MAKANAN dipercaya sebagai kebutuhan pokok makhluk hidup untuk mempertahankan hidupnya. Di sisi lain, peran makanan menjadi vital sebagai alat pembeda guna mencirikan kemajemukan manusia di setiap daerah, karena manusia juga perlu memiliki identitas kultural dan status sosial yang berbeda dengan sesamanya. Makanan dapat menumbuhkan sifat primordial seseorang, yang memperkuat rasa kecintaan pada daerahnya. Makanan juga dapat menjadi sebuah media pemujaan, sebuah katalis yang mendekatkannya dengan kekuatan diluar dirinya.
KEPERCAYAAN PADA DAYA MISTIS RITUAL
Pada masyarakat modern, norma-norma dan nilai-nilai kehidupan dapat dipelajari melalui jalur pendidikan formal yang didapat lewat pendidikan sekolah dan non formal yang didapat dari hasil interaksi / sosialisasi dengan jalan pergaulan sesama warga masyarakat lain, hingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosial budayanya.
Disamping pendidikan formal dan non-formal tersebut, ada suatu bentuk sarana sosialisasi bagi warga masyarakat tradisional khususnya, yang disebut “ritual”. Penyelenggaraan ritual ini penting bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat yang bersangkutan. Antara lain salah satu fungsinya adalah pengokoh norma-norma, serta nilai-nilai budaya yang berlaku turun-temurun.
Kepercayaan masyarakat tradisional terhadap nilai mistis dari sebuah ritual, terutama yang tinggal di daerah pedesaan masih sangatlah kental. Kepercayaan para penduduk terhadap adanya arwah leluhur, membuat mereka melakukan suatu ritual untuk menghormati dan meminta berkah kehidupan yang lebih baik. Karena masyarakat tradisional meyakini, bahwa jiwa para roh leluhurnya tersebut masih ada dan tinggal bersama mereka di dunia. Proses ritual seperti ini sebenarnya telah terjadi sejak zaman nenek moyang dahulu, kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus menjadi sebuah aliran dalam kepercayaan masyarakat. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan, seperti suatu bencana, musibah, kesialan adalah akibat dari pengaruh keberadaan roh dan mahluk halus. Sehingga bila terjadi bencana biasanya dukun menjadi perantara utama untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dukun juga dipercaya masyarakat sebagai orang yang mampu berinteraksi dengan si pemilik kekuatan diluar alam fana tersebut.
Kepercayaan mistis inilah yang coba diteliti oleh bapak positivisme, Auguste Comte. Dimana pada tahun 1800 ia berpendapat, dunia telah memasuki suatu tahap yang dinamakan tahap positivistik. Ia mengatakan kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan yang lebih mengedepankan aspek intelektual seseorang, adalah pedoman hidup yang paling benar. Hal inilah yang menjadi segi fundamental untuk menemukan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Artinya, segi irasional (mistik) dikesampingkan pada zaman itu, tapi sebaliknya lebih ditekankan pada segi rasionalisme dan empirisme. Dalam perkembangannya teori ini menjauhkan paradigma masyarakat pada hal-hal yang dianggap transeden.
MAKANAN DALAM RITUAL
Ritual merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dari nenek moyang. Didalamnya terkandung usaha untuk menciptakan suasana hidup aman, tentram, lestari, dan rezeki yang berlimpah. Beberapa masyarakat adat tradisional masih mempercayai bahwa ritual merupakan salah satu cara untuk merealisasikan tujuan tersebut. Sehingga menjadi stigma yang melekat pada masyarakat tradisional bahwa sudah sewajarnya apabila upacara tersebut harus dilakukan.
Dalam ritual diperlukan perantara persembahan kepada arwah para leluhur agar permohonan mereka dikabulkan. Selain seorang dukun (pemimpin upacara adat), perantara lain yang dibutuhkan adalah sesajen. Sesajen biasanya identik dengan makanan adat daerah tersebut. Sesajen merupakan syarat mutlak karena makanan yang terdapat didalamnya dimaknai sebagai pemuas kebutuhan dan persembahan untuk para arwah leluhur.
Penyajian sesajen di tiap daerah bersifat unik karena tiap daerah memiliki jenis sesajen yang berbeda-beda. Isi sesajen yang terdiri dari suatu makanan tersebut dibentuk oleh selera masyarakatnya, sehingga penyajian sesajen tergantung selera makanan tiap-tiap daerah. Selera ini dapat dibentuk oleh suatu rekayasa (manipulasi) dari masyarakat yang melakukan ritual tersebut. Hal ini bertujuan untuk memuaskan arwah leluhur yang diharapkan nantinya berimplikasi terhadap dikabulkannya permohonan-permohonan yang diminta.
