubungan akrab dengan orang Belanda. Etika semacam ini bukan sekedar ditekankan oleh para pribumi sendiri ataupun kepada bawahan mereka, namun para pejabat Belanda pun menuntut agar para bawahan memperlihatkan penghormatan yang layak kepada mereka. Penggunaan peranti saji pada setiap jamuan makan menunjukkan status dan kekayaan seseorang.

Hal itu berkembang sedemikian rupa karena, selain penggunaan peranti saji modern dan modifikasinya, hidangan lokal mengalami perkembangan dalam proses pengolahan dan modifikasi berbagai jenis makanan melalui penyesuaian bahan-bahan makanan, baik dalam hidangan pribumi maupun Europa. Dengan kata lain, hubungan orang Belanda dengan orang pribumi memungkinkan keduanya saling mengenal dan menyesuaikan diri terhadap jenis-jenis makanan yang lain; seperti tampak pada perpaduan peralatan memasak pribumi dan Belanda.

Wujud perpaduan ini misalnya tampak pada peralatan masak di dapur orang Belanda yang didukung juru masak pribuminya.  Hal yang wajar tampak ada alat penanak nasi dan cetakan kue poffertjes yang digantungkan di dinding, di samping alat-alat masak pribumi.

Namun terlepas dari sejarah asal muasal-nya, seni peranti saji Indonesia, dengan perkembangan tradisional dan modifikasinya, merupakan kembaran dari Gastronomi Indonesia yang di dalamnya terkandung punya 'cerita'.

Salam Gastronomi