".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday 16 May 2015

Pencitraan Dalam Budaya Etnis Makanan Tradisional


Budaya manusia berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi dan industrialisasi. Saat ini masyarakat memiliki kecenderungan dalam gaya hidup dengan budaya instan dan personalitas. Fenomenaini terlihat juga pada bidang budaya kuliner.

Budaya makan merupakan salah satu budaya manusia yang terus mengalami perubahan, sesuai dengan zaman dan kemajuan teknologi dan berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Pada zaman purba, dengan teknologi yang masih sederhana makan dan akvitasnya bersifat sederhana. Berkembangnya teknologi mengikui zaman, budaya makan makin berkembang, sehingga makanan dan akvitas makan menjadi kompleks. Artinya makan dan akvitasnya tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik namun makan berarti “menyantap” makna yang terkandung dibalik makanan tersebut.

Makanan tradisional dan akvitasnya memiliki nilai budaya yang bermakna, karena dapat menjadi identitas dan ciri khas daerah yang bersangkutan. Saat ini, makanan tradisional dan akvitasnya dijadikan komoditas gaya hidup yang dikemas dengan menonjolkan identitas lokal sehingga menarik untuk dipasarkan dalam industri kuliner yang dipasarkan dan ditawarkan melalui media-media yang dekat dengan gaya hidup masyarakat masa kini. Makanan tradisional dan akvitasnya menjadi sebuah pengalaman tersendiri yang kaya akan simbolisasi. Makanan dan tradisi makan bertransformasi dan beradaptasi dengan gaya hidup masa kini untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda dan menarik namun tetap beridentitas lokal.

Kuliner tradisional lokal dalam kaitannya sebagai komoditas gaya hidup leisure, saat ini diretorikakan dalam dua bagian yaitu kuliner yang Estetik (Miele, Murdoch,2002) dan kuliner yang Otentik (Welsch,1996). Kuliner Estetik mewujudkan dirinya dalam bentuk tampilan-tampilan kuliner yang didesain dengan cantik, mewah dan berkelas yang dikerjakan oleh koki ternama, sedangkan kuliner yang Otentik lebih mempresentasikan keotentikan dan tradisi dari makanan serta akvitasnya. Keduanya disuguhkan dengan media yang dekat dengan gaya hidup masyarakat saat ini seperti dalam majalah, tayangan televisi, website , buku-buku wisata yang termasuk dalam kategori lifestyle.

Namun tidak semua bahan, yang secara ilmu gizi dapat dimakan, adalah makanan bagi semua suku bangsa atau pemeluk agama yang berlainan. Bahan yang sama jika disebutkan akan menimbulkan perasaan berbeda. Suatu bahan itu merupakan makanan atau bukan makanan, sangat ditentukan kebudayaan kolektif masing-masing. George M.Foster dan Barbara Gallatin Anderson mengatakan bahwa kebudayaan adalah yang menentukan suatu itu merupakan makanan atau bukan.

Gastronomi adalah ilmu yang mengkaji hubungan antara budaya dan makanan, mempelajari berbagai komponen budaya dengan makanan sebagai pusatnya. Dalam Gastronomi kontemporer ke-otentik-an dan ke-lokal-an sebuah produk makanan yang menonjolkan keunikan tersendiri yang merupakan identitas dari sebuah daerah yang menjadi salah satu daya tarik daerah yang fashionable untuk dikunjungi. (Gyimóthy, Mykletun, 2008).

Manusia dengan hasrat yang dimilikinya kerap kali sering dimanfaatkan oleh persaingan pasar yang dengan cerdiknya memasuki berbagai ranah kehidupan manusia, termasuk didalamnya adalah ranah budaya kuliner (culinary culture) yang didalamnya terdapat unsur budaya fisik (material culture) yaitu: makanan, peralatan makan dan tempat makan; juga unsur budaya non-fisik (non-material culture), yang meliputi :
1. Selera (taste) yang tidak saja pada selera makan, namun juga selera dalam pengertian sosialnya, yaitu klasifikasi dan hirarki sosial selera.
2. Makna, yaitu bagaimana makanan, tata cara makan dan teknologi makanan mengandung berbagai makna dibaliknya.
3. Nilai (Cultural Value), yaitu bagaimana makan dan aktivitas makan bermakna secara sosial, politik, ekonomi, sosial, kultural dan spiritual. (Piliang, 2006: 390)

Kuliner tradisional masyarakat daerah memiliki unsur budaya fisik dan non fisik yang beraneka ragam dan sarat dengan makna. Hal tersebut terlihat dari aneka macam teknologi tradisional peralatan untuk mengolah bahan makanan dan cara menghidangkannya. Terdapat lebih dari ribuan resep olahan makanan tradisional yang memiliki cara pengolahan, cara makan, rasa yang khas dan makna tertentu yang terkandung dalam makanan tersebut. Beberapa jenis makanan tradisional itu dihadirkan hanya pada saat-saat tertentu seperti upacara-upacara adat yang dapat dipastikan memiliki makna-makna khusus.

Waktu berganti zaman berkembang, gaya hidup masyarakat pun berubah, aktivitas makan sehari-hari tidak hanya dilakukan di rumah masing-masing keluarga saja, namun dilakukan juga di luar sebagai aktivitas primer yaitu memenuhi kebutuhan biologis dan juga aktivitas sekunder. Muncul restoran yang menyajikan berbagai macam menu makanan dengan gaya serta ciri khas-nya masing-masing baik dalam rasa maupun suasana, yang salah satunya yang menghadirkan suasana makan yang bercitarasa khas budaya tradisional etnik (daerah).

Dunia kuliner yang awalnya hanya sebagai salah satu pemenuh kebutuhan primer manusia, saat ini telah berfungsi juga sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder. Berbagai pencitraan yang kuat dan berinovasi dilakukan karena mengandalkan kelezatan rasa saja dirasa masih kurang kreatif dan inovatif. Dalam masyarakat yang telah dijejali berbagai macam iklan serta promosi, sebuah identitas visual yang berciri khas dan berbeda akan memberi nilai tambah pada pencitraan kuliner. Budaya visual dimunculkan dalam usaha membentuk identitas yang diwujudkan oleh desain yang akan menggiring konsumennya untuk dapat mengalami sensasi tradisional yang menghasilkan persepsi berbeda-beda sesuai pengalaman masing-masing. Persepsi diartikan sebagai tanggapan langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.

Strategi pencitraan tersebut kerap kali dikenal masyarakat dengan istilah branding dimana budaya kuliner telah menjadi salah satu komoditi identitas pengelolaan itu. Produk kuliner tradisional yang sama, namun dikemas dan disajikan dengan strategi branding yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda bagi konsumennya.

Dulu branding berfungsi hanya sebagai alat untuk mengidentitaskan sesuatu, namun saat ini telah berubah akibat adanya berbagai tayangan iklan dan promosi yang marak tujuannya. Saat ini sebagai alat identitas, strategi branding telah memiliki kemampuan yang lebih luas dalam mengelola identitas yang dihasilkan agar memiliki ikatan dengan konsumennya, sehingga dapat menumbuhkan loyalitas konsumen pada sebuah brand.

Strategi branding bisa dibentuk oleh dua elemen pokok yakni :
1. Tangible elements : Elemen yang bisa disentuh, diraba dan dilihat, termasuk didalamnya adalah identitas korporat (corporate identity)
 2. Intangible elements : Elemen yang tidak terlihat dan teraba namun akan menghasilkan pengalaman bagi konsumen, dalam sebuah restoran biasanya berhubungan dengan perilaku pegawai, aroma yang tercium dan musik atau bunyi-bunyian yang diperdengarkan dalam restoran.

Fenomena yang terjadi saat ini dalam dunia pemasaran terjadi perpindahan dari area rasionalisme ke tataran keinginan, dari area objektif ke subjektif, semuanya mengacu pada sesuatu yang sifatnya psikologi. Manusia ingin dilayani dengan lebih personal, sehingga aktivitas dalam menjual jasa berfokus pada apa yang diperlukan dan berfungsi untuk mengatasi apa yang menjadi keresahan konsumen, bukan lagi terfokus hanya pada keunggulan dan kebaikan produk yang dijual.

Saat ini pemilik restoran dalam bersaing dengan kompetitornya, telah melakukan strategi 'Emotional Branding', yaitu didalamnya terdapat relasi, pengalaman panca indra, imajinasi dan visi yang memasarkan produk kuliner tradisional dan jasanya sebagai sebuah gaya hidup dengan cara yang berbeda. Dengan mengandalkan keotentikan tradisi kuliner yang dimiliki, maka budaya etnik daerah diterapkan pada identitas korporat restoran dengan tujuan menyampaikan pesan didalamnya ada nilai kearifan lokal sehingga budaya etnik tersebut telah menjadi kosmetika dari identitas sebuah brand makanan.

Semoga pemangku gastronomi bisa melakukan hal yang sama dengan tidak hanya mengandalkan strategi produk (resep) dan jasanya (marketing) namun juga mensinergikan 'Emotional Branding' (tangible & intangible) dalam mencitrakan warisan tradisional kuliner Indonesia. Salah satunya adalah cerita rakyat (folklore) yang merupakan kearifan lokal budaya yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun secara tradisional, baik itu dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Referensi :
- Davis, M. dan Baldwin, J. (2005) : More Than a Name: An Introduction to Branding , AVA Publishing SA,Switzerland.
- Gyimóthy, S. dan Mykletun, R. (2008) : Scary food: Commodifying Culinary Heritage as Meal Adventures in Tourism. Journal of vacation marketing,15(30).
- Piliang, A., Yasraf dan Saidi. I., Acep.(2009): Image & Gaya Hidup, ITB,Bandung.
- Piliang, A., Yasraf. dalam Aldin, A., (2006) : Aspek-aspek Seni Visual Indonesia,17p., Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Perspektif, Jalasutra, Yogyakarta