Indonesia yang kondisi sosio kultur masyarakatnya beragam, tentu saja memiliki cara tersendiri dalam penyajian sesajen. Seperti di daerah Jawa Tengah, di sana terdapat gunung Merapi. Di daerah gunung Merapi terdapat daerah bernama Boyolali. Sejak dulu warga setempat memang merasa memiliki ikatan khusus dengan gunung Merapi. Sehingga di Boyolali terdapat upacara adat tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat yang dikenal dengan ritual sedekah gunung.
Salah satu sesajen sedekah gunung yang biasa dibuat adalah sempuro. Sempuro merupakan makanan khas warga setempat yang terbuat dari campuran tepung ketan dan tepung jagung. Makanan tersebut dikukus bersama gula merah hingga matang. Sajian lain yang tidak boleh ketinggalan dalam ritual tahunan ini adalah sego gunung. Sego gunung merupakan sajian utama dalam ritual sedekah gunung. Sego gunung dibuat dari nasi jagung yang dikukus hingga matang, dan dibentuk menyerupai gunung. Untuk menyelenggarakan ritual tersebut biasanya disiapkan 1,5 kilogram nasi jagung.
Selain itu disiapkan pula sejumlah lauk pauk, diantaranya tempe gembus atau tempe bungkil. Tempe ini terbuat dari ampas katul atau tepung jagung. Bisa juga dibuat dari ampas tahu. Lauk tempe ini merupakan salah satu lauk khas warga Boyolali. Lalu juga ada ares, terbuat dari bonggol pisang yang ditumbuk halus. Hasil tumbukan ini akan digoreng bersama-sama dengan kelapa parut dan bumbu masak, dikukus hingga lunak. Sajian lainnya, sayur kubis dan sayur ranti. Sayur ranti konon hanya ditemukan di daerah sekitar merapi. Sedekah Gunung tersebut, seluruhnya merupakan makanan khas warga setempat.
Masyarakat percaya bahwa gunung Merapi dijaga oleh para penunggu, agar keselarasan hidup di kawasan merapi terjaga. Bila ada bencana, berarti terjadi ketidakseimbangan. Sebagai pengingat, juga tanda penghormatan kepada roh nenek moyang, maka harus dilakukan sedekah gunung. Dengan melangsungkan ritual itu walau gunung Merapi mengamuk dan memuntahkan isinya niscaya penduduk disana akan aman tak kurang suatu apapun.
Hal ini sama seperti ritual horja bius dari budaya Batak Toba di Sumatra Utara, dimana makanan daerah setempat menjadi media persembahan kepada arwah leluhur. Sesajen yang digunakan diantaranya meliputi satu ekor kambing putih yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang kambing bagian kepala, leher, dada/badan, pangkal paha bagian atas, serta paha bagian tengah kaki bagian depan dan belakang. Semua bahan tadi dimasak dengan bumbu kare, disajikan, disusun sesuai urutan ketika hewan ini hidup dalam piring keramik ukuran besar. Hewan-hewan lain yang juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual ini, diantaranya adalah ayam jantan putih, ayam jantan merah panggang (yang memasak khusus suami dan hanya para suami yang boleh makan ayam ini), dan ayam jantan. Bahan lainnya adalah sagu-sagu. Bahan kue ini berasal dari tepung beras dimasak tanpa gula kemudian dipadatkan dan dibentuk menggumpal.
Masih dari daerah yang sama, ada pula kue itak nani hopingan. Kue terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan pisang, gula putih, gula merah, kemudian ditumbuk agar berbentuk bulat dan dapat diletakkan di piring. Kue ini dimaksudkan sebagai lambang mohon doa restu kepada roh leluhur. Lainnya, itak gurgur atau pohu-pohu. Bahan kue ini juga dari tepung beras, gula putih, serta kelapa yang ditumis setengah matang, kemudian dicampur sampai menyatu dan dapat dibentuk dengan menggunakan jari (genggaman tangan). Berikutnya adalah masakan ikan Batak yaitu ikan khusus dari danau Toba yang dimasak utuh satu ekor, kemudian disajikan dalam bentuk kare.
Minuman juga unsur penting dalam perayaan ini. Beberapa minuman berbahan dasar buah seperti anggir pangurason. anggir pangurason merupakan air yang dicampur dengan jeruk purut, bunga raya dan dedaunan untuk penawar. Lalu ada juga, assimun pangalambohi. Minuman ini terbuat dari timun dipotong panjang. tanduk horbo paung terbuat dari pisang berukuran besar-besar seperti pisang batak/pisang ambon. Buah-buahan lain yang juga dapat dijadikan sesajen dalam ritual ini, seperti hajut (sumpit putih diisi beras, serta uang pecahan nilai terbesar, Rp.100.000).
Hajut ini digunakan sebagai perlambang kunci persembahan yang dibawa oleh datun (dukun) dan diletakkan di atas meja persembahan bersama bahan sesajen lainnya, aek naso ke mida matani ari (air kelapa muda ) air yang bersih dan steril, dan lain sebagainya. Upacara adat horjabius ini dilakukan untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang mereka terdahulu dan hendak melestarikan budaya yang mereka miliki.
SESAJEN & INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Penyajian sesajen dalam fenomena ritual di atas pada dasarnya tidak hanya sekedar dimaknai sebagai selera dari makanan tiap daerah. Karena bila hal ini dikorelasikan dengan perspektif interaksionisme simbolik, akan terdapat makna lain dari sesajen yang akan direpresentasikan melalui suatu simbol.
Pasalnya, teori yang dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh utama George H. Mead (1863–1931), dan Charles Horton Cooley (1846-1929) ini memusatkan observasinya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka memahami bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.
Interaksionisme simbolik merupakan suatu metode penelitian budaya yang mengungkap realitas perilaku manusia melalui interaksi mereka yang dimanifestasikan melalui komunikasi. Jadi, perspektif interaksionisme simbolik berusaha menganalisis segala hal berkaitan dengan simbol yang berasal dari interaksi pelaku. Seperti mungkin sekali terjadi, pelaku budaya menggunakan cara unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi menggunakan simbol-simbol.
Contohnya seperti penjelasan penyajian sesajen pada sedekah gunung di atas. Penyajian sempuro menurut kepercayaan warga diyakini sebagai sesajen yang sangat disukai penunggu merapi karena rasanya yang gurih dan manis. Sedangkan penyajian sego gunung, yang dibuat dari nasi jagung ini digunakan karena jaman dulu dipercaya warga bahwa para leluhur belum mengenal beras sebagai bahan makanan pokok.
Kemudian, penyajian sesajen pada ritual horja bius, penyajian sagu-sagu yang dimaksudkan sebagai lambang lambang pemberi semangat. Lalu, itak nani hopingan sebagai lambang minta do’a restu kepada roh leluhur. Serta, assimun pangalambohi dan tanduk horbo paung dimaksudkan sebagai penyegar perasaan.
SESAJEN & MAKNANYA KINI
Maka dapat disimpulkan, sesajen dalam ruang lingkup kontemporer telah mengalami banyak perluasan makna. Sesajen tidak hanya diesensikan sebagai pelengkap sebuah ritual untuk persembahan nenek moyang, melainkan menjadi suatu interaksi antara sesama pelaku/individu. Kemudian dipantulkan sebagai representasi yang majemuk sampai mengalami ekstasi nilai-nilai budaya secara fundamental.
Jean Baudrillard, menjelaskan ekstasi sendiri merupakan pesan-pesan yang tidak lagi ada, adalah medium yang memaksakan dirinya di dalam sirkulasi dirinya sendiri (dalam hal ini) pasar adalah bentuk ekstansi sirkulasi barang-barang, prostitusi, pornografi adalah bentuk ekstasi perilaku seks.4 Dengan kondisi ekstasi seperti itu, maka jika dianalogikan sebagai suatu kemabukan yang melanda pada kondisi masyarakat sekarang. Sesajen tidak hanya untuk dikonsumsi, tapi telah mengalami perluasan makna dan fungsi.
Seperti ritual horja bius, masyarakat sekitar tidak hanya sekedar mengenang ritual dan melestarikan budaya yang dilakukan nenek moyang mereka yang terdahulu tetapi juga untuk menarik wisatawan ke daerah tersebut. Masyarakat sekitar tidak hanya mengutamakan segi ritual agar doa yang dipanjatkannya terkabul, tetapi mereka memiliki segmentasi lain seperti sebagai atraksi belaka. Dimana seluruh acara telah kehilangan makna mistis, filosofis dan akhirnya hanya berakhir jadi atraksi pariwisata belaka. Karena, seperti makanan dalam sesajen yang disajikan dalam jumlah banyak, tidak untuk dikonsumsi tetapi dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Hal-hal tersebut tentu akan dimaknai oleh turis atau pendatang dari daerah lain sebagai objek yang menarik, di samping ritual-ritual lainnya. Ini menjadi suatu dilema yang sulit dipecahkan untuk dikembalikan pada esensi utamanya.
Maka semakin abstrak saja pemaknaan ritual di zaman ini, segalanya tidak hanya bisa dilihat hanya dengan menggunakan kasat mata. Karena setiap hidup erat dengan pemaknaan simbol di dalamnya. Tidak mengherankan jika banyak terdapat interpretasi yang berbeda-beda di kalangan masyarakat saat ini.
Artikel diambil dari tulisan Didik Saputra dengan referensi :
1. Purwadi, Upacara Tradisional Jawa: menggali untaian kearifan lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
2. WAP Indosiar, Berita Teropong “Agar Mbah Merapi Tidak Marah”
3. Biliater Situngkir, “Upacara Horja Bius Adat Budaya Batak Toba yang Telah Hilang”
4 .Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Yogyakarta: Jala Sutra, 2004