".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Thursday, 7 May 2015

Filosofi Jenang

Jenang merupakan masakan kuliner khas tradisional masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah terutama Kota Solo dan Yogya. Keberadaan jenang pada tradisi masyarakat Jawa, sudah hidup mengakar turun temurun dari nenek kakek moyang sejak zaman Hindu dan era Walisongo sampai masa kini. Namun perlu di pahami bahwa pengertian jenang bagi orang Jawa Tengah, Solo dan Yogya berarti bubur, sedangkan bagi orang Semarang dan lain-lain adalah dodol.

Jenang dibuat dari tepung beras atau tepung ketan, dimasak dengan santan ditambahkan gula merah atau gula putih. Kehadiran jenang tidak hanya sekedar berfungsi sebagai makanan pelengkap, melainkan juga simbol doa, harapan, persatuan dan semangat masyarakat Jawa itu sendiri. Artinya jenang adalah lambang ritual masyarakat Jawa dan simbol ungkapan rasa syukur kepada Gusti Allah atas karunia hasil bumi ciptaanNya yang telah menghidupi manusia dari proses kelahiran sampai kematian.

Secara sosiologis jenang merupakan jenis kuliner yang lahir dari kreativitas masyarakat dan eksistensinya bebas dari atribut status sosial dan etnis. Atau dengan kata lain jenang bersifat demokratis, egaliter, spiritual dan relegius. Sifat yang melekat secara implisit itulah yang bisa membuat jenang punya nilai edukatif pada masyarakat. Suatu nilai edukatif dalam membangun kebersamaan masyarakat Solo untuk saling berbagi dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Jawa khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya, melakukan semua ritual selamatan tidak pernah lepas dari kehadiran jenang. Tradisi simbolisasi itu diperlihatkan dalam berbagai acara kegiatan, mulai dari pembangunan rumah, kelahiran anak, slametan, dan ritual-ritual kejawen lainnya.

Namun kebanyakan masyarakat saat ini menganggap jenang sebatas makanan ringan tradisional Jawa. Banyak yang belum mengetahui filosofi dibalik simbolisasi Jenang dalam tradisi acara selamatan masyarakat Jawa. Masyarakat awam hanya tau jika ada ritual harus ada jenang, tanpa mengetahui makna dibaliknya. Padahal semua macam jenis jenang yang disajikan dalam acara selamatan itu mengandung makna bagi masyarakat Jawa, khususnya orang Solo dan sekitarnya dengan segala ritual tradisinya. 

Adapun makna filosofi itu sebagai berikut :
1. Jenang Procotan :  makna kehadirannya untuk mendoakan supaya ibu yang hamil diberikan kelancaran dalam melahirkan.

2. Jenang Sepasaran : makna kehadirannya ketika memberi nama kepada bayi setelah lahir.

3. Jenang Sungsum : makna kehadirannya bagi yang punya hajat pernikahan, supaya pengantin dan seluruh panitia yang terlibat diberi kesehatan, berkah dan kekuatan.

4. Jenang Abrit Petak : mempunyai makna warna merah dan putih merepresentasikan penciptaan / asal-usul manusia laki-laki dan perempuan, jenang maknanya selalu melihat sesuatu dengan dimensi yang luas, namun tetap fokus dengan apa yang menjadi tujuan.

5. Jenang Saloko : maknanya kesucian itu milik Allah. Manusia harus selalu mewaspadai nafsu 'aku' pada dirinya berani mengoreksinya dirinya, sebagai jalan untuk bisa mengenal Allah, jenang manggul maknanya kita harus menjunjung tinggi kebaikan leluhur yang telah mewariskan segala bentuk pengetahuan pada siri kita, jenang suran maknanya waktu itu terbatas dan selalu menjalani siklusnya. Kita seharusnya ingat masa lalu dan memperbaiki masa depan.

6. Jenang Timbul : mempunyai makna harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Manusia harus ingat Allah dan selalu berdoa untuk mewujudkan harapannya menjadi kenyataan.

7. Jenang Grendul : maknanya kehidupan itu seperti cakra penggilingan seperti roda yang berputar kadang di atas dan di bawah / naik-turun. Kita perlu menemukan kestabilan dari perbedaan yang terjadi dalam kehidupan.

8. Jenang Sumsum : maknanya pada diri manusia melekat sifat kelemahan dan kekuatan. Kekuatan pada diri manusia sebaiknya digunakan untuk nilai-nilai kebaikan.

9. Jenang Lahan : maknanya lepas dan hilang semua nafsu negatif, iri, dengki, sombong dan sebagainya dihadapan Allah.

10. Jenang Pati : maknanya melebur nafsu dan pasrah kepada Allah.

11. Jenang Kolep : maknanya manusia sebagai mahkluk sosial selalu dihadapkan pada perbedaan. Menghormati dan menghargai perbedaan dalam masyarakat yang plural dan multikultur menjadi nilai yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

12. Jenang Ngangrang : maknanya manusia seharusnya belajar mengontrol emosi kemarahannya, agar kekuatan pada dirinya bisa bermanfaat untuk sesama.

13. Jenang Taming : maknanya belajar menjaga kekuatan pada diri kita dengan berdoa kepada Allah dan mengenali serta memahami kelemahan diri sendiri.
14. Jenang Lemu Mawi Sambel Goreng : maknanya tak lemah membangun semangat baru dalam kehidupan.

15. Jenang Koloh : maknanya kesempurnaan adalah tujuan hakiki kehidupan manusia, yang sering dilalaikan dalam kesibukan sehari-hari. Kita perlu terus berproses menuju kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.

16. Jenang Katul : maknanya kita hidup tak bisa berdiri sendiri, selalu membutuhkan orang lain.

17. Jenang Warni Empat : maknanya simbul nafsu yang melekat pada diri manusia. Warna merah simbol amarah. Putih menyimbolkan Muthamainah, kuning artinya aluamah dan hijau maknanya sufiyah (nafsu yang selalu ingin memiliki duniawi. Kita dituntut mengendalikan keempat jenis nafsu yang melekat pada diri kita.

18. Jenang Sengkolo : terdiri dari jenang abang (merah) dan putih yang merupakan simbol dari keberadaan manusia di dunia. Jenang abang (merah) melambangkan lelaki, dan jenang putih melambangkan perempuan. Adanya Jenang Sengkolo disetiap ritual, agar manusia selalu ingat jikalau dunia terisi oleh dua esensi, feminin dan maskulin.

Note :Artikel ini kiriman dari seorang sahabat di Kota Solo