Jika memikirkan keadaan Indonesia, selalu terbesit dibenak kita tentang "Soto" yang merupakan salah satu makanan yang menggambarkan keadaan Bangsa ini.
Jika pada 28 Oktober 1928 kita mengenal adanya sumpah pemuda, dimana kelompok dari berbagai daerah sepakat menginginkan "Satu Bangsa" yakni Indonesia.
Kini kita bertanya kenapa tidak ada satu "Soto" Indonesia?
Keduanya mempunyai hubungan, yakni berasal dari sebuah "perbedaan tapi tetap satu".
Ingat dulu Pemuda yang telah 'bersumpah' pada 28 Oktober 1928 berasal dari berbagai daerah yang notabene memiliki bahasa yang berbeda.
Pada saat itu, diikrarkan untuk menyatukan bahasa yakni "Satu Bahasa, Bahasa Indonesia'' yang menandakan, bahwa ada satu hal yang mendasar disini, yakni berawal dari kata "Perbedaan".
Begitu juga Soto, jika dibedakan mungkin jumlahnya mencapai angka puluhan bahkan ratusan.
Perbedaan itu tidak hanya pada ciri khas masing-masing Soto, yang konon katanya menggambarkan keadaan daerah asal makanan itu sendiri.
Jika anda berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia, maka akan banyak anda jumpai soto-soto yang benar-benar bhineka terutama pada rasa-nya.
Soto adalah makanan yang sangat populer di negeri ini. Hampir di setiap daerah dapat ditemukan soto dengan variasi yang berbeda, disesuaikan dengan selera di tiap-tiap daerah. Tapi kendati berbeda, judulnya tetap sama "Soto".
Soto adalah makanan khas Indonesia yang merupakan akulturasi campuran dari berbagai macam tradisi dari Tiongkok dan India. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mie, bihun atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi Tiongkok yang akulturasi tradisi etnik pendatang itu dari sekedar soto sampai kepada pengenalan mie bakso yang prinsip memasaknya hampir sama dengan soto.
Ada beberapa soto yang menggunakan buah kunyit & daun kari yang merupakan bumbu dari India yang sotonya bersantan dan bersaus kental. Karena soto merupakan campuran dari berbagai tradisi, maka asal usulnya menjadi sulit ditelusuri.
Soto ada dimana-mana yang penyebarannya dari Sabang sampai Merauke seiring dengan penyebaran manusia Indonesia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain, diikuti dengan upaya pelokalan yang tertulis di dalam menu resep-resep dari seluruh suku-suku yang ada di Indonesia. Hampir tiap kota versi sotonya berbeda karena tiap kelompok masyarakat selalu punya tradisi tertentu yang berhubungan dengan makanan.
Proses pelokalan ini yang mengakibatkan muncul berbagai jenis soto di Indonesia.
Pertama kali sebutan kata soto populer di wilayah Semarang. Orang Makassar menyebutnya Coto, orang Pekalongan menyebutnya Tauto, orang Tegal menyebutnya Sauto dan orang Banyumas menyebutnya Sroto. Makanan yang asalnya juga khas Tiongkok dan India ini telah menjadi bagian dari makanan masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia dengan menyesuaikan olahan bumbu agar pas dengan lidah orang Indonesia dengan komposisi yang berbeda-beda.
Di Tiongkok sendiri dinamakan "Caudo atau Cauto" yang merupakan hidangan dari "caotu tang" atau sup babat dan dalam bahasa Hokkian disebut "saoto”.
Makanan soto mungkin adalah satu diantara sekian banyak makanan yang berhasil melakukan mutasi diri di Indonesia. Bentuk, rasa dan variasinya beragam mengikuti lokasi.
Di Pulau Jawa kita mengenal Soto Bandung, Soto Betawi, Soto Jombang, Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Madura, Soto Malang, Soto Pekalongan, Soto Surabaya, Soto Tegal dan lain-lain.
Di Makasar ada Soto Makasar. Di Medan ada Soto Medan. Di Minagkabau ada Soto Padang. Ada juga identitasnya dinamakan dengan si pembuat soto, seperti di Bogor ada soto Pak Kumis dan Soto Pak Salamdi dan lain sebagainya.
Kenapa soto begitu populer di masyarakat harus dilihat dari filosofinya.
Soto merupakan cara para leluhur berhemat daging atau bahan protein lainnya. Ini berkaca pada budaya keluarga Indonesia yang pada umumnya terdiri dari jumlah besar. Untuk semangkok soto dengan kuah yang berlimpah, dagingnya cuma beberap iris saja.
Yang membuat mangkok soto berlimpah, selain kuahnya, adalah campuran berupa bihun (mie atau soun), sayuran dan perkedel. Semangkok soto itulah dinikmati keluarga secara bersama - 'bagi roto bagi roso'.
Kembali ke soal "perbedaan tapi tetap satu", memang, agaknya cukup sulit untuk menyatukan soto-soto di Indonesia. Kalau mau disebutkan satu per satu mungkin dari Sabang sampai Merauke memiliki bentuk metamorfosis makanan yang identik dengan kuah dan sensasi daun sereh ini.
Bagaimanapun juga, masing-masing daerah punya karakter sendiri yang 'angkuh'. Mungkin inilah yang selalu mengingatkan kita tentang soto, jika berbicara soal persatuan Indonesia. Masing-masing memiliki ciri khas unik.
Kalau soto ayam Lamongan kuahnya cenderung berwarna kuning cerah, tanpa santan, komposisi kunyit dan sereh kental di lidah, ada taburan bawang goreng dan disajikan dengan koya (kerupuk udang yang dihaluskan).
Sedangkan soto daging Madura umumnya berkuah lebih gelap, minim komposisi kunyit, disajikan tanpa koya, pakai kecambah (bukan taoge) dan irisan daun bawang.
Di Mojowarno, Jombang, jenis soto yang umumnya dibuat masyarakat disana adalah soto ayam dengan kuah kuning yang tidak terlalu kental.
Penyajiannya dengan taburan keripik kentang yang diiris tipis, taburan bawang goreng, ayam rebus yang disuwir-suwir, mihun (mie yang terbuat dari sari kacang hijau) dan kerupuk udang utuh.
Seperti hasrat lidah kita untuk menerima berbagai aneka macam soto-soto, agaknya cukup sulit untuk menerima sebuah persatuan. Seperti halnya, ketika orang Madura yang sudah terbiasa dengan rasa soto Madura, hampir di pastikan tidak semua dapat menerima rasa Soto Medan, begitu juga sebaliknya. Pastinya perbedaan itu selalu menimbulkan jarak, meskipun tidak diungkapkan secara tersurat.
Apa mungkin ini sugesti yang bisa saja muncul dari sebuah kondisi situasi yang ada. Apa mungkin penolakan itu, timbul karena angkuhnya lidah kita untuk menerima soto dari daerah lain?
Namun yang pasti kalau soal makanan, memang lidah kita cukup sulit diatur karena kita semua berasal dari ribuan suku dengan aneka budaya yang berbeda, meski masih satu ras yakni Indonesia, begitu juga dengan soto.
Tapi agaknya sampai sekarang cukup sulit untuk mencari pemersatu soto-soto itu, seperti sulitnya mencari titik temu kesatuan bangsa Indonesia. Mungkin hal ini dipicu oleh sebuah keadaan, dimana masyarakat tidak sempat lagi berfikir tentang hal itu. Sebab, didesak pemikiran-pemikiran lain yang mungkin lebih dianggap penting. Atau bisa juga belum ada momentum yang membuat persatuan itu ada.
Kini kata persatuan hanya menjadi sebuah simbol, yang dielu-elukan dengan upacara resmi, yang diperingati tiap tahun. Toh dalam nama yang diagungkan itu masih dilihat cukup jelas bahwa ada kesamaran disana, ada makna yang lari dari maksud kata yang semestinya, ada bopeng yang sulit kita tutupi.
Hal itu tentu berbeda dengan keadaan, ketika ada moment tertentu, sehingga rasa persatuan menjadi cukup dibutuhkan. Ketika semangat kedaerahan tidak lagi diperlukan, tapi lebih mengedepankan kesamaan nasib. Seperti yang terjadi diluar negeri. Di Singapore contohnya, jika anda pernah datang ke restoran Indonesia yang ada di negeri itu, maka akan anda temui menu soto Indonesia bukan soto Medan, Surabaya, Makasar, Padang, dan lain-lain. Hal ini dipicu karena sebuah keadaan.
Agaknya ketika merasa satu bangsa, ditengah bangsa-bangsa lain, setidaknya ke-egois-an karakter primordialis kedaerahan harus ditanggalkan. Jika mungkin dipaksakan menjual soto Madura di restoran itu, maka dijamin tidak akan ada yang mau datang, sebab daya tariknya hilang. Satu-satunya daya tarik ditempat itu hanya kata Indonesia. Kata itu sekaligus mewakili identitas cukup banyak warga negara kita yang kebetulan berada disana.
Tapi apapun itu, soto tetaplah soto, dia hanya sebuah nama untuk menyebut salah satu jenis makanan. Jika boleh mengutip kalimatnya Shakespeare, "Apalah arti sebuah nama?" Toh soto tetaplah soto. Soto lebih mirip Bhineka Tunggal Ika, meski berbeda-beda tapi tetap satu. Meski pada akhirnya soto hanya sebatas nama, kenikmatan hanya sebatas yang masuk ke perut.
Yang jelas, kita lebih butuh sesuatu yang nyata. Tidak hanya sebatas nama. TIdak kosong, tapi isinya. Seperti halnya soto, toh banyak juga yang tak peduli dengan nama itu lagi, seperti juga mereka memandang Indonesia. Sebab, lebih menarik jika berbicara soal apa yang nyata, bukan hanya sekedar kata Indonesia.
Banyak yang tak perlu Indonesia. Bagi mereka, yang lebih perlu adalah bagaimana bisa selalu ada di mana saja di negeri Indonesia. Persaingan hidup, modernitas, ruwetnya kehidupan kerja, seakan memalingkan kepala kita dari arti kata Indonesia, sehingga kita berani bertanya "Apalah Arti Sebuah nama? seperti yang dikatakan Shakespeare.
Tapi dari soto apapun yang kita ketahui dan aneka ragam penjelmaannya, semuanya sama-sama menggunakan daging, karena memang bahan utama dari semua soto menggunakan daging. Nah, bahan daging itu merupakan persatuan dari perbedaan yang ada. Karena ada kesamaan menggunakan bahan daging, menjadikan soto sebagai "Bhineka Tunggal Ika" makanan Indonesia.
Jadi kalau membicarakan persatuan agaknya harus mengingat soto yang telah menyatukan kita, karena soto telah menyumbangkan identitas ke-Indonesia-an. Dari soto kita bisa belajar beradaptasi dengan kondisi setempat. Mereka hidup damai dan belum pernah ada konflik soto. Makanan saja bisa fleksibel, kenapa kita tidak bisa akur dengan orang yang beda etnis dan bahasa seperti yang diungkapkan Sumpah Soto Indonesia di bawah ini :
Kami soto Madura, Ambengan, Lamongan, Tegal, Bandung, Betawi, Padang, dan lain lain sebagainya, berbahasa satu: Bahasa Soto Indonesia !!!
Dalam Sumpah Soto Indonesia itu "dan lain lain sebagainya" termasuk soto Sokaraja, coto Makassar, soto Sawah, soto Mbangkong, Soto Kudus dan lain lain gak usah protes ..
Teladanilah Persatuan Soto Indonesia: Penggemar Soto Betawi, tak menghina Soto Banjar. Penggemar soto Padang, tak meledek Soto Tegal ..
Penganut Soto Madura tak membikin Front Pembela Soto Madura utk hadapi Soto Kudus ... Tirulah Persatuan Soto Indonesia ..
Tak ada pernikahan yang batal gara-gara perbedaan aliran soto masing-masing mempelai ... Tirulah Persatuan Soto Indonesia ..
Tak ada juga anggota keluarga yang dikucilkan gara-gara mengubah dari suka Soto Pekalongan ke Soto Bandung ... Tirulah Persatuan Soto Indonesia ..
Artikel ini dirangkum dari pemikiran tulisan :
- Ignas Praditya Putra
- Gunawan Mohamad
- Onghokham
- Sujiwo Tejo
- Wikipedia