Ritual dipercayai merupakan kebutuhan pokok identitas kultural dan status sosial manusia yang berbeda dengan sesamanya. Ritual dapat menumbuhkan sifat primordial seseorang, yang memperkuat rasa kecintaan pada daerah asalnya. Kepercayaan pada daya mistis ritual juga dapat menjadi sebuah media pemujaan, sebuah katalis yang mendekatkan dirinya dengan kekuatan diluar yang mana salah satu fungsinya adalah sebagai pengokoh norma dan nilai budaya yang berlaku turun-temurun.
Kepercayaan masyarakat terhadap nilai mistis dari sebuah ritual, terutama yang tinggal di daerah pedesaan masih sangatlah kental. Kepercayaan masyarakat terhadap adanya arwah leluhur, membuat mereka melakukan suatu ritual untuk menghormati dan meminta berkah kehidupan yang lebih baik. Masyarakat meyakini, bahwa jiwa para roh leluhurnya masih ada dan tinggal bersama mereka di dunia. Proses ritual seperti ini sebenarnya telah terjadi sejak zaman nenek moyang dahulu.
Kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus menjadi sebuah aliran dalam kepercayaan masyarakat tradisional. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan, seperti suatu bencana, musibah, kesialan adalah akibat dari pengaruh keberadaan roh dan mahluk halus. Sehingga bila terjadi bencana biasanya dukun menjadi perantara utama untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Ritual merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dari nenek moyang. Didalamnya terkandung usaha untuk menciptakan suasana hidup aman, tentram, lestari, dan rezeki yang berlimpah. Masyarakat adat tradisional mempunyai stigma mempercayai bahwa ritual merupakan salah satu cara untuk merealisasikan tujuan tersebut dan upacara tersebut harus dilakukan.
Dalam ritual diperlukan perantara persembahan kepada arwah para leluhur agar permohonan mereka dikabulkan. Sarana utama harus adanya pemimpin upacara adat yang dipercaya sebagai orang yang mampu berinteraksi dengan si pemilik kekuatan diluar alam fana tersebut. Selain seorang pemimpin upacara adat, media perantara lain yang dibutuhkan adalah instrumen sesajen. Sesajen biasanya identik dengan makanan adat daerah tersebut. Perangkat sesajen merupakan syarat mutlak karena makanan yang terdapat didalamnya dimaknai sebagai pemuas kebutuhan dan persembahan untuk para arwah leluhur.
Penyajian sesajen di tiap daerah bersifat unik karena tiap daerah memiliki jenis sesajen yang berbeda-beda. Isi sesajen yang terdiri dari suatu makanan tersebut dibentuk oleh selera masyarakatnya sendiri, sehingga penyajian sesajen tergantung selera makanan tiap-tiap daerah.
Selera ini dapat dibentuk oleh suatu rekayasa dari masyarakat yang melakukan ritual tersebut. Hal ini bertujuan untuk memuaskan arwah leluhur yang diharapkan nantinya berimplikasi terhadap dikabulkannya permohonan-permohonan yang diminta.
Penyajian sesajen dalam fenomena ritual ini pada dasarnya tidak hanya sekedar dimaknai sebagai selera dari makanan tiap daerah, karena sesajen tidak hanya diesensikan sebagai pelengkap sebuah ritual untuk persembahan nenek moyang, melainkan juga menjadi suatu interaksi antara sesama pelaku / individu. Kemudian dipantulkan sebagai representasi yang majemuk sampai mengalami ekstasi nilai-nilai budaya secara fundamental.
Bila hal ini dikorelasikan dengan perspektif interaksionisme simbolik, akan terdapat makna lain dari sesajen yang akan direpresentasikan melalui suatu simbol. Seperti diketahui bahwa individu-individu masyarakat tradisional berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan simbol-simbol yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Interaksionisme simbolik merupakan perilaku budaya yang mengungkap realitas sepak terjang manusia melalui interaksi yang dimanifestasikan melalui komunikasi. Perspektif interaksionisme simbolik berusaha menganalisa segala hal berkaitan dengan simbol yang berasal dari interaksi pelaku. Pelaku budaya menggunakan cara unik atau khusus yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi menggunakan simbol-simbol tersebut.
SESAJEN RITUAL MASYARAKAT BATAK
Indonesia yang kondisi sosio kultur masyarakatnya beragam, tentu saja memiliki cara tersendiri dalam penyajian sesajen. Seperti upacara adat "Ritual Horja Bius" dari budaya Batak Toba di Sumatra Utara, sesajen makanan daerah setempat menjadi media persembahan kepada arwah leluhur.
Sesajen yang digunakan diantaranya meliputi satu ekor kambing putih yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing bagian kepala, leher, dada / badan, pangkal paha bagian atas, serta paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Semua bahan tadi dimasak dengan bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam piring keramik ukuran besar.
Hewan-hewan lain juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual, diantaranya adalah ayam jantan putih, ayam jantan merah panggang (yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh memakannya), dan ayam jantan. Bahan lainnya adalah sagu-sagu. Bahan kue ini berasal dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dan dibentuk menggumpal.
Ada pula kue itak nani hopingan yang terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah, kemudian ditumbuk agar berbentuk bulat dan dapat diletakkan di piring. Kue ini dimaksudkan sebagai lambang mohon doa restu kepada roh leluhur.
Lainnya, itak gurgur atau pohu-pohu. Bahan kue ini juga dari tepung beras, gula putih, serta kelapa yang ditumis setengah matang, kemudian dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk dengan menggunakan jari (genggaman tangan).
Berikutnya adalah masakan ikan Batak yaitu ikan khusus dari danau Toba yang dimasak utuh satu ekor, kemudian disajikan dalam bentuk gulai kare.
Minuman juga unsur penting dalam perayaan ini. Beberapa minuman berbahan dasar buah seperti anggir pangurason yang merupakan air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar. Lalu ada juga minuman assimun pangalambohi yang terbuat dari timun dipotong panjang.
Untuk sesajen buah-buahan, ada tanduk horbo paung terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang batak / pisang ambon. Buah-buahan lain yang juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual ini, seperti hajut (sumpit putih diisi beras, serta uang pecahan nilai terbesar, Rp.100.000).
Hajut ini digunakan sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh datun (pemimpin upacara adat) dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sesajen lainnya, termasuk aek naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril, dan lain sebagainya.
Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan para leluhur mereka terdahulu dalam melestarikan budaya nenek moyang yang dimiliki. Sedangkan filosofi dari penyajian sesajen pada ritual horja bius dimaksudkan sebagai lambang pemberi semangat, penyegar perasaan, serta lambang minta do’a restu kepada roh leluhur.
Referensi :
- Biliater Situngkir, “Upacara Horja Bius Adat Budaya Batak Toba yang Telah Hilang”
- Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Yogyakarta: Jala Sutra, 2